“Maaf Ya,Mbak.Saya tidak sengaja.” Brian menatap wanita di hadapannya. “Tak apa,namanya juga tidak sengaja.” Yasmin memasukkan ponsel ke dalam tas. Dia urungkan niat untuk kembali menghubungi Bagas. Yasmin kembali berjalan. Dia memutuskan untuk mencari rumah makan terdekat. Rasa lelah dan lapar menuntunnya untuk pergi ke rumah makan tak jauh dari mini market. Hanya tiga bangunan dari toko yang menjual berbagai kebutuhan pokok itu. “Mbak!” Langkah Yasmin terhenti kala mendengar panggilan seseorang. Wanita yang memakai kemeja biru muda itu kembali menoleh ke belakang. “Kamu memanggilku?” tanyanya kepada Brian yang masih diam membisu. Bahkan matanya tak lepas dari memandang Yasmin. “Apa ini orangnya?” Brian mengingat wajah wanita di video penggrebekan itu dan mencocokkan dengan wajah wanita di hadapannya. “Benar dia orangnya. Pantas saja papi tergila-gila padanya. Yasmin memang cantik. Sayang kecantikannya digunakan untuk merusak hubungan orang lain,” batin Brian. Yasmin sedikit
Yasmin diam, ucapan Bagaskara membuat dirinya tak berkutik. Yasmin memang sudah jatuh hati kepada lelaki beristri itu. Namun untuk hidup bersama tanpa limpahan harta membuat dirinya ragu. Awal mula terjalin hubungan terlarang itu karena harta. Hingga akhirnya keduanya bermain hati terlalu dalam. Itu yang membuat mereka tak bisa saling melepaskan. "Kenapa kamu diam, Yasmin? Apa benar yang dikatakan Sandra. Kamu hanya menginginkan hartaku. Kamu tak mencintaiku kan?" Yasmin seperti memakan buah simalakama. Bingung harus berkata apa? Kalau saja dia tidak bermain hati, mungkin saat ini dia memilih pergi dan mencari pria yang lebih kaya dibanding Bagas. Namun hati Yasmin telah terjerat dengan pesona Bagaskara. Lelaki yang sudah memiliki dua anak tapi masih gagah. "Om Bagas yakin akan meninggalkan harta dan keluarga demi hidup bersamaku?" tanya Yasmin ragu. Bagaskara menganggukkan kepala. Senyum merekah tergambar jelas di wajah lelaki itu. Namun secepatnya ia tarik lagi lengkungan itu
Bagaskara berjalan mendekat setelah mengunci pintu kamar hotel. Jantungnya berdetak kencang, tubuhnya memanas melihat Sandra yang memakai lingerie berwarna merah duduk manis di atas ranjang. Setelah beberapa tahun, baru kali ini Sandra memakai pakaian tidur yang tipis. Hampir semua bagian tubuhnya tergambar jelas di sana. Lelaki mana yang tak tertarik saat disuguhkan hal seperti itu. Rasa marah yang hadir kini menguap seketika. Hanya tertinggal hasrat yang harus segera dituntaskan. "Sayang ...," panggil Bagas sambil menjatuhkan bobot tempat di samping Sandra. "Maafkan aku sudah menduakan cinta kamu. Aku khilaf." Bagaskara menarik tubuh Sandra hingga berada dalam dekapannya. Sandra diam meresapi harum tubuh Bagas yang sudah lama ia rindukan. Semenjak kehadiran Yasmin, Bagaskara jarang memberikan nafkah batin untuknya. Dalam satu tahun bisa dihitung dengan jari mereka melakukan ibadah suami istri itu. "Tolong tinggalkan Yasmin, Mas." Sandra menggeserkan kepalanya di dada bidang Ba
"Bagaimana, Nabila? Apa kamu bersedia mengikuti peraturan restoran ini?" tanya Bu Hazna karena melihatku masih diam mematung. Bagaimana bisa aku memakai hijab? Astaga! Pekerjaan macam apa ini? Apa kata dunia jika seorang Yasmin memakai hijab? Ini kenyataan atau hanya ilusi? "Nabila!" panggilan pelan. Aku ingin mengundurkan diri saat ini juga. Namun ucapan Cindy kembali terngiang di telinga. Aku harus tidur di mana jika dia mengusirku? "Baik, Bu." "Saya tunggu kehadiran kamu, besok pagi." Seulas senyum di berikan kepadaku. Aku hanya mengangguk lalu berjalan meninggalkan wanita dengan hijab menjuntai itu. Aku berjalan ke luar restoran dengan pikiran tak menentu. Pakaian apa yang harus ku kenakan untuk bekerja besok? Sedang aku tak memiliki pakaian yang pantas. Semua bajuku selalu terbuka. Astaga! Aku pijit kepala yang terasa berdenyut. Aku harus membeli pakaian dengan apa? Sedang uang di dalam dompet tersisa seratus lima puluh ribu. Apa aku jual ponsel saja? Tapi sayang, ini s
"Berhenti di sini saja, Mas."Aku turun sedikit jauh dari rumah Cindy. Berjalan perlahan sembari menenteng dua kantung plastik berwarna hitam. Telinga ku tajamkan agar bisa mendengar apa yang ibu-ibu kompleks bicarakan di depan rumah sahabatku. Namun tetap saja tak bisa mendengar apa yang mereka perdebatan. Hanya tatapan garang dari ibu-ibu."Itu dia Yasmin!" teriak wanita berdaster biru muda. Seketika semua mata tertuju padaku. Mereka seperti singa kelaparan yang siap menerkamku."Sini kamu!" Teriak wanita dengan rambut sebahu. Tangannya disilangkan di dada dengan mata melotot ke arahku.Ya ampun, ini belum malam tapi para setan sudah keluar dari sarangnya."Ada apa ini, Cin?" Ku senggol pundak Cindy. Namun dia justru mengangkat bahunya."Orangnya sudah datang, aku masuk dulu." Cindy berjalan masuk ke rumah. Namun seorang ibu menarik lengannya hingga akhirnya dia kembali berdiri di halaman rumah."Ada apa ini?" tanyaku penasaran.Semua mata tertuju padaku,menatapku dengan penuh keben
Brian duduk di kursi tepat di samping ruang IGD. Menunggu Yasmin dengan perasaan tak menentu. Entah bahagia atau pun kasihan. Perasaan itu seolah melebur menjadi satu. Hingga ia tak tahu harus bagaimana. Sebenarnya di hati Brian mulai tumbuh rasa tertarik kepada wanita simpanan ayahnya. Bukan karena cantik. Namun Yasmin seolah memiliki pesona tersendiri. "Sedang menunggu siapa, Mas?" tanya seorang lelaki yang tiba-tiba duduk di sampingnya. "Teman, Pak," jawab Brian lalu keduanya saling diam. Suster masuk dan keluar silih berganti. Banyaknya pasien di Instalasi Gawat Darurat membuat para suster dan dokter keteteran. Pintu ruang IGD dibuka perlahan dari dalam. Seorang suster berpakaian serba putih keluar. Netranya menoleh ke kanan dan kiri. Rupanya dia tengah mencari anggota keluarga salah satu pasien yang ada di dalam. "Keluarga pasien atas nama Yasmin?" ucapnya sedikit keras dengan mata menoleh ke sana ke mari. Brian segera berdiri, berjalan membungkuk saat melewati lela
Yasmin tersenyum datar, ia sama sekali tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Baginya cinta tumbuh karena terbiasa bersama. Sama seperti yang ia rasakan terhadap Bagaskara. Rasa nyaman dan harta melimpah membuatnya jatuh hati pada ayah Brian. "Jangan terlalu berharap, aku memiliki kekasih," ujar Yasmin lembut. "Ya, kekasihmu adalah ayah kandungku." Brian berkata tapi hanya di dalam hati. Selanjutnya semua diam, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya kendaraan roda empat milik Brian berhenti tepat di depan kontrakan Cindy. "Terima kasih, Rian." Brian mengangguk lalu melajukan mobil meninggalkan Yasmin yang berdiri seraya melambaikan tangan ke arahnya. "Apa Yasmin benar-benar mencintai papi? Bukan sekedar menginginkan harganya saja, " batin Brian bertanya-tanya. Yasmin berjalan pelan menuju teras. Netranya awas melihat sekeliling. Halaman sudah bersih dan pot yang sempat berciuman dengan kepalanya juga sudah tidak ada. Bahkan koper yang sempat
"Maaf, Bu. Saya terlambat." "Kamu!" Seorang lelaki menatap Yasmin hingga tak berkedip. Bukan karena hijab yang ia kenakan sedikit miring. Namun karena kecantikan Yasmin semakin terpancar saat mengenakan hijab. "Farel." "Yasmin." Mereka saling sapa walau masih terkejut. Ada rasa tak percaya bisa bertemu lagi di sini. "Kalian sudah kenal?" tanya Hazna penasaran. Yasmin dan Farel saling lirik tapi belum juga ada yang menjawab pertanyaan Hanza. "Farel, kamu kenal Yasmin?" tanya sang kakak dengan sorot mata penuh tanda tanya. Hazna merupakan kakak kandung Farel. Tempat itu adalah salah satu restoran Hazna. Masih ada lima cabang lain di Jakarta. Dan lima cabang di luar Jakarta. "Dia teman saya, Mbak." Hazna mengangguk meski dalam hati masih bertanya-tanya. Selama ini Hazna mengenal hampir semua teman Farel. Entah itu laki-laki mau pun perempuan. Dan Yasmin bukan termasuk teman dekatnya. Teman perempuan Farel kebanyakan berhijab, sedang Yasmin kebalikannya. Pakaian yang ia k
"Mbak Hazna gak salah ngomong?""Apa wajahku terlihat bercanda? Sejak kapan aku ngawur saat membahas masalah penting ini?"Mulutku kembali bungkam. Perkataan kakaku tak bisa diganggu gugat. Aku tahu betul, dia tak pernah main-main jika membahas masalah pernikahan. "Apa alasan Mbak Hazna menerima Yasmin?"Mbak Yasmin menghela napas. Air putih dalam gelas ia habiskan dalam sekali teguk. Kemudian tatapan tajam ia layangkan padaku. Ini masalah serius. "Itu perkataan sebelum mama masuk rumah sakit."Seketika perasaan bersalah tumbuh dan mendominasi. Keegoisanku membuat mama jatuh sakit. Anak macam apa aku ini? "Ini bukan salahmu, Rel. Kamu pantas bahagia. Mbak tahu, banyak keinginan yang terpaksa kamu tinggalkan demi mematuhi perintah papa. Sudah saatnya kamu bahagia, Farel."Setelah percakapan itu, aku segera pergi menuju apartemen Mbak Hazna. Apalagi yang akan kulakukan selain bertemu Yasmin. Baru beberapa jam tapi rindu terus membelenggu. Aku tak bisa jauh dari perempuan itu. Siulan
"Stop, Farel!"Seketika aku dan Yasmin menoleh ke belakang. Pintu lift yang semula tertutup kini sudah terbuka lebar. Seorang lelaki dengan jas dokter berdiri sambil menatap tajam padaku. Dokter Akbar, pemilik rumah sakit sekaligus ayah kandungku. "Ikut Papa!"Yasmin semakin mempererat genggaman tangannya saat kami keluar dari lift. Keringat dingin meluncur bebas dari kening. Wanitaku ketakutan. "Semua akan baik-baik saja, Yas."Aku pererat genggaman ini. Memberi kekuatan jika semua akan baik-baik saja. Aku akan selalu di depan untuk memberinya perlindungan. Sepanjang kaki melangkah semua mata menatap ke arah kami. Lebih tepatnya ke arah Yasmin. Bisik-bisik dan ucapan tak mengenakan mewarnai langkah kami. Sesekali Yasmin mengalihkan pandangan, tangan kirinya menyeka sudut netra. Dia menangis tanpa bersuara. Pintu ruang direktur utama terbuka lebar. Papa melangkah masuk, diikuti kami di belakang. Jantungku berdetak kencang kala pintu itu tertutup rapat. Kini kami saling diam deng
"Azizah!" Mataku terbuka lebar kala melihat wanita yang berdiri di hadapan. Dia masih sama seperti saat aku menolaknya. Senyum manis penuh ketulusan dia berikan padaku, lelaki yang membencinya karena sebuah perjodohan. "Kalian?" Aku menatap Azizah dan Arman bergantian. Sebuah kecurigaan tampak jelas di netra ini. "Boleh aku duduk, Bang Farel?" tanyanya menghentikan pertanyaan yang belum sempat aku ucapkan. Sebuah anggukan kuberikan sebagai jawaban saat mulut tak sanggup mengeluarkan kata. Azizah pun tersenyum, lalu menarik kursi dan duduk di antara kami. Sungguh keadaan ini membuatku tak nyaman, aku ingin pergi dan menghilang dari sini. "Kenapa kamu tahu aku ada di sini, Za?""Dia tahu dariku, Rel."Aku menghela napas kasar, mengeluarkan rasa kesal yang sempat memenuhi rongga dada. Aku sudah menduga, kedatangan Azizah pasti ada hubungannya dengan Arman. Apa ini rencana Arman untuk memisahkan aku dan Yasmin? "Amara alasan kamu melakukan ini?" Aku tatap tajam lelaki yang masih be
Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku membenci keadaan ini. Kenapa selalu berada di situasi seperti ini? "Maaf, Bu Zazkia. Saya akan segera menikah."Wajah yang semula antusias mendadak berubah masam. Senyum yang tadi hadir sirna dalam sekejap mata. Dia kecewa. "Oh, menikah? Maaf, saya tidak tahu jika kamu sudah memiliki calon istri, Rel. Saya hanya ingin mengungkapkan perasaan ini. Maaf jika lancang dan membuatmu tak nyaman."Seulas senyum keterpaksaan nampak di wajahnya. Dia pura-pura tersenyum meski hati tersiksa. Lagi-lagi dunia penuh dengan drama dan sandiwara. Namun beruntung karena dia tak memaksaku untuk mengatakan iya. "Tak apa, Bu. Lagi pula semua orang bebas mengeluarkan pendapat, bukan? Negara ini saja mengikuti paham demokrasi, apa lagi kita yang hidup berdampingan satu dan lainnya.""Sekali lagi selamat, Rel."Aku mengangguk lalu segera berpamitan dengan wanita itu. Pergi secepat mungkin adalah pilihan yang tepat. Karena terus menerus bertemu dengan dia akan menci
"Kamu....""Iya aku, pelanggan yang kamu tinggal sebelum sempat memesan." Wanita itu berjalan mendekat, terdengar sepatu yang beradu dengan lantai."Dia pemilik restoran ini." Mati. Kali ini aku akan dipecat. Tamatlah riwayatku! Ternyata begitu sulit bekerja sebagai pelayanan. Salah sedikit berdampak pemecatan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud mengabaikan pelanggan. Saya hanya ingin menolong pelanggan yang lain. Tolong, jangan pecat saya, Bu."Wanita itu tersenyum hingga tampak gigi kelinci. "Siapa yang mau memecat kamu, Farel?"Aku menautkan dua alis, dari mana wanita itu tahu namaku? "Saya justru berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan orang itu.""Ja-jadi saya tidak dipecat?""Jelas tidak, mana mungkin saya memecat karyawan yang rajin seperti kamu." Aku mengangguk, seulas senyum terbit dari bibir ini. "Saya heran, kenapa kamu bisa tahu jika lelaki itu tersedak? Sementara jarak meja saya dengan lelaki itu cukup jauh."Aku hanya tersenyum, tidak mungkin aku jelaskan si
Aku berlari menuju kerumunan. Perasaanku semakin tak enak. Semoga saja itu bukan Yasmin. Semoga bukan dia. "Permisi!""Permisi!"Aku menelusup masuk ke kerumunan. Darah berceceran di trotoar dan jalan sekitarnya. Wanita yang lelaki itu maksud sudah terbujur kaku dengan koran sebagai penutup tubuhnya. Rambut hitam wanita itu sama persis dengan Yasmin. Jangan-jangan dia memang wanitaku. Tidak... Tidak, itu tidak boleh terjadi. Yasmin tidak boleh meninggalkan diriku. "Ya... Yasmin, kenapa kamu tinggalin aku," isakku. Perlahan kubuka koran yang menutupi wajahnya. Jantungku berdetak, rasa takut kembali hadir. Bagaimana jika ini benar-benar Yasmin? Apa yang akan kulakukan? Bisakah aku menerima kenyataan pahit ini? "Mas kenal mayat itu?" tanya seseorang menghentikan gerakan tangan ini."Dia Yasmin, kekasih saya." "Sejak kapan aku jadi kekasihmu, Rel?" Aku mendongak, Yasmin berdiri di belakang sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Perlahan aku berdiri, niat untuk membuka koran itu
Aku dan Yasmin saling pandang. Kami bingung harus menjawab apa. Situasi ini di luar dugaan kami. "Tante mendengar percakapan kami?" tanyaku sedikit ragu. "Jadi kamu mantan wanita simpanan?" Tante Mayang menatap tajam mata Yasmin. "I-iya, Bu. Sebenarnya nama asli saya Yasmin bukan Amara. Saya man... mantan wanita simpanan pengusaha terkenal. Saya pernah diperkosa dan dilecehkan," ucapnya dengan suara bergetar. Tak berapa lama cairan bening berlomba-lomba turun hingga membasahi pipinya. Mengungkapkan kenyataan pahit tidaklah mudah. Tetapi Yasmin mampu meski keadaan yang menuntutnya untuk melakukan itu. "Astagfirullah ... Ya Allah." Tante Mayang mengelus dadanya. Terkejut, marah dan benci melebur menjadi satu di hatinya. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud berbohong. Hanya....""Kamu ingin mendapatkan Arman lalu menutupi semuanya. Bukan begitu, Amara?""Ti-tidak seperti itu, Bu. Sa-saya hanya ingin....""Maaf, Amara. Mulai hari ini kamu saya pecat. Tolong tinggalkan rumah seka
"Bagaimana Amara, apa kamu menerima lamaran Bapak?" tanya Om Sugiyono. Aku tak sanggup mendengar jawaban Yasmin. Aku tidak ingin terluka untuk kesekian kalinya. Mengetahui wanita yang kita cintai bersama lelaki lain itu menyakitkan. Lebih baik aku pergi, melarikan diri dari kenyataan pahit ini. Pengecut, tapi hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. "Maaf, Om, Tante, semuanya saya masuk kamar dulu." Aku beranjak berdiri. "Kamu belum selesai makan, Rel.""Saya tidak enak badan, Tante." Terpaksa aku berbohong. "Mau aku periksa, Rel?""Gak perlu, Ar. Aman, kok. Aku hanya butuh waktu untuk istirahat."Aku melangkah pergi, meninggalkan ruang makan dengan berjuta perasaan kecewa di dalamnya. Pintu kamar kututup rapat, lalu menjatuhkan bobot di atas ranjang. Lagi wajah Yasmin dan Arman menari-nari di pelupuk mata. Seketika amarah menyeruak memenuhi rongga dada. Ini tidak baik, aku harus secepatnya pergi dari sini. Aku tidak sanggup melihat mereka bermesraan. Aku mengacak rambut, frusta
"Arman mau melamar siapa, Tante?" tanyaku memastikan. "Arman belum cerita sama kamu, Rel?"Aku menggeleng, pura-pura tidak tahu. Meski aku yakin nama Amara yang akan ia sebutkan. Namun aku masih berharap bukan dia, bukan wanitaku. "Amara, asisten rumah tangga kami.'JLEPJantung ini seakan berhenti berdetak. Aku sudah mengira kata Amara akan muncul dari mulut mereka. Namun sakitnya tetap saja terasa. Ya Robb, haruskah aku terluka untuk kedua kalinya? Haruskah aku mengalah untuk lelaki lain? Sakit, aku tersiksa. Bahkan hampir tidak sanggup berbicara. Kenapa harus aku yang mengalah, Ya Robb. Tidak bisakah orang lain saja? Dulu Brian sekarang Arman, apa aku tak berjodoh dengan Yasmin? Hingga selalu Engkau datangkan orang lain di kehidupannya atau mungkin hatinya. "Kok diam, Rel. Kamu kenal Amara, kan?"Aku mengangguk, susah payah kutahan air mata yang hampir terjatuh. Payah, kenapa harus menangis jika aku mengetahui kenyataan pahitnya. "Kamu pasti kaget kenapa Tante setuju mesk