“Say, Ada Erin nggak di situ?” Suara Riya yang menanyakan keberadaan anak sulungku terdengar, begitu aku mengangkat panggilan telepon darinya. Riya memang memanggilku dengan sebutan ‘Say’. Dan aku pun memanggilnya dengan panggilan yang sama.
“Ada tuh lagi main sama adiknya. Kenapa? Mau disuruh jemput Hilda sama Ola? Biar diajak main ke sini?” Tanyaku sambil terus mengetik tuts keyboard laptop. Aku memang sedang mengerjakan pekerjaanku sebagai penulis novel online. Dan naskahku baru saja diterima beberapa hari yang lalu. Jadi sekarang, aku memang sedang lagi semangat-semangatnya menulis.Sementara Hilda dan Ola adalah dua anak perempuan Riya yang hampir setiap hari main ke rumah. Boleh dibilang, aku seperti pengasuh tak resmi yang selalu diminta untuk menjaga anak-anak itu selagi ibu mereka sedang sibuk... Bermain ponsel.“Nggak. Suruh ke sini ya si Erin. Aku ada ikan Sembilang. Tolong masakin asam pedas ya, Say.”Aku menghela napas. Dan kulirik jam dinding. Sudah hampir setengah sebelas siang. Sebenarnya aku malas kalau harus masak lagi. Di rumah semua tugasku sudah beres. Aku bahkan selesai masak dan mencuci sejak pagi tadi. Semua aku lakukan secepat kilat agar aku bisa segera menyelesaikan pekerjaanku menulis lanjutan bab dari naskahku kemarin.Tapi kini, Riya memintaku untuk memasak ikan. Itu artinya, aku harus menyiangi ikan, mengupas bawang dan membuat bumbu untuk asam pedas seperti permintaannya.Bukan sekali ini saja dia menyuruhku memasak untuknya. Entah karena dia menyukai masakanku atau karena dia memang malas masak. Yang aku tahu, dia hampir tak pernah memasak sayur dan lauk sendiri di rumah. Dia lebih memilih untuk membeli masakan jadi. Dan itu setiap hari.Belakangan ini, hampir setiap hari ia menyuruhku memasak untuknya. Aku sebenarnya tak keberatan, karena setelah masak, lauk disuruh bagi dua. Lumayan pikirku, karena di rumah memang jarang membeli lauk ayam atau ikan yang enak-enak. Beda dengannya yang selalu membeli bahan makanan mahal dalam jumlah banyak. Sementara aku di rumah harus bersyukur meski hanya bisa membeli ikan murah yang harus dijatah karena uang belanja yang sangat kurang dari suamiku.“Ya udah. Aku suruh Erin ke sana ya.” Kataku. Dan ku suruh anak sulungku yang baru duduk di kelas 4 SD itu pergi ke rumah Riya yang berada tepat di sebelah rumah kami, yang hanya terhalang oleh sebuah pohon Langsat yang sampai kini tak pernah berbuah.Aku baru saja hendak menutup telepon, namun kudengar ia kembali bicara.“Langsung dimasak ya Say. Soalnya udah hampir tengah hari. Ayah Hilda abis shalat Dzuhur mau langsung makan.”“Iya.” Sahutku pendek.Kupikir ia akan langsung menutup teleponnya. Namun ternyata ia justru terus bicara, bahkan bahasannya sampai ke sana kemari. Aku yang sedang menulis sambil berpikir jadi tak fokus dengan apa yang ia bicarakan. Aku hanya mengiya-iyakan saja semua omongannya. Aku bertanya dalam hati, kapan selesainya ini?“Anu loh Say, kamu kan tahu kalau selama ini aku dekat sama Roni. Dia tuh suka ngejekin aku, suka godain juga.”“Iya aku tahu. Dia emang gitu orangnya, suka ceng-ceng in orang. Nggak usah tersinggung kalau dia godain kamu,” kataku sambil mengetik, sementara ponsel kuletakkan di telinga dan kujepit dengan pundak. Aku sungguh kerepotan. Aku tak ambil pusing dengan kalimatnya, karena yang aku tahu, suamiku Roni memang dekat dengan Riya dan kerap kali bergurau di depan mataku.“Bukan gitu... Kamu tahu kan hubungan aku sama Roni...?”“Iya aku tahu. Kamu kan sepupunya. Aku tahu kok kamu dekat dengan dia, wajar aja namanya juga sepupu kandung. Saling ejek itu biasa.” Aku masih tak paham ke mana arah omongan Riya.“Aku tuh mau ngomong ke kamu, Say. Tapi Roni lagi nggak ada kan?”“Iya nggak ada. Emang ada apa sih?” Aku bertanya tanpa menghentikan gerak tanganku yang sedang mengetik.“Aku belakangan ini sering chat dan video call sama dia. Dia juga berapa kali datang ke rumah aku. Dan maaf ya Say... Aku nggak bisa menahan nafsu aku... Aku udah ciuman sama dia...”SERRRR....Darahku berdesir mendengar kalimat terakhirnya. Refleks tanganku berhenti mengetik. Berusaha mencerna apa yang baru saja ia katakan padaku.“Apa? Kamu bilang apa?” aku memintanya untuk mengulang. Masih berharap kalau aku Cuma salah dengar.“Maaf Say, aku dengan Roni selingkuh di belakang kamu.” Katanya dengan nada pelan, seolah takut kumarahi.Aku menghela napas, berusaha membuang rasa sesak yang tiba-tiba saja menghantam brutal ke dadaku.“Terus untuk apa kamu bilang ini ke aku?” tanyaku dengan nada santai. Aku berusaha untuk terdengar baik-baik saja. Padahal hatiku sudah bergemuruh menahan sedih, kecewa dan marah. Berulang kali aku hanya bisa beristighfar dalam hati. Memang air mata ini belum jatuh, tapi bibirku nyaris berdarah karena kugigit.“Aku bilang kayak gini, biar kamu tahu kalau aku ada hubungan dengan suamimu. Aku minta kamu mengerti dan membiarkan Roni berhubungan dengan aku, Say. Suami kamu tuh bilang kalau dia cinta sama aku.”Kalimat Riya seolah-olah adalah bongkahan batu besar yang sengaja ia hunjamkan ke dada dan kepalaku. Hati dan pikiranku jadi sakit karenanya. Sungguh tega sekali mereka melakukan ini padaku.Selama ini, Riya memperlakukan aku seperti babu. Menyuruhku ini itu. Mulai dari memasak hingga mengasuh anak-anaknya. Yang mana aku disuruh memandikan, menyuapi makan hingga membersihkan kotoran mereka setelah buang air. Riya menyuruhku masak, kemudian ia makan. Tak disangka, suamiku pun ia telan.Sementara suamiku, betapa sampai hati dirinya. Aku di sini hidup sendiri sebatang kara. Keluargaku jauh di kota sebelah. Bertahun-tahun aku tak pernah pulang kampung karena aku tahu Bang Roni tak punya cukup uang untuk mengajakku pulang bersilaturahmi ke keluarga besarku. Aku tahan diri ini meski hidup dalam keadaan serba kekurangan. Nyatanya, kini ia mengkhianatiku dengan sadis.“Jadi kamu mau aku merestui hubungan kalian?” aku berusaha tertawa. “Ya udah, aku nggak masalah sih. Kalau emang kamu suka sama dia, dan dia suka sama kamu, silakan lanjutkan hubungan kalian. Aku mundur. Kamu yang maju.” Kataku.“Ya nggak usah gitu lah Say. Maksud aku, kamu tetap jadi istrinya. Aku juga tetap dengan suamiku. Aku kan bilang gini, biar kamu tahu hubungan kami. Dan setiap kami bertemu, aku nggak merasa bersalah sama kamu.”“Jadi aku pura-pura nggak tahu dan membiarkan dia setiap kali mau ketemu kamu, gitu?” tanyaku.“Iya. Kamu kan tahu kalau orang yang dia suka itu aku. Jadi biarkan aja dia melakukan apa yang dia mau.”SETAN!!! Kemauan bodoh macam apa itu? Dia minta aku mengetahui hubungan haramnya dengan suamiku, merestui mereka, namun aku disuruh untuk tetap bertahan. Memangnya aku ini tunggul bodoh?Belum sempat aku menjawab lagi, terdengar ucapan salam dari pintu depan. Dan ternyata Riya di seberang telepon juga mendengarnya.“Itu Roni kah yang pulang? Say, jangan bilang apa-apa ke dia ya. Jangan bilang kalau aku ngomong soal ini ke kamu. Nanti dia marah sama aku.”“Kok bisa?” tanyaku penasaran.“Iya, aku kemarin bilang ke dia kalau mau ngomong soal ini ke kamu. Tapi dia nggak izinkan. Dia bilang, kalau aku ngomong ke kamu, sama aja aku bunuh dia. Jangan bilang dia ya Say. Nanti dia marah sama aku.”Kudengar nada ketakutan dari suara Riya. Aku tersenyum menyeringai. Haruskah kupanggil Bang Roni dan mengatakan semuanya?“Eh Say, tolonglah... Jangan bilang, aku takut..!” suara Riya semakin terdengar panik di seberang sana. Aku hanya tertawa kecil. Entah karena menutupi rasa sakit hati atau karena mendengar Riya brengsek itu ketakutan. Bang Roni yang baru saja masuk, melihatku sedang menelepon seseorang sambil tertawa jadi curiga.“Sayank lagi ngomong sama siapa?” tanyanya. Kami memang saling memanggil dengan panggilan ‘Sayank’. Karena usia kami yang hanya terpaut beberapa bulan saja, membuatku merasa enggan memanggilnya dengan sebutan Abang ataupun Mas. Jadi sejak awal pacaran, kami sudah membiasakan diri memanggil dengan panggilan Sayank sampai sekarang, sampai kami sudah punya dua anak.“Oh, ini Riya yang nelfon,” kataku sambil tertawa tawar.“Ngomong apa dia?!” Bang Roni tampak gusar dan sedikit panik. Dia pasti menyangka kalau Riya mengatakan hal yang sebenarnya.“Eh Say, tolonglah jangan bilang. Nanti Roni ngamuk.” Riya masih memohon, dan demi kebaikannya padaku selama ini, aku tak akan menyu
“Dia bilang, kamu itu nggak pandai berdandan. Dia males lama-lama di rumah, soalnya setiap dia pulang ngeliat bininya layu. Katanya, lebih segar mandangin muka aku. Kalau aku, awal pagi dan sore udah dandan Say, udah rapi. Sementara kamu, dari dia bangun tidur sampai dia pulang kerja, katanya ngeliat kamu selalu dalam keadaan acak-acakan. Nggak berbedak, nggak bergincu, pucet, nggak ada cahaya sama sekali di muka kamu. Makanya sejak dia berhubungan sama aku, setiap abis Maghrib dan Isya dia pasti keluar kan? Itu dia datang ke rumah aku Say. Cuma mau ketemu sama aku. Dia bilang muka aku nyenengin.” Tanganku mengepal. Sungguh sangat geram dan sakit hati ini. Mataku mulai terasa panas, tapi belum ada air mata yang jatuh. Aku tak mau anak-anakku melihat ibunya menangis.Dan Bang Roni, bisa-bisanya dia bilang seperti itu. Kok tega dia menjatuhkan harga diriku di hadapan perempuan lain. Membuka aibku, menceritakan keburukanku. Padahal selama ini, tak pernah sekalipun aku menceritakan seg
“Nggak ada. Siapa yang aku datangi? Emang Sayank curiganya sama siapa?” “Ya sebut aja siapa perempuan yang sedang Sayank dekatin.”“Detrin?” ia menyebut nama perempuan yang pernah ia kenal lewat chat dan dulu ia ceritakan padaku. Ia pasti sengaja menyebut nama yang tak ada hubungannya sama sekali. “Nggak tahu. Tapi bukan. Dia orang dekat kok.” Sindirku, kupikir ia akan sadar kalau yang dimaksud adalah Riya.“Siapa ya?” tanyanya berlagak pilon. Sambil memandang ke langit-langit rumah, seolah jawabannya ada di sana.“Sayank akrab sama dia, suka bercanda dan godain dia.”“Siapa? Riya?”DHESSS... Akhirnya ia sebut juga nama itu. “Oh jadi Riya orangnya?”“Nggak. Bukan. Aku nggak ngerti apa maksud Sayank. Katanya yang suka bergurau dengan aku, orang dekat. Aku Cuma asal sebut aja nama Riya.”Aku mengurut pelipis. Tidak bisa seperti ini! Selagi aku tak punya bukti akurat yang bisa membuatnya mati kutu dan mengaku sendiri, selagi itu pula ia akan mati-matian menutupi sampai akhir
“Nasi kotaknya udah diantarkan?” tanyaku pada Bang Roni yang baru saja datang dengan motornya. Dia bilang habis dari warung membeli rokok. Sementara aku baru saja selesai mengaji sehabis shalat Maghrib tadi. Dengan tasbih di tangan, aku sedang menunggu adzan Isya.“Udah. Sayank yakin nih nggak mau ikut acara di TPQ? Ini kan acara Maulid di tempat anak-anak kita ngaji.”“Nggak. Aku di rumah aja. Capek, kepalaku pening.” Kataku sambil menaikkan bawahan mukena yang tadi sempat melorot. “Sayank pergi emangnya?” tanyaku, karena kulihat ia seperti hendak mengganti baju.“Pergi dong. Nggak enak kan kalau orang tua nggak ada yang datang sama sekali? Nanti anak-anak sedih.”“Tumben...”“Kok tumben?”“Iya, selama ini Sayank nggak pernah mau kalau disuruh datang ke acara seperti itu. Biarpun kubilang untuk kepentingan anak-anak. Selalu saja ada alasannya. Tapi sekarang, kok kayak semangat sekali? Bahkan tanpa disuruh. Udah ada janjian kah sama seseorang?” sindirku sinis. Aku tahu, kalau
Aku mendadak terkejut dan langsung membuka mata. Kulayangkan pandangan ke sekeliling kamar yang gelap. Tanganku meraba-raba ke bawah bantal, tempat di mana aku biasa menyimpan ponselku.Kulihat waktu menunjukkan hampir pukul tiga pagi. Ah, ternyata aku ketiduran. Padahal tadi niatku hanya akan menemani Erin dan Erlan sampai tidur. Dan setelah itu mau keluar menunggu Bang Roni pulang yang tadi izin ke rumah Mas Indra. Namun ternyata aku justru ikut terlelap. Mungkin saking lelahnya setelah beraktivitas seharian. Aku beringsut pelan dan turun dari tempat tidur. Aku mau mengecek apakah Bang Roni sudah pulang? Sebab biasanya dia kalau sudah nongkrong di tempat Mas Indra, bisa sampai menjejak ke subuh.Aku keluar dan kulihat Bang Roni sudah tertidur pulas di depan TV. Entah kapan ia pulang, aku tak mendengarnya. Ia pun tak membangunkanku. Aku duduk di samping ia tidur sambil memandangi Bang Roni lekat. Kejadian tadi siang mulai dari telepon dari Riy
Kepalaku pusing bukan kepalang. Sakit hatiku terasa memuncak. Kini, tak ada lagi alasan bagiku untuk meragukan kata-kata Riya. Semua benar adanya. Bang Roni main gila di belakangku.Ku tutup layar laptopku. Aku tak mampu lagi untuk melanjutkan pekerjaan yang baru kuterima beberapa hari yang lalu itu. Otakku sudah tak bisa berpikir. Penuh akan pikiran tentang ini. Aku memilih untuk tidur siang demi mendinginkan hati. Tapi semakin aku mencoba untuk memejamkan mata, semakin aku tak bisa tidur karena menangis.Tapi sungguh, aku menangis bukan karena takut kehilangan Bang Roni. Aku menangis karena sedih telah dibohongi dan dibodoh-bodohi oleh dua orang yang begitu sangat kupercaya. Seandainya mereka memang saling menyukai, kenapa tak bilang langsung di depanku? Pasti akan aku ikhlaskan.Aku memang mencintai suamiku, tapi aku bukanlah orang bodoh yang hanya menggantungkan diri pada satu orang. Aku masih bisa mencari laki-laki yang seribu kali lebih baik darinya di lua
“Eh Say, jangan ngelamun!”Suara Riya mengagetkanku. Entah sejak kapan ia datang. Aku yang sedang termenung di kursi teras sampai tak menyadari kedatangannya.“Eh, tumben ke sini?” tanyaku dengan sedikit senyum, berusaha untuk tetap terlihat ramah. Padahal rasanya aku ingin mencakar wajah memuakkan perempuan itu.“Kan aku bilang, nanti mau ke sini buat cerita. Roni nggak ada kan?” tanya Riya sambil celingukan.“Nggak ada, aman.” Riya duduk di sampingku. Ia terlihat tak sabar untuk memuntahkan segala cerita busuknya.“Jadi gini Say, kamu tahu nggak kalau suami kamu tuh tergila-gila sama aku. Dia bucin banget. Roni bilang, sejak dekat sama aku dia nggak mau lagi ngelirik cewek lain. Dia Cuma mau fokus ke aku. Makanya, biarin aja dia berhubungan sama aku. Daripada dia selingkuh dengan cewek lain di luar sana, kan mending sama aku. Aku nggak mungkinlah merebut dia, karena aku udah punya suami. Kalau cewek lain, pasti nanti kamu dibikin cerai. Aku tuh bukan
Aku menangis tanpa suara. Sakit sekali rasanya. Rasa marahku seakan sudah sampai batas. Bang Roni benar-benar sudah tak bisa diselamatkan lagi.Padahal sebelum ia pergi, aku sudah memberi pilihan dan kesempatan padanya untuk mengakhirinya hubungan dengan Riya. Meski secara tersirat, seharusnya dia mengerti. Tapi kini aku mengetahui kalau ia masih saja menggoda Riya lewat chat.Kepalaku sakit berdenyut karena membaca chat mesra mereka yang masuk di ponselku. Bayangkan saja, mereka chat an sejak jam 9 malam tadi sampai kini hampir jam 2 pagi.Bang Roni sempat meneleponku, meminta izin untuk pulang larut malam, karena katanya ia sedang lembur tempat Mas Indra. Ternyata itu hanya alasan, agar ia bisa lebih leluasa chat an dengan Riya.[ Sayank tahu nggak, kalau sebenarnya Sayank itu jodoh aku, tapi untuk di akhirat nanti ]Itu adalah salah satu kalimat godaan yang dilontarkan Bang Roni untuk Riya, membuat hatiku sedih bukan kepalang.
“Waktu kemarin aku mau pulang, kamu ada bilang kan, kalau aku harus melakukan sesuatu yang bisa membantuku untuk bangkit dan melupakan semuanya? Aku udah berpikir masak-masak selama beberapa hari ini. Dan aku rasa, aku tahu apa yang harus dilakukan. Aku... Udah memutuskan untuk pergi menenangkan diri di pesantren.” Ujar Bang Roni sambil menunduk.“Kamu mau mondok?” tanyaku agak terkejut. Karena tak pernah terpikir kalau Bang Roni akan mengambil keputusan seperti ini.“Iya. Aku akan melanjutkan pendidikan di salah satu pondok pesantren besar di Jawa Timur.” Jawab Bang Roni.“Kapan?”“Hari ini juga, Sar. Aku ke sini hanya singgah sebentar. Ada yang mau kuberikan padamu.”Aku mengerutkan alis. “Memangnya kamu mau memberikan apa?” tanyaku penasaran.Bang Roni tak langsung menjawab. Ia justru meletakkan di depan kami, tas ransel yang sejak tadi ada di punggungnya.Dan apa yang ia keluarkan dari dalam tas itu membuatku membelalakkan mata.Itu gepoka
Aku benar-benar terkejut mendengar pengakuan Azmil. Menjadi salah satu selingkuhan Riya, adalah sesuatu yang sangat tak masuk akal bagiku. Dari mana mereka bisa saling mengenal?“Kamu nggak lagi bercanda kan, Mil? Bagaimana bisa kamu jadi selingkuhan Riya? Dari mana kamu kenal dia?” tanyaku.“Aku sering melihat akun Facebook kamu, Sar. Dan nggak tahu gimana, dia meminta untuk berteman denganku di Facebook. Awalnya aku hanya berharap bisa mendapat kabar tentang kamu, karena aku tahu dia adalah sepupu Roni. Tapi....”“Tapi kenapa?” tanyaku, karena kulihat Azmil seakan ragu untuk melanjutkan kalimatnya.“Lama-kelamaan dia minta aku untuk jadi selingkuhannya. Dia banyak cerita dan curhat soal rumah tangganya yang hambar. Dia bilang, kalau suaminya nggak perhatian dan dingin.”“Dan kamu setuju, menjadi selingkuhan istri orang?” tanyaku geram.“Aku nggak bisa nolak. Selain karena dia membayar aku, dia juga selalu melakukan hal yang mem
“Ayah jangan pulang....”Erin dan Erlan merengek bersamaan saat Bang Roni pamit pulang pagi ini. Sudah lima hari Bang Roni di sini, dan memang sudah saatnya untuk pergi.Meski ikut sedih melihat betapa beratnya melihat perpisahan di depan mata antara ayah dan anak, aku berusaha untuk bersikap biasa saja.“Aku pulang dulu ya Sar. Kamu yakin nggak apa-apa kalau aku tinggal? Aku khawatir Azmil dan ibunya akan mengganggu kamu lagi.” Ujar Bang Roni, sesaat setelah ia melepaskan pelukan pada kedua anaknya.“Nggak apa. Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Kataku datar.Bang Roni mengangguk. “Aku tahu, kamu pasti akan baik-baik aja. Kamu adalah perempuan yang hebat.” Katanya dengan nada sedih.Kami berdua sempat terdiam. Bang Roni juga seakan enggan untuk langsung pergi. Mungkin saja dalam hati ia berharap agar aku menahan langkahnya.Tapi itu tak mungkin aku lakukan karena aku sudah melepaskan dan mengikhlaskan dia untuk pergi dari hidupku.“Sartika, s
“Masuk dulu, Bu.” Kataku sambil menunjuk ke dalam rumah, mencoba untuk beramah-tamah.“Saya nggak mau lama-lama di sini. Saya datang ke sini karena saya dengar kamu menggoda Azmil.”Dahiku berkerut. “Mungkin Ibu salah paham, saya nggak melakukan hal yang seperti itu.” Kataku kemudian.“Halah nggak ada gimana? Kamu ngajak Azmil ketemuan sampai dua kali kan? Gara-gara itu, Azmil juga jadi nggak mau dijodohin, padahal kemarin udah setuju. Dia bilang mau nikahin kamu aja, karena sekarang kamu udah jadi janda.” Bu Erna terus nyerocos. Terlihat sekali kalau dia tidak menyukaiku.“Saya ketemu dengan Azmil Cuma sebagai teman kok, Bu.”“Bohong! Saya nggak percaya! Denger ya, saya nggak suka kalau Azmil sampai nikah sama kamu. Saya nggak mau anak saya kawin sama janda yang udah punya anak. Enak aja, nanti capek-capek kerja Cuma buat ngumpanin makan anak orang. Kamu itu udah berapa lama sih menjanda? Masih baru kan? Belum lama. Nggak bisa apa tahan sedikit, biar nggak
“Azmil, maukah kau memberitahu jawaban dari apa yang kutanyakan tadi?” desakku, karena kulihat ia terus diam.Azmil bergeming. Ia tampak takut menatap wajahku.“Sartika, bisa nggak kau tak menanyakan hal itu lagi? Anggap aja aku Cuma sembarangan bicara.” Katanya kemudian. “Sejak kemarin aku mengajakmu bertemu, karena ada yang mau aku katakan padamu. Bukan hendak membahas masalah rumah tangga kalian.” Ujarnya lagi.Aku menghela nafas. Meski hatiku masih merasa tak puas karena belum mendapatkan jawaban, aku memilih untuk mengalah dan memberikan kesempatan pada Azmil untuk bicara.“Baiklah. Kalau gitu, katakan. Apa yang mau kamu omongin ke aku?” tanyaku.Azmil membuang nafas melalui mulut, seolah sedang melepas beban berat di dadanya. Ia memandangku lekat namun tampak ragu untuk memulai kalimat.“Aku nggak bisa lama-lama di sini, Mil. Sebelum adzan Dzuhur aku udah harus ada di rumah. Kalau memang ada hal penting yang ingin kau sampaikan, tolong bilang seka
“Memangnya apa yang Roni perbuat? Ibu tahu persis, kalau suamimu ini nggak pernah macam-macam kok. Dia nggak tahu ini itu. Roni anaknya sopan sama orang tua. Dan selama ini, Ibu lihat dia itu sangat menyayangi kamu. Ya mungkin dia memang hampir tak memiliki waktu untuk anak istri. Tapi itu karena dia kerja kan? Dia cari uang untuk menghidupi kalian. Masalah kalau yang dia dapat itu sedikit, kan semua tergantung rezeki dari Allah. Dia anak baik, Sar. Kalau pun kamu menikah lagi, belum tentu akan dapat suami yang seperti dia lagi. Kalau dia memang pernah berbuat salah, maafkan. Beri kesempatan. Siapa di dunia ini yang nggak pernah berbuat salah?” Ibu mencecarku dengan segala argumennya. Aku hanya bisa menghela napas panjang sambil menunduk dan memejamkan mata. Aku beristighfar dalam hati.Hampir saja aku membuka aib Bang Roni. Padahal bukankah aku punya komitmen untuk membuat nama Bang Roni tetap bagus di hadapan Ibu dan keluargaku yang lain? Aku berjanji pada diriku sendir
“Aku tahu kalau dulu sudah menyia-nyiakan kalian. Tapi apakah kamu sama sekali nggak mau memberikan aku kesempatan untuk menebus segala kekuranganku yang dulu? Aku berjanji, akan memperlakukan kalian semua dengan baik.” Bang Roni berkata dengan mata memerah.“Aku udah memberi kamu banyak kesempatan, Roni. Tapi beberapa kali juga kau sudah mengecewakan aku. Sekarang tolong biarkan aku tenang sendiri. Udah saatnya aku bahagia.” Kataku tajam.Bang Roni tampak terdiam. Namun kemudian ia berkata, “aku sudah mengakui pada Sarip, soal hubungan aku dengan Riya. Aku ceritakan semua termasuk semua bukti yang pernah ada padamu.”Kalimat Bang Roni sungguh membuatku terkejut. Aku tak menyangka kalau dia ternyata melakukan apa yang kemarin ia bilang. “Kenapa seperti itu? Aku udah bilang agar kau tak merusak rumah tangga orang lain.”“Rumah tangga kita udah rusak Sartika. Kalaupun kau tak bisa kembali padaku, maka Riya juga harus hancur. Dia tak boleh bahagia, sementara h
“Ayaah....!” Erin dan Erlan berlari mengejar Bang Roni. Kelihatan sekali kalau mereka sangat merindukan ayahnya. Sekilas kulihat ke arah Azmil, wajahnya tampak mendung melihat pemandangan antara ayah dan anak itu. Bang Roni berjongkok dan memeluk anaknya bergantian. Ia tampak ingin menangis. Tapi dapat kulihat ia seperti sedang berusaha menguatkan dirinya. Aku tertegun melihat kedatangan Bang Roni yang tiba-tiba seperti ini. Ada rasa tak enak dalam hatiku, karena sekarang sedang bersama Azmil. Memang kami sudah bercerai, namun aku masih berada dalam masa Iddah. Aku khawatir Bang Roni akan berpikir macam-macam dan justru balik merendahkan aku. Bang Roni berdiri dan mendekatiku yang masih berdiri mematung. Tatapan matanya terasa menusuk, terutama saat ia melihat ke arah Azmil. Berbanding terbalik dengan Azmil, ia justru tak tampak sedikit pun merasa takut atau khawatir melihat kedatangan Bang Roni. Azmil terlihat santai, seolah tak akan mungkin terjadi apa-apa. Aku yang ju
Suara salam terdengar dari depan pintu rumah. Aku yang sedang berbaring sambil bermain-main dengan kucing, memilih untuk tak menghiraukannya. Karena kupikir pasti tamu Ibuku. Dan beliau juga kebetulan sedang berada di ruang tamu.Namun ternyata tak lama kemudian kudengar suara Ibu memanggil.“Sartika, keluar sebentar. Ini ada Rusdi, teman sekolahmu.” Jujur saja aku agak kaget. Karena Rusdi adalah temanku sejak SD dan kami sudah tak pernah lagi berjumpa sejak aku menikah dengan Bang Roni.Aku langsung keluar kamar karena terlalu antusias bertemu dengan teman lama. Begitu sampai di ruang tamu, kulihat dia sedang duduk di sofa. Ibu memilih untuk meninggalkan kami, katanya mau menonton acara TV kesayangannya.“Eh Rusdi, apa kabar?” Tanyaku sambil menyalami Rusdi yang langsung berdiri melihat aku datang.“Baik-baik aja. Kamu gimana? Udah lama ya nggak pulang kampung.” Katanya sambil kembali duduk. Aku pun ikut duduk di kursi yang berseberangan dengannya.