Share

Part 36

last update Last Updated: 2022-05-16 13:22:14

SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA

"Sekarang Kakak jawab pertanyaan Mama dengan jujur, ya!" pintaku pada Khalif. Dia tampak ingin protes. Namun, segera aku mendahului. "Habis itu Mama akan jawab pertanyaan Kakak."

"Iya, deh," jawabnya setuju.

"Selama kita hanya berempat saja, Kakak merasa bahagia apa tidak?" Aku menelisik ke matanya. Aku ingin memastikan jawaban yang diberikan Khalif bukan hanya sekadar ingin menyenangkan aku saja. Tetapi benar-benar sebuah kejujuran.

"Bahagia." Khalif langsung menjawab.

"Apa pun yang Mama lakukan dan yang akan Mama lakukan adalah demi kebahagiaan Kakak dan adik-adik. Kalau kita sudah bahagia, sudah nyaman dengan keadaan kita sekarang, ya sudah. Kita seperti ini saja."

Aku melengkungkan senyum pada Khalif. Pandanganku tidak kulepaskan darinya.

"Kakak tidak apa-apa, kan, kalau kita dan Papa tetap seperti ini saja?"

"Buat Kakak, sih, terserah Mama saja. Kakak cuma tidak mau Mama sering sedih dan nangis lagi seperti dulu."

Khalif membalas tatapanku deng
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Yah elah nenek lu org obi pernah ngelamar lu eh lu malah lupa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 37

    Sindiran Pedas Istri Kedua Rutinitas menjelang tidur telah dituntaskan. Salat Magrib, membimbing anak-anak membaca Alquran, makan malam, salat Isya, dan diakhiri dengan membacakan cerita pengantar tidur. Setelah Rara dan Syira benar-benar tertidur, aku kembali ke ruang tengah. Aku bermaksud menyiapkan beberapa keperluan untuk besok. Namun, kuurungkan karena Bapak juga sudah ada di sana. "Bapak belum ngantuk?" Aku pun mendekati beliau yang duduk sambil memijit-mijit kaki. "Anak-anakmu sudah tidur?" Bapak balik bertanya. "Sudah, Pak." "Bapak besok mau pulang dulu, ya. Mau nengok Pakde Karna. Sakitnya makin parah. Bapak juga sudah lama tidak bertemu dia." "Sama Ibu juga?" "Iya." "Besok Bapak diantar Rino saja, sehabis ngantarin Rara," ujarku lalu ikut memijit kaki Bapak. "Lusanya Bapak ke sini lagi. Mumpung masih ada waktu, masih sehat, Bapak mau puas-puasin main sama cucu," ucap Bapak sedikit sendu. "Tiara juga senang banget kalau Bapak dan Ibu tinggal di sini. Biar Tiara bi

    Last Updated : 2022-05-23
  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 38

    SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA Waktu berlalu terasa begitu cepat. Anak-anak bertambah besar dengan pengeluaran yang juga semakin bertambah. Aku masih setia menjadi orang tua tunggal. Hari-hariku bergelut dengan bisnis yang tak lepas dari pasang surut dunia usaha serta menjadi pengajar yang sudah menjadi bagian dari jiwaku. Tentang papanya anak-anak, hubungan kami datar-datar saja. Jika ada waktu dan kesempatan Hendi bertemu dengan anak-anak. Begitu juga dengan Obi. Interaksi kami memang agak berkurang. Namun, di saat-saat tertentu dia tetap membersamai anak-anak. Perlakuan dan perhatiannya pada anak-anak tidak ada yang berkurang. Syukurlah penolakanku waktu itu, tidak membuat dia menjelma menjadi orang asing bagi kami. Aku sangat salut akan kebesaran jiwanya. Di antara kami sudah tidak ada lagi pembahasan tentang perasaan atau yang sejenisnya. Hanya obrolan ringan saja, paling sering tentang perkembangan anak-anak. Membiarkan semuanya mengalir begitu saja, tanpa ada target-target da

    Last Updated : 2022-05-24
  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 39

    Sindiran Pedas Istri Kedua Sejak siang tadi badanku rasanya kurang enak. Padahal sudah hampir tengah malam tetapi mata masih susah untuk dipejamkan. Berkali-kali mencoba mencari posisi yang nyaman, tetap saja tidak berhasil. Untuk melelahkan mata, aku pun berselancar di dunia maya. Menyambangi akun sosial media yang telah beberapa hari tidak pernah kubuka. Ternyata, keisenganku meminta tolong pada hacker untuk meretas akun sosial media Nadia tidaklah sia-sia. Terbukti hingga saat ini tidak pernah lagi ada status-status sindiran yang ditujukan untukku. Mungkin juga dia tidak pernah lagi mengakses akunnya itu karena tidak pernah lagi terlihat aktivitas terbaru di sana. Entah diprivat atau bagaimana. Barangkali dia terlanjur malu atas postingan yang dibuat oleh si hacker waktu itu. Ya, syukurlah kalau dia masih punya rasa malu. Padahal aku tidak memintanya melakukan sejauh itu. Barangkali si hacker juga punya dendam tersendiri kepada Nadia. Mataku tertarik pada sebuah akun yang d

    Last Updated : 2022-05-26
  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 40

    Sindiran Pedas Istri Kedua Syira sedang tidur, sangat pulas. Aku duduk menghadap ranjang memandang wajah polos anakku. Hanya aku dan Syira di ruangan ini. Obi pergi setelah Syira tertidur. Ia mengantar Reno pulang karena dia lebih memilih untuk rawat jalan. Aku tidak menyalahkannya atas kecelakaan ini. Dia pun tentu tidak ingin ini terjadi. Aku sudah agak lebih tenang sekarang setelah tadi berbincang dengan dokter. Syira juga sudah menjalani CT Scan dan rontgen. "Kita lihat reaksi tubuhnya malam ini. Apa ada mengalami deman atau muntah. Kita lakukan pemantauan sembari menunggu hasil pengecekan tadi," terang dokter. Aku memindahkan laptop dari pangkuan ke meja di samping tempat tidur. Tadi aku meminta orang kantor mengantarkan ke sini. Aku harus menyiapkan materi untuk mengajar besok dan mengirimkan filenya kepada Hakim. Seperti yang sudah-sudah, kalau aku ada halangan untuk mengajar, Hakim selalu menjadi ujung tombaknya. Di ujung telepon, Hakim meminta maaf karena tidak bisa mene

    Last Updated : 2022-06-01
  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 41

    SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA Pagi ini aku datang ke rumah Obi. Mau menengok Bu Mai yang baru pulang dari rumah sakit seminggu yang lalu. Kata Obi, kondisi ibunya menurun lagi tetapi tidak mau dibawa lagi ke rumah sakit. "Bu Mai mau makan apa? Mau dimasakin atau mau yang dibeli?" tanyaku setelah Obi mengungkapkan kalau ibunya tidak mau makan sama sekali. Bu Mai menggeleng lemah. "Bu Mai keingatnya makanan apa?" Kembali hanya gelengan yang menjadi responsnya. "Tiara bikinin susu kalau nggak sereal, gimana? Biar perut Bu Mai ada isinya habis itu minum obat," bujukku lagi. Tidak ada reaksi apa-apa dari Bu Mai. Aku pun tak menunggu persetujuan. Aku beranjak menuju meja yang tak jauh dari tempat tidur. Kuseduh sereal berbahan gandum yang sudah tersedia di sana. Kubantu Bu Mai untuk merubah posisi setengah berbaring, menyandarkan punggung pada beberapa bantal yang ditumpuk. Pelan-pelan kusendokkan sereal sedikit demi sedikit. "Kak Tiara mau ada keperluan lagi nggak hari ini?" tanya Ob

    Last Updated : 2022-06-01
  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 42

    Sindiran pedas istri kedua (POV Obi) Perihal jatuh cinta, sungguh hal terumit dalam hidupku. Ketertarikan pada lawan jenis tidak begitu sering menyambangi. Dua atau tiga kali, begitulah seingatku. Itu pun ketika aku telah berada di bangku perkuliahan. Rasa itu juga tak terlalu menggebu-gebu sehingga hanya bertahan beberapa waktu. Belumlah kutemukan sosok wanita yang benar-benar bertahta di hati dan mampu mengalihkan duniaku. Bukan karena aku terlalu selektif atau pun karena tidak tertarik pada lawan jenis seperti gurauan kasar yang kerap terlontar dari beberapa teman yang kurang adab. Meskipun seorang lelaki, pertanyaan bahkan desakan untuk segera menikah sudah kerap kali ditujukan padaku semenjak umur seperempat abad telah kulalui. Aku anak tunggal dan hanya berdua saja dengan ibu semenjak usia balita. Tidak ada sosok ayah yang menjadi panutan sehingga kadang muncul rasa pesimis dalam diriku. Jika kelak aku menikah dan mempunyai anak, bisakan aku menjadi seorang ayah yang baik

    Last Updated : 2022-06-02
  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 43

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Kenapa harus Obi?" Kalimat pertama yang keluar dari mulut Hendi begitu dia berada di hadapanku, tanpa ada basa-basi. Aku cukup terkejut atas kedatangannya. Memang, dua jam yang lalu dia menanyakan keberadaanku. Aku kira dia hanya ingin memastikan anak-anak ada di mana karena dia ingin bertemu dengan mereka.Aku meletakkan telepon genggam yang tengah menjadi pusat perhatianku. Lalu beranjak dari meja kerja ke sofa tempat biasa menerima tamu. Hendi mengikuti pergerakanku. Ekspresi wajahnya terlihat sangat tidak bersahabat. "Kamu ngapain ke sini? Tadi kan sudah aku bilang anak-anak ada di rumah," jawabku santai. "Aku mau bicara sama kamu," balas Hendi setelah mendengkus kesal. "Aku ngerasa nggak ada hal penting yang perlu dibicarakan. Anak-anak baik-baik saja. Semua hal yang berkaitan dengan anak-anak lancar-lancar aja." "Jangan berpura-pura tidak tahu, Tiara! Kamu sangat paham, kan, arah pertanyaan aku?" Hendi terlihat sangat kesal. Sebenarnya aku jauh

    Last Updated : 2022-06-06
  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 44

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Ada apa?" tanya Obi padaku begitu Hendi telah berada di luar. "Biasa, beda pendapat," jawabku. "Kalau yang nggak penting-penting amat, hindari aja. Dari pada merusak hubungan baik," timpal Obi lagi. Aku mengiyakan diiringi senyum tipis. Agar tidak menjadi pembahasan panjang, kucoba untuk mengalihkan pembicaraan. "Bu Mai gimana keadaannya?" "Makin membaik." "Kata Mbak, kamu lagi nyari orang buat di rumah. Bukannya udah ada?" "Cari yang bisa nginap. Lusa aku mau ke Singapura. Kasian Ibu kalau sendirian." "Ada acara apa?" "Ada undangan dari Mas Adrian. Dia kan netap di sana. Mau ikut?" Obi mendelik padaku. Aku menggeleng pelan. "Nggaklah." "Cuma dua sampai tiga hari aja. Anak-anak udah jadi dibikinin pasport belum? " "Baru Khalif aja yang udah jadi." "Kalau semuanya udah punya, jadinya kan enak. Kapan aja dibutuhin udah siap." "Masih ada kerjaan apa udahan?" lanjut Obi lagi. "Cuma tinggal ngecek hasil rekapan yang lagi dikerjakan Nisa. Kenapa?

    Last Updated : 2022-06-13

Latest chapter

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 100

    Sindiran Pedas Istri Kedua Entah berapa suhu pendingin udara di ruangan ini. Dingin, itulah yang paling dominan kurasakan. Hari yang paling ditunggu akhirnya datang juga. Tanggal ini menjadi pilihanku untuk menjadi tanggal kelahiran buah cintaku dengan Obi. Tentunya setelah melalui rekomendasi dan pertimbangan dari tim medis yang terlibat dalam proses persalinan caesar ini. Ketakutan dan kecemasan telah sirna dari diriku. Telah berganti dengan rasa antusias dan tak sabar untuk menyambut bayi-bayi mungil nan menggemaskan. Tindakan operasi tidak dilakukan di klinik dokter Lalita. Melainkan di rumah sakit swasta terbesar di kota ini yang memiliki fasilitas lengkap, terutama ketersediaan ruang NICU. Hal ini disengaja untuk mengantisipasi hal-hal di luar perkiraan. "Bismillah, ya, Yang," bisik Obi ketika beberapa langkah lagi akan kami sampai di pintu ruang operasi. Obi memandangku dengan tatapan sendu. Matanya masih menyisakan warna kemerah-merahan. Entah kenapa sejak semalam malah

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 99

    Sindiran Pedas Istri Kedua Hari terus berganti seiring perputaran waktu. Kadang sehari terasa begitu lamban. Menunggu pagi hingga pagi lagi dengan segenap keluh kesah yang dialami oleh kebanyakan wanita hamil di muka bumi ini. Semakin bertambahnya usia kehamilan, semakin banyak yang dirasa. Jika pada kehamilan tunggal saja begitu nikmat rasanya, apalagi kembar tiga. Benar-benar luar biasa. Meskipun begitu, semakin besar juga kebahagiaan yang menghampiri. Kebahagiaan bercampur rasa penasaran menanti kelahiran tiga malaikat kecil di tengah-tengah kami. Beruntung sekali aku berada di lingkaran yang benar-benar men-support. Suami yang teramat sayang dan protektif, anak-anak yang antusias, ibu, serta ibu mertua yang tak kalah perhatiannya. Bahkan beberapa waktu lalu Bu Mai sudah menyampaikan keinginannya untuk turut serta merawat bayi-bayi kami kelak. "Kalau udah lahiran, ibu ikut tinggal bersama kalian, ya. Ibu pengen ikut jagain cucu-cucu ibu. Ibu tidak akan ikut campur kehidupan kal

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 98

    Sindiran Pedas Istri Kedua Rasa nyeri itu menjalar beberapa saat lalu mereda. Dalam hitungan detik berikutnya, rasa yang sama kembali terasa. "Nyeri lagi, Yang?" tanya Obi dengan wajah tegang. Aku mengangguk. Obi segera memberitahu perawat yang ada di meja jaga di luar. Tak menunggu terlalu lama, dokter bersama asistennya sudah berada di kamarku dan dengan sigap kembali melakukan pemeriksaan. "Dikasih obat pereda nyeri dulu, ya, sembari saya konsultasikan juga sama dokter penyakit dalam." Dokter Lalita memberikan injeksi lewat selang infus. Kurasakan sedikit nyeri pada pembuluh darah yang dipasang jarum infus. Beberapa kali rasa nyeri melilit masih kurasakan. Mulai dari yang frekwensi sering dan lama hingga berlahan berkurang. Hingga akhirnya aku dikalahkan oleh beban berat di kelopak mata.***"Sebenarnya, Kak, waktu di parkiran aku kepikiran juga untuk mengecek kondisi Kak Tiara. Cuma kupikir-pikir lagi, aku belum punya banyak pengalaman terus aku juga nggak tahu rekam medis k

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 97

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Duduk rileks dulu, ya!" ujar Obi sembari membantuku naik ke mobil dan membantu mendapatkan posisi nyaman. "HP-nya mana, Yang? Hubungin dokter Lalita dulu. HP-ku mati." Aku menyerahkan tas tangan warna hitam yang kubawa. Obi dengan cekatan membukanya dan menemukan ponselku di dalamnya. Dia pun langsung menghubungi dokter Lalita. "Kak Tiara kenapa?" Aruni bertanya begitu dia berada di dekatku. Tadi ketika kami keluar ruangan, dia masih ngobrol dengan seseorang sehingga aku dan Obi duluan ke lobby depan. "Nggak kenapa-kenapa, kok. Mungkin kecapekan," jawabku pada Aruni sembari tetap mencoba mengatur pernapasan. "Kita langsung ke klinik aja, ya," ucap Obi begitu selesai menelepon. Dia langsung berjalan ke posisi kemudi. "Emangnya kenapa, Bang?" Aruni terlihat sangat penasaran. "Mau ngecek kondisi Tiara, dulu. Kamu jadi ikut?" tanya Obi sambil melirik pada Aruni yang masih berdiri di sampingku. "Iya, ikut." Aruni segera menutup pintu depan, dilanjutkan

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 96

    Sindiran Pedas Istri Kedua Sebenarnya tujuan mama Hakim mengundang kami ke rumahnya untuk ramah tamah dengan keluarganya yang lain. Bertepatan dengan anak perempuan dari pernikahan keduanya --adik Hakim-- pulang dari London hari ini. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di salah satu perguruan tinggi bergengsi di negara Britania Raya itu. Ternyata semalam dia mengabarkan kalau kepulangannya ditunda hingga beberapa hari ke depan. Sementara Mamanya sudah terlanjur mengundang kami. Alhasil, jadinya hanya ada aku, Obi dan mereka bertiga. Hakim beserta orang tuanya dan Obi tengah menikmati makan siang yang sudah kesorean di ruang makan yang memang menyatu dengan ruang keluarga. Sementara aku tidak bergabung ke sana untuk menghindari aroma-aroma dari beberapa masakan yang memang cukup menyengat dan memancing mual. Sebenarnya selera makanku sudah terlanjur hilang. Namun, makanan yang khusus untukku, yang tanpa bumbu-bumbu tertentu sudah dimasakkan sehingga mau tidak mau aku h

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 95

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Bukan lamaran tapi tunangan, Ma." Papa Hakim menyela. "Kata Mama, sih, nggak usah tunangan-tunangan lagi. Langsung nikah aja, udah. Selesai!" gumam Mama Hakim dengan raut wajah yang menunjukkan kekesalan. "Ya, ndak bisa begitu, Ma. Jangan memaksakan kehendak pada anak. Biarkan dia menentukan sendiri, kita tinggal menyokong saja selagi itu positif." "Papa selalu begitu. Ngikut aja maunya anak-anak. Nggak bisa tegas sama anak." Mama Hakim kembali bersungut. Sementara aku dan Obi hanya saling lirik. Jujur rasanya kurang nyaman berada di antara perdebatan orang tua Hakim yang secara emosional kami belum dekat. "Ada kalanya kita yang harus mengikuti maunya anak dan ada pula masanya anak yang harus mengikuti maunya orang tua. Kita tidak boleh menerapkan sistem diktator pada anak." Papa Hakim kembali menanggapi istrinya dengan kata-kata bijak. "Papa selalu begitu. Sudahlah, Mama mau ke belakang dulu, ngelihat masakan Mbak." Mama Hakim meninggalkan kami. Ak

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 94

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Iya, Sayang. Kita akan ada adek bayi," ungkap Obi. Rara dan Syira saling bertatapan. Sejenak mereka hanya diam. Aku mulai ketar-ketir menunggu reaksi mereka selanjutnya. Hingga hitungan detik selanjutnya, mereka saling menautkan tangan lalu melinjak-lonjak kecil. "Yey, yey, punya adik bayi ... yey, yey, punya adik bayi," sorak mereka hampir bersamaan. Seketika aku mengembuskan napas lega. Hal yang sama juga tersirat di wajah Obi. "Adik bayinya laki-laki atau perempuan, Om?" tanya Syira dengan gaya khasnya. "Sekarang, sih, belum tahu, Sayang. Nanti kita tanya lagi ke Bu dokter, ya," terang Obi yang mimik serius. "Okeylah. Syira diajak juga ke tempat Bu dokter, ya!" pintanya dengan wajah gemas. "Nanti adik bayinya ada---" Ucapanku terhenti karena senggolan Obi di lenganku. "Pasti, dong! Kakak Rara dan Kakak Syira diajak juga. Nanti kita videoin juga, ya, hasil usg adik bayi." Syira nampak sangat antusias mendengar penuturan Obi. "Tapi ... tapi, ki

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 93

    Sindiran Pedas Istri Kedua Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Sementara Obi makin antusias memperhatikan layar yang menampilkan rekaman janin di dalam kandunganku. Dokter Lalita pun melanjutkan menerangkan membaca tampilan usg itu. "Mudah-mudahan tiga-tiganya berkembang dengan baik, ya. Dua minggu lagi kita lakukan pengecekan lagi. Nanti baru bisa lebih jelas terdengar detak jantungnya." Dokter mengakhiri pemeriksaan dan mempersilakan kami untuk kembali ke mejanya. "Sejauh ini sudah ada keluhan belum Bu Tiara?" tanya dokter begitu aku duduk di kursi yang berhadapan dengannya setelah sebelumnya kembali merapikan pakaian. "Belum ada, dokter. Masih biasa-biasa aja." "Oke. Jadi begini, Pak Obi dan Bu Tiara, saya bukannya mau menakut-nakuti tetapi harus saya informasikan dan saya yakin Bu Tiara juga pasti paham bahwa kehamilan kembar tentu ada perbedaannya dengan kehamilan tunggal. Terlebih ini adalah triplet." Aku mengangguk memahami apa yang dimaksud oleh dokter Lalita. Hamil t

  • Sindiran Pedas Istri Kedua   Part 92

    Sindiran Pedas Istri Kedua "Yang, ini benaran, kan?" Sekali lagi Obi memperhatikan benda panjang pipih dengan dua garis merah yang masih agak samar tertera di sana. Pandangannya kembali berpindah padaku. Sorot matanya penuh harap. Aku kembLi mengangguk disertai senyum mengembang. "Ulang lagi, dong, aku mau lihat." "Besok pagi aja, ya. Urine pagi, biar hasilnya lebih jelas." "Kelamaan besok pagi, Yang. Sekarang aja!" "Tapi aku udah pipis barusan, Bi." "Pipis lagi, sini aku temanin." "Ya, nggak bisalah, Bi. Baru beberapa menit yang lalu aku pipis. Aku mau ngeluarin apa lagi coba?" "Bentar-bentar." Obi bergegas keluar. Langkahnya yang tadi gontai sekarang mendadak sigap. Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang kurang sehat. Tak berselang lama Obi kembali masuk dengan dua botol air mineral di tangannya. "Minum, Yang. Yang banyak biar cepat kebelet." Aku membulatkan mata pada Obi. "Kamu mau aku kembung?" "Ayolah, Yang. Aku udah nggak sabar ini. Lagian kamunya,

DMCA.com Protection Status