SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUASore ini ketika akan memasuki halaman rumah ibu, aku dikejutkan oleh seseorang yang duduk bersama Bapak di teras depan. Walaupun posisi dia membelakangi, aku rasa aku tidak akan salah menebak siapa orang tersebut."Kakek lagi ngobrol sama siapa, Ma?" celetuk Rara ketika hendak bersiap turun dari mobil."Rara nggak tahu emangnya?" Aku pun balik bertanya."Agak mirip Papa, sih. Cuma, agak kurus," jawabnya kurang yakin."Ayo turun. Om Rino mau balik lagi ke ruko," ajakku pada Rara. Dia pun segera membawa tasnya. Aku pun membetulkan posisi Syira yang tertidur di pangkuanku. Rino membukakan pintu dan membantu membawakan tas serta beberapa barang yang kami bawa. Aku memperlambat langkah ketika semakin mendekat ke teras. Rara pun begitu, setia berada di sampingku."Assalamualaikum," ucapku begitu menaiki lantai teras.Bapak beserta lelaki yang ada di teras menjawab salam serta berbalik arah. Irama jantungku tidak lagi teratur. Setahun lebih aku tidak pernah lagi
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAHendi beralih tatap pada Bayu. Pandangannya penuh selidik. Bayu walaupun terlihat ada perubahan pada mimik wajahnya, tetap mencoba untuk bersikap tenang."Ada apa memangnya?" tanya Hendi padaku.Aku melemparkan pandangan pada Bayu. Terserah dia mau menjawab apa. Toh, memang dia yang gegabah. Sekelas pengacara bisa-bisanya kena kibul sama Nadia."Oh, suaminya Nadia, ya, Mas? Saya Bayu, kebetulan Mama saya dan Maminya Nadia udah temanan sejak lama. Sejak masih remaja kami sudah kenal," jawab Bayu sambil mengulurkan tangan pada Hendi.Hendi menyambut jabat tangan dari Bayu. Kemudian mengajukan pertanyaan yang membuat Bayu sedikit gelagapan."Lalu apa hubungannya dengan Tiara?" Kali ini tatapan Hendi langsung tertuju pada indra penglihatan Bayu."Kami bertetangga," jawabnya sambil menyeka pelipis yang tidak berkeringat sama sekali."Lalu?" lanjut Hendi terus mendesak."Kami pernah ketemu, barengan." Mengetahui kalau Hendi belum puas akan jawaban yang dia berika
Sindiran Pedas Istri Kedua "Papa udah pergi lagi, Ma?" Rara tiba-tiba sudah berada di sampingku. "Iya, baru aja," jawabku sambil merapikan poninya. Gadis kecil itu memasang wajah cemberut. "Kenapa? Rara masih kangen Papa?" Rara menatapku sebentar lalu mengangguk. " Kenapa Papa nggak pamit sama Rara?" Aku mengulas senyum. Rara terlihat semakin menggemaskan dengan pipi yang bertambah gembul seperti itu. "Papa tadi buru-buru. Ada keperluan mendadak mungkin." "Nanti-nanti Papa ke sini lagi, kan?" Rara terlihat sedikit ragu bertanya padaku. "Ya, mudah-mudahan saja, kalau Papa belum pergi ke tempat kerjanya lagi." Aku pun merasa dilema dalam menjawab pertanyaan Rara. Aku tahu dia sangat berharap. Namun, di sisi lain mungkin juga dia takut untuk terlalu berharap kalau ujung-ujungnya dia akan kecewa. "Memang Papa kerjanya di mana, Ma? Sejauh apa? Memang dari sana tidak bisa video call atau telepon?" Aku menghela napas agak panjang. Sebelum-sebelumnya Rara tidak pernah sepenasaran
Sindiran Pedas Istri Kedua "Tiara, sebentar!" ucap Hendi begitu mematikan mesin kendaraannya. Dia pun buru-buru turun. "Apa tadi Nadia ke sini?" tanya Hendi selanjutnya. "Ya, barusan habis ngoceh-ngoceh ke sini," balasku sedikit sewot. Hendi mengusap wajah. Nampak ia tengah menahan kesal. "Nggak bisa apa kalian selesaikan aja masalah kalian tanpa melibatkan orang lain? Pagi-pagi dah ribut-ribut ke rumah orang. Nggak mikir banget sih istri kamu itu!" jawabku penuh kekesalan. "Siapa yang ribut-ribut?" Tiba-tiba Bapak sudah ada di belakang Hendi. Rara yang kesenangan melihat kedatangan papanya langsung merapat pada papanya. "Papa kemarin kenapa pergi aja? Padahal Rara mau ngelihatin sesuatu sama Papa," ujar Rara dengan gaya manjanya serta wajah sedikit cemberut. "Maaf ya, kemarin papa buru-buru. Rara mau lihatin apa emangnya?" tanya Hendi sembari mengusap kepala Rara. "Rara ambil dulu, ya!" Gadis kecil itu segera menjauh dari papanya. "Ra, langsung mandi dulu, ya!" sahutku. R
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA Hari ini adalah waktu untuk mengunjungi Khalif ke pesantren. Tidak lupa Rara dan Syira juga turut serta. Merekalah yang paling bersemangat jika jadwal kunjungan untuk Khalif telah datang. Hendi pun mengatakan ingin bertemu dengan Khalif. Aku tidak keberatan. Namun, kutekankan padanya aku tidak mau ada kegaduhan yang membuntuti. Jangan sampai istrinya berkoar-koar lagi seperti yang sudah-sudah. Hari-hari kami sudah tentram selama ini. Jangan sampai kemunculan dia malah menjadi pengusik ketenangan kami. "Om Obi nggak ikut ke sini?" tanya Khalif sesaat setelah kami mengurai pelukan. Dia tidak menyadari kalau papanya yang baru saja sampai telah berdiri di belakangnya. "Om Obi kalau minggu pertama kan sering sibuk banget, Kak!" Rara langsung menyela. "Sekarang ada Papa," lanjut gadis kecil berkerudung lilac itu dengan gamis warna senada. Rara terlihat manis sekali dalam balutan warna kesukaannya itu. Khalif tertegun sejenak. Lalu mengikuti pergerakan Rara y
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA "Sekarang Kakak jawab pertanyaan Mama dengan jujur, ya!" pintaku pada Khalif. Dia tampak ingin protes. Namun, segera aku mendahului. "Habis itu Mama akan jawab pertanyaan Kakak." "Iya, deh," jawabnya setuju. "Selama kita hanya berempat saja, Kakak merasa bahagia apa tidak?" Aku menelisik ke matanya. Aku ingin memastikan jawaban yang diberikan Khalif bukan hanya sekadar ingin menyenangkan aku saja. Tetapi benar-benar sebuah kejujuran. "Bahagia." Khalif langsung menjawab. "Apa pun yang Mama lakukan dan yang akan Mama lakukan adalah demi kebahagiaan Kakak dan adik-adik. Kalau kita sudah bahagia, sudah nyaman dengan keadaan kita sekarang, ya sudah. Kita seperti ini saja." Aku melengkungkan senyum pada Khalif. Pandanganku tidak kulepaskan darinya. "Kakak tidak apa-apa, kan, kalau kita dan Papa tetap seperti ini saja?" "Buat Kakak, sih, terserah Mama saja. Kakak cuma tidak mau Mama sering sedih dan nangis lagi seperti dulu." Khalif membalas tatapanku deng
Sindiran Pedas Istri Kedua Rutinitas menjelang tidur telah dituntaskan. Salat Magrib, membimbing anak-anak membaca Alquran, makan malam, salat Isya, dan diakhiri dengan membacakan cerita pengantar tidur. Setelah Rara dan Syira benar-benar tertidur, aku kembali ke ruang tengah. Aku bermaksud menyiapkan beberapa keperluan untuk besok. Namun, kuurungkan karena Bapak juga sudah ada di sana. "Bapak belum ngantuk?" Aku pun mendekati beliau yang duduk sambil memijit-mijit kaki. "Anak-anakmu sudah tidur?" Bapak balik bertanya. "Sudah, Pak." "Bapak besok mau pulang dulu, ya. Mau nengok Pakde Karna. Sakitnya makin parah. Bapak juga sudah lama tidak bertemu dia." "Sama Ibu juga?" "Iya." "Besok Bapak diantar Rino saja, sehabis ngantarin Rara," ujarku lalu ikut memijit kaki Bapak. "Lusanya Bapak ke sini lagi. Mumpung masih ada waktu, masih sehat, Bapak mau puas-puasin main sama cucu," ucap Bapak sedikit sendu. "Tiara juga senang banget kalau Bapak dan Ibu tinggal di sini. Biar Tiara bi
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUA Waktu berlalu terasa begitu cepat. Anak-anak bertambah besar dengan pengeluaran yang juga semakin bertambah. Aku masih setia menjadi orang tua tunggal. Hari-hariku bergelut dengan bisnis yang tak lepas dari pasang surut dunia usaha serta menjadi pengajar yang sudah menjadi bagian dari jiwaku. Tentang papanya anak-anak, hubungan kami datar-datar saja. Jika ada waktu dan kesempatan Hendi bertemu dengan anak-anak. Begitu juga dengan Obi. Interaksi kami memang agak berkurang. Namun, di saat-saat tertentu dia tetap membersamai anak-anak. Perlakuan dan perhatiannya pada anak-anak tidak ada yang berkurang. Syukurlah penolakanku waktu itu, tidak membuat dia menjelma menjadi orang asing bagi kami. Aku sangat salut akan kebesaran jiwanya. Di antara kami sudah tidak ada lagi pembahasan tentang perasaan atau yang sejenisnya. Hanya obrolan ringan saja, paling sering tentang perkembangan anak-anak. Membiarkan semuanya mengalir begitu saja, tanpa ada target-target da
Sindiran Pedas Istri Kedua Entah berapa suhu pendingin udara di ruangan ini. Dingin, itulah yang paling dominan kurasakan. Hari yang paling ditunggu akhirnya datang juga. Tanggal ini menjadi pilihanku untuk menjadi tanggal kelahiran buah cintaku dengan Obi. Tentunya setelah melalui rekomendasi dan pertimbangan dari tim medis yang terlibat dalam proses persalinan caesar ini. Ketakutan dan kecemasan telah sirna dari diriku. Telah berganti dengan rasa antusias dan tak sabar untuk menyambut bayi-bayi mungil nan menggemaskan. Tindakan operasi tidak dilakukan di klinik dokter Lalita. Melainkan di rumah sakit swasta terbesar di kota ini yang memiliki fasilitas lengkap, terutama ketersediaan ruang NICU. Hal ini disengaja untuk mengantisipasi hal-hal di luar perkiraan. "Bismillah, ya, Yang," bisik Obi ketika beberapa langkah lagi akan kami sampai di pintu ruang operasi. Obi memandangku dengan tatapan sendu. Matanya masih menyisakan warna kemerah-merahan. Entah kenapa sejak semalam malah
Sindiran Pedas Istri Kedua Hari terus berganti seiring perputaran waktu. Kadang sehari terasa begitu lamban. Menunggu pagi hingga pagi lagi dengan segenap keluh kesah yang dialami oleh kebanyakan wanita hamil di muka bumi ini. Semakin bertambahnya usia kehamilan, semakin banyak yang dirasa. Jika pada kehamilan tunggal saja begitu nikmat rasanya, apalagi kembar tiga. Benar-benar luar biasa. Meskipun begitu, semakin besar juga kebahagiaan yang menghampiri. Kebahagiaan bercampur rasa penasaran menanti kelahiran tiga malaikat kecil di tengah-tengah kami. Beruntung sekali aku berada di lingkaran yang benar-benar men-support. Suami yang teramat sayang dan protektif, anak-anak yang antusias, ibu, serta ibu mertua yang tak kalah perhatiannya. Bahkan beberapa waktu lalu Bu Mai sudah menyampaikan keinginannya untuk turut serta merawat bayi-bayi kami kelak. "Kalau udah lahiran, ibu ikut tinggal bersama kalian, ya. Ibu pengen ikut jagain cucu-cucu ibu. Ibu tidak akan ikut campur kehidupan kal
Sindiran Pedas Istri Kedua Rasa nyeri itu menjalar beberapa saat lalu mereda. Dalam hitungan detik berikutnya, rasa yang sama kembali terasa. "Nyeri lagi, Yang?" tanya Obi dengan wajah tegang. Aku mengangguk. Obi segera memberitahu perawat yang ada di meja jaga di luar. Tak menunggu terlalu lama, dokter bersama asistennya sudah berada di kamarku dan dengan sigap kembali melakukan pemeriksaan. "Dikasih obat pereda nyeri dulu, ya, sembari saya konsultasikan juga sama dokter penyakit dalam." Dokter Lalita memberikan injeksi lewat selang infus. Kurasakan sedikit nyeri pada pembuluh darah yang dipasang jarum infus. Beberapa kali rasa nyeri melilit masih kurasakan. Mulai dari yang frekwensi sering dan lama hingga berlahan berkurang. Hingga akhirnya aku dikalahkan oleh beban berat di kelopak mata.***"Sebenarnya, Kak, waktu di parkiran aku kepikiran juga untuk mengecek kondisi Kak Tiara. Cuma kupikir-pikir lagi, aku belum punya banyak pengalaman terus aku juga nggak tahu rekam medis k
Sindiran Pedas Istri Kedua "Duduk rileks dulu, ya!" ujar Obi sembari membantuku naik ke mobil dan membantu mendapatkan posisi nyaman. "HP-nya mana, Yang? Hubungin dokter Lalita dulu. HP-ku mati." Aku menyerahkan tas tangan warna hitam yang kubawa. Obi dengan cekatan membukanya dan menemukan ponselku di dalamnya. Dia pun langsung menghubungi dokter Lalita. "Kak Tiara kenapa?" Aruni bertanya begitu dia berada di dekatku. Tadi ketika kami keluar ruangan, dia masih ngobrol dengan seseorang sehingga aku dan Obi duluan ke lobby depan. "Nggak kenapa-kenapa, kok. Mungkin kecapekan," jawabku pada Aruni sembari tetap mencoba mengatur pernapasan. "Kita langsung ke klinik aja, ya," ucap Obi begitu selesai menelepon. Dia langsung berjalan ke posisi kemudi. "Emangnya kenapa, Bang?" Aruni terlihat sangat penasaran. "Mau ngecek kondisi Tiara, dulu. Kamu jadi ikut?" tanya Obi sambil melirik pada Aruni yang masih berdiri di sampingku. "Iya, ikut." Aruni segera menutup pintu depan, dilanjutkan
Sindiran Pedas Istri Kedua Sebenarnya tujuan mama Hakim mengundang kami ke rumahnya untuk ramah tamah dengan keluarganya yang lain. Bertepatan dengan anak perempuan dari pernikahan keduanya --adik Hakim-- pulang dari London hari ini. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di salah satu perguruan tinggi bergengsi di negara Britania Raya itu. Ternyata semalam dia mengabarkan kalau kepulangannya ditunda hingga beberapa hari ke depan. Sementara Mamanya sudah terlanjur mengundang kami. Alhasil, jadinya hanya ada aku, Obi dan mereka bertiga. Hakim beserta orang tuanya dan Obi tengah menikmati makan siang yang sudah kesorean di ruang makan yang memang menyatu dengan ruang keluarga. Sementara aku tidak bergabung ke sana untuk menghindari aroma-aroma dari beberapa masakan yang memang cukup menyengat dan memancing mual. Sebenarnya selera makanku sudah terlanjur hilang. Namun, makanan yang khusus untukku, yang tanpa bumbu-bumbu tertentu sudah dimasakkan sehingga mau tidak mau aku h
Sindiran Pedas Istri Kedua "Bukan lamaran tapi tunangan, Ma." Papa Hakim menyela. "Kata Mama, sih, nggak usah tunangan-tunangan lagi. Langsung nikah aja, udah. Selesai!" gumam Mama Hakim dengan raut wajah yang menunjukkan kekesalan. "Ya, ndak bisa begitu, Ma. Jangan memaksakan kehendak pada anak. Biarkan dia menentukan sendiri, kita tinggal menyokong saja selagi itu positif." "Papa selalu begitu. Ngikut aja maunya anak-anak. Nggak bisa tegas sama anak." Mama Hakim kembali bersungut. Sementara aku dan Obi hanya saling lirik. Jujur rasanya kurang nyaman berada di antara perdebatan orang tua Hakim yang secara emosional kami belum dekat. "Ada kalanya kita yang harus mengikuti maunya anak dan ada pula masanya anak yang harus mengikuti maunya orang tua. Kita tidak boleh menerapkan sistem diktator pada anak." Papa Hakim kembali menanggapi istrinya dengan kata-kata bijak. "Papa selalu begitu. Sudahlah, Mama mau ke belakang dulu, ngelihat masakan Mbak." Mama Hakim meninggalkan kami. Ak
Sindiran Pedas Istri Kedua "Iya, Sayang. Kita akan ada adek bayi," ungkap Obi. Rara dan Syira saling bertatapan. Sejenak mereka hanya diam. Aku mulai ketar-ketir menunggu reaksi mereka selanjutnya. Hingga hitungan detik selanjutnya, mereka saling menautkan tangan lalu melinjak-lonjak kecil. "Yey, yey, punya adik bayi ... yey, yey, punya adik bayi," sorak mereka hampir bersamaan. Seketika aku mengembuskan napas lega. Hal yang sama juga tersirat di wajah Obi. "Adik bayinya laki-laki atau perempuan, Om?" tanya Syira dengan gaya khasnya. "Sekarang, sih, belum tahu, Sayang. Nanti kita tanya lagi ke Bu dokter, ya," terang Obi yang mimik serius. "Okeylah. Syira diajak juga ke tempat Bu dokter, ya!" pintanya dengan wajah gemas. "Nanti adik bayinya ada---" Ucapanku terhenti karena senggolan Obi di lenganku. "Pasti, dong! Kakak Rara dan Kakak Syira diajak juga. Nanti kita videoin juga, ya, hasil usg adik bayi." Syira nampak sangat antusias mendengar penuturan Obi. "Tapi ... tapi, ki
Sindiran Pedas Istri Kedua Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Sementara Obi makin antusias memperhatikan layar yang menampilkan rekaman janin di dalam kandunganku. Dokter Lalita pun melanjutkan menerangkan membaca tampilan usg itu. "Mudah-mudahan tiga-tiganya berkembang dengan baik, ya. Dua minggu lagi kita lakukan pengecekan lagi. Nanti baru bisa lebih jelas terdengar detak jantungnya." Dokter mengakhiri pemeriksaan dan mempersilakan kami untuk kembali ke mejanya. "Sejauh ini sudah ada keluhan belum Bu Tiara?" tanya dokter begitu aku duduk di kursi yang berhadapan dengannya setelah sebelumnya kembali merapikan pakaian. "Belum ada, dokter. Masih biasa-biasa aja." "Oke. Jadi begini, Pak Obi dan Bu Tiara, saya bukannya mau menakut-nakuti tetapi harus saya informasikan dan saya yakin Bu Tiara juga pasti paham bahwa kehamilan kembar tentu ada perbedaannya dengan kehamilan tunggal. Terlebih ini adalah triplet." Aku mengangguk memahami apa yang dimaksud oleh dokter Lalita. Hamil t
Sindiran Pedas Istri Kedua "Yang, ini benaran, kan?" Sekali lagi Obi memperhatikan benda panjang pipih dengan dua garis merah yang masih agak samar tertera di sana. Pandangannya kembali berpindah padaku. Sorot matanya penuh harap. Aku kembLi mengangguk disertai senyum mengembang. "Ulang lagi, dong, aku mau lihat." "Besok pagi aja, ya. Urine pagi, biar hasilnya lebih jelas." "Kelamaan besok pagi, Yang. Sekarang aja!" "Tapi aku udah pipis barusan, Bi." "Pipis lagi, sini aku temanin." "Ya, nggak bisalah, Bi. Baru beberapa menit yang lalu aku pipis. Aku mau ngeluarin apa lagi coba?" "Bentar-bentar." Obi bergegas keluar. Langkahnya yang tadi gontai sekarang mendadak sigap. Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang kurang sehat. Tak berselang lama Obi kembali masuk dengan dua botol air mineral di tangannya. "Minum, Yang. Yang banyak biar cepat kebelet." Aku membulatkan mata pada Obi. "Kamu mau aku kembung?" "Ayolah, Yang. Aku udah nggak sabar ini. Lagian kamunya,