Arjun berdiri di balkon kamarnya, matanya menatap gelapnya malam. Pikirannya dipenuhi oleh rasa cemas dan amarah. Ia tidak bisa membiarkan ancaman dari Elvira terus menghantui keluarganya. Olivia, yang sedang berada di kamar bayi bersama Regan, berjalan mendekat setelah melihat suaminya belum tidur. “Arjun,” panggil Olivia lembut sambil mendekati suaminya. “Kamu belum tidur?” Arjun menoleh, menarik Olivia ke dalam pelukannya. “Aku tidak bisa tidur. Aku memikirkan semua ini, Olivia. Ancaman dari Elvira dan bagaimana aku harus memastikan kamu dan Regan aman.” Olivia mendongak menatapnya. “Kamu tidak sendirian. Aku di sini bersamamu. Jangan bebani dirimu sendiri terlalu berat.” Arjun mengusap pipi Olivia, senyumnya tipis namun penuh rasa sayang. “Aku tidak akan tenang sampai semuanya selesai. Aku sudah memutuskan untuk bertindak lebih tegas. Aku akan menggunakan semua koneksi dan kekuatanku untuk menghentikan Elvira. Kali ini, tidak ada ruang untuk kompromi.” Olivia mengangguk,
Pagi itu, Elvira duduk di dalam mobil hitam yang terparkir di dekat rumah Arjun. Matanya penuh obsesi, tangannya mencengkeram kemudi dengan erat. Ia tidak peduli lagi dengan logika atau hukum. Baginya, Olivia telah merebut semuanya—dan ia harus membalas. "Kalau aku tidak bahagia, mereka juga tidak akan bahagia," gumamnya sambil menghidupkan rokok, matanya terus menatap ke arah rumah besar itu. Ia memandangi gerbang rumah Arjun yang dijaga ketat oleh pengawal. Senyumnya melebar licik. Di dalam rumah, Olivia sedang duduk di ruang tamu bersama Regan yang bermain di pangkuannya. Arjun berdiri di belakang sofa, sesekali memandangi Olivia dengan senyuman lembut. "Regan semakin lucu saja," kata Arjun sambil menunduk mencubit pipi kecil putranya. "Aku bersyukur dia punya ibu sebaik kamu, Olivia." Olivia mengangkat wajahnya, menatap suaminya dengan tatapan lembut. "Dan aku bersyukur dia punya ayah yang selalu melindungi keluarganya seperti kamu, Arjun." Namun, kebahagiaan itu tak ber
Malam itu, Elvira tiba di apartemennya yang mewah namun terasa kosong. Ia melempar tasnya ke sofa, menghempaskan tubuh ke kursi, dan menyalakan lampu temaram. Matanya menatap langit-langit, pikirannya penuh dengan rencana jahat. Dia mengambil ponsel dan mulai mengetik pesan. "Aku butuh bantuanmu," tulisnya dan mengirimkan pesan itu kepada seseorang yang namanya hanya ditandai dengan inisial "R." Tidak butuh waktu lama sebelum ponselnya berdering. Elvira menjawab panggilan itu dengan suara penuh kepastian. "Apa yang kau inginkan, Elvira?" suara di ujung telepon terdengar serak. "Aku ingin kau membantuku membuat Olivia dan Arjun menderita," jawabnya tanpa basa-basi. Orang di telepon tertawa kecil. "Kau benar-benar tidak bisa move on, ya? Tapi, apa untungnya untukku?" Elvira menggigit bibirnya. "Aku akan membayar mahal. Kau tahu aku tidak main-main soal ini. Aku ingin Olivia dihancurkan. Dan kalau bisa... aku ingin Regan." "Regan? Kau bicara tentang bayi mereka?" suara di t
Di mansion keluarga Arjun, suasana penuh ketegangan terasa begitu mencekam. Olivia duduk di sofa dengan wajah pucat, tak henti-hentinya menggenggam tangan Arjun seolah memohon kekuatan. Air mata terus mengalir dari matanya yang sembab, tak mampu menyembunyikan ketakutannya akan nasib Regan yang kini berada di tangan Elvira. “Arjun, kita harus menemukannya... Aku nggak bisa tenang kalau Regan belum kembali,” ucap Olivia dengan suara bergetar. Ia menatap suaminya penuh harap. Arjun menarik napas panjang, menenangkan dirinya sendiri meski rasa panik di dalam hatinya sudah mendidih. “Aku janji, Liv. Aku nggak akan berhenti sampai Regan kembali ke pelukan kita. Percayalah, aku akan melindungi kalian.” Saat itu, Papa Arjun masuk ke ruang tamu dengan wajah serius, membawa kabar dari tim yang sudah mereka sebar untuk mencari Regan. “Kita mendapat informasi. Ada yang melihat mobil Elvira keluar dari kota ini, mengarah ke jalan lintas menuju desa terpencil.” “Kalau begitu, kita harus be
Setelah keluar dari kantor polisi, Arjun dan Olivia membawa Regan pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, suasana hening. Olivia sibuk menenangkan Regan yang masih terisak kecil di gendongannya, sementara Arjun terus fokus mengemudi, pikirannya dipenuhi berbagai hal yang baru saja terjadi. Setibanya di mansion, Mama dan Papa Arjun segera menghampiri mereka di pintu masuk. “Bagaimana keadaannya?” tanya Mama dengan nada khawatir, menatap cucunya yang masih terlihat ketakutan. “Dia baik-baik saja, Ma. Untung kami cepat menemukan Regan sebelum sesuatu yang buruk terjadi,” jawab Arjun, berusaha menenangkan ibunya. Olivia tersenyum tipis, meski wajahnya masih tampak pucat. “Kami akan membawanya ke kamar dulu.” Mama mengangguk dan mempersilakan mereka masuk. Begitu sampai di kamar, Olivia duduk di kursi goyang, memeluk Regan erat-erat. Bayi itu perlahan mulai tenang, meski sesekali masih mengeluarkan isakan kecil. “Jun, aku merasa bersalah,” ucap Olivia tiba-tiba, suaranya nyaris be
Beberapa waktu berlalu sejak kejadian penculikan yang membuat Arjun dan Olivia dihantui rasa cemas. Kini keadaan mulai damai, dan kehidupan mereka perlahan kembali normal. Hari ini, mereka menghadiri pernikahan salah satu teman baik mereka, membawa serta Regan yang kini berusia beberapa bulan. Di sebuah gedung megah yang dipenuhi dekorasi bunga-bunga putih dan pastel, suasana pernikahan terasa hangat dan penuh cinta. Olivia mengenakan gaun panjang berwarna biru lembut, terlihat anggun dengan rambutnya yang ditata sederhana. Di sampingnya, Arjun tampak gagah dalam setelan jas abu-abu. Regan, yang digendong Olivia, mengenakan baju bayi berwarna putih, membuatnya tampak menggemaskan. “Kau cantik sekali hari ini,” bisik Arjun di telinga Olivia sambil meraih tangannya. Olivia tersenyum kecil, menoleh pada suaminya. “Kau juga tampan sekali. Kalau begini, kita bisa dikira pasangan pengantin baru.” Arjun tertawa kecil, lalu mencium tangan Olivia. “Bisa jadi. Tapi pengantin baru ini su
Di ruang tamu yang nyaman, Arjun duduk sambil memandangi Olivia yang tengah menidurkan Regan di boks bayi. Ada kelegaan di wajahnya, tetapi juga keseriusan yang tak biasa. Ia baru saja menerima kabar dari pengacara bahwa Elvira telah resmi dijerat hukum atas semua perbuatannya, termasuk penculikan Regan. Olivia menghampiri dan duduk di samping Arjun. "Kamu kelihatan tegang. Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya lembut. Arjun menarik napas panjang, menatap Olivia dalam-dalam, dan menggenggam tangannya erat. "Aku hanya memastikan satu hal, Liv. Setelah ini, aku ingin hidup kita benar-benar damai. Aku sudah bicara dengan pengacara dan polisi. Elvira nggak akan bisa lolos lagi. Dia akan menjalani hukumannya sampai tuntas." Olivia terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Aku percaya sama kamu, Jun. Aku tahu kamu selalu melindungi kami." Arjun tersenyum tipis, meski matanya masih menyiratkan ketegasan. "Aku nggak akan membiarkan ada yang mengganggu keluarga kita lagi. Aku sudah l
Siang itu, di aula megah perusahaan milik keluarga Anderson, suasana penuh dengan keriuhan. Para petinggi perusahaan, rekan bisnis, dan karyawan senior berkumpul untuk menyambut momen besar. Arjun, kini dengan rambut mulai memutih, berdiri di samping Olivia yang tetap anggun seperti dulu. Keduanya tersenyum bangga ketika putra sulung mereka, Regan Anderson, melangkah maju ke podium dengan langkah mantap. “Terima kasih atas kepercayaan ini. Saya akan menjalankan amanah sebagai CEO baru dengan penuh tanggung jawab,” ujar Regan dengan suara tegas. Sorak sorai memenuhi ruangan. Sean, adiknya yang kini berusia 18 tahun, berdiri di barisan depan bersama teman-temannya. “Hebat, Kak! Jangan lupa traktir aku nanti,” ujar Sean setengah berbisik ketika Regan turun dari podium, membuat sang kakak tertawa kecil. Olivia mengusap lembut punggung Regan, bangga melihat anaknya tumbuh menjadi pria yang sukses. “Mama selalu percaya kamu bisa mencapai ini, Nak.” Arjun menepuk bahu putranya. “In
Begitu Regan pergi, ibunya Nayla langsung menutup pintu dengan keras. Napasnya memburu, matanya penuh amarah saat berbalik menatap putrinya. “Kamu ini sebenarnya maunya apa, Nayla?!” bentaknya tajam. Nayla mengepalkan jemarinya, berusaha menahan air mata. “Aku nggak melakukan apa-apa, Bu. Regan yang datang ke sini, aku nggak mengundangnya.” “Tapi kamu juga nggak mengusirnya!” sergah ibunya. “Apa kamu masih belum kapok berurusan dengan laki-laki kaya? Setelah Darren, sekarang Regan? Kamu pikir mereka itu tulus? Mereka hanya mempermainkanmu, Nayla!” Nayla menggeleng, mencoba membela diri. “Regan beda, Bu. Dia nggak seperti Darren.” “Beda? Beda apanya?!” suara ibunya meninggi. “Semua laki-laki seperti mereka sama saja. Mereka bisa mendapatkan segalanya dengan mudah, termasuk perempuan yang mereka mau. Dan kamu? Kamu cuma akan jadi korban lagi, Nayla! Aku nggak mau melihat kamu jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.” Nayla meremas jemarinya. “Bu, aku sudah dewasa. Aku
Malam itu, setelah Regan pergi, Nayla duduk termenung di kamarnya. Hatinya terasa berat, meski ia sudah memutuskan untuk tetap tinggal bersama ibunya. Ia tahu ibunya hanya menginginkan yang terbaik, tapi mengapa ia merasa seperti burung dalam sangkar? Ibunya masuk ke kamar, membawa secangkir teh hangat. "Kamu udah makan malam?" tanyanya lembut. Nayla tersenyum kecil. "Udah, Bu." Sang ibu duduk di tepi ranjang, menatap putrinya penuh kasih. "Ibu tahu ini berat buat kamu, Nak. Tapi percayalah, keputusan ini yang terbaik. Pria kaya seperti Regan sama saja seperti mantan suamimu. Mereka punya kuasa untuk mengendalikan perempuan sepertimu." Nayla terdiam. Ia tahu ibunya berbicara berdasarkan pengalaman. Tapi Regan... ia berbeda, kan? "Kamu nggak perlu memikirkan dia lagi. Fokuslah pada hidupmu. Ibu hanya ingin kamu bahagia," lanjut sang ibu, mengelus punggung tangan Nayla. Nayla mengangguk pelan. "Iya, Bu..." Tapi saat ia berbaring di tempat tidur malam itu, pikirannya tetap
Malam itu, setelah makan malam selesai, Regan kembali ke kamarnya. Ia berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke taman belakang mansion. Hatinya gelisah. Kata-kata ibunya terus terngiang di kepalanya. Ia sadar Nayla butuh waktu. Tapi, apakah ia bisa menunggu? Atau lebih tepatnya, apakah ia bisa membiarkan Nayla terus berada di bawah tekanan ibunya? Regan menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya. Ia mencoba menghubungi Nayla, tapi seperti yang sudah ia duga, nomor itu tidak aktif. Pasti ponsel Nayla masih disita oleh ibunya. Ia mengepalkan tangannya, merasa frustasi. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk. Sean masuk dengan ekspresi santai. “Kak, masih kepikiran Nayla?” Regan menoleh dan tersenyum tipis. “Apa kelihatannya?” Sean tertawa kecil, lalu berjalan mendekat. “Aku nggak nyuruh Kakak buat nyerah, ya. Tapi coba deh, jangan cuma fokus buat rebut Nayla dari ibunya. Kakak harus yakinin dia kalau dia butuh Kakak juga.” Regan terdiam. Ada benarnya. Ia bisa
Di kediaman keluarga Regan, suasana terasa tegang. Olivia duduk di ruang keluarga dengan ekspresi khawatir, sementara Arjun berdiri di dekat jendela dengan tangan terlipat di dada. Mereka baru saja menerima kabar bahwa Regan diusir dari rumah Nayla, dan itu membuat mereka tak habis pikir. Regan masuk dengan langkah cepat, masih dengan wajah dingin dan rahangnya mengeras. Olivia langsung berdiri dan menghampiri putranya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Regan? Kenapa ibunya Nayla sampai bersikap seperti itu?" tanya Olivia cemas. Regan melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa. “Dia membenci pria kaya. Dia pikir aku nggak lebih baik dari Darren.” Arjun menghela napas panjang. “Dan kamu hanya menerima begitu saja? Seharusnya kamu bicara baik-baik dengan wanita itu.” Regan mendengus sinis. “Sudah. Tapi ibunya tetap bersikeras. Bahkan menyita ponsel Nayla agar aku nggak bisa menghubunginya.” Olivia menatap putranya dengan iba. Ia tahu betapa Regan mencintai Nayla. “Jadi, kamu mau
Pagi itu, Nayla baru saja selesai bersiap ketika ibunya tiba-tiba masuk ke kamarnya tanpa mengetuk. “Ponselmu!” suara ibunya tegas, tangannya terulur meminta. Nayla mengernyit. “Kenapa, Bu?” Sang ibu tak mau menjawab dan langsung merebut ponsel Nayla dari meja rias. “Ibu tahu kamu masih berhubungan dengan pria kaya itu! Ibu sudah bilang, jangan ulangi kesalahan yang sama!” ujar ibunya dengan nada tinggi. “Ibu, Regan tidak seperti Darren! Dia tidak akan menyakitiku—” “Omong kosong!” Ibunya memotong kasar. “Mereka semua sama! Uang mereka membuat mereka berpikir bisa memiliki segalanya, termasuk dirimu!” Nayla menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. “Ibu, aku yang menjalani hidupku. Aku berhak memilih siapa yang aku cintai.” Tatapan ibunya mengeras. “Kalau begitu, jangan tinggal di rumah ini. Kalau masih keras kep
Nayla menatap ibunya dengan mata terbelalak, tak percaya dengan kata-kata yang baru saja ia dengar. "Ibu serius?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit gemetar. Ibunya menghela napas panjang, lalu menatap putrinya dengan penuh ketegasan. "Iya, Nayla. Ibu nggak mau kamu terjebak lagi dalam hubungan dengan pria kaya. Lihat apa yang terjadi dengan pernikahanmu dulu. Darren memperlakukanmu seperti barang yang bisa dibuang begitu saja." "Tapi, Bu... Regan berbeda," Nayla mencoba membela. "Tidak ada yang benar-benar berbeda, Nayla," ibunya menyela dengan nada tajam. "Mereka sama saja. Pria kaya punya kuasa, dan mereka selalu ingin mengendalikan segalanya. Ibu nggak mau kamu terluka lagi." Nayla menundukkan kepala. Ia tahu ibunya berkata seperti itu karena khawatir. Tapi… hatinya tidak bisa begitu saja menolak perasaan yang mulai tumbuh untuk Regan. "Jadi... Ibu mau aku menjauhi Regan?" tanyanya lirih. "Ya, Nayla. Ibu ingin kamu hidup tenang, tanpa bayang-bayang pria kaya yang b
Nayla menggeleng dengan cepat, mencoba menata kembali perasaannya. “Nggak perlu, Regan. Aku bisa pergi sendiri.” Regan menatapnya dalam, seolah mencari kebohongan dalam ucapannya. “Aku cuma ingin memastikan kamu sampai dengan selamat, Nayla.” Sebelum Nayla sempat membalas, ibunya tiba-tiba melangkah mendekat. Wanita paruh baya itu menatap Regan dengan sorot tegas. “Maaf, Regan. Tapi aku rasa Nayla benar. Kami bisa pergi sendiri.” Regan menoleh ke arah ibu Nayla, terkejut dengan nada suaranya yang penuh ketegasan. “Tante, aku hanya ingin membantu—” “Sudah cukup, Nak,” potong ibunya Nayla lembut, tapi berwibawa. “Aku tahu kamu peduli pada Nayla. Tapi biarkan dia menentukan jalannya sendiri. Biarkan dia menjalani hidupnya tanpa bayang-bayang siapa pun.” Regan terdiam, rahangnya mengeras. “Aku nggak pernah bermaksud mengekangnya, Tante…” Ibu Nayla tersenyum tipis, lalu menepuk pundak Regan pelan. “Aku tahu. Tapi justru karena itu, kamu harus menghormati keputusannya.” Nayla
Nayla menatap layar ponselnya, jemarinya sedikit gemetar saat menekan nomor ibunya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya panggilan tersambung. “Nayla?” suara ibunya terdengar di seberang, penuh kekhawatiran. “Kenapa, Nak? Kamu baik-baik saja?” “Ibu…” suara Nayla bergetar. “Aku… aku merasa nggak aman di sini. Aku baru saja menerima pesan ancaman. Aku takut, Bu.” Hening sejenak. Lalu suara ibunya terdengar lebih tegas. “Pulanglah, Nayla. Kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini. Kita cari tempat yang lebih aman untuk tinggal.” Nayla menggigit bibir, hatinya terasa lebih tenang mendengar kepastian itu. “Tapi, Bu… pindah ke mana?” “Aku sudah bicara dengan pamanmu. Dia punya rumah kosong di luar kota, tempatnya lebih tenang dan aman. Kita bisa tinggal di sana sementara.” Nayla terdiam, berpikir sejenak. Tawaran itu terdengar masuk akal. Ia tak bisa terus-menerus berada dalam bayang-bayang Darren, atau siapa pun yang mungkin ingin mencelakainya. “Baik,
Nayla masih mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang menghantuinya sejak tadi. Ia kembali sibuk melayani pelanggan di toko bersama Rania, mencoba menepis pikiran buruk yang sempat terlintas. Namun, di luar sana, seseorang tengah mengamati setiap gerak-geriknya. Pria itu berdiri di sudut jalan, mengenakan hoodie hitam, berusaha menyembunyikan identitasnya. Tangannya dengan cekatan mengambil ponsel dan mengetik pesan. "Dia masih di toko. Sepertinya belum sadar kalau diawasi." Tak lama kemudian, mobil hitam berhenti beberapa meter dari toko. Jendela bagian belakang sedikit terbuka, memperlihatkan wajah Darren yang tengah tersenyum sinis. Ia membaca pesan dari anak buahnya, lalu mengetik balasan. "Terus awasi. Aku akan mengambil langkah berikutnya." Darren menutup ponselnya dan menatap ke arah toko dengan tatapan tajam. "Kau pikir bisa lepas dariku semudah itu, Nayla?" gumamnya dengan nada dingin. "Kita lihat sampai kapan kau bisa bertahan tanpa aku." Di dalam toko, Na