Lintang tertegun dan perlahan senyumnya memudar, namun itu tak sempat dilihat oleh Arthur dan pintu pun menutup rapat. "Hazen?!" gumam Lintang dengan rasa terkejut dan heran, "kenapa dia ada disini?" Dengan rasa penasaran yang tiba-tiba saja memenuhi benaknya, Lintang mengintip sedikit dari balik pintu. Tampak Arthur dipanggil oleh seorang pria setengah baya, dia bersama Hazen di sana. Dan Lintang merasa jantungnya berdetak semakin cepat manakala melihat Arthur berjalan mendekati mereka. Dia ingin melihat reaksi Arthur di hadapan Hazen. Dan ia pun tercengang saat Hazen yang tersenyum lebar dan Arthur merentangkan tangannya dan mereka berpelukan untuk sesaat. Yang bagi Lintang itu seolah menjadi sambaran petir di siang bolong."Arthur, kamu mengenal dia?!" gumamnya terkejut dan tak percaya dengan apa yang dia lihat, "tapi kenapa ..."Lintang mengingat saat Hazen mengantarkannya pulang setelah selamat dari Wira. Mereka seolah tak saling kenal.Lintang mencoba untuk tetap tenang dan
Lintang gelisah di ruangan itu sendirian. Sejak melihat Hazen juga ada disitu bersama Arthur, hatinya merasa tidak tenang. Perutnya terasa tidak nyaman, seolah sesuatu yang buruk akan terjadi. Maka ia memutuskan untuk keluar dan berjalan menuju ke kafetaria yang ditunjukkan oleh Arthur sebelumnya. Mungkin secangkir kopi akan menenangkan kegelisahannya. Tapi saat melewati salah satu ruangan, ia melihat Arthur dan Hazen masuk ke sana bersama laki-laki yang memanggil mereka tadi. "Ayolah, Lintang! Mungkin mereka terlibat kerja sama atau apa! Jangan berburuk sangka dulu!" gumam Lintang seraya terus melangkahkan kakinya menuju ke tujuannya tadi.Hingga akhirnya ia pun sampai di kafetaria itu, dan langsung memesan es kopi. Dia butuh sesuatu yang dingin."Karyawan baru?" sapa seorang wanita yang melayani pesanan Lintang.Lintang menggeleng, "Aku menunggu suamiku," jawabnya singkat seraya menerima gelas es kopinya."Oh, iya, silahkan santai saja di sana, tidak perlu canggung!" kata wanita i
"Apa maksudnya itu?" tanya Hazen bingung, "kenapa Lintang menyebut namaku?" Arthur mengangkat bahu, "Aku juga terkejut, dia bilang ingin seperti Hazen yang sudah menolongnya, gadis yang kuat dan tangguh, yang terlihat menggemaskan sekaligus mematikan!" terang Arthur.Hazen tertegun. Bukannya dia tersanjung mendengar itu semua, tapi hatinya justru merasa tidak tenang. Nalurinya sebagai seorang wanita merasa terusik."Dia sudah tahu tentang kita!" ucapnya dengan pandangan mata mengambang, ada kepanikan di dalam sana.Arthur menepikan mobilnya sejenak, ditariknya tuas rem. Lalu meraih wajah Hazen dan menatapnya."Jangan berpikiran terlalu jauh! Dia mungkin hanya kagum padamu!" kata Arthur menenangkan gadis itu.Hazen terdiam, ia menatap ke bola mata Arthur. Mencari kekuatannya sendiri di sana, meski sehebat apapun dia dalam memegang senjata dan berkelahi, jauh di dalam dirinya itu hanyalah seorang gadis biasa. Seorang perempuan yang juga punya hati. Selama ini instingnya selalu tepat, b
Arthur hanya menatap sekilas pada Bram dan Mira, sementara ini mereka fokus pada klien utama yaitu Liliana. Gadis dengan wajah Indo itu sangat rupawan dibalik kacamata hitamnya. "Selamat datang, Nona, kami disini untuk menjemput Anda!" kata Hazen tersenyum formal.Bram dan Mira tampak terkesima melihat Hazen berbahasa dengan fasih.Liliana hanya mengangguk mengiyakan, lalu berjalan mendahului mereka, Hazen mendampinginya menuju mobil mereka. Arthur yang berada di belakangnya pun melempar senyum heran pada kedua orang yang sangat dikenalnya."Jangan tanya! Aku disini sebagai pengawalnya sejak dari Indonesia!" ujar Bram tanpa menoleh. Arthur terkekeh pelan, "Kamu cocok dengan setelan itu!" balasnya melirik penampilan Bram yang saat itu memakai jas hitam. Mira terkikik di sebelahnya."Tadinya dia menolak!" godanya mengerling.Arzan tersenyum melihat Bram yang mendelik pada gadis itu."Oh, ya!" sela Mira, "aku disini diperintahkan Tuan Candra!" katanya seolah memberi laporan pada Arthu
Hazen turun dari taksi yang mengantarkannya pulang kebengkelnya. Namun ketika ia baru saja tiba, teriakan riang anak kecil langsung menyambutnya dari dalam bengkel. Raffa berlari keluar dari ruangan Hazen dan memburu memeluk gadis itu. Alia hanya tersenyum gemas melihatnya."Maaf, dia memaksa kesini sejak kemarin!" kata Alia merasa canggung. Hazen hanya tertawa seraya menurunkan Raffa. "Tak apa, aku juga sedikit sibuk akhir-akhir ini, jadi tidak bisa bermain setiap hari denganmu!" katanya lalu menjawil hidung Raffa dengan gemas."Dimana pacarmu itu?" tanya Raffa dengan polosnya. Alia menegurnya namun anak itu hanya cemberut tak menggubris teguran ibunya itu."Siapa yang kamu maksud?" tanya Hazen mengulum senyum geli.Raffa terdiam seolah berpikir sambil memegang dagunya, tingkahnya itu membuat Hazen dan Alia gemas melihatnya.'"Itu, orang yang memakai jas hitam dan dia tinggi," terang Raffa, "dia mencium Nona Hazen disini!"Alia sontak ternganga mendengarnya, tertawa canggung dengan
Di ruangan belakang yang menghadap danau, Arthur dan yang lainnya berkumpul siang itu. Mereka hendak membahas mengenai pencarian Arta. Untuk sejenak, Bram mengabaikan masalahnya dengan Arthur. Begitu juga Arthur yang merasa lega karena Bram masih mau duduk bersama demi Arta."Rey memberiku daftar dokter yang bertugas di rumah sakit yang tersebar di kota ini," kata Bram membuka pembicaraan. Lintang sudah tak sabar untuk mengetahui seberapa dekat dia dengan putranya. Bram mengeluarkan dokumen dalam beberapa lembar kertas, yang lain langsung mengambil satu dan membacanya."Banyak sekali," desah Mira melihat daftar di tangannya dengan kening berkerut."Disini lah mungkin perjuangan kita dimulai," kata Bram menatap Lintang, wanita itu mengangguk dengan mata berkaca-kaca.Arthur tersentuh dengan ucapan Bram barusan. Laki-laki yang menjadi teman satu leting-nya itu masih memposisikan sebagai sahabat."Kita bisa mulai dari rumah sakit yang terdekat," ucap Arthur yang diangguki yang lainnya.
Fala baru saja selesai bertugas dan ia tiba di rumah sekitar tengah malam. Tentu saja rumah sudah dalam keadaan gelap dan penghuninya sudah tidur. Dia sudah terbiasa dengan itu, karena tak ingin menyita waktu istirahat Alia yang juga lelah bekerja dan mengurusi Raffa seharian. Maka ia pun masuk ke rumah dengan kunci cadangan yang selalu dia bawa, merapikan sepatu di rak khusus lalu masuk menyusuri foyer.Dia melihat ke meja makan, sebuah tudung nasi ada di sana. Ia membukanya. Ada lauk pauk untuk makan malam dan sebuah memo kecil.[ ^^ nasinya ada di penghangat, selamat makan, Sayang! Maaf tidak menemani kamu makan, hari ini pekerjaanku sangat banyak dan aku baru tidur jam 11 ini, besok kita makan di luar ya kalau kamu nggak sibuk. Luv, Your Hot Wifey #kiss ]Fala tersenyum geli membacanya. Ia melihat jam di dinding yang menunjukkan waktu jam 1 tengah malam. "Terimakasih, Wifey!" ucapnya, dengan begitu saja rasa lelahnya seolah menguap begitu saja. Dan ia juga mengerti dengan kesibu
Lintang membelai wajah Arthur yang masih terlelap dalam tidurnya. dipandanginya wajah suaminya itu. Wajah tampan yang bertahun-tahun lalu menjadi angan-angannya setiap malam. Sosok pengawal yang menjadi idola dan perlahan mengisi hatinya. Membuatnya jatuh cinta. Laki-laki pertama yang menyentuhnya dan membawanya melayang tinggi ke langit ke tujuh. Dan kebersamaan mereka setelah bertahun-tahun terpisah, harus diwarnai dengan rasa curiga di hatinya."Ada apa?" Arthur membuka mata dan menatap Lintang, tangannya memegangi tangan istrinya itu di wajahnya.Lintang tersenyum manis, "Selamat pagi, Kapten!" sapanya membelai rahang tegas itu.Arthur mencium telapak tangan Lintang lalu beralih tidur di pangkuan wanita itu, melingkarkan tangannya di perut Lintang dan kembali memejamkan mata.Lintang membelai rambut Arthur yang lembut dan lurus. Keduanya terdiam untuk beberapa saat, membiarkan kesunyian yang damai sejenak menguasai suasana."Aku rindu Arta," ucap Lintang lirih. Arthur membuka m
Arta berlari keluar dari rumah sambil menangis. Namun ketika dia baru saja menginjakkan kakinya, dia terhenti dan tertegun karena mendapati Arthur dan Lintang ada di pintu gerbang halaman rumah mereka. "Arta!" panggil Lintang, matanya tampak sudah berkaca-kaca menatap Arta dengan penuh kerinduan. Namun tatapan mata Arta tertuju pada Arthur, anak itu tampak masih memiliki pandangan yang sama yaitu kebencian. "Anakku!" ucap Arthur seraya berjalan mendekat pada Arta. Ketika itu tampak Fala dan Alya keluar dari rumah untuk mengejar Arta, namun mereka pun terhenti dan sedikit terkejut karena mendapati Arthur dan Lintang ada di sana. Arta tampak berdiri kaku menunggu Arthur mendekatinya, tangannya mengepal dengan erat. "Tolong maafkan aku, apapun akan aku lakukan agar kamu bisa menerimaku!" ucap Arthur dengan mata penuh kesedihan. Arta tak menjawab, namun dia membuang muka seolah tak sudi untuk menatap Arthur. "Mama bahkan sudah memaafkan kami, kenapa kamu saat membenci Papa?" ucap Ar
Dengan semangat membara Arthur pun berusaha untuk pulih secepatnya. Dia berusaha untuk berjalan dengan menggunakan tongkat, menyangga tubuhnya yang masih terasa lemah.Lintang pun melihat perkembangannya, antara gembira dan juga sedih karenanya. Juga di sisi lain dia mencemaskan keadaan Candra yang semakin hari justru semakin mengkhawatirkan. Itu membuat mereka semakin diburu waktu untuk secepatnya menemui Arta."Istirahat dulu, Sayang," kata Lintang ketika melihat Arthur yang terengah-engah dengan bulir-bulir keringat di wajahnya. Sudah sejak pagi dia berjalan-jalan di sekitar taman sampai matahari naik dan bersinar sedikit panas di atas mereka.Arthur pun mengangguk lalu berjalan menghampiri Lintang yang duduk di kursi taman."Kita harus segera pergi ke sana!" kata Arthur setelah meneguk minumannya.Lintang tersenyum mengangguk, "Ya, aku juga tidak sabar untuk segera memeluknya!" timpalnya.Arthur tersenyum letih, "Ya, kita pasti bisa!" ucapnya penuh keyakinan.Raut wajah Lintang be
Lintang merasa dia harus bertindak. Dia ingin sekali menangis menumpahkan semua rasa lelah dan kesedihannya, tapi dia tidak boleh lemah. Karena saat ini dirinyalah satu-satunya yang bisa menyatukan keluarga Adiwilaga, termasuk membuat Arta kembali pada mereka.Hari ini Arthur pulang ke rumah, kondisinya sudah sedikit lebih baik dan menurut dokter masa pemulihannya bisa berjalan dari rumah."Senang rasanya kembali ke rumah!" ucap Arthur ketika turun dari mobil, Bram membantunya untuk duduk di kursi roda."Selamat datang kembali di rumah!" ucap Lintang, dia mencondongkan tubuhnya memeluk suaminya dengan hangat.Arthur tersenyum, namun matanya tidak bisa menepis pemandangan dari wajah Lintang yang tampak kelelahan dengan kantung hitam di bawah matanya."Apa kamu baik-baik saja, Sayang? Kamu terlihat tidak sehat!" tanya Arthur dengan khawatir.Lintang menatap ke arah Bram dan Mira bergantian, lalu tersenyum canggung."Tidak apa-apa, hanya sedikit kurang tidur saja" tepisnya.Arthur tersen
Candra melangkah menuju kamarnya, namun ada yang berbeda dengan langkahnya, yang tampak sedikit diseret dan tampak terhuyung-huyung. Pria tua itu membuka mulutnya untuk bernafas, dia merasa oksigen semakin menipis di sekitarnya sehingga dia tampak tersengal-sengal. "Ya, Tuhan!" keluhnya pelan, tangannya yang bebas bergerak naik meraba dada kirinya. Pria tua itu menghentikan langkahnya untuk sekedar beristirahat, berharap jika dia bisa mendapat sedikit tenaga. Namun kemudian dia mengernyit dengan nafas tertahan, bulir-bulir keringat bermunculan di dahinya. Tangannya yang memegang tongkat terlepas, bermaksud untuk mengjangkau dinding karena dia merasa tubuhnya lemas. Namun sebelum tangannya menyentuh tembok di dekatnya, Candra sudah ambruk di lantai. Tangannya tanpa sengaja mendorong sebuah guci sehingga oleng dan lalu jatuh pecah berantakan, membuat suara nyaring di sepanjang koridor kamar. Mira yang baru saja pulang dari kantor menjalankan perintah Candra terkejut mendengar suara b
Bram menatap Arta menunggu jawaban anak itu, sorotan matanya terlihat tegas ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Arta. Dia tidak akan bersikap lunak pada anak itu karena dia takut jika Arta terlalu lama dibiarkan seperti ini, maka dia akan semakin menjauh dari ayah dan ibunya sendiri."Arta?"Arta pun tampak sedikit gentar menghadapi Bram, kepalanya tertunduk dalam."A-aku ... tidak ingin mengganggu istirahat Papa, lain kali saja aku akan datang, Paman!" ucapnya.Alya merangkul bahu Arta untuk membuatnya sedikit tenang, dia juga menyadari jika ternyata anak itu terlihat segan terhadap Bram daripada orang lain.Bram menarik nafas panjang."Baiklah, kamu beristirahatlah dengan lebih baik di sana sampai ayah dan ibumu menjemputmu nanti," kata Bram, dia maju untuk menyentuh kepala Arta. Dia juga merasa sedikit bersalah karena bersikap tegas pada anak itu.Arta pun mengangguk, "Terimakasih, Paman!" ucapnya.Bram kemudian menatap Fala, "Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku!" katanya.
Arta tampak tengah duduk di ranjangnya, memperhatikan Fala yang sedang membereskan barang-barang miliknya ke dalam tas. Dia sudah diperbolehkan pulang hari ini."Kamu siap untuk pulang?" tanya Fala tanpa menoleh, setelah menutup tas itu barulah dia memutar tubuhnya ke arah Arta.Anak laki-laki itu tak langsung menjawab, dia malah balik menatapnya. Sorot matanya terlihat ragu."Ada apa, Nak?" tanya Fala tanggap, karena dia melihat jika Arta sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Dia lalu mendekat dan duduk di dekat anak itu.Arta tertunduk memandangi tangannya yang sedang memegang rubik. "Apa aku bisa pulang bersama kalian saja?" tanyanya.Fala tertegun mendengarnya. Itu memang menggembirakan, apalagi jika Alya tahu. Tapi situasinya saat ini sungguh riskan, dia tak bisa memutuskan begitu saja sekarang ini. Fala pun menghela nafas dan menyentuh kepala Arta dengan lembut."Kamu tahu sekarang kami sudah tidak berhak lagi menentukan, kecuali kamu meminta izin dulu pada orangtuamu," kata F
Pagi hari, Arthur sepenuhnya membuka mata. Kondisinya masih tampak lemah, namun setidaknya dia sudah bisa diajak bicara."Anda bisa menemaninya di sini, tapi tolong jangan mengajaknya mengobrol terlalu lama, beliau masih butuh istirahat!" kata Dokter memberi imbauan.Lintang pun mengangguk, dia mengerti kondisi Arthur saat ini. Meskipun begitu dia cukup lega karena suaminya sudah melewati masa kritis malam tadi.Dokter pun tersenyum kemudian berpamitan keluar dari ruangan.Alya dan Bram mengerti, mereka turut berpamitan dan memilih menunggu di luar dan membiarkan Lintang menemani Arthur sendirian saja."Selamat pagi!" sapa Lintang menyentuh tangan Arthur dengan lembut.Arthur yang saat itu masih terpejam pun perlahan membuka matanya, dia tersenyum melihat Lintang ada di sampingnya."Kamu di sini," ucapnya, suaranya setengah berbisik.Lintang menarik kursi dan duduk lebih dekat selagi memegangi tangan Arthur."Selamat datang kembali!" ucap Lintang seraya mencium tangan Arthur.Arthur t
Arthur mengalami lonjakan kondisi yang menegangkan, beberapa orang dokter berusaha untuk menolongnya hingga untuk beberapa lama ruangan itu pun tertutup dan tak terdengar apapun. Membuat Lintang yang menunggu di luar semakin tegang dan dipenuhi kecemasan tak terkira.Saat-saat yang menegangkan pun kemudian berlalu, dan suara pintu yang terbuka membuat semua orang yang menunggu di luar seketika berdiri menyambut dokter yang keluar dari dalam sana."Bagaimana, Dok? Bagaimana suami saya? Apa dia baik-baik saja? Apa dia selamat?" Lintang langsung mengajukan beberapa pertanyaan, Alya berdiri di sampingnya dan mengusap bahu wanita itu untuk membuatnya tenang.Dokter tampak menarik nafas panjang, sepertinya dia pun baru saja melalui saat-saat tegang mengurus pasiennya itu. Tapi kemudian raut wajahnya terlihat cerah."Tuan Arthur berhasil melalui masa kritisnya, dia baik-baik saja!" jawabnya.Lintang pun seketika meluruhkan bahunya dan menangis dengan penuh rasa syukur."Terima kasih, Ya Tuha
Arta tampak marah di kursi rodanya, dia menatap semua orang Lintang dan Alya dengan mata merah berair."Kenapa kalian menyembunyikannya dariku? Apa lagi hal yang kalian sembunyikan? APA?!" teriaknya histeris. Dia bangkit dari kursi rodanya, lalu dengan langkah hampir limbung berlari menjauh."Arta!" "Lepas!" sergah Arta pada Fala yang menangkapnya karena hampir terjatuh. Fala pun membiarkannya dan hanya bisa menatap anak itu berlari pergi ke arah lain."Mas, bagaimana ini?" kata Alya menghampiri Fala dengan wajah cemas.Fala memegang tangan istrinya itu, "Kita biarkan saja dulu, akan sangat kacau jika kita menahannya saat ini," katanya sendu.Lintang pun terdiam dalam tangis.Fala lalu menoleh pada Alya, "Kamu temani Lintang, biar aku yang mengawasi Arta," katanya, yang kemudian diangguki oleh Alya.Fala menatap Lintang sebentar sebelum akhirnya dia bergegas mengejar Arta. "Aku akan membantu mencarinya!" kata Bram, Lintang mengangguk setuju padanya.Bram pun berpamitan dan berlari