"Bodo amat sama komentar anda ya, yang suka nyelonong aja kerjaannya di wall orang. Yang jelas sekarang, saya sangat bahagia sama kehidupan saya. Yang jelas, di sini antara saya dan pasangan saya saat ini, nggak ada istilah dipaksa atau pemaksaan ya. Jodoh, maut, rezeki Tuhan yang ngatur bukan anda! soal hati nggak bisa dipaksakan dan nggak ada yang bisa ikut campur ya! Jadi, buat anda jadi manusia nggak usah sok suci ... jatuhnya kamu MUNAFIK!!! Paham...?"
Begitulah sebuah status yang terpampang di beranda ketika pagi ini aku membuka salah satu aplikasi yang populer di negeri ini. Diposting semalam dengan menandai sepuluh orang. Salah satunya adalah suamiku. Postingan itu sudah disukai oleh hampir lima puluh orang dan komentar juga mendekati angka seratus. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat semua itu.
Aku memang tidak berteman dengan pemilik akun tersebut karena dia menandai orang-orang yang berteman denganku otomatis mampir juga ke berandaku.
Namun, jariku tak bisa berhenti sampai di situ. Jiwa kepoku melonjak-lonjak dan harus segera diikuti maunya. Aku pun berkelana di kolom komentar.
"Kata-kata mutiaranya indah banget, say."
"Hajar Bund."
"Jangan kasih kendor, Sist!"
"Orang kayak gitu mah jangan dibaik-baikin, nanti ngelunjak."
"Ada ya manusia model begitu?"
"Ih, julid banget tuh orang."
"Orang kayak gitu kudu dikasih pelajaran. Biar kapok!"
"Moga orang itu dapat hidayah, ya, jeng."
"Sabar, say. Pertahankan orang yang kamu cintai. Jangan dengerin orang-orang syirik."
"Berasa baca novel deh pagi-pagi."
"Bunda cantik ternyata bisa ngomel juga. Jangan diambil hati bun, orang syirik abaikan aja."
Begitulah rata-rata komentar yang bertebaran di sana. Memojokkan sosok 'anda' yang dimaksud pada postingan itu. Aku merasa miris, entah kenapa orang-orang cepat sekali menghujat padahal sebagian dari mereka tidak tahu apa yang mereka komentari.
Hampir semua komentar dibalas atau pun ditanggapi dengan stiker oleh pemilik postingan. Bahkan pada beberapa komentar terjadi saling balas yang cukup banyak sehingga sedikit banyak terkuaklah beberapa hal yang seharusnya tidak dikonsumsi publik.
Aku sangat tahu bahwa postingan itu ditujukan padaku. Dan ini sudah untuk kesekian kalinya. Sepertinya memang sudah hobinya begitu, bikin status tandai beberapa orang kerabatnya kemudian mereka akan berkomentar beramai-ramai. Habis-habisan menyudutkan pihak yang berseberangan itu. Seolah-olah merekalah yang paling benar dan paling segalanya.
"Dasar keluarga norak, bar-bar, malu-maluin." Aku bergumam lalu menyimpan ponsel ke tempat yang aman karena sebentar lagi Hendi, suamiku yang juga sudah menjadi suami wanita itu akan datang ke sini. Pasti postingan itulah yang akan dibahasnya. Jika nanti berujung pertengkaran, jangan sampai ponselku menjadi korban lagi seperti beberapa waktu lalu. Secepat mungkin harus kuamankan.
Perkiraanku tepat, terdengar suara mesin kendaraan di luar. Tak lama seseorang mengucapkan salam. Aku segera keluar kamar dan kami berpapasan di ruang tengah.
"Kamu bikin gara-gara apalagi sama Nadia sampai-sampai dia buat postingan begitu?" Tanpa basa-basi, Hendi langsung menodongku dengan pertanyaan itu.
"Ya kamu tanya aja sama istri barumu itu! Ngapain nanya aku?" jawabku sesantai mungkin. Padahal dalam hati aku sangat geram.
"Nadia tidak akan mungkin begitu kalau bukan kamu yang mancing-mancing!" Hendi sedikit meninggikan suaranya.
Aku tercengang, beberapa saat setelah itu aku pun berucap pelan. "Aku?"
"Tolonglah Tiara, bersikaplah lebih dewasa. Jangan apa-apa dibawa ke sosmed. Apa perlunya tentang kehidupan kita harus diketahui banyak orang?"
"Kamu datang ke sini terus ngomongnya seperti itu padaku, salah tempat! Kamu buta huruf apa buta hati? Datang-datang nyalahin aku."
"Nyatanya, semua ini memang berawal dari kesalahan kamu, kan? Kamu berkomentar sana-sini di postingan orang yang ujung-ujungnya menyudutkan keberadaan Nadia?" Suara Hendi semakin meninggi.
Aku ingat sekarang, dua hari yang lalu aku memang berkomentar di status teman lama kami. Dia menyiratkan kegundahan hatinya atas konflik yang tak berujung dengan keluarga suaminya.
"Semangat! Semua akan indah pada waktunya."
Kutulis di kolom komentarnya. Kami pun saling berbalas komentar beberapa kali hingga dia menarik kesimpulan dari pembicaraan kami itu bahwa apa yang kita lakukan kelak akan kembali pada kita.
Di berandaku sendiri aku membagikan sebuah quote tentang kesabaran. Quote dari halaman seorang penulis terkenal. Sepertinya dia atau pun keluarganya memang sengaja memantau aktivitasku di sosial media. Kurang kerjaan!
"Tanpa aku harus ngejelek-jelekin dia juga udah jelek imejnya di mata orang-orang," celetukku. Kulihat perubahan di muka Hendi. Dia pasti tidak terima ucapanku tadi.
"Ulah kamu yang membuat Nadia dipandang jelek sama orang-orang. Stop status-status lebay kamu itu. Kalau tidak, aku tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di rumah ini!"
"Papa ...."
Rara, putri kami telah berdiri di ambang pintu. Dia berlari kecil ke arah kami dan langsung memeluk papanya. Sepertinya dia sangat rindu. Tak lama berselang Khalif --kakaknya-- juga masuk. Mereka tadi pergi ke rumah neneknya untuk sarapan.
"Papa semalam kok tidak tidur di sini lagi? Rara susah tidur semalam." Putri kecilku itu memang sangat dekat dengan papanya. Dialah yang membuatku harus bertahan dengan kondisi seperti ini.
Khalif pun menghampiri papanya. Setelah mencium tangan dia pun menuju kamar mengambil tas dan sepatu.
"Rara ikut ngantarin Kak Khalif, ya," pinta gadis kecil yang baru genap lima tahun itu. Dia pun memeluk papanya lebih erat lagi.
"Iya, sana ambil jaket sama kaca mata biar nggak kelilipan," ujar Hendi sambil menurunkan Rara dari pangkuannya. Rara segera berlari ke kamar.
"Ingat Tiara, jangan bikin gara-gara lagi!" Hendi berbicara dengan suara penuh penekanan disertai tatapan tajam. Kemudian dia keluar.
Khalif yang baru saja keluar dari kamarnya berjalan ke arahku. Ia mengulurkan tangan untuk berpamitan.
"Mama baik-baik aja?" tanya Khalif dengan lembut. Kalimat sederhana itu hampir saja membuat mataku mengembun. Buru-buru aku tersenyum padanya. Walaupun baru berusia sepuluh tahun, anak sulungku itu sudah mulai peka terhadap apa yang terjadi di rumah ini.
"Mama baik-baik aja. Cuma agak ngantuk. Semalam Syira sering kebangun."
"Kakak sekolah dulu ya, Ma."
"Hati-hati, ya, Nak. Nanti dari sekolah langsung pulang, ya!"
Khalif mengangguk kemudian menggandeng Rara menyusul papanya keluar.
Aku mengantar mereka sampai ke pintu. Melepas kepergian mereka hingga punggungnya tak terlihat lagi.
Hari masih pagi tetapi perasaanku sudah tak menentu. Tidak cukupkah wanita itu mengusik kehidupanku di dunia nyata?
Aku segera masuk. Takut kalau tiba-tiba Syira terbangun. Ternyata bungsuku yang belum genap berusia dua bulan itu masih tertidur pulas.Aku pun melanjutkan aktivitas beberes rumah yang tadi masih terbengkalai. Kemudian menyiapkan perlengkapan untuk mandi Syira. Setelah semua beres aku kembali ke kamar. Syira masih pulas tidurnya. Tentu saja, semalam dia sering terbangun.Kupandangi wajah mungil Syira. Persis wajah papanya. Hidung, mata, bibir, serta garis wajah seakan dia adalah papanya versi mini. Sayang, walaupun ia terlahir sebagai fotocopian papanya tetapi dia tidak akan mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang sempurna dari orang tua laki-lakinya itu.Aku tersenyum pilu memandang wajah tanpa dosa itu. Sedih? Pasti! Apakah aku menangis? Tidak akan lagi! Air mataku sudah kering. Kalau pun masih ada, hanya ibarat sumur dangkal kala musim kemarau. Menyisakan kerak-kerak air di dasarnya.Aku sudah pernah ada pada titik terendah. Di
[Assalamualaikum, Tiara.][Mohon maaf sebelumnya, saya cuma mau minta sama kamu supaya tidak menanggapi postingan yang dibuat Nadia.][Jangan sampai ribut-ribut di sosmed. Nanti kita juga yang malu.]Aku mengernyit. Pesan lewat inbox itu dikirim oleh Mbak Rani, sepupunya Nadia. Menurut aku, dari sekian puluh orang keluarga besar Nadia, hanya Mbak Rani yang rada 'waras'.Kuketik balasan dengan sedikit kesal.[Kasih tahu hal ini ke saudaranya, Mbak. Jangan ke saya. Saya nggak pernah nyinggung-nyinggung dia. Dia aja yang heboh sendiri.]Tak berselang lama, muncul balasan dari Mbak Rani.[Kamu jangan ladenin, ya, Ra. Paling tidak kamu bisa lebih bersikap dewasa. Kalau ada kesalahpahaman antara kalian, selesaikan saja secara langsung.]Aku menarik napas panjang, benar-benar bikin kesal aja. Malas menaggapinya berlama-lama. Aku pun mengirimkan kata pamungkas.[Saya rasa Mbak bisa lihat apa yang terjadi. Yan
"Pagi-pagi dimarahin suami. Emang enak? Makanya jangan sok suci jadi orang. Lambe ma jari dijaga. Nggak usah lebay, nyari-nyari perhatian di sosmed dengan status-status tertindas. Kampungan!"Aku mengernyit membaca postingan tersebut. Seperti biasa, menandai beberapa orang, entah itu saudara atau pun teman-teman dekatnya. Namun, Hendi tidak ditandai lagi kali ini.Diposting beberapa jam yang lalu. Sudah ada puluhan komentar dan like. Aku hendak membuka kolom komentar tetapi harus kutahan dulu karena Khalif muncul dari dalam."Ma, Kakak mau ngaji dulu. Sekalian ngajak Rara ya, Ma. Kan nanti pulangnya mau mampir ke rumah Nekyang.""Kapan Nekyang nyuruh ke sana?" tanyaku penasaran karena seingatku Ibu mertua tidak ada memberitahu apa-apa."Tadi pulang sekolah sama Om Obi diajak lewat di jalan dekat rumah Nekyang. Terus ketemu dan disuruh ke sana lagi sama Nekyang," terang Khalif."Ya, udah. Kakak jagain Rara, ya." &nbs
"Apa-apa serba dipamerkan. Di mana-mana, kalau OKB memang norak! Dasar kampungan!"Begitulah kalimat yang diposting Nadia. Kali ini aku tidak berminat lagi untuk membaca komentar-komentar yang sudah berjumlah puluhan itu.Itu saja sudah cukup membuatku tertawa bahagia. Andai saja tidak sedang ada anak-anak di rumah, ingin rasanya aku tertawa terpingkal-pingkal untuk mengekspresikan rasa senang di hatiku ini. Ah, sereceh itu kebahagiaanku.Bagaimana tidak, Nadia yang mengakunya selebritas, sosialita, dan keluarga kelas atas tetapi tiada hari tanpa kepo dengan sosial mediaku. Bahkan sampai-sampai kebakaran jenggot hanya karena postingan foto.Aku rasa, semakin sering aku posting tentang kebahagiaan akan semakin cepat juga dia jantungan. Bibirku jadi tidak henti-hentinya mengembangkan senyum. Lucu juga kadang kehidupan ini. Dan, secara spontan beberapa ide telah bergelayut di otakku. Tunggu saja waktu eksekusinya!***
"Penghasilan nggak seberapa, gaya sok sosialita. Semua orang juga tahu kali aslinya kayak gimana. Ndeso! Orang kaya benaran yang liburannya ke luar negeri mah santuy aja. Lah ini, baru selangkah aja keluar dari kandang udah belagu. Katak baru keluar dari tempurung. Malu-maluin banget! Norak!"Kalimat panjang itu adalah isi dari sebuah foto tangkapan layar yang dikirim oleh Mia, sepupuku dari pihak bapak. Setelah itu menyusul beberapa foto tangkapan layar yang memuat komentar-komentar atas postingan tersebut.Kali ini aku benar-benar geram. Kalau biasanya hanya sindiran-sindiran tak bertuan, tetapi tidak untuk kali ini. Di kolom komentar jelas-jelas namaku tertera di sana. Mereka kembali mengusik masa lalu dan membawa-bawa orang tua."Tampangnya sih dibuat-buat sealim mungkin tapi kenyataannya .... tau ndirilah. Nikah kayak dikejar setan, balap banget.""Gimana nggak balap, udah kegatelan. Takut nggak laku. Ya, dipepet terus.""Tampang
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUASesampainya di rumah ibu, aku langsung menemui anak-anak yang sedang berada di ruang tengah. Khalif dan Rara sedang asyik mengajak Syira bermain cilukba.Aku pun memberi ASI pada Syira hingga bayi cantikku itu tertidur. Sementara Khalif mengajak Rara untuk mewarnai.Kulepas lelah dengan bersandar pada sofa panjang yang persis menghadap ke jendela. Cuaca hari ini cukup bersahabat. Langit yang berawan ditambah angin bertiup sepoi-sepoi yang membuat daun palem melambai berirama.Kuedarkan pandangan dari ujung hingga ke ujung halaman samping yang menghijau. Kendati telah berusaha mengalihkan perhatian tetap saja kejadian beberapa saat yang lalu tidak mudah untuk kikis.Aku serasa baru saja kembali seperti diriku yang dulu. Seorang aktivis kampus, terbiasa berbicara lantang dalam berdebat dan menyelesaikan masalah dengan cara sportif.Andai sedari awal aku sudah tegas mungkin Nadia tidak
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAApa yang sudah dia yakini itu pasti akan dilakukannya. Begitulah watak Hendi.Sebelumnya sifat ini menjadi sisi baiknya, berjuang sampai batas kemampuan untuk apa yang ingin didapatkan. Namun, sejak kehadiran pihak ketiga semua itu malah menjadi sesuatu yang berimbas buruk buatku.Bisikan-bisikan Nadia sangat cepat merasuki pikiran Hendi. Mungkin karena sikapnya yang cenderung manja membuat Hendi tak kuasa menolak bujukannya.Hari ini, adalah hari ke sepuluh Hendi di Lampung. Sepertinya belum terlihat tanda-tanda dia akan segera pulang. Rara mulai rewel. Inilah waktu terlama baginya tidak berjumpa langsung dengan papanya. Meskipun sudah melakukan video call hampir setiap hari, tetap saja kalau sudah malam dia ribut ingin tidur ditemani papanya.Sedangkan untuk urusan antar jemput anak-anak ke sekolah dan ngaji, sepenuhnya ditangani oleh Obi. Ada rasa tak enak hati karena selalu merepotkannya. Dia mema
SINDIRAN PEDAS ISTRI KEDUAKaca yang sudah retak tidak akan bisa mulus lagi seperti sedia kala. Sebagus apa pun lem yang digunakan untuk perekatnya, tetap akan menyisakan garis-garis yang bisa mengiriskan luka kapan saja.Begitu pun dengan kami. Hatiku sudah begitu dalam tersakiti. Sementara hatinya sudah terlalu jauh berkelana.Berharap semua akan kembali baik selayaknya tidak pernah terjadi apa-apa, sama saja seperti mengharapkan daun yang telah gugur untuk kembali ke tangkainya. Sudah jelas merupakan suatu kemustahilan.Kurasa sudah saatnya untuk berpikir lebih realistis. Menggantungkan harap pada seseorang hanya akan berbuah kecewa.Kepastian, meskipun menyakitkan akan jauh lebih baik dari pada keindahan tetapi fatamorgana. Anak-anak yang menjadi alasan utama aku bertahan nyatanya mereka tetap saja tidak mendapatkan haknya secara utuh. Bertumbuh tanpa kehadiran orang tua yang lengkap tentu akan menghadirkan sebuah
Sindiran Pedas Istri Kedua Entah berapa suhu pendingin udara di ruangan ini. Dingin, itulah yang paling dominan kurasakan. Hari yang paling ditunggu akhirnya datang juga. Tanggal ini menjadi pilihanku untuk menjadi tanggal kelahiran buah cintaku dengan Obi. Tentunya setelah melalui rekomendasi dan pertimbangan dari tim medis yang terlibat dalam proses persalinan caesar ini. Ketakutan dan kecemasan telah sirna dari diriku. Telah berganti dengan rasa antusias dan tak sabar untuk menyambut bayi-bayi mungil nan menggemaskan. Tindakan operasi tidak dilakukan di klinik dokter Lalita. Melainkan di rumah sakit swasta terbesar di kota ini yang memiliki fasilitas lengkap, terutama ketersediaan ruang NICU. Hal ini disengaja untuk mengantisipasi hal-hal di luar perkiraan. "Bismillah, ya, Yang," bisik Obi ketika beberapa langkah lagi akan kami sampai di pintu ruang operasi. Obi memandangku dengan tatapan sendu. Matanya masih menyisakan warna kemerah-merahan. Entah kenapa sejak semalam malah
Sindiran Pedas Istri Kedua Hari terus berganti seiring perputaran waktu. Kadang sehari terasa begitu lamban. Menunggu pagi hingga pagi lagi dengan segenap keluh kesah yang dialami oleh kebanyakan wanita hamil di muka bumi ini. Semakin bertambahnya usia kehamilan, semakin banyak yang dirasa. Jika pada kehamilan tunggal saja begitu nikmat rasanya, apalagi kembar tiga. Benar-benar luar biasa. Meskipun begitu, semakin besar juga kebahagiaan yang menghampiri. Kebahagiaan bercampur rasa penasaran menanti kelahiran tiga malaikat kecil di tengah-tengah kami. Beruntung sekali aku berada di lingkaran yang benar-benar men-support. Suami yang teramat sayang dan protektif, anak-anak yang antusias, ibu, serta ibu mertua yang tak kalah perhatiannya. Bahkan beberapa waktu lalu Bu Mai sudah menyampaikan keinginannya untuk turut serta merawat bayi-bayi kami kelak. "Kalau udah lahiran, ibu ikut tinggal bersama kalian, ya. Ibu pengen ikut jagain cucu-cucu ibu. Ibu tidak akan ikut campur kehidupan kal
Sindiran Pedas Istri Kedua Rasa nyeri itu menjalar beberapa saat lalu mereda. Dalam hitungan detik berikutnya, rasa yang sama kembali terasa. "Nyeri lagi, Yang?" tanya Obi dengan wajah tegang. Aku mengangguk. Obi segera memberitahu perawat yang ada di meja jaga di luar. Tak menunggu terlalu lama, dokter bersama asistennya sudah berada di kamarku dan dengan sigap kembali melakukan pemeriksaan. "Dikasih obat pereda nyeri dulu, ya, sembari saya konsultasikan juga sama dokter penyakit dalam." Dokter Lalita memberikan injeksi lewat selang infus. Kurasakan sedikit nyeri pada pembuluh darah yang dipasang jarum infus. Beberapa kali rasa nyeri melilit masih kurasakan. Mulai dari yang frekwensi sering dan lama hingga berlahan berkurang. Hingga akhirnya aku dikalahkan oleh beban berat di kelopak mata.***"Sebenarnya, Kak, waktu di parkiran aku kepikiran juga untuk mengecek kondisi Kak Tiara. Cuma kupikir-pikir lagi, aku belum punya banyak pengalaman terus aku juga nggak tahu rekam medis k
Sindiran Pedas Istri Kedua "Duduk rileks dulu, ya!" ujar Obi sembari membantuku naik ke mobil dan membantu mendapatkan posisi nyaman. "HP-nya mana, Yang? Hubungin dokter Lalita dulu. HP-ku mati." Aku menyerahkan tas tangan warna hitam yang kubawa. Obi dengan cekatan membukanya dan menemukan ponselku di dalamnya. Dia pun langsung menghubungi dokter Lalita. "Kak Tiara kenapa?" Aruni bertanya begitu dia berada di dekatku. Tadi ketika kami keluar ruangan, dia masih ngobrol dengan seseorang sehingga aku dan Obi duluan ke lobby depan. "Nggak kenapa-kenapa, kok. Mungkin kecapekan," jawabku pada Aruni sembari tetap mencoba mengatur pernapasan. "Kita langsung ke klinik aja, ya," ucap Obi begitu selesai menelepon. Dia langsung berjalan ke posisi kemudi. "Emangnya kenapa, Bang?" Aruni terlihat sangat penasaran. "Mau ngecek kondisi Tiara, dulu. Kamu jadi ikut?" tanya Obi sambil melirik pada Aruni yang masih berdiri di sampingku. "Iya, ikut." Aruni segera menutup pintu depan, dilanjutkan
Sindiran Pedas Istri Kedua Sebenarnya tujuan mama Hakim mengundang kami ke rumahnya untuk ramah tamah dengan keluarganya yang lain. Bertepatan dengan anak perempuan dari pernikahan keduanya --adik Hakim-- pulang dari London hari ini. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di salah satu perguruan tinggi bergengsi di negara Britania Raya itu. Ternyata semalam dia mengabarkan kalau kepulangannya ditunda hingga beberapa hari ke depan. Sementara Mamanya sudah terlanjur mengundang kami. Alhasil, jadinya hanya ada aku, Obi dan mereka bertiga. Hakim beserta orang tuanya dan Obi tengah menikmati makan siang yang sudah kesorean di ruang makan yang memang menyatu dengan ruang keluarga. Sementara aku tidak bergabung ke sana untuk menghindari aroma-aroma dari beberapa masakan yang memang cukup menyengat dan memancing mual. Sebenarnya selera makanku sudah terlanjur hilang. Namun, makanan yang khusus untukku, yang tanpa bumbu-bumbu tertentu sudah dimasakkan sehingga mau tidak mau aku h
Sindiran Pedas Istri Kedua "Bukan lamaran tapi tunangan, Ma." Papa Hakim menyela. "Kata Mama, sih, nggak usah tunangan-tunangan lagi. Langsung nikah aja, udah. Selesai!" gumam Mama Hakim dengan raut wajah yang menunjukkan kekesalan. "Ya, ndak bisa begitu, Ma. Jangan memaksakan kehendak pada anak. Biarkan dia menentukan sendiri, kita tinggal menyokong saja selagi itu positif." "Papa selalu begitu. Ngikut aja maunya anak-anak. Nggak bisa tegas sama anak." Mama Hakim kembali bersungut. Sementara aku dan Obi hanya saling lirik. Jujur rasanya kurang nyaman berada di antara perdebatan orang tua Hakim yang secara emosional kami belum dekat. "Ada kalanya kita yang harus mengikuti maunya anak dan ada pula masanya anak yang harus mengikuti maunya orang tua. Kita tidak boleh menerapkan sistem diktator pada anak." Papa Hakim kembali menanggapi istrinya dengan kata-kata bijak. "Papa selalu begitu. Sudahlah, Mama mau ke belakang dulu, ngelihat masakan Mbak." Mama Hakim meninggalkan kami. Ak
Sindiran Pedas Istri Kedua "Iya, Sayang. Kita akan ada adek bayi," ungkap Obi. Rara dan Syira saling bertatapan. Sejenak mereka hanya diam. Aku mulai ketar-ketir menunggu reaksi mereka selanjutnya. Hingga hitungan detik selanjutnya, mereka saling menautkan tangan lalu melinjak-lonjak kecil. "Yey, yey, punya adik bayi ... yey, yey, punya adik bayi," sorak mereka hampir bersamaan. Seketika aku mengembuskan napas lega. Hal yang sama juga tersirat di wajah Obi. "Adik bayinya laki-laki atau perempuan, Om?" tanya Syira dengan gaya khasnya. "Sekarang, sih, belum tahu, Sayang. Nanti kita tanya lagi ke Bu dokter, ya," terang Obi yang mimik serius. "Okeylah. Syira diajak juga ke tempat Bu dokter, ya!" pintanya dengan wajah gemas. "Nanti adik bayinya ada---" Ucapanku terhenti karena senggolan Obi di lenganku. "Pasti, dong! Kakak Rara dan Kakak Syira diajak juga. Nanti kita videoin juga, ya, hasil usg adik bayi." Syira nampak sangat antusias mendengar penuturan Obi. "Tapi ... tapi, ki
Sindiran Pedas Istri Kedua Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Sementara Obi makin antusias memperhatikan layar yang menampilkan rekaman janin di dalam kandunganku. Dokter Lalita pun melanjutkan menerangkan membaca tampilan usg itu. "Mudah-mudahan tiga-tiganya berkembang dengan baik, ya. Dua minggu lagi kita lakukan pengecekan lagi. Nanti baru bisa lebih jelas terdengar detak jantungnya." Dokter mengakhiri pemeriksaan dan mempersilakan kami untuk kembali ke mejanya. "Sejauh ini sudah ada keluhan belum Bu Tiara?" tanya dokter begitu aku duduk di kursi yang berhadapan dengannya setelah sebelumnya kembali merapikan pakaian. "Belum ada, dokter. Masih biasa-biasa aja." "Oke. Jadi begini, Pak Obi dan Bu Tiara, saya bukannya mau menakut-nakuti tetapi harus saya informasikan dan saya yakin Bu Tiara juga pasti paham bahwa kehamilan kembar tentu ada perbedaannya dengan kehamilan tunggal. Terlebih ini adalah triplet." Aku mengangguk memahami apa yang dimaksud oleh dokter Lalita. Hamil t
Sindiran Pedas Istri Kedua "Yang, ini benaran, kan?" Sekali lagi Obi memperhatikan benda panjang pipih dengan dua garis merah yang masih agak samar tertera di sana. Pandangannya kembali berpindah padaku. Sorot matanya penuh harap. Aku kembLi mengangguk disertai senyum mengembang. "Ulang lagi, dong, aku mau lihat." "Besok pagi aja, ya. Urine pagi, biar hasilnya lebih jelas." "Kelamaan besok pagi, Yang. Sekarang aja!" "Tapi aku udah pipis barusan, Bi." "Pipis lagi, sini aku temanin." "Ya, nggak bisalah, Bi. Baru beberapa menit yang lalu aku pipis. Aku mau ngeluarin apa lagi coba?" "Bentar-bentar." Obi bergegas keluar. Langkahnya yang tadi gontai sekarang mendadak sigap. Dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang kurang sehat. Tak berselang lama Obi kembali masuk dengan dua botol air mineral di tangannya. "Minum, Yang. Yang banyak biar cepat kebelet." Aku membulatkan mata pada Obi. "Kamu mau aku kembung?" "Ayolah, Yang. Aku udah nggak sabar ini. Lagian kamunya,