“Tuan … ada yang bisa aku bantu?” tanya Vero yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan mejanya. Ramon pasti melamun dan tidak menyadari kedatangan Vero tadi. Padahal, Ramon sendiri yang menekan tombol atau bel pemanggil di meja kerjanya dan langsung terhubung ke ruang kerja Vero satu lagi. “Tentu saja. Kau selalu aku butuhkan dalam hal apapun, Babe,” jawab Ramon dengan maksud yang lain dan tentu saja dapat dipahami oleh Vero. Vero tersenyum malu meski Ramon hanya mengatakan hal sepele seperti itu padanya. Tidak ada terbesit sedikit pun kemarahan dalam hal itu karena memang Vero sadar bahwa dirinya adalah sekretaris serba guna bagi Ramon. Untuk hal pekerjaan dan tentu saja juga urusan peranjangan. Tidak perlu diragukan lagi jika Ramon tidak akan bisa berpaling dari sentuhan dan kenikmatan yang selalu dia suguhkan untuk pria itu. Dalam hal ini, Vero tentu lebih unggul dari wanita manapun termasuk dari Miana – calon istri Ramon yang agresif dan temperamental itu. “Jadi, apa yang
Vero merasa tidak nyaman berada di sekitar Ramon dan Miana karena mereka yang tengah bertengkar hebat saat ini. Pertengkaran itu juga disebabkan oleh dirinya dan tentu Vero menjadi merasa bersalah karena sudah membuat Ramon marah besar kepada Miana. Seharusnya, Vero tidak melawan dan membantah semua ucapan Miana sehingga masalah ini tidak terjadi.Dengan gerakannya yang perlahan tapi pasti, Vero beringsut dari belakang tubuh Ramon dan berniat untuk pergi meninggalkan ruangan itu. Ia merasa tidak pantas berada di tengah pertengkaran sepasang kekasih yang tidak lama lagi akan melangsungkan pernikahannya itu. Vero mengira gerak geriknya itu tidak akan diketahui oleh Ramon karena lelaki itu masih menatap tajam pada Miana.“Tetap di sini! Jangan coba-coba pergi tanpa perintah dariku!” teriak Ramon pada Vero yang sudah hampir sampai di ambang pintu.Langkahnya terhenti dan dia berbalik untuk melihat Ramon. Ternyata, pria itu sudah mengalihkan pandangannya dari Mania dan kini tengah mendelik
Yang jelas, Vero hanya bisa membalas pelukan Ramon dan menikmati berada di dalam dekapan pria perkasa yang dicintainya itu. “Untuk apa meminta maaf, Tuan?” tanya Vero setengah berbisik karena penasaran untuk apa Ramon meminta maaf padanya. “Karena aku tidak bisa menjagamu dengan baik. Membiarkan Miana menghina dan menyakitimu di depan mata kepalaku sendiri,” jawab Ramon semakin mengencangkan pelukannya pada tubuh Vero. Sesekali, pria itu mengecup puncak kepala Vero dan menyandarkan dagunya di atas kepala wanita itu. Terasa sangat indah dan nyaman bagi Vero, meskipun ia tahu bahwa semua ini hanya sementara dan tidak bisa ia dapatkan kapan pun. Nyatanya, tetap saja Ramon bukan lah pria yang diciptakan untuk dirinya dan Vero harus terima kenyataan pahit itu. Ia tentu saja harus sadar diri dan bisa menerima takdir bahwa diirnya hanya lah sebagai cadangan saja. Ketika Ramon membutuhkan dirinya, maka dia harus bersedia. Jika Ramon tidak ingin bersamanya, maka ia harus pergi dan pura-pura
Walaupun ia sangat sadar diri bahwa dirinya tidak akan pernah sepadan dengan Ramon, tetap saja hatinya sedih ketika menyadari kenyataan jika pada akhirnya mereka hanya sebatas rekan di atas ranjang saja dan Ramon sama sekali tidak mencintai dirinya. Rasa cinta Vero kepada Ramon akhirnya hanya bertepuk sebelah tangan dan gadis itu sempat merasa bahwa dirinya harus pergi menjauh dari kehidupan Ramon. Hanya dengan pergi jauh dari kehidupan pria itu, Vero merasa bisa melepaskan semua perasaannya pada Ramon dan mungkin bisa memulai lagi kehidupannya yang baru. “Hhmmpp … aakhh …,” desah Vero ketika tangan Ramon sudah bermain di antara selangkannya. Ramon memainkan jari jemarinya dengan lincah dan lihai di area kewanitaan Vero dan membuat wanita itu menggelinjang kenikmatan. Sementara, lidahnya sudah bermain cantik di kedua bukit kembar Vero yang sangat menggoda dan membuatnya semakin bersemangat itu. Ramon terus melakukan aksinya dan Vero sudah mendongakkan kepalanya sambil matanya terpej
“Di mana dia? Dia menyuruhku datang dan sekarang ruangannya malah terkunci seperti ini! Kaca ini juga jenis terbaru dan pasti tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam ruangannya,” gumam Rayhan ketika ia berada di depan ruangan kerja Ramon. Sementara Ramon melihat Rahyan berkacak pinggang di depan pintu ruangannya dengan wajah kesal. Ramon memang sengaja membuat Rayhan menunggu dan menjadi kesal seperti itu karena ia belum selesai mengenakan pakaiannya secara utuh. Sementara Vero sudah dia perintahkan untuk istirahat saja di dalam kamarnya yang memang ada di ruangan itu. Jadi, Ramon tidak perlu khawatir akan Rayhan yang akan bertemu dengan Vero saat ini. Namun, Ramon tahu bahwa pertemuan Rayhan dan Vero tidak mungkin bisa terus dia hindari karena sekarang Rayhan akan bekerja di negara dan perusahaan ini untuk beberapa waktu ke depan. Itu semua karena ayahnya sudah murka pada Rahyan dan menganggap Rayhan tidak becus mengurus perusahaan yang diserahkan kepadanya di luar negeri. Jad
“Kenapa aku harus menunggu di sini, Kak?” gerutu Rayhan ketika ia sudah berpapasan dengan Ramon. “Karena jika kau terlalu lama di atas, maka semua pekerjaku akan kau tiduri!” jawab Ramon dan menepuk pundak Rayhan. Lalu Ramon tertawa ringan yang juga diikuti oleh Rayhan. Keduanya saling berpelukan dan melepas kerinduan. Meski sudah lama tidak bertemu, sebenarnya Ramon dan Rayhan selalu aktif berkomunikasi. Mereka tidak terlihat seperti kakak beradik tiri sama sekali karena memang sedekat dan sesayang itu Ramon pada Rayhan. Begitu pula sebaliknya dan mereka bahkan membuat orang-orang berdecak kagum karena jarang sekali yang akur seperti mereka bahkan jika mereka adalah saudara kandung. Tentu saja, semua itu tidak jauh-jauh dari lingkaran warisan dan harta serta tahta. Namun, bagi Rayhan sendiri memang Ramon lah yang lebih berhak atas warisan dan menjadi ahli waris sang ayah. Dirinya sadar bahwa ia hanya anak yang menumpang hidup dari keluarga dan belas kasih ayah Ramon selama ini.
“Ada apa ini, Sayang?” tanya Leny yang tiba-tiba saja muncul karena mendengar adanya keributan di ruangan itu.“Mami … tolong jelaskan padaku siapa yang merekrut wanita ini!” tunjuk Miana kepada Jasmine yang masih tertunduk dan tampak menggigil ketakutan.“Dia adalah orang suruhan papimu, Sayang!” jawab Leny yang juga memasang wajah ketus pada Jasmine.“Hah! Papi yang bawa wanita ini masuk Kenapa? Untuk siapa?” cecar Miana setengah tak percaya pada Leny.“Mami juga tidak tahu. Tapi, dia mengatakan bahwa wanita ini akan membantu banyak hal untuk acara pernikahanmu nanti!” sahut Leny dan memutar bola matanya dengan malas.“Apa Mami yakin? Dia bukannya rekan ranjang papi ‘kan?” tanya Miana yang tidak semudah itu percaya pada sang ayah.Miana tahu bahwa hubungan Leny dan William sudah lama tidak akur dan sepertinya mereka memang sudah sama-sama setuju untuk melakukan perceraian setelah pernikahan Miana dan Ramon. Seperti yang Miana dengar ketika ia berada satu mobil dengan kedua orang tua
“Kenapa kau pelit sekali, Kak? Dan lagi pula, apa salahnya kalau sekarang aku memanggilmu dengan sebutan Kakak? Apa aku harus memanggilmu adik?” tanya Rayhan yang menjawab pertanyaan Ramon dengan pertanyaan pula.“Kau ini!” ucap Ramon sembari mengarahkan kepalan tangannya pada Rayhan dengan wajah yang kesal, lalu berubah menjadi tawa renyah.Rayhan pun membalas tawa itu hingga keduanya tertawa bersama. Kakak beradik itu memang sudah lama tidak bertemu dan pada akhirnya sekarang saling bertemu dengan santai. Tidak dalam urusan pekerjaan, setidaknya untuk saat ini.Ramon dan Rayhan menyantap makan siang di restoran yang sudah dipesan oleh Ramon sebelumnya. Lalu, mereka melanjutkan untuk nongkrong di sebuah bar milik rekan bisnis Ramon. Banyak hal yang mereka bicarakan di room VVIP yang tidak semua orang bisa menggunakannya. Tentu saja, kekuasaan dan jabatan menjadi tolak ukur dalam hal ini.“Jadi, apa misimu pulang kali ini, Ray?” tanya Ramon di sela perbincangannya dengan Rayhan.“Aku
Mereka sudah sampai di rumah sakit dan langsung mencari keberadaan Petrus dan juga Rayhan. Vero adalah yang paling panik karena Rayhan ternyata tidak ada di sana. Lelaki itu sudah langsung dipindahkan dan diberangkatkan menggunakan jet pribadi ke Amerika.Sementara Petrus sudah melewati masa-masa kritisnya dan hal itu membuat Alesha merasa tenang. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk Vero saat ini selain memberikan penghiburan saja. Petrus juga tidak berani mengatakan di mana alamat Rayhan dirawat di Amerika kepada Vero.“Sayang ... tenang dan sabarlah menunggu. Semoga ada kabar baik tentang Rayhan sebentar lagia dari dokternya,” ucap Alesha yang ingin menghibur Vero dalam hal ini.Sudah tiga hari sejak Petrus sadarkan diri dan masih dirawat dengan intensif di rumah sakit itu. Alesha selalu menemani suaminya itu tanpa henti dan begitu pula Vero yang setiap hari datang ke sana untuk mencari tahu kabar tentang Rayhan.“Aku akan sabar menunggu dan tidak akan bosan datang ke sini untuk b
Tubuh Vero merosot ke lantai aspal saat mendengar yang baru saja dikatakan dan dijelaskan oleh Alesha. Dia sudah keluar dari dalam mobil dan mencoba menenangkan Alesha yang tampak sangat cemas dan juga takut. Akan tetapi, saat ini justru dia lah yang tampak paling terguncang.“Vero, ayo bangun! Ayo kita periksa mereka ke rumah sakit. Aku tidak bisa tenang sampai kau datang. Tadinya, aku ingin pergi terlebih dahulu karena tidak sabar menunggumu. Tapi, aku rasa kita memang harus pergi bersama,” ungkap Alesha pada Vero dengan banjir air mata saat ini.“Katakan padaku bahwa semua ini tidak benar, Al. Katakan sekali lagi bahwa kabar ini semuanya bohong. Dia hanya ingin membuatku merasa bersalah dan kembali padanya. Bukan kah begitu?” tanya Vero pula dengan deraian air mata tak berhenti sejak tadi.Alesha masih berusaha membujuknya untuk berdiri, karena saat ini Vero masih duduk di lantai aspal yang keras. Panasnya aspal itu tidak lagi dirasakan oleh Vero karena pikirannya entah sudah ke ma
Sebenarnya Vero mengetahui semua itu dari mulut Rayhan langsung ketika pria itu mabuk dan pertama kalinya mereka bertemu lagi setelah lima tahun berpisah. Vero tidak punya alasan untuk tidak percaya pada semua yang diucapkan Rayhan pada saat itu.Jadi, dia mengatakan yang sebenarnya kepada William saat ini karena merasa putranya berhak tahu yang sesungguhnya. Tidak ada lagi dusta yang ingin Vero rajut dalam hidupnya saat ini. Terlalu banyak kebohongan dan juga kepalsuan sehingga membuatnya menjadi tidak berdaya.“Sekarang, apa yang terjadi pada ayahku itu?” tanya William setelah beberapa saat mereka saling berdiam diri di dalam kendaraan roda empat itu.“Dia pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Tapi, dia memang sedang dalam keadaan yang tidak baik sejak kemarin.” Vero menjawab dengan tegas dan juga keyakinan penuh.“Dari mana Mami tahu kalau dia dalam keadaan yang tidak sehat?” tanya William mulai menginterogasi ibunya itu.“Aku merawatnya semalaman, Willy! Aku ada di
“Kau mau ke mana?” tanya Marco dan menghalangi langkah Vero.“Aku ada urusan penting. Untuk sekali ini, aku meminta tolong padamu untuk menjaga William,” jawab Vero yang hatinya sudah semakin hambar kepada lelaki di hadapannya itu.“Aku melarangmu pergi!” seru Marco dengan nada tegas.“Kau tidak berhak melarangku!” balas Vero pula tak kalah tegas.“Tentu saja aku berhak. Itu ada di dalam surat perjanjian kita di nomor delapan. Pihak pertama berhak meminta atau melarang pihak kedua dalam satu hal yang terjadi di kemudian hari,” jelas Marco membacakan lagi isi perjanjian pernikahan yang sudah mereka tanda tangani bersama.Vero terdiam dan tidak bergeming sedikit pun setelah mendengar penjelasan dari Marco itu. Memang benar seperti yang Marco katakan itu dan tidak bisa dipungkirinya lagi. Namun, tetap saja Vero tidak bisa untuk tidak pergi kali ini karena Rayhan dalam bahaya.Dia tidak tahu apa dan bagaimana keadaan pria itu sekarang dan dari nada bicaranya Alesha tadi, jelas Vero menget
Sebuah tamparan mendarat di pipi Marco untuk pertama kalinya, dan tangan Vero lah yang sudah memberikan tanda kemerahan berbentuk jari di sana. Semua itu reflek dilakukan oleh Vero karena merasa tidak terima dengan ucapan yang dilontarkan Marco.“Kau menamparku, Vero?” tanya Marco tak percaya.Sebelah tangannya menahan rasa perih di pipi yang masih berbekas kemarahan itu. Sedikit meringis menahan rasa sakit yang tidak bisa dipungkirinya, Marco masih menatap nyalang pada Vero.“Itu pantas untuk kau dapatkan, Marc! Ucapanmu itu sudah sangat keterlaluan dan tidak bisa aku terima!”“Bukan kah semua itu benar? Kau sudah bermalam dengannya dan menghabiskan malam penuh gairah bukan? Siapa dia? Dia hanya mantan suamimu dan kau rela memberikan tubuhmu padanya. Lalu, siapa aku? Aku adalah suamimu dan seharusnya aku yang lebih berhak atas dirimu,” ungkap Marco dengan sangat berang menatap Vero.Sekali lagi hati Vero terasa dicabik-cabik saat mendengar ucapan Marco yang tak beralasan itu. Dia mem
“Apa yang terjadi di sana semalaman?”“Tidak terjadi apa-apa. Tolong jangan membahas hal itu lagi, Marc! Aku tidak ingin membahasnya.”“Tapi, aku dan William mencemaskanmu semalaman. Tidak adakah hal yang ingin kau jelaskan pada kami?”“Tidak ada yang perlu dijelaskan dan tidak ada yang perlu kau tahu. Bukan kah sejak awal sudah kita sepakati bahwa tidak akan mencampuri urusan pribadi masing-masing? Aku tidak pernah bertanya hal pribadimu dan tidak pernah ikut campur, Marc. Jadi, tolong jangan melewati batasanmu!” ungkap Vero dengan nada tegas dan baru kali ini dia berbicara seperti itu kepada Marco.Cukup terkejut Marco mendengar ocehan yang dilontarkan oleh Vero beberapa detik lalu itu. Namun, saat ini dia jelas tidak bisa mendebat wanita yang kini duduk di sisi ranjangnya. Marco memang sengaja meminta izin untuk masuk ke dalam kamar Vero untuk berbicara empat mata.Mereka sudah sampai di rumah setengah jam yang lalu dan nyaris tidak ada percakapan selama dalam perjalanan pulang. Ha
“Bagaimana sekarang, Sayang? Aku tidak mau Vero terluka dengan niat Rayhan itu. Aku juga tidak ingin membuat Rayhan tersisksa dengan hubungan mereka yang justru memburuk setelah bertemu dari perpisahan yang sangat lama ini,” ungkap Alesha yang menahan langkahnya di pertengahan anak tangga.“Tenanglah, Sayang. Jangan memikirkan hal yang terlalu jauh untuk saat ini. Mungkin tuan muda hanya merasa emosi saat ini.” Petrus mencoba menenangkan Alesha dari dugaannya itu.“Apa kau pikir dia tidak akan benar-benar merebut Richard dari Vero?” tanya Alesha sedikit ragu.“Aku berharap itu tidak akan terjadi. Tuan muda bahkan tidak melirik putranya sama sekali tadi,” jawab Petrus pula dan mengingat sikap dingin Rayhan pada William tadi.“Itu tidak bisa menjadi acuan bahwa dia tidak peduli dan tidak menginginkan putranya, Sayang.”“Aku akan mencoba untuk membujuknya dan memberikan saran yang lain.”“Saran apa? Aku tahu bahwa Vero adalah wanita yang keras kepala dan dia tidak akan mengubah keputusa
Rayhan menghentikan tangannya yang hendak menuangkan air hangat ke dalam gelas. Sorot matanya tajam menatap ke arah Vero. Wanita itu terlihat begitu terkejut mendapatkan tatapan seperti itu dari Rayhan. Tatapan yang tajam dan seakan ingin mengoyak jantung Vero saat ini juga.“Kau siapa? Beraninya kau memerintahku di rumahku sendiri!” seru Rayhan dengan sinis.Tidak pernah sebelumnya Vero berpikir jika pria itu akan mengatakan hal sekasar itu padanya. Namun, tetap saja Vero tidak boleh gentar dan terlihat begitu lemah. Dia tersenyum tipis pada lelaki yang baru saja ingin dirawatnya sepenuh hati. “Aku memang bukan siapa-siapa di sini. Baiklah, kalau begitu aku akan segera pamit. Aku tidak ingin terlalu lama di sini dan membuat suamiku menunggu!”“Suami yang bahkan tidak pernah menyentuhmu?” tanya Rayhan dengan nada mengejek.“Kau tahu apa tentang rumah tanggaku dengan istriku?” tanya sebuah suara yang entah sejak kapan berada di dalam ruangan itu bersama mereka.Vero mengalihkan pandang
Mata Alesha bergerak ke arah anak tangga dan melihat jika di sana Rayhan sudah berhenti mengayunkan langkah kakinya saat mendengar ucapan Vero tadi. Wajah Rayhan tampak merah padam yang mungkin saja kini sedang merasa marah atau kecewa tingkat tinggi pada Vero.“Jangan katakan itu, Vero sayang. Kau tidak bisa mengeluarkan kata-kata palsu seperti itu, dan aku tahu apa yang sebenarnya kau rasakan!” ucap Alesha berusaha membuat Vero mengubah pengakuannya. Dia ingin Vero akhirnya jujur pada perasaannya sendiri tanpa disadarinya.“Tidak, Alesha. Aku tidak lagi mencintainya dan aku tidak ingin lagi kembali bersamanya. Aku sudah bahagia dengan suami dan putraku saat ini. Aku ingin menjalani hidup yang normal seperti yang selalu aku inginkan sejak dulu. Aku mendapatkan semuanya saat aku bersama Marco,” ungkap Vero pula dan dengan helaan napas yang terasa berat dia memaksakan tersenyum.“Kau hanya merasa nyaman dan tenang karena tidak ada yang menghantuimu dengan status. Tapi, kau tidak pernah