Pov Farel"Wanita apa?" tanyaku penasaran. Perasaanku mengatakan jika Rian mengetahui sesuatu. Tapi apa? "Bukan apa-apa, lupakan saja. Aku pulang dulu, Rel." Dia sedikit berlari meninggalkan rumah kontrakan Yasmin. Niat awal ingin mengantar Rian pulang. Namun kini justru aku penasaran dengan kalimat baru saja dia ucapkan. Apa apa antara dia dan Yasmin? ***Aku berjalan perlahan memasuki rumah. Jantungku seakan dipacu lebih cepat. Permintaan papa agar aku langsung pulang membuat perasaanku semakin tak enak. Ingin menolak dengan alasan jadwal praktek. Tapi papa jauh lebih cepat. Beliau sudah meminta dokter lain untuk menggantikan pekerjaanku. Menjadi pemilik rumah sakit membuatnya bisa bertindak dengan cepat. "Masuk, Rel!" ucap mama saat melihatku berada di ambang pintu masuk. Sepertinya mereka sudah menantiku terlalu lama. Aku mendekat dan mencium tangan papa, mama dan Mbak Hazna dengan takzim. Mereka hanya menatap tanpa mengucapkan sepatah kata. "Bisa tolong jelaskan ini, Rel?"
Sudah tiga hari jasa laundry kubuka. Namun hingga detik ini belum ada satu pelanggan yang menggunakan jasa mencuci atau menyetrika baju. Membuka usaha baru memang tak semudah menjalankan usaha yang sudah ada. Kita harus pandai melakukan promosi. Di sinilah skil dan tekat dibutuhkan. Sebenarnya masih ada keraguan dalam hatiku. Apa aku mampu mengelola laundry ini? Sementara sejak kecil aku tak pernah mencuci. Semua pekerjaan itu dilakukan oleh asisten rumah tangga. Aku hanya terima beres saja. Namun untuk menolak aku juga tak tega. Lagi pula mencari pekerjaan di jaman sekarang sangatlah susah. Sekalinya diterima ada saja cobaan yang datang mendera. Dari dipermalukan orang hingga dilecehkan atasan sendiri. Dan menjalankan usaha ini adalah satu-satunya jalan yang terbaik untukku.Aku mencoba mencuci dan menyetrika sebisaku. Sedikit-sedikit aku mulai bisa meski tak secepat dan serapi orang lain. Butuh waktu untuk membiasakan hal yang tak pernah ku lakukan. Dan semua ini tak lepas dari d
Pelanggan silih berganti datang. Entah mencuci atau sekedar menyeterika pakaian. Semua ku terima dengan senang hati. Meski harus menguras energi. Namun aku senang mendapatkan uang dari hasil keringatku sendiri. Memang tak sebanyak yang Om Bagas berikan. Tapi ini sudah membuatku bahagia. "Mbak! Mbak Nabila!" Panggil seseorang dari depan ruko. Segera aku hentikan aktivitas menyeterika. Sedikit berjalan cepat aku menuju ruko. Tentu setelah mematikan setrika. Dua orang wanita berdiri tepat di depan meja kayu yang biasanya digunakan untuk meletakkan timbangan. Kedua wanita itu membawa kantung plastik berisi pakaian. Pasti mereka ingin kembali menggunakan jasa laundry yang ku kelola. "Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanyaku lembut. BRUUGKedua wanita itu serempak melemparkan kantung plastik berisi pakaian di atas meja. Seketika pakaian itu berhamburan ke luar. Bahkan ada yang jatuh di bawah meja. Ada apa ini? Kenapa, mereka seperti itu? Sebuah tanda tanya besar tergambar jelas dalam p
Sudah beberapa minggu Yasmin belajar mengaji dengan Fathiya. Setelah isya Fathiya datang ke rumah Yasmin. Tentu laundry milik Yasmin sudah tutup. Fathiya tak ingin menganggu Yasmin yang sedang bekerja. Dia juga tak mau proses belajar terganggu karena kedatangan pelanggan.Tidak hanya mengaji, Yasmin juga mulai shalat lima waktu. Meski masih bolong sesekali. Namun dia sudah menunjukkan keseriusannya. Dia ingin menepati janjinya kepada Tuhan. Meski perlahan. "Maaf nih, Mbak. Boleh tanya sesuatu?" tanya Fathiya setelah mengajar mengaji. "Boleh, Mbak. Silakan!" jawab Yasmin seraya meletakkan gelas di atas meja. Jus jeruk sudah berpindah tempat dan masuk ke dalam perut Yasmin. Setelah satu jam belajar mengaji membuat tenggorokannya kering. Hingga dalam hitungan detik satu gelas jus jeruk habis tak tersisa. Fathiya menghirup oksigen dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Pertanyaan yang ingin ia sampaikan merupakan hal sensitif. Maka dari itu dia berusaha merangkai kata agar kalimat yang m
Ting ....Sebuah notifikasi pesan masuk terdengar. Yasmin bangun lalu mengambil benda pipih yang ada di samping bantal berwarna merah muda. Tangan kanannya dengan cepat menari di atas layar. Senyum yang sempat hilang kini singgah kembali. Pesan dari Farel bagai air yang menyejukkan. Membuat rasa berdosa itu terkikis untuk sementara. Tuhan seakan sengaja mengirimkan Farel untuk mengubah kehidupan Yasmin. Habis gelap terbitlah terang. Sudah persis judul buku R.A. Kartini. Begitulah sekenario yang Tuhan berikan pada setiap hambanya. Namun ada saja yang masih tak terima dan bahkan memaki Sang Pencipta. Mereka seolah lupa bahwa Allah sebaik-baiknya pembuat sekenario.[ Sudah shalat kan,Yas. Jangan lupa berdoa. Maaf belum sempat main ke tempatmu. Aku masih sibuk.][Ku harap kamu tidak rindu. Cukup aku saja yang selalu merindukanmu.]Pipi Yasmin memerah saat membaca pesan yang Farel kirimkan. Sebuah lengkungan masih bertahan di bibirnya. Dia sangat bersyukur Tuhan mengirimkan malaikat tak b
"Kamu tak pantas dengan Farel! Jauhi dia!"Kalimat yang diucapkan papa Farel kembali terngiang di telingaku. Rasa sesak menyeruak memenuhi rongga dada. Ingin rasanya aku pergi dan menghilang tapi sayang semua itu tak bisa kulakukan. Apa salah jika aku berteman dengan Farel? Aku bahkan tak berniat untuk menjadikan Farel target atau pacar. Berteman dengan dia sudah lebih dari cukup. Aku duduk di teras seraya menghapus jejak air mata yang tertinggal di pipi. Rasa kecewa dan marah melebur menjadi satu. Bukan, bukan marah kepada orang tua Farel. Namun aku marah dengan diriku sendiri. Kesalahanku di masa lalu kini berdampak sekarang. Dan mungkin masa depan. Aku tak menyalahkan orang tua Farel. Mereka benar, sebagai orang tua tentu menginginkan menantu yang baik bukan seperti diriku, seorang mantan simpanan lelaki hidung belang. Orang tua mana yang mau anaknya dekat denganku? Tak ada! Dan tak akan pernah ada! "Mbak! Laundrynya belum buka?" Suara lantang seorang lelaki menyentakku dari la
“Huuu ....”“Wanita murahan!!”“Tidak tahu malu!”Sorak orang-orang itu! Mereka dengan mudah terprovokasi ucapan lelaki yang pandai bersilat lidah. Tanpa mencari tahu kebenaran mereka menyudutkanku. Apa karena aku mantan wanita simpanan? Hingga semua keburukan selalu menempel padaku?“Bohong! Lelaki itu berbohong! Aku tak serendah itu! Lelaki itu yang hendak melecehkan aku.” Aku berusaha membela diri. Mesk i aku tahu tak ada seorang pun yang mempercayai kalimat yang keluar dari mulut wanita sepertiku.“Mana mungkin aku melecehkan wanita mur*han seperti dia!” elak lelaki itu seraya menunjuk wajahku.“Aku tidak seperti itu,” ucapku parau dengan linangan air mata membasahi pipi. Namun percuma saja, tak ada satu orang yang mempercayaiku. Mereka justru menatap hina diri ini.“Cukup tak usah membela diri! Sekali wanita mur*han akan tetap menjadi wanita mur*han!” wanita itu menatapku tajam. Aku hanya bisa diam. Percuma membela diri. Semua orang tak akan percaya.“Dan kamu,pa! Ayo pulang!” Wa
Uhuuk ... Uhuuk.... Yasmin terbatuk mendengar ucapan Brian. Nasi yang belum sempurna dikunyah masuk begitu saja. Wajah Yasmin memerah dengan rasa panas menjalar di tenggorokannya. Uhuuk ... Uhuuk .... Brian dengan cepat mengambil air putih dan memberikan pada Yasmin. Dalam hitungan detik gelas itu sudah berubah kosong. Air putih sudah habis tak tersisa. Perkataan Brian membuat napsu makannya menguap ke udara. Tiba-tiba jantung Yasmin dipacu lebih cepat. Ada getaran yang tak bisa ia jelaskan. Ini bukan kali pertama Brian menyatakan perasaannya. Namun perkataan Brian kali ini membuat Yasmin berdebar. Tidak bisa dipungkiri ada rasa cinta yang mulai tumbuh di hati Yasmin. Rasa itu hadir saat Brian mempertaruhkan nyawa untuk menolongnya dari Riki. Namun Yasmin berusaha mengelak perasaan itu. Yasmin ragu untuk menjalin hubungan karena takut kecewa untuk kesekian kalinya. "Kamu sudah baikan, Bil?" tanya Brian seraya memijit tengkuk Yasmin. "Sudah, Ri. Makasih." Brian melepas tangannya
"Mbak Hazna gak salah ngomong?""Apa wajahku terlihat bercanda? Sejak kapan aku ngawur saat membahas masalah penting ini?"Mulutku kembali bungkam. Perkataan kakaku tak bisa diganggu gugat. Aku tahu betul, dia tak pernah main-main jika membahas masalah pernikahan. "Apa alasan Mbak Hazna menerima Yasmin?"Mbak Yasmin menghela napas. Air putih dalam gelas ia habiskan dalam sekali teguk. Kemudian tatapan tajam ia layangkan padaku. Ini masalah serius. "Itu perkataan sebelum mama masuk rumah sakit."Seketika perasaan bersalah tumbuh dan mendominasi. Keegoisanku membuat mama jatuh sakit. Anak macam apa aku ini? "Ini bukan salahmu, Rel. Kamu pantas bahagia. Mbak tahu, banyak keinginan yang terpaksa kamu tinggalkan demi mematuhi perintah papa. Sudah saatnya kamu bahagia, Farel."Setelah percakapan itu, aku segera pergi menuju apartemen Mbak Hazna. Apalagi yang akan kulakukan selain bertemu Yasmin. Baru beberapa jam tapi rindu terus membelenggu. Aku tak bisa jauh dari perempuan itu. Siulan
"Stop, Farel!"Seketika aku dan Yasmin menoleh ke belakang. Pintu lift yang semula tertutup kini sudah terbuka lebar. Seorang lelaki dengan jas dokter berdiri sambil menatap tajam padaku. Dokter Akbar, pemilik rumah sakit sekaligus ayah kandungku. "Ikut Papa!"Yasmin semakin mempererat genggaman tangannya saat kami keluar dari lift. Keringat dingin meluncur bebas dari kening. Wanitaku ketakutan. "Semua akan baik-baik saja, Yas."Aku pererat genggaman ini. Memberi kekuatan jika semua akan baik-baik saja. Aku akan selalu di depan untuk memberinya perlindungan. Sepanjang kaki melangkah semua mata menatap ke arah kami. Lebih tepatnya ke arah Yasmin. Bisik-bisik dan ucapan tak mengenakan mewarnai langkah kami. Sesekali Yasmin mengalihkan pandangan, tangan kirinya menyeka sudut netra. Dia menangis tanpa bersuara. Pintu ruang direktur utama terbuka lebar. Papa melangkah masuk, diikuti kami di belakang. Jantungku berdetak kencang kala pintu itu tertutup rapat. Kini kami saling diam deng
"Azizah!" Mataku terbuka lebar kala melihat wanita yang berdiri di hadapan. Dia masih sama seperti saat aku menolaknya. Senyum manis penuh ketulusan dia berikan padaku, lelaki yang membencinya karena sebuah perjodohan. "Kalian?" Aku menatap Azizah dan Arman bergantian. Sebuah kecurigaan tampak jelas di netra ini. "Boleh aku duduk, Bang Farel?" tanyanya menghentikan pertanyaan yang belum sempat aku ucapkan. Sebuah anggukan kuberikan sebagai jawaban saat mulut tak sanggup mengeluarkan kata. Azizah pun tersenyum, lalu menarik kursi dan duduk di antara kami. Sungguh keadaan ini membuatku tak nyaman, aku ingin pergi dan menghilang dari sini. "Kenapa kamu tahu aku ada di sini, Za?""Dia tahu dariku, Rel."Aku menghela napas kasar, mengeluarkan rasa kesal yang sempat memenuhi rongga dada. Aku sudah menduga, kedatangan Azizah pasti ada hubungannya dengan Arman. Apa ini rencana Arman untuk memisahkan aku dan Yasmin? "Amara alasan kamu melakukan ini?" Aku tatap tajam lelaki yang masih be
Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku membenci keadaan ini. Kenapa selalu berada di situasi seperti ini? "Maaf, Bu Zazkia. Saya akan segera menikah."Wajah yang semula antusias mendadak berubah masam. Senyum yang tadi hadir sirna dalam sekejap mata. Dia kecewa. "Oh, menikah? Maaf, saya tidak tahu jika kamu sudah memiliki calon istri, Rel. Saya hanya ingin mengungkapkan perasaan ini. Maaf jika lancang dan membuatmu tak nyaman."Seulas senyum keterpaksaan nampak di wajahnya. Dia pura-pura tersenyum meski hati tersiksa. Lagi-lagi dunia penuh dengan drama dan sandiwara. Namun beruntung karena dia tak memaksaku untuk mengatakan iya. "Tak apa, Bu. Lagi pula semua orang bebas mengeluarkan pendapat, bukan? Negara ini saja mengikuti paham demokrasi, apa lagi kita yang hidup berdampingan satu dan lainnya.""Sekali lagi selamat, Rel."Aku mengangguk lalu segera berpamitan dengan wanita itu. Pergi secepat mungkin adalah pilihan yang tepat. Karena terus menerus bertemu dengan dia akan menci
"Kamu....""Iya aku, pelanggan yang kamu tinggal sebelum sempat memesan." Wanita itu berjalan mendekat, terdengar sepatu yang beradu dengan lantai."Dia pemilik restoran ini." Mati. Kali ini aku akan dipecat. Tamatlah riwayatku! Ternyata begitu sulit bekerja sebagai pelayanan. Salah sedikit berdampak pemecatan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud mengabaikan pelanggan. Saya hanya ingin menolong pelanggan yang lain. Tolong, jangan pecat saya, Bu."Wanita itu tersenyum hingga tampak gigi kelinci. "Siapa yang mau memecat kamu, Farel?"Aku menautkan dua alis, dari mana wanita itu tahu namaku? "Saya justru berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan orang itu.""Ja-jadi saya tidak dipecat?""Jelas tidak, mana mungkin saya memecat karyawan yang rajin seperti kamu." Aku mengangguk, seulas senyum terbit dari bibir ini. "Saya heran, kenapa kamu bisa tahu jika lelaki itu tersedak? Sementara jarak meja saya dengan lelaki itu cukup jauh."Aku hanya tersenyum, tidak mungkin aku jelaskan si
Aku berlari menuju kerumunan. Perasaanku semakin tak enak. Semoga saja itu bukan Yasmin. Semoga bukan dia. "Permisi!""Permisi!"Aku menelusup masuk ke kerumunan. Darah berceceran di trotoar dan jalan sekitarnya. Wanita yang lelaki itu maksud sudah terbujur kaku dengan koran sebagai penutup tubuhnya. Rambut hitam wanita itu sama persis dengan Yasmin. Jangan-jangan dia memang wanitaku. Tidak... Tidak, itu tidak boleh terjadi. Yasmin tidak boleh meninggalkan diriku. "Ya... Yasmin, kenapa kamu tinggalin aku," isakku. Perlahan kubuka koran yang menutupi wajahnya. Jantungku berdetak, rasa takut kembali hadir. Bagaimana jika ini benar-benar Yasmin? Apa yang akan kulakukan? Bisakah aku menerima kenyataan pahit ini? "Mas kenal mayat itu?" tanya seseorang menghentikan gerakan tangan ini."Dia Yasmin, kekasih saya." "Sejak kapan aku jadi kekasihmu, Rel?" Aku mendongak, Yasmin berdiri di belakang sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Perlahan aku berdiri, niat untuk membuka koran itu
Aku dan Yasmin saling pandang. Kami bingung harus menjawab apa. Situasi ini di luar dugaan kami. "Tante mendengar percakapan kami?" tanyaku sedikit ragu. "Jadi kamu mantan wanita simpanan?" Tante Mayang menatap tajam mata Yasmin. "I-iya, Bu. Sebenarnya nama asli saya Yasmin bukan Amara. Saya man... mantan wanita simpanan pengusaha terkenal. Saya pernah diperkosa dan dilecehkan," ucapnya dengan suara bergetar. Tak berapa lama cairan bening berlomba-lomba turun hingga membasahi pipinya. Mengungkapkan kenyataan pahit tidaklah mudah. Tetapi Yasmin mampu meski keadaan yang menuntutnya untuk melakukan itu. "Astagfirullah ... Ya Allah." Tante Mayang mengelus dadanya. Terkejut, marah dan benci melebur menjadi satu di hatinya. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud berbohong. Hanya....""Kamu ingin mendapatkan Arman lalu menutupi semuanya. Bukan begitu, Amara?""Ti-tidak seperti itu, Bu. Sa-saya hanya ingin....""Maaf, Amara. Mulai hari ini kamu saya pecat. Tolong tinggalkan rumah seka
"Bagaimana Amara, apa kamu menerima lamaran Bapak?" tanya Om Sugiyono. Aku tak sanggup mendengar jawaban Yasmin. Aku tidak ingin terluka untuk kesekian kalinya. Mengetahui wanita yang kita cintai bersama lelaki lain itu menyakitkan. Lebih baik aku pergi, melarikan diri dari kenyataan pahit ini. Pengecut, tapi hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. "Maaf, Om, Tante, semuanya saya masuk kamar dulu." Aku beranjak berdiri. "Kamu belum selesai makan, Rel.""Saya tidak enak badan, Tante." Terpaksa aku berbohong. "Mau aku periksa, Rel?""Gak perlu, Ar. Aman, kok. Aku hanya butuh waktu untuk istirahat."Aku melangkah pergi, meninggalkan ruang makan dengan berjuta perasaan kecewa di dalamnya. Pintu kamar kututup rapat, lalu menjatuhkan bobot di atas ranjang. Lagi wajah Yasmin dan Arman menari-nari di pelupuk mata. Seketika amarah menyeruak memenuhi rongga dada. Ini tidak baik, aku harus secepatnya pergi dari sini. Aku tidak sanggup melihat mereka bermesraan. Aku mengacak rambut, frusta
"Arman mau melamar siapa, Tante?" tanyaku memastikan. "Arman belum cerita sama kamu, Rel?"Aku menggeleng, pura-pura tidak tahu. Meski aku yakin nama Amara yang akan ia sebutkan. Namun aku masih berharap bukan dia, bukan wanitaku. "Amara, asisten rumah tangga kami.'JLEPJantung ini seakan berhenti berdetak. Aku sudah mengira kata Amara akan muncul dari mulut mereka. Namun sakitnya tetap saja terasa. Ya Robb, haruskah aku terluka untuk kedua kalinya? Haruskah aku mengalah untuk lelaki lain? Sakit, aku tersiksa. Bahkan hampir tidak sanggup berbicara. Kenapa harus aku yang mengalah, Ya Robb. Tidak bisakah orang lain saja? Dulu Brian sekarang Arman, apa aku tak berjodoh dengan Yasmin? Hingga selalu Engkau datangkan orang lain di kehidupannya atau mungkin hatinya. "Kok diam, Rel. Kamu kenal Amara, kan?"Aku mengangguk, susah payah kutahan air mata yang hampir terjatuh. Payah, kenapa harus menangis jika aku mengetahui kenyataan pahitnya. "Kamu pasti kaget kenapa Tante setuju mesk