Pov Farel"Pasien terakhir kan, Sus?" tanyaku. "Iya, Dok.""Alhamdulillah," ucapku seraya melepas jas putih yang menempel di tubuh. Masuk pagi pasien selalu antre hingga terkadang membuatku merasa kelelahan. Namun aku tetap menikmatinya karena menjadi dokter adalah impianku sejak kecil. "Dokter Farel ditunggu Dokter Pramana di ruangannya." Aku menghembuskan napas kasar lalu menganggukkan kepala. Dengan langkah gontai aku menuju ruangan papa. Entah apa yang ingin dia bicarakan padaku? Apa papa tidak tahu jika aku sedang terburu-buru? Setiap kali aku berpapasan dengan suster atau dokter saat menuju ruangan papa, mereka pasti tersenyum ke arahku. Menjadi putra pemilik rumah sakit membuatku seakan diistimewakan. Meski sebenarnya aku enggan. Pintu kudorong ke dalam setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Papa sudah duduk di sofa sambil melihat ke arahku. Tangannya menepuk sofa memintaku duduk di sebelahnya. Aku yakin ada hal penting yang akan ia bicarakan. Tapi apa? "Ada apa,
Pov Farel"Ya Allah, Ma. Aku tak serendah itu, meski aku pernah satu kamar dengannya tapi aku tak pernah melakukan hal yang tidak-tidak. Yasmin juga tak serendah itu.""Satu kamar?" Mama menatapku tajam. Aku merutuki kebodohanku. Bisa-bisanya kelepasan bicara disaat yang tidak tepat. Mama pasti semakin membenci Yasmin. Jalan untuk mendapatkan restu sangatlah susah. "Jangan berpikir yang tidak-tidak, Ma! Farel akan ceritakan awal bertemu dengan Yasmin." Aku membalikkan badan, mata ini kembali menatap langit yang berwarna hitam. "Aku bertemu dengan Yasmin secara tidak sengaja. Tepatnya di jalan dekat pantai. Saat aku berlibur ke Bali beberapa bulan yang lalu ...." Aku mulai menceritakan semuanya. Mama diam seraya mencerna setiap kata yang keluar dari mulut ini. "Yasmin pernah meminta uang padamu?" tanya mama dengan suara lembut, tak setinggi tadi. "Yasmin tak pernah meminta uang sepeser pun, Ma. Aku yang menyewa kontrakan dan memberinya modal usaha. Semua kulakukan agar Yasmin bisa
Yasmin dan Brian menoleh bersamaan kala mendengar suara benda jatuh, tidak keras tapi mampu mengusik kemesraan mereka. Melihat kedatangan Farel spontan membuat Yasmin melepaskan genggaman tangan Brian. Kini ia melihat Farel dengan rasa bersalah. Yasmin berdiri lalu melangkah mendekati Farel. Dengan cepat Farel memasukkan kotak berisi cincin ke dalam saku celana. Lalu dia segera menundukkan tubuhnya untuk mengambil seikat bunga yang tak sengaja ia jatuhkan. "Bunga untuk siapa, Rel?" Yasmin mengambil seikat mawar putih lalu menciumnya. "Kamu suka?" tanya Farel datar. "Aku suka, sangat menyukai mawar putih. Tapi ini untuk siapa?" Yasmin menggeser seikat bunga dari depan wajahnya lalu menatap Farel lekat. Namun Farel justru mengalihkan pandangan ketika mata mereka saling bertemu. Yasmin mengembalikan seikat mawar yang ada di tangannya. Awalnya dia mengira bunga itu untuknya. Namun melihat sikap dingin Farel membuat Yasmin sadar jika bunga itu bukanlah untuknya. Brian mengepalkan tan
Farel menepikan kendaraan roda empat miliknya di pinggir jalan. Dia pukul stang mobil berkali-kali lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Farel menitikkan air mata. Menangis dalam kesendirian. Khayalan indah bersama Yasmin hilang dalam sekejap mata. Angan untuk bersama menjalin kisah indah nyatanya hanya fatamorgana. Farel terluka, tapi tak berdarah. "Ya Allah, kenapa sesakit ini? Harusnya aku sadar dari awal jika Yasmin tak pernah menaruh hati padaku. Harusnya aku pergi sebelum rasa itu merasuk lebih dalam di sanubari," gumam Farel. Cinta tak pernah bisa memilih ke mana dia akan berlabuh. Dan itu yang Farel rasakan. Hatinya telah menetap kepada Yasmin, meski dia tahu betapa kelam masa lalu Yasmin. Namun Farel tak memperdulikannya. Dan kini dia kecewa dengan rasa yang tumbuh di hati karena tak seiring takdir Tuhan. Setelah hatinya mulai tenang, ia segera memutar anak kunci mobil sesuai jarum jam. Perlahan mobil miliknya berjalan menuju perumahan mewah tempatnya tinggal
[Aku merindukanmu,Sayang]Aku mengernyitkan dahi membaca pesan dari nomor baru. Sebuah tanda tanya besar menari-nari di benakku. Siapa pengirim pesan itu? Farel atau Rian. Tapi tak mungkin Farel,kami sudah tak saling menanyakan kabar. Bahkan keberadaannya pun aku tak tahu. Dia seolah tenggelam di dalam Samudra Hindia. Rian? Ah,tak mungkin. Baru saja kami bertemu ,tak mungkin dia bilang rindu.Aku letakkan kembali ponsel di atas meja. Lebih baik menyetrika baju pelanggan dari pada sibuk memikirkan pesan dari nomor tak jelas itu.Kriingg... Kriingg.... Baru beberapa detik ponsel kuletakkan, kini benda pipih itu kembali bernyanyi. Sedikit kesal aku membalikkan badan lalu mengambil benda canggih itu. Sebuah panggilan dari nomor yang sama.Sebenarnya siapa dia? Sudah mengirim pesan tak jelas, telepon lagi."Assalamu'alaikum ...," salamku datar.“Ini kamu,sayang? Ya ampun,aku sangat merindukanmu, my baby.”DEGJantung seakan berhenti berdetak saat ini juga. Suara itu,suara seseorang yang in
Ya Tuhan ... kenapa Engkau harus mempertemukan kami lagi? Rasanya ingin menghilang agar tak bertatap muka dengan Om Bagas lagi. Namun sayang,aku tak memiliki ajian atau mantra untuk itu.“Kamu mau ke mana,Yasmin? Tidakkah kamu merindukanku?” ucapnya seraya menatapku lekat. Dengan cepat kualihkan pandangan.“Lepas,Om!” Kutepis tangannya,tapi justru Om Bagas semakin menggenggamnya erat.“Aku mau kita bicara,Sayang.”“Aku mau pulang. Om Bagas jangan pernah mengusik hidupku lagi,anggap saja kita tak pernah saling mengenal.” ucapku tanpa menoleh ke arahnya.“Ayolah,Yasmin. Aku akan menuruti semua keinginanmu. Aku mencintaimu,sungguh.”“Lepas atau aku akan teriak!” “Kalau kamu teriak dan tidak mau ikut denganku, maka video itu akan kusebar di media sosial.”Aku menelan ludah mendengar ucapnya. Ya Allah,kenapa aku sampai lupa jika Om Bagas memiliki video saat berhubungan badan denganku. “Yasmin,kenapa kamu seceroboh itu?” rutukku dalam hati.“Ayo,sayang!” Om Bagas menuntunku menuju mobil.
Pov BagaskaraAku diam seraya menahan gejolak dalam dada. Beginikah rasanya menunggu sebuah kepastian? Apa ini yang selalu Yasmin rasakan saat aku meminta dia untuk menungguku. Sayang, sungguh maafkan aku yang membuatmu terlalu lama menantikan kejelasan hubungan kita. Aku duduk di samping Yasmin yang masih diam membisu, pandangannya lurus ke depan. Sedikit pun dia tak pernah melirik ke arahku. Dia bukan seperti Yasmin yang kukenal. Yasmin yang selalu bergelayut manja kala bersamaku, bukan justru membatu dan mengabaikan aku. Kepala ini bergerak ke kanan dan ke kiri saat melihat pakaian yang menempel di tubuh Yasmin. Tak ada pakaian mini atau ketat yang dulu membuatku tertantang. Beberapa bulan tak bertemu dan sekarang dia jauh berbeda. Bukan lagi Yasmin yang membuatku tergila-gila.Apa karena tak memiliki uang membuatnya seperti ini? Ah, pasti dia akan kembali seperti dulu jika hidup bersamaku. Ya, pasti. "Sayang, will you marry me?" Kugenggam tangannya tapi ditepis kasar. "Kenapa
Pov BagaskaraEntah dorongan dari mana hingga membuatku semakin mendekat ke arah Yasmin. Kusibak selimut yang menutupi tubuhnya. Wajah ini kian kudekatkan, tinggal beberapa senti hingga hidung kami saling menempel. Dengan cepat kutempelkan bibir ini di tempat yang sama. "Lepas!" Yasmin mendorong tubuhku. "Aku tidak mau menikah dengan Om Bagas. Aku tidak mau menjadi perusak rumah tangga orang lain. Sadar Om... Ini tidak benar! Kasihan anak-anak Om."Aku mengusap wajah kasar. Perkataan Yasmin membuat hasratku hilang seketika. Aku duduk di atas ranjang dengan mata lurus ke depan. Wajah Brian dan Andre tiba-tiba menari-nari di pelupuk mata. "Pergilah, sebelum aku berubah pikiran," ucapku seraya mengibaskan tangan. Dengan cepat Yasmin berlari ke pintu lalu menghilang. Beberapa saat aku termenung. Ucapan Yasmin benar-benar mengusik pikiranku. Semenjak bersama Yasmin aku melupakan anak-anak. Mereka memang sudah dewasa tapi tetap saja membutuhkan figur seorang ayah. Namun aku justru memik
"Mbak Hazna gak salah ngomong?""Apa wajahku terlihat bercanda? Sejak kapan aku ngawur saat membahas masalah penting ini?"Mulutku kembali bungkam. Perkataan kakaku tak bisa diganggu gugat. Aku tahu betul, dia tak pernah main-main jika membahas masalah pernikahan. "Apa alasan Mbak Hazna menerima Yasmin?"Mbak Yasmin menghela napas. Air putih dalam gelas ia habiskan dalam sekali teguk. Kemudian tatapan tajam ia layangkan padaku. Ini masalah serius. "Itu perkataan sebelum mama masuk rumah sakit."Seketika perasaan bersalah tumbuh dan mendominasi. Keegoisanku membuat mama jatuh sakit. Anak macam apa aku ini? "Ini bukan salahmu, Rel. Kamu pantas bahagia. Mbak tahu, banyak keinginan yang terpaksa kamu tinggalkan demi mematuhi perintah papa. Sudah saatnya kamu bahagia, Farel."Setelah percakapan itu, aku segera pergi menuju apartemen Mbak Hazna. Apalagi yang akan kulakukan selain bertemu Yasmin. Baru beberapa jam tapi rindu terus membelenggu. Aku tak bisa jauh dari perempuan itu. Siulan
"Stop, Farel!"Seketika aku dan Yasmin menoleh ke belakang. Pintu lift yang semula tertutup kini sudah terbuka lebar. Seorang lelaki dengan jas dokter berdiri sambil menatap tajam padaku. Dokter Akbar, pemilik rumah sakit sekaligus ayah kandungku. "Ikut Papa!"Yasmin semakin mempererat genggaman tangannya saat kami keluar dari lift. Keringat dingin meluncur bebas dari kening. Wanitaku ketakutan. "Semua akan baik-baik saja, Yas."Aku pererat genggaman ini. Memberi kekuatan jika semua akan baik-baik saja. Aku akan selalu di depan untuk memberinya perlindungan. Sepanjang kaki melangkah semua mata menatap ke arah kami. Lebih tepatnya ke arah Yasmin. Bisik-bisik dan ucapan tak mengenakan mewarnai langkah kami. Sesekali Yasmin mengalihkan pandangan, tangan kirinya menyeka sudut netra. Dia menangis tanpa bersuara. Pintu ruang direktur utama terbuka lebar. Papa melangkah masuk, diikuti kami di belakang. Jantungku berdetak kencang kala pintu itu tertutup rapat. Kini kami saling diam deng
"Azizah!" Mataku terbuka lebar kala melihat wanita yang berdiri di hadapan. Dia masih sama seperti saat aku menolaknya. Senyum manis penuh ketulusan dia berikan padaku, lelaki yang membencinya karena sebuah perjodohan. "Kalian?" Aku menatap Azizah dan Arman bergantian. Sebuah kecurigaan tampak jelas di netra ini. "Boleh aku duduk, Bang Farel?" tanyanya menghentikan pertanyaan yang belum sempat aku ucapkan. Sebuah anggukan kuberikan sebagai jawaban saat mulut tak sanggup mengeluarkan kata. Azizah pun tersenyum, lalu menarik kursi dan duduk di antara kami. Sungguh keadaan ini membuatku tak nyaman, aku ingin pergi dan menghilang dari sini. "Kenapa kamu tahu aku ada di sini, Za?""Dia tahu dariku, Rel."Aku menghela napas kasar, mengeluarkan rasa kesal yang sempat memenuhi rongga dada. Aku sudah menduga, kedatangan Azizah pasti ada hubungannya dengan Arman. Apa ini rencana Arman untuk memisahkan aku dan Yasmin? "Amara alasan kamu melakukan ini?" Aku tatap tajam lelaki yang masih be
Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku membenci keadaan ini. Kenapa selalu berada di situasi seperti ini? "Maaf, Bu Zazkia. Saya akan segera menikah."Wajah yang semula antusias mendadak berubah masam. Senyum yang tadi hadir sirna dalam sekejap mata. Dia kecewa. "Oh, menikah? Maaf, saya tidak tahu jika kamu sudah memiliki calon istri, Rel. Saya hanya ingin mengungkapkan perasaan ini. Maaf jika lancang dan membuatmu tak nyaman."Seulas senyum keterpaksaan nampak di wajahnya. Dia pura-pura tersenyum meski hati tersiksa. Lagi-lagi dunia penuh dengan drama dan sandiwara. Namun beruntung karena dia tak memaksaku untuk mengatakan iya. "Tak apa, Bu. Lagi pula semua orang bebas mengeluarkan pendapat, bukan? Negara ini saja mengikuti paham demokrasi, apa lagi kita yang hidup berdampingan satu dan lainnya.""Sekali lagi selamat, Rel."Aku mengangguk lalu segera berpamitan dengan wanita itu. Pergi secepat mungkin adalah pilihan yang tepat. Karena terus menerus bertemu dengan dia akan menci
"Kamu....""Iya aku, pelanggan yang kamu tinggal sebelum sempat memesan." Wanita itu berjalan mendekat, terdengar sepatu yang beradu dengan lantai."Dia pemilik restoran ini." Mati. Kali ini aku akan dipecat. Tamatlah riwayatku! Ternyata begitu sulit bekerja sebagai pelayanan. Salah sedikit berdampak pemecatan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud mengabaikan pelanggan. Saya hanya ingin menolong pelanggan yang lain. Tolong, jangan pecat saya, Bu."Wanita itu tersenyum hingga tampak gigi kelinci. "Siapa yang mau memecat kamu, Farel?"Aku menautkan dua alis, dari mana wanita itu tahu namaku? "Saya justru berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan orang itu.""Ja-jadi saya tidak dipecat?""Jelas tidak, mana mungkin saya memecat karyawan yang rajin seperti kamu." Aku mengangguk, seulas senyum terbit dari bibir ini. "Saya heran, kenapa kamu bisa tahu jika lelaki itu tersedak? Sementara jarak meja saya dengan lelaki itu cukup jauh."Aku hanya tersenyum, tidak mungkin aku jelaskan si
Aku berlari menuju kerumunan. Perasaanku semakin tak enak. Semoga saja itu bukan Yasmin. Semoga bukan dia. "Permisi!""Permisi!"Aku menelusup masuk ke kerumunan. Darah berceceran di trotoar dan jalan sekitarnya. Wanita yang lelaki itu maksud sudah terbujur kaku dengan koran sebagai penutup tubuhnya. Rambut hitam wanita itu sama persis dengan Yasmin. Jangan-jangan dia memang wanitaku. Tidak... Tidak, itu tidak boleh terjadi. Yasmin tidak boleh meninggalkan diriku. "Ya... Yasmin, kenapa kamu tinggalin aku," isakku. Perlahan kubuka koran yang menutupi wajahnya. Jantungku berdetak, rasa takut kembali hadir. Bagaimana jika ini benar-benar Yasmin? Apa yang akan kulakukan? Bisakah aku menerima kenyataan pahit ini? "Mas kenal mayat itu?" tanya seseorang menghentikan gerakan tangan ini."Dia Yasmin, kekasih saya." "Sejak kapan aku jadi kekasihmu, Rel?" Aku mendongak, Yasmin berdiri di belakang sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Perlahan aku berdiri, niat untuk membuka koran itu
Aku dan Yasmin saling pandang. Kami bingung harus menjawab apa. Situasi ini di luar dugaan kami. "Tante mendengar percakapan kami?" tanyaku sedikit ragu. "Jadi kamu mantan wanita simpanan?" Tante Mayang menatap tajam mata Yasmin. "I-iya, Bu. Sebenarnya nama asli saya Yasmin bukan Amara. Saya man... mantan wanita simpanan pengusaha terkenal. Saya pernah diperkosa dan dilecehkan," ucapnya dengan suara bergetar. Tak berapa lama cairan bening berlomba-lomba turun hingga membasahi pipinya. Mengungkapkan kenyataan pahit tidaklah mudah. Tetapi Yasmin mampu meski keadaan yang menuntutnya untuk melakukan itu. "Astagfirullah ... Ya Allah." Tante Mayang mengelus dadanya. Terkejut, marah dan benci melebur menjadi satu di hatinya. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud berbohong. Hanya....""Kamu ingin mendapatkan Arman lalu menutupi semuanya. Bukan begitu, Amara?""Ti-tidak seperti itu, Bu. Sa-saya hanya ingin....""Maaf, Amara. Mulai hari ini kamu saya pecat. Tolong tinggalkan rumah seka
"Bagaimana Amara, apa kamu menerima lamaran Bapak?" tanya Om Sugiyono. Aku tak sanggup mendengar jawaban Yasmin. Aku tidak ingin terluka untuk kesekian kalinya. Mengetahui wanita yang kita cintai bersama lelaki lain itu menyakitkan. Lebih baik aku pergi, melarikan diri dari kenyataan pahit ini. Pengecut, tapi hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. "Maaf, Om, Tante, semuanya saya masuk kamar dulu." Aku beranjak berdiri. "Kamu belum selesai makan, Rel.""Saya tidak enak badan, Tante." Terpaksa aku berbohong. "Mau aku periksa, Rel?""Gak perlu, Ar. Aman, kok. Aku hanya butuh waktu untuk istirahat."Aku melangkah pergi, meninggalkan ruang makan dengan berjuta perasaan kecewa di dalamnya. Pintu kamar kututup rapat, lalu menjatuhkan bobot di atas ranjang. Lagi wajah Yasmin dan Arman menari-nari di pelupuk mata. Seketika amarah menyeruak memenuhi rongga dada. Ini tidak baik, aku harus secepatnya pergi dari sini. Aku tidak sanggup melihat mereka bermesraan. Aku mengacak rambut, frusta
"Arman mau melamar siapa, Tante?" tanyaku memastikan. "Arman belum cerita sama kamu, Rel?"Aku menggeleng, pura-pura tidak tahu. Meski aku yakin nama Amara yang akan ia sebutkan. Namun aku masih berharap bukan dia, bukan wanitaku. "Amara, asisten rumah tangga kami.'JLEPJantung ini seakan berhenti berdetak. Aku sudah mengira kata Amara akan muncul dari mulut mereka. Namun sakitnya tetap saja terasa. Ya Robb, haruskah aku terluka untuk kedua kalinya? Haruskah aku mengalah untuk lelaki lain? Sakit, aku tersiksa. Bahkan hampir tidak sanggup berbicara. Kenapa harus aku yang mengalah, Ya Robb. Tidak bisakah orang lain saja? Dulu Brian sekarang Arman, apa aku tak berjodoh dengan Yasmin? Hingga selalu Engkau datangkan orang lain di kehidupannya atau mungkin hatinya. "Kok diam, Rel. Kamu kenal Amara, kan?"Aku mengangguk, susah payah kutahan air mata yang hampir terjatuh. Payah, kenapa harus menangis jika aku mengetahui kenyataan pahitnya. "Kamu pasti kaget kenapa Tante setuju mesk