Emmy tidak yakin ketika Isa mengirim pesan padanya. Dia ingin membicarakan hal penting pada Emmy walau Emmy tidak merasa mereka memiliki masalah yang harus dibicarakan. Emmy tidak ingin bertemu dengan Isa, tapi nada bicara Isa terdengar mendesak.Lagipula, lebih baik bertemu di luar daripada Isa akan masuk ke dalam kediaman Barat. Emmy tidak mau Isa bertemu dengan Keenan untuk sementara waktu.Dia masuk ke dalam sebuah restoran. Ketika pelayan menanyakan namanya, dia langsung mengantar Emmy ke sebuah ruangan privat. Emmy makin tidak yakin, namun seharusnya peringatan Charles cukup membuat Isa tidak berani menyakitinya.Setelah mengumpulkan keberaniannya, Emmy masuk dan pelayan langsung menutup pintu. Di dalam, Isa sedang memunggunginya. Gadis itu berdiri di dinding kaca restoran yang berbatasan langsung pada hamparan lapangan golf yang asri.“Kamu ingin membicarakan apa?” tanya Emmy.Isa menghirup aroma winenya dengan perasaan riang. “Domaine de la Romanee Conti 1990,” katanya sambil
“Yeah, babe!” Isa tertawa penuh kemenangan. “Nikky, ibumu. Apakah setelah puluhan tahun berlalu kamu menjadi tidak mengenalnya? Astaga, sungguh! Puteri macam apa kamu ini?”“Tidak,” desis Emmy. “Bagaimana bisa?”Emmy merasakan seolah ada yang baru saja menendang perutnya. Amarah panas menggelegak saat dia mengingat pembicaraan terakhirnya bersama Simone. Ayahnya itu juga mengatakan jika dia yakin Nikky masih hidup dan Emmy saat itu menganggap Simone hanya menderita sindrom perasaan bersalah.Dia tidak menyangka kalau firasat Simone sungguh nyata. Nikky, ibunya ternyata masih hidup.“Ini...” Emmy tidak bisa berkata-kata, dan ketika Isa menyambar ponselnya lagi, Emmy seolah tidak rela. “Tidak, berikan padaku, Isa. Aku ingin melihat Mom.”“Memangnya aku sebaik itu?” teriak Isa sambil menampar wajah Emmy, membuat Emmy tersungkur ke lantai. “Dimana keberanianmu tadi? Bukankah kamu bersikap arogan barusan? Kenapa mendadak lemah?”Dada Emmy terasa sesak sampai rasanya dia tidak bisa bernafas
Angin bertiup sangat cepat dan udara pagi itu sangat dingin. Lily merasakan kelembapan udara menembus kulitnya, membuat dia memeluk diri sendiri untuk merasa sedikit hangat. Di kawasan villa pribadi milik keluarga Axel, dia berdiri menatap pemandangan hutan dan pegunungan yang megah.Semalaman Lily bercerita segala hal pada Axel di sela-sela mabuknya. Gadis itu meracau tentang Riley, mengungkapkan betapa cemburunya dia terhadap pria itu bersama wanita pasangannya. Anehnya, Axel malah betah menemaninya.Lily ingat sekali, Axel bahkan tersenyum padanya sesekali. Dia tidak beranjak sedikit pun, dia tidak meninggalkan Lily atau menyuruhnya berhenti bicara. Sekarang, setelah Lily sadar, dia tahu betapa keterlaluannya dia.Di hadapan Axel, pria yang baru mengungkapkan perasaannya kalau dia menyukai Lily, namun Lily malah meracau tentang pria lain. Gadis itu merutuk, menyesal sudah minum terlalu banyak. Lily menengok lagi ke belakang. Sepertinya belum ada tanda-tanda Axel akan menyusulnya da
Melihat Axel menutupi emosinya malah membuat Lily sakit hati. Dia ingin Axel lebih baik menumpahkan semuanya di hadapan Lily, alih-alih seperti menjaga sikap seolah mereka adalah orang asing.“Aku bukan siapa-siapa,” gumam Axel lagi. “Aku selalu menemukan diriku tidak terlalu pantas saat aku berada di acara keluarga Achilles dan juga keluarga Michelle. Walau tak ada yang mengatakan apa pun, aku selalu saja merasa tidak pantas.”“Itu hanya pemikiranmu saja.”Axel memaksa diri tersenyum. “Ya. Dan aku bersyukur Keenan bahkan tidak pernah mengatakan apa pun soal ini. Dia selalu melibatkanku dalam segala hal, mengatakan semua yang dia alami secara terang-terangan sehingga apa pun tidak akan tersembunyi darinya. Keenan sangat baik padaku.”Yeah, mungkin saja. Selama ini Lily selalu merasa kalau Keenan adalah manusia kejam yang hanya tahu menyiksa Emmy. Tapi akhir-akhir ini Emmy pun bersaksi kalau Keenan sepertinya berubah. Mungkin Lily bisa setuju terhadap pemikiran ini.“Sebenarnya saat me
“Berlayar?” Keenan mengernyit.Memang. Dulu, Keenan, Axel dan Isa sering pergi bersama-sama untuk memancing ikan di lautan lepas. Mereka biasanya menaiki kapal kecil milik keluarga Achilles dan menghabiskan waktu hampir seharian di lautan.Ada semacam pelepasan emosi yang baik ketika Keenan berada di lautan lepas. Tapi seperti kata Isa, dia menyadari memang mereka tidak lagi pernah melakukannya.“Ide bagus,” kata Keenan. “Kamu atur saja semuanya.”“Bagaimana kalau besok?”“Baiklah. Aku setuju.”Pembicaraan mereka berlanjut pada hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu masuk akal di kepala Keenan. Namun dia adalah Isa dan Keenan berhutang banyak padanya. Keenan berada di sana dan bersedia mendengar semua celotehan tak bermutu itu hanya karena dia seorang wanita penyelamatnya.Bayang-bayang senja sudah lama merentang ke malam, dan cuaca dengan cepat berubah menjadi dingin walau seharian matahari bersinar terik. Akhir-akhir ini cuaca memang sulit ditebak. Kadang terik bisa berganti cepat me
Yang membuat konsentrasi Emmy semakin sulit dan berantakan adalah karena Emmy tidak bisa berhenti memikirkan Isa. Dia menaungi mata untuk bisa melihat Keenan menjulang di depannya. Pria itu terlihat luar biasa diterpa cahaya matahari dan Emmy tak akan pernah bosan untuk terus melihatnya selama sisa hidupnya.Jika saja tak ada gangguan dari Isa.“Ini jadwal menstruasiku.” Emmy tersenyum. “Aku rasa kita tidak bisa melakukannya.”“Oh ya? Tapi kalau aku menciummu...”Begitu Keenan hendak menciumnya, Emmy berusaha menghindar sambil tersenyum kaku.“Kamu tidak ingin menciumku?” Keenan mengernyit kaget.“Bukan begitu,” desis Emmy. “Ini di lautan, tak hanya ada kita berdua melainkan nahkoda dan juga Isa.“Memangnya kenapa kalau ada mereka? Kamu istriku, tidak masalah aku menciummu, bukan?”Seharusnya tidak masalah. Tidak kalau Isa jauh dari mereka. Namun sekarang, Emmy melihat gadis itu berdiri di tangga menuju lambung kapal, setengah badan menyembul ke atas dan menatap Emmy dengan tajam.“Pi
Angin mulai berhembus, menyejukkan udara namun membawa lebih banyak awan. Gulungan-gulungan awan itu berarak mendekati kapal, terlihat gelap dan suasana berubah menjadi sedikit mencekam saat ombak berubah lebih besar.“Kita harus kembali,” kata Keenan.“Tapi kita belum mendapat ikan apa pun,” sahut Isa. Kamu belum meminum anggur yang ku sediakan. Seharusnya kamu sudah meminumnya sejak tadi dan kita berdua seharusnya sudah ada di dalam kamar. Kenapa susah sekali untuk membujukmu, Keenan?Angin bertiup makin kencang secara cepat dan tiba-tiba hujan deras turun menghambur. Emmy gelisah, dia berteriak dari anjungan namun Keenan tak bisa mendengarnya. Pancing-pancing mereka bahkan diterbangkan angin dan tercampak ke dalam laut, begitu juga gelas-gelas dan kotak minuman dingin yang dijadikan Keenan sebagai tempat duduknya.Ketika Keenan berdiri dan hendak kembali, kakinya terasa kram dan tak bisa digerakkan. Angin bertiup lebih kencang dan Ted tak mau mengambil resiko. Dia tidak ingin mende
“Kenapa tidak kamu jelaskan pada Tuan Keenan kalau kamulah yang menyelamatkannya dari lautan, Nona?” tanya Ted begitu kapal mendarat di dermaga dan Isa langsung membawa Keenan kembali.Mereka berdua bahkan tidak mengikutsertakan Emmy dan Keenan bahkan tidak bicara pada Emmy, tidak sepatah kata pun. Emmy dan Ted berdiri melihat sedan yang dikendarai Isa hilang dari pandangannya, lalu Emmy menghela nafas pendek.“Bagaimanara caraku menjelaskannya kalau gadis itu bahkan tidak memberiku kesempatan untuk bicara?”“Sudah ku duga,” gumam Ted. “Dia tak hanya lihai untuk memutar-balikkan fakta, tapi juga pandai berpura-pura.”“Tidak masalah,” kata Emmy menghibur diri. “Aku rasa aku harus kembali. Trims untuk pengalaman yang menarik ini, Ted.”“Sama-sama, Nona Emmy. Kelak, kalau butuh sesuatu misalnya bersaksi untuk dirimu, aku siap.”Emmy tertawa kecil, lalu mengangguk. “Baiklah. Akan ku cari kamu kalau aku membutuhkan kesaksianmu.”“Omong-omong, aku menyukai matamu, Nona.”Emmy kembali tersen
Pintu kamar terbuka, seolah Emmy sudah menunggu kedatangan Keenan ketika pria itu pulang dari kantor. Emmy menyembulkan kepalanya dari celah pintu yang dibukanya sedikit. Keenan mengernyit, dia bersandar di dinding.“Suamimu tak boleh masuk?” tanyanya.“Bukan.” Emmy menggeleng. “Tunggu sebentar. Lima menit. Ah, mungkin sepuluh menit.”“Apa yang kamu lakukan di dalam sana?”“Sabar sedikit.” Emmy kembali menutup pintu. “Jangan masuk sebelum aku mengizinkannya,” serunya lagi.Emmy menyusun satu per satu balon hias yang ditempel di dinding. Tak lupa tulisan ‘happy birthday’ dia gantung, lalu dia mengecek kembali kue ulang tahun Keenan. Setelah memastikan semuanya sudah beres, Emmy berjalan menuju kamar mandi.Digenggamnya alat tes kehamilan yang menunjukkan garis merah muda sebanyak dua garis, menunjukkan jika dia sedang hamil. Ini akan menjadi kejutan yang tidak akan pernah dilupakan Keenan, Emmy sangat yakin sekali.Dia memasukkannya ke dalam kotak dan menutupnya. Aksen pita merah muda
Hari yang cerah di awal Januari. Dalam balutan gaun putih tulang yang menutupi tubuhnya hingga ke kaki, Emmy berjalan didampingi oleh ayah Josiah, Stevano Miller. Dia tampak anggun dengan tiara yang dipasangkan ke rambutnya. Dia seperti puteri dari negeri dongeng.Para tamu tampak bersorak, berdiri menyaksikan kesakralan pernikahan antara Emmy dan Keenan. Lily bertugas menjadi pendamping wanita, Edmund menjadi pembawa kerajang bunga didampingi Liz dan Ivy. Ketiga wanita itu mengenakan gaun kuning lembut sementara Edmund tampil gagah dengan jas mungilnya.Aroma harum dari bunga-bunga azalea putih, rosemary dan juga marygold menguar dari bunga-bunga yang ditaburkan mereka. Di altar, Keenan menunggu dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Dia sungguh tidak menyangka akan menemukan hari ini dalam hidupnya.Pria itu sempat berpikir kalau semuanya sudah berakhir. Ketika dia kehilangan Emmy dalam hidupnya, Keenan merasa kalau takdir memang begitu adanya. Siapa yang tahu kalau ternyata masi
“Jadi, kamu adalah pemilik Sid and Co? Itukah alasan kenapa dulu kamu memintaku untuk bekerja di sana?”Leo mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat. Dia berbohong pada Ivy soal identitasnya, mungkin kekasihnya itu akan marah besar padanya. Leo mencoba memikirkan bagaimana caranya keluar dari masalah ini. Dia tidak mau Ivy akan meminta perpisahan. Sungguh, dia tidak mau.“Vy, aku hanya...”“Stop!” Ivy berbalik, menatap Leo dan menemukan pria itu kelihatan gelisah. Ivy nyaris tertawa dalam hati. Tapi ini kesempatan yang bagus untuk menguji seberapa besar Leo menginginkannya. “Kamu berbohong padaku. Sungguh! Kamu keterlaluan.”“Ivy, aku tidak ingin menyembunyikan identitasku.”“Lalu apa yang kamu lakukan ini?”“Aku hanya...”Ivy mendelik, menunggu dengan sabar sampai Leo menyelesaikan kalimatnya. Tapi ternyata setelah menunggu selama beberapa detik, pria itu malah bungkam dan tidak bicara. Perlahan Ivy mulai kesal. Padahal Leo tinggal mengatakan alasannya apa, tapi dia malah me
Ketika Leo menjemput Ivy di kantornya, hari sudah menjelang malam. Pria itu menyandarkan pinggulnya di depan sedan Maybacth yang baru dibelinya dua hari yang lalu. Tak ada yang salah dengan SUV yang membawanya selama beberapa tahun ini.Tapi Leo tahu, mobil dengan body bongsor seperti itu kurang disukai oleh wanita. Walau Ivy tak pernah protes dengan SUV-nya, tapi Leo ingin Ivy nyaman di dalam kendaraannya sendiri saat dia bersama Ivy.Leo melirik ke dalam gedung bertingkat sambil menghela nafas panjang. Ivy tidak mau bekerja di perusahaannya sendiri walau Leo menawarkannya. Padahal, Leo tidak memberitahu kalau Sid and Co adalah miliknya, tapi Ivy tetap tidak mau bekerja di sana.Sebenarnya, Leo bukan datang dari keluarga yang kurang beruntung. Dia memiliki keluarga kaya raya, hanya saja kondisi anggota keluarganya memaksa dia keluar dari rumah pada usia empat belas tahun. Dia menjelajah seorang diri, menjadi objek bully bagi teman-teman sekolahnya hingga Keenan menemukannya.Tapi tah
Axel menurunkan atap Stingray dan bersandar di bagasi, menunggu Lily turun dari apartemennya. Kerena Keenan sudah kembali, maka Axel kini memiliki waktu libur untuk dirinya sendiri. Pagi ini, dia akan menebus waktunya yang dihabiskan lebih banyak di perusahaan alih-alih bersama Lily.Lily turun dengan mengenakan dress selutut dan sepatu sneakers berwarna putih. Gadis itu lincah, bergerak ringan dan tersenyum menyapa Axel. Dia adalah hadiah yang tak terharga, begitu Axel menyebut Lily. Karena kehadiran Lily, dia tak perlu khawatir soal kehidupannya karena Lily selalu memiliki banyak cara untuk menghiburnya.“Apakah aku terlalu cantik? Kenapa kamu menatapku seperti itu?” goda Lily.Axel mengangguk membenarkan. “Kamu memang cantik. Sudah siap?”Lily mengangguk. Dia setengah berlari mengitari mobil dan masuk. Axel tertawa kecil. Dia terlalu mandiri. Bahkan para gadis akan mengantri untuk dibukakan pintu secara khusus bak tuan puteri. Tapi dia? Dia bahkan tidak menungguku melakukannya.Mer
“Aku tidak tahu kalau kamu hamil saat aku pergi. Maafkan aku.”Liz menangis tersedu-sedu, tapi dia tahu itu bukan kesalahan Josiah. Liz menggeleng kuat. “Ini juga salahku. Maaf karena aku egois dan menyembunyikan semua ini darimu.”Josiah melepas pelukannya. Dihapusnya air mata yang masih terus jatuh di pipi Liz dan menunduk untuk mencium bibir Liz dengan penuh kerinduan. Edmund yang sedari tadi diam saja kini bertindak saat melihat Josiah mencium ibunya. Dia menarik tangan Liz, menghadang dengan sikap protektif.“Hanya aku yang boleh mencium Mom,” katanya dengan suaranya yang melengking.Josiah dan Liz tertawa kecil. Liz menatap Josiah, lalu mengangguk pada pria itu. Josiah bersimpuh dihadapan Edmund, dan pria kecil itu menelengkan kepala menatap Josiah. “Paman mirip sekali denganku,” gumamnya. “Apakah kamu Dad?”Air mata Josiah jatuh, namun dia tertawa menyadari kalau puteranya begitu cerdas. Dia mengusap kepala Edmund sambil berpikir, bahkan telapak tanganku masih lebih lebar dari
Emmy buru-buru melepas pelukan Keenan dari tubuhnya. Dia berdiri, menahan diri untuk langsung menganggukkan kepalanya. Dia memilih bersikap biasa saja walau dia nyaris melompat waktu Keenan mengajaknya menikah lagi.“Kita sudah bercerai, Tuan,” sahut Emmy santai.“Aku tahu.” Keenan meraih jemari Emmy lagi. “Berikan aku kesempatan kedua.”“Pun kalau aku memberimu kesempatan kedua, keluargaku mungkin tidak akan menerimamu.”“Aku akan berusaha merebut kembali kepercayaan mereka. Dengan cara apa pun, aku akan melakukannya.”“Bahkan kalau mereka memberi syarat kalau kita harus tinggal di sini?”Keenan melihat sekitarnya. Memangnya apa yang salah tinggal di desa? Ini cukup nyaman, bahkan Keenan semakin terbiasa hidup tanpa kemewahan. Dia tidak menggunakan pendingin ruangan, tidak bepergian ke klub, tidak berbelanja barang-barang mewah, tidak menggunakan mobil. Itu bagus dan dia nyaman.“Tinggal di desa tidak buruk, tahu?” sahut Keenan.Emmy merasakan wajahnya mulai merona merah. Jantungnya
“Sepertinya kamu makin betah di sini.”Tiba-tiba Keenan dikejutkan oleh bisikan Josiah ketika pria itu muncul membawakan topi milik Emmy. Keenan nyaris berteriak karena kaget. untung saja dia bisa mengontrol emosinya dan tidak bersuara sedikitpun.“Aku akan tinggal di mana pun Emmy berada,” gerutunya pada Josiah. “Dan kamu jangan pernah mengacaukan rencanaku.”“Kamu mengancamku? Kamu tidak ingat aku siapa?”“Kamu kakak Emmy. Kamu sudah mengatakannya lebih dari seribu kali.”“Bagus kalau kamu tahu,” ejek Josiah. “Sebentar, aku akan memberikan topi ini pada Emmy lalu kita bisa mengobrol.”“Siapa yang mau mengobrol bersamamu?”“Ck!” Josiah berdecak, lalu berdiri mendekati Emmy.“Em, kamu lupa membawa topi.” Josiah menghampiri Emmy dan memasang topi itu langsung di kepala Emmy. “Aku akan menunggumu di tempat biasa.”Emmy mengangguk. “Thanks,” katanya.Josiah mengusap rambut Emmy dan tindakan itu membuat Keenan mengerucutkan bibirnya. Matanya menatap tajam Josiah saat pria itu menghampirin
Begitu Liz dipindahkan ke ruang perawatan biasa, Lily dan Axel langsung menjenguknya. Liz tersenyum, memamerkan wajah pucat pasinya pada keduanya. Namun Lily mendengus kesal. Dia melipat kedua tangannya di dada, tapi tidak mau mendekat ke ranjang Liz.Liz tahu mereka berdua pasti sudah mengetahui kehamilannya. Dan dia juga tahu kenapa Lily memberinya reaksi seperti itu. Lily marah karena dia menyembunyikan kabar sebesar itu dari mereka, Liz pantas mendapatkan reaksi dingin seperti itu.“Kamu baik-baik saja?” tanya Axel, memilih mendekat ke ranjang rawat Liz.Dia mengangguk, lalu berusaha duduk. Axel membatu menumpuk bantal di belakang punggung Liz untuk membuatnya nyaman saat bersandar. Liz menatap Lily yang berdiri di dekat jendela. Dia melihat jauh ke luar, ke antara pepohonan rindang yang berjejer di sekeliling rumah sakit.“Maafkan aku,” kata Liz, setelah dalam ruangan itu hanya ada keheningan selama beberapa menit. “Aku tidak berniat menutupi semua ini dari kalian.”“Tapi nyatany