Sindiran Pedas Istri Kedua "Assalamualaikum, Mama!" Terdengar sahutan Rara. Aku menengok keluar. Dia sudah berdiri di balik pagar. Aku bergegas membukakan pagar yang tadi memang dikunci . Hendi pun ikut turun dari mobil, membawakan tas Rara. Dari arah berlawanan, terlihat Obi dan Syira juga menuju ke arah kami. "Terima kasih sudah menjemput Rara," ujarku berbasa-basi. "Iya," jawab Hendi pelan. "Kakak Ra ...!" panggil Syira sambil melambaikan tangan. Dia mempercepat langkahnya meninggalkan Obi yang mendrible bola sambil berjalan. Rara yang sudah melewati pagar mundur kembali lalu menyongsong Syira. "Udahan aja mainnya?" Aku bertanya pada Obi begitu dia sampai. "Malah asyik ngejar kucing," ungkap Obi. "Syira dari mana?" Hendi berjongkok mensejajarkan tinggi dengan Syira. "Habis olah raga, ya, Om," balasnya sambil menengadah ke Obi. "Iya, olah raga. Udah mau mandi, kan, sekarang? Udah kecut banget nih!" lanjut Obi. "Iya, deh, tapi Om jangan pergi dulu, ya! Tungguin Syira," p
Sindiran Pesas Istri Kedua Mendadak moodku berubah drastis. Rasa kesal mulai menjalari. Kutaruh kembali ponsel ke meja di samping tempat tidur. Aku menyibakkan kain gorden berwarna abu-abu muda. Seperti biasa, di luar sepi. Hanya kucing-kucing liar yang menjadi pengguna jalan. Berlari, berkejaran ke sana-sini. Sesekali mengeong dan meraung sebagai kode untuk lawan jenis yang menjadi incarannya. Langit juga tak begitu terang. Hanya ada bulan sabit dan beberapa bintang berkelip menghiasi cakrawala. Aku berdecak, mencoba mengusir gusar yang kian memeluk erat. Aku meninggalkan kamar. Mendatangi kamar anak-anak satu per satu. Rara sudah tertidur pulas. Aku tutup kembali pintu kamarnya setelah mengganti lampu tiduryang lupa digantinya. Di sebelahnya adalah kamar Syira. Kamar ini jarang sekali dipakainya. Dia lebih sering tidur bersamaku. Entah itu di kamar bawah maupun kamar utama yang ada di lantai atas. Tadi dia meminta tidur di kamarnya. Kutinggalkan dia bersama Mbak Nana setelah
Sindiran Pedas Istri Kedua (Pov Hakim) Mencintai dalam diam, pernah kulakukan. Namun, ternyata tak semudah dan seindah kata-kata pujangga. Ada banyak rasa yang bergelora, membersamai selama rentang waktu itu. Pahit dan manisnya silih berganti menerpa. Hingga pada akhirnya aku berkesimpulan aku gagal mencapai keikhlasan. Tulus mencintai hanyalah sebaris kalimat hoax yang coba dibenarkan oleh jiwa yang dikuasai kenaifan. Mencintainya dalam ketidaktahuannya, melakukan apa saja asal dia bahagia, awalnya memang terasa indah dan menghadirkan kepuasan tersendiri di hati. Namun, nyatanya aku tak mampu berlama-lama bertahan seperti itu. Hasrat untuk menyingkap semua itu yang pernah hilang timbul, mendadak menjadi makin membuncah. Aku pun dalam dilema. Tiaranika Ayu adalah sosok yang membuatku terpesona tepat pada pandangan pertama. Belasan tahun yang lalu, ketika hari pertama aku berada di lingkungan kampus dengan status mahasiswa baru. Entah itu namanya ospek atau apalah istilahnya pada
Sindiran Pedas Istri Kedua Ternyata sudah pukul tujuh lewat. Aku baru saja sampai di rumah dengan keadaan bermandikan peluh. Selepas Subuh tadi Khalif mengajakku untuk jogging sekalian sarapan bubur favorit Khalif. Sekarang hari Sabtu, bertepatan dengan tanggal merah. Kemarin Khalif diberi izin oleh Ustaz pendampingnya untuk bisa pulang. Rasanya senang sekali karena berkumpul secara lengkap sudah jarang bisa kami lakukan. Belakangan kebersamaan itu terasa sangat mahal. "Kakak langsung mandi, ya, Ma!" Khalif mendahuluiku ketika sudah berada di depan rumah. "Ngadem dulu, Kak. Masih gerah jangan langsung mandi!" "Ya, udah, mau minum susu dulu aja," sahutnya lalu hilang di balik pagar. Kemudian, samar terdengar suaranya tengah mengucapkan sapaan. Di usianya yang menuju empat belas tahun, Khalif semakin tumbuh menjulang. Apalagi dia memang senang berolah raga, sama halnya seperti papanya, sewaktu dulu. Tingginya sekarang sudah melampaui aku. Aku melahirkan Khalif ketika usiaku belum
Sindiran Pedas Istri Kedua Part 55 Obi hanya tersenyum, seperti tidak sedang berada pada situasi yang serius. "Iya, maaf. Kalau bilang-bilang jadinya nggak surprise, dong!" Aku tidak merasa puas dengan jawaban Obi. Ini bukanlah perihal yang patut untuk dijadikan ajang kejutan menurutku. "Tapi nggak gini juga, dong, Bi!" "Jadi gini, ya, Kak Tiara yang orangnya nggak tegaan dan banyak rasa nggak enaknya. Kalau aku mau ngajak ngobrol tentang hal ini, bakal panjang kali lebar kali tinggi jadinya. Lamaaa banget, susah ketemu ujungnya." "Ini bagaimana, itu bagaimana? Banyak banget pertimbangannya dan kebanyakan yang dipikirin perasaan orang," sambung Obi lagi. "Tapi, Bi---" Obi langsung memotong ucapanku. "Mulai sekarang, stop untuk terlalu mempertimbangkan orang lain. Fokus ke kita aja. Kita tidak harus bertanggung jawab untuk menjaga perasaan semua orang. Empati memang perlu tapi, sekadarnya." "Misalnya, nih, Hakim dia sekarang tidak baik-baik saja, apakah salah kita? Salah aku,
Sindiran Pedas Istri Kedua "Mama, Syira nggak jadi pakai kerudung yang ini. Yang samaan sama kakak Rara aja." Aku sedikit terperanjak karena Syira sudah ada di belakangku. Aku menghela napas, akhirnya anak ini menyerah juga. Sedari tadi dia keukeuh ingin memakai kerudung warna abu-abu yang baru dibeli kemarin. Padahal kerudung yang senada dengan bajunya sudah disiapkan. "Yakin?" tanyaku sembari memindai wajah manisnya. Syira mengangguk. Menaklukkan Syira memang susah-susah gampang. Dia tidak mudah ditebak. Dia juga tidak secekatan Rara pada saat usia yang sama. Status sebagai anak bungsu cukup berpengaruh pada kepribadiannya. Untunglah kedua kakaknya sudah bisa paham bagaimana mereka harus bersikap sebagai kakak. Aku mengambil kerudungnya yang masih tergeletak di atas kasur yang tadi ditolaknya mentah-mentah. Segera aku memasangkannya. "Cantik banget, sayangnya Mama. Kita foto, ya," pintaku karena belakangan Syira sangat moody diajak berfoto. Untunglah kali ini dia langsung setu
Sindiran Pedas Istri Kedua "Saya terima nikah dan kawinnya, Tiaranika Ayu Binti Hasim Sholeh dengan maskawin tersebut di atas, dibayar tunai!" Dengan suara lantang dan dalam satu tarikan napas, Obi menjawab kalimat ijab yang telah terlebih dahulu dilafazkan Bapak, juga lugas dalam satu tarikan napas. Dan akhirnya, datang juga waktu yang ditunggu. Hanya berselang belasan minggu semenjak acara lamaran diadakan. Penantian yang panjang bagi Obi, berpuluh purnama lamanya semenjak pengakuan cintanya padaku. Sekarang barulah berlabuh di sini. Disaksikan oleh segenap keluarga, Obi menjabat tangan Bapak, mengucapkan kalimat sakral di depan penghulu. Di awali dengan menyebut nama Allah, mengambil tanggung jawab Bapak atasku, dunia hingga akhirat. Berjanji dengan sadar akan membawaku meniti jalan yang diridhoi-Nya. Merangkai bahagia bersama. Hingga akhir usia, semoga saja. Kata sah pun terucap dari dua orang saksi yang duduk di sisi kiri dan kanan, saling berhadapan. Tanpa dikomandoi, sere
Sindiran Pedas Istri Kedua Kurasakan tepukan lembut di pipi diikuti dengan bisikan yang antara terdengar dan tidak. "Sayang, udah mau Subuh." Aku menggeliat. Rasa enggan sangat besar menguasai, terlebih aku merasakan dingin yang lebih dari biasanya. Kutarik lagi selimut dengan paksa hingga hampir menutup keseluruhan kepala. Selimut itu disibak dengan perlahan. Hingga mataku kembali merasakan silau. Mau tidak mau, kesadaranku ditarik perlahan. Aku insaf sekarang. Pantaslah dingin ini terasa menjadi-jadi, Aku sedang tidak berpakaian utuh sekarang. Aku melirik ke samping. Separas wajah dengan senyum hangat menjadi pandangan pembuka bagiku pagi ini. Binar bahagia seperti sedang bertahta di sana. Dia pun merubah posisi menjadi setengah berbaring. "Sudah pagi." Ucapan lembut itu menjalar hingga ke relung hati. Menggetarkan jiwa yang telah lama kaku akan kata-kata lembut penuh kasih sayang. "Hmm," balasku sambil mengerjap. "Capek banget, ya?" Senyum menggoda ia sunggingkan dengan sen
Sindiran Pedas Istri Kedua Entah berapa suhu pendingin udara di ruangan ini. Dingin, itulah yang paling dominan kurasakan. Hari yang paling ditunggu akhirnya datang juga. Tanggal ini menjadi pilihanku untuk menjadi tanggal kelahiran buah cintaku dengan Obi. Tentunya setelah melalui rekomendasi dan pertimbangan dari tim medis yang terlibat dalam proses persalinan caesar ini. Ketakutan dan kecemasan telah sirna dari diriku. Telah berganti dengan rasa antusias dan tak sabar untuk menyambut bayi-bayi mungil nan menggemaskan. Tindakan operasi tidak dilakukan di klinik dokter Lalita. Melainkan di rumah sakit swasta terbesar di kota ini yang memiliki fasilitas lengkap, terutama ketersediaan ruang NICU. Hal ini disengaja untuk mengantisipasi hal-hal di luar perkiraan. "Bismillah, ya, Yang," bisik Obi ketika beberapa langkah lagi akan kami sampai di pintu ruang operasi. Obi memandangku dengan tatapan sendu. Matanya masih menyisakan warna kemerah-merahan. Entah kenapa sejak semalam malah
Sindiran Pedas Istri Kedua Hari terus berganti seiring perputaran waktu. Kadang sehari terasa begitu lamban. Menunggu pagi hingga pagi lagi dengan segenap keluh kesah yang dialami oleh kebanyakan wanita hamil di muka bumi ini. Semakin bertambahnya usia kehamilan, semakin banyak yang dirasa. Jika pada kehamilan tunggal saja begitu nikmat rasanya, apalagi kembar tiga. Benar-benar luar biasa. Meskipun begitu, semakin besar juga kebahagiaan yang menghampiri. Kebahagiaan bercampur rasa penasaran menanti kelahiran tiga malaikat kecil di tengah-tengah kami. Beruntung sekali aku berada di lingkaran yang benar-benar men-support. Suami yang teramat sayang dan protektif, anak-anak yang antusias, ibu, serta ibu mertua yang tak kalah perhatiannya. Bahkan beberapa waktu lalu Bu Mai sudah menyampaikan keinginannya untuk turut serta merawat bayi-bayi kami kelak. "Kalau udah lahiran, ibu ikut tinggal bersama kalian, ya. Ibu pengen ikut jagain cucu-cucu ibu. Ibu tidak akan ikut campur kehidupan kal
Sindiran Pedas Istri Kedua Rasa nyeri itu menjalar beberapa saat lalu mereda. Dalam hitungan detik berikutnya, rasa yang sama kembali terasa. "Nyeri lagi, Yang?" tanya Obi dengan wajah tegang. Aku mengangguk. Obi segera memberitahu perawat yang ada di meja jaga di luar. Tak menunggu terlalu lama, dokter bersama asistennya sudah berada di kamarku dan dengan sigap kembali melakukan pemeriksaan. "Dikasih obat pereda nyeri dulu, ya, sembari saya konsultasikan juga sama dokter penyakit dalam." Dokter Lalita memberikan injeksi lewat selang infus. Kurasakan sedikit nyeri pada pembuluh darah yang dipasang jarum infus. Beberapa kali rasa nyeri melilit masih kurasakan. Mulai dari yang frekwensi sering dan lama hingga berlahan berkurang. Hingga akhirnya aku dikalahkan oleh beban berat di kelopak mata.***"Sebenarnya, Kak, waktu di parkiran aku kepikiran juga untuk mengecek kondisi Kak Tiara. Cuma kupikir-pikir lagi, aku belum punya banyak pengalaman terus aku juga nggak tahu rekam medis k
Sindiran Pedas Istri Kedua "Duduk rileks dulu, ya!" ujar Obi sembari membantuku naik ke mobil dan membantu mendapatkan posisi nyaman. "HP-nya mana, Yang? Hubungin dokter Lalita dulu. HP-ku mati." Aku menyerahkan tas tangan warna hitam yang kubawa. Obi dengan cekatan membukanya dan menemukan ponselku di dalamnya. Dia pun langsung menghubungi dokter Lalita. "Kak Tiara kenapa?" Aruni bertanya begitu dia berada di dekatku. Tadi ketika kami keluar ruangan, dia masih ngobrol dengan seseorang sehingga aku dan Obi duluan ke lobby depan. "Nggak kenapa-kenapa, kok. Mungkin kecapekan," jawabku pada Aruni sembari tetap mencoba mengatur pernapasan. "Kita langsung ke klinik aja, ya," ucap Obi begitu selesai menelepon. Dia langsung berjalan ke posisi kemudi. "Emangnya kenapa, Bang?" Aruni terlihat sangat penasaran. "Mau ngecek kondisi Tiara, dulu. Kamu jadi ikut?" tanya Obi sambil melirik pada Aruni yang masih berdiri di sampingku. "Iya, ikut." Aruni segera menutup pintu depan, dilanjutkan
Sindiran Pedas Istri Kedua Sebenarnya tujuan mama Hakim mengundang kami ke rumahnya untuk ramah tamah dengan keluarganya yang lain. Bertepatan dengan anak perempuan dari pernikahan keduanya --adik Hakim-- pulang dari London hari ini. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di salah satu perguruan tinggi bergengsi di negara Britania Raya itu. Ternyata semalam dia mengabarkan kalau kepulangannya ditunda hingga beberapa hari ke depan. Sementara Mamanya sudah terlanjur mengundang kami. Alhasil, jadinya hanya ada aku, Obi dan mereka bertiga. Hakim beserta orang tuanya dan Obi tengah menikmati makan siang yang sudah kesorean di ruang makan yang memang menyatu dengan ruang keluarga. Sementara aku tidak bergabung ke sana untuk menghindari aroma-aroma dari beberapa masakan yang memang cukup menyengat dan memancing mual. Sebenarnya selera makanku sudah terlanjur hilang. Namun, makanan yang khusus untukku, yang tanpa bumbu-bumbu tertentu sudah dimasakkan sehingga mau tidak mau aku h
Sindiran Pedas Istri Kedua "Bukan lamaran tapi tunangan, Ma." Papa Hakim menyela. "Kata Mama, sih, nggak usah tunangan-tunangan lagi. Langsung nikah aja, udah. Selesai!" gumam Mama Hakim dengan raut wajah yang menunjukkan kekesalan. "Ya, ndak bisa begitu, Ma. Jangan memaksakan kehendak pada anak. Biarkan dia menentukan sendiri, kita tinggal menyokong saja selagi itu positif." "Papa selalu begitu. Ngikut aja maunya anak-anak. Nggak bisa tegas sama anak." Mama Hakim kembali bersungut. Sementara aku dan Obi hanya saling lirik. Jujur rasanya kurang nyaman berada di antara perdebatan orang tua Hakim yang secara emosional kami belum dekat. "Ada kalanya kita yang harus mengikuti maunya anak dan ada pula masanya anak yang harus mengikuti maunya orang tua. Kita tidak boleh menerapkan sistem diktator pada anak." Papa Hakim kembali menanggapi istrinya dengan kata-kata bijak. "Papa selalu begitu. Sudahlah, Mama mau ke belakang dulu, ngelihat masakan Mbak." Mama Hakim meninggalkan kami. Ak
Sindiran Pedas Istri Kedua "Iya, Sayang. Kita akan ada adek bayi," ungkap Obi. Rara dan Syira saling bertatapan. Sejenak mereka hanya diam. Aku mulai ketar-ketir menunggu reaksi mereka selanjutnya. Hingga hitungan detik selanjutnya, mereka saling menautkan tangan lalu melinjak-lonjak kecil. "Yey, yey, punya adik bayi ... yey, yey, punya adik bayi," sorak mereka hampir bersamaan. Seketika aku mengembuskan napas lega. Hal yang sama juga tersirat di wajah Obi. "Adik bayinya laki-laki atau perempuan, Om?" tanya Syira dengan gaya khasnya. "Sekarang, sih, belum tahu, Sayang. Nanti kita tanya lagi ke Bu dokter, ya," terang Obi yang mimik serius. "Okeylah. Syira diajak juga ke tempat Bu dokter, ya!" pintanya dengan wajah gemas. "Nanti adik bayinya ada---" Ucapanku terhenti karena senggolan Obi di lenganku. "Pasti, dong! Kakak Rara dan Kakak Syira diajak juga. Nanti kita videoin juga, ya, hasil usg adik bayi." Syira nampak sangat antusias mendengar penuturan Obi. "Tapi ... tapi, ki
Sindiran Pedas Istri Kedua Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Sementara Obi makin antusias memperhatikan layar yang menampilkan rekaman janin di dalam kandunganku. Dokter Lalita pun melanjutkan menerangkan membaca tampilan usg itu. "Mudah-mudahan tiga-tiganya berkembang dengan baik, ya. Dua minggu lagi kita lakukan pengecekan lagi. Nanti baru bisa lebih jelas terdengar detak jantungnya." Dokter mengakhiri pemeriksaan dan mempersilakan kami untuk kembali ke mejanya. "Sejauh ini sudah ada keluhan belum Bu Tiara?" tanya dokter begitu aku duduk di kursi yang berhadapan dengannya setelah sebelumnya kembali merapikan pakaian. "Belum ada, dokter. Masih biasa-biasa aja." "Oke. Jadi begini, Pak Obi dan Bu Tiara, saya bukannya mau menakut-nakuti tetapi harus saya informasikan dan saya yakin Bu Tiara juga pasti paham bahwa kehamilan kembar tentu ada perbedaannya dengan kehamilan tunggal. Terlebih ini adalah triplet." Aku mengangguk memahami apa yang dimaksud oleh dokter Lalita. Hamil t
Sindiran Pedas Istri Kedua "Yang, ini benaran, kan?" Sekali lagi Obi memperhatikan benda panjang pipih dengan dua garis merah yang masih agak samar tertera di sana. Pandangannya kembali berpindah padaku. Sorot matanya penuh harap. Aku kembLi mengangguk disertai senyum mengembang. "Ulang lagi, dong, aku mau lihat." "Besok pagi aja, ya. Urine pagi, biar hasilnya lebih jelas." "Kelamaan besok pagi, Yang. Sekarang aja!" "Tapi aku udah pipis barusan, Bi." "Pipis lagi, sini aku temanin." "Ya, nggak bisalah, Bi. Baru beberapa menit yang lalu aku pipis. Aku mau ngeluarin apa lagi coba?" "Bentar-bentar." Obi bergegas keluar. Langkahnya yang tadi gontai sekarang mendadak sigap. Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang kurang sehat. Tak berselang lama Obi kembali masuk dengan dua botol air mineral di tangannya. "Minum, Yang. Yang banyak biar cepat kebelet." Aku membulatkan mata pada Obi. "Kamu mau aku kembung?" "Ayolah, Yang. Aku udah nggak sabar ini. Lagian kamunya,