"Ini udah di luar batas, Nay. Ini udah bisa digolongkan tindak kekerasan fatal dan kamu bisa melaporkan Leo ke polisi. Kamu bisa visum ke rumah sakit buat dijadiin bukti. Aku bisa bantuin kamu jeblosin dia ke penjara." Dilan mulai melontarkan argumen sekaligus saran untuk Sanaya yang baru saja selesai dia kompres air dingin. Menyerahkan dua butir obat kepada Sanaya, beserta segelas air yang masih tersisa separuh. Sanaya hanya diam, tak menanggapi mau pun mengiyakan saran Dilan. Menerima obat dari Dilan, lalu segera meminumnya. Setelahnya mengembalikan gelas tersebut ke nakas samping ranjang tidur. "Saya gak bisa," tolaknya tegas, sambil mengalihkan pandangan ke arah lain."Kenapa gak bisa? Kamu babak belur kaya gini, masih aja belain dia. Ck!" Dilan kesal mendengar penolakan tegas Sanaya, merasa heran dengan jalan pemikiran gadis di hadapannya ini. "Kenapa? Takut? Apa yang kamu takutin, Nay?" cecarnya, melanjutkan mengolesi salep pada lengan dan siku Sanaya yang lebam. "Kamu udah t
"Dilan, kamu tahu 'kan saya gak bisa—" "Iya, aku tahu, Nay," sela Dilan yang tahu ke mana arah perkataan Sanaya. Sejak kemarin dia pun berpikir soal tawaran kesepakatan ini. Memang sangat tidak masuk akal, jika dia dan Sanaya menjalin hubungan diam-diam seperti ini. Namun, hanya dengan cara ini pula Dilan bisa terus berada di sisi Sanaya. Permintaan sederhana yang pastinya akan sangat berisiko bagi mereka. Itu artinya, dia siap menjadi laki-laki simpanan Sanaya. Sementara hatinya tak mungkin bisa berbohong bila apa yang dirasakan tak sekadar ingin melindungi, melainkan ada rasa ketertarikan melebihi perasaannya dulu."Makasih, Dilan. Makasih." Sanaya menghambur ke pelukan pemuda itu. Tak segan melingkarkan tangannya ke pinggang dan menempelkan kepalanya di dada bidang tersebut. Akhirnya, Dilan mau menerima tawarannya. Tak apa, meski hanya sebatas FRIENDS WITH BENEFIT. Sanaya juga tidak bisa melakukan hal lebih dari itu lantaran ada hati yang harus dia jaga. Demi ayah dan demi kewar
Dilan ambruk ke samping tubuh Sanaya dengan deru napas memburu. Pelepasan yang baru saja dia raih benar-benar berbeda rasanya. Nikmat, sampai tak bisa dijabarkan lewat kata-kata. Lantas dia memiringkan kepala agar bisa menatap wajah Sanaya. "Thanks, Nay," ucapnya seraya mengelus puncak kepala gadis yang sama-sama tengah mengatur napasnya. Sanaya menoleh, kemudian hanya mengulas senyum. Percintaannya dengan Dilan kembali terulang dan kali ini dia benar-benar menikmati setiap sentuhan pemuda itu. Lembut hingga mampu membuatnya selalu ketagihan. Bahkan, Sanaya sampai menjeritkan nama Dilan berkali-kali ketika dia berada di puncak klimaks. Dilan memiringkan tubuh, menopang kepalanya dengan satu tangan dan memindai tubuh polos Sanaya yang terdapat banyak lebam. "Aku tadi kasar, gak? Kamu kesakitan, gak?" tanyanya merasa khawatir sambil menyentuh lengan Sanaya, mengusapnya, lalu mengecupnya. Sebenarnya tadi Dilan sempat ingin menghentikan niatnya tersebut, mengingat jika Sanaya sedang ti
Paginya Sanaya yang masih tertidur pulas di ranjang menggeliat dan merasa terganggu dengan aroma wangi masakan yang menyeruak ke dalam kamar. Kedua matanya terbuka perlahan, lalu mengerjap berkali-kali guna menyesuaikan dengan cahaya matahari yang masuk lewat celah jendela. Cukup menyilaukan dan...."Astaga!" Sanaya sontak terlonjak dan bangkit dari tidurnya. Memindai seluruh ruangan yang sudah dipenuhi oleh cahaya matahari. Maniknya tertuju pada jam digital yang ada di dinding. "Jam tujuh? Di—" Sanaya menoleh ke samping, dia kira Dilan masih tertidur, tetapi ternyata di sisinya sudah tidak ada siapa pun. Melompat dari ranjang, Sanaya gegas beranjak keluar dari kamar. Aroma masakan kembali tercium di hidungnya begitu tiba di depan pintu. "Dilan?" Sanaya memanggil sang empunya rumah, dan dia pun mendapati Dilan tengah berada di dapur menghadap di depan kompor. "Dilan, kok, kamu gak bangunin saya, sih?" tanyanya mendekat ke Dilan, memilih tidak bertanya apa yang sedang pemuda itu laku
Siangnya, Sanaya yang masih berada di unit Dilan terlihat sedang duduk di sofa ruang tamu dengan wajah tertekuk masam. Keputusannya untuk tetap tinggal di sini memang tidak ada yang salah. Hanya saja, gara-gara perkataan Dilan, Sanaya jadi terus kepikiran. Hatinya resah, dan bertanya-tanya sendiri."Apa Dilan suka sama aku, ya? Tapi kalau misalkan iya, aku juga gak bisa bales perasaannya," gumam Sanaya sambil memainkan ponsel yang sedari tadi ada di tangan. "Ah, tahu, deh! Tapi ngeselin emang itu cowok, sukanya bikin aku baper sama kepikiran," dengusnya kesal lantaran sikap Dilan yang menurutnya selalu membuatnya dag-dig-dug.DrrttPonsel Sanaya bergetar dan mengedip sekali. Fokusnya pun teralihkan. "Leo?"Kening gadis itu mengerut, menghela panjang dan mengabaikan chat tersebut. Tak berminat untuk membuka apalagi membaca pesan dari tunangannya itu. Sanaya sudah bisa menebak pasti Leo cuma mau minta maaf atau menanyakan keberadaannya."Basi!" Sanaya mematikan ponselnya, lalu meletakka
Hari-hari yang dilalui Sanaya sudah kembali seperti semula. Seperti dulu saat dia dan Dilan mulai dekat. Perhatian-perhatian kecil yang dia dapat, ternyata diam-diam menumbuhkan rasa nyaman. Hati perempuan mana yang tidak akan meleleh bila terus-terusan dihujani perhatian dengan sedemikian besar?Berhubung Restoran sedang tutup, minggu ini rencananya, Sanaya ingin mengajak Dilan pergi ke suatu tempat. Namun, tiba-tiba ayah menelepon dan meminta Sanaya untuk ke rumah. Rindu. Itu yang dikatakan ayah, hingga gadis itu tidak bisa mengelak mau pun menolak.Sesibuk apapun, Sanaya sebisa mungkin tidak menolak permintaan ayah. Mungkin, ini akan menjadi kunjungannya yang pertama kali bersama Dilan ke rumah ayah. Herannya, Dilan sangat terlihat antusias dan mengajak Sanaya mampir sebentar ke toko buah.Kata pemuda itu, dia sudah lama sekali tidak menjenguk ayah. Terakhir kali saat Sanaya pulang ke Indonesia. Sekitar 4bulan yang lalu.Keluar dari toko buah, Dilan menenteng dua kresek berwarna m
Makan siang yang penuh ketegangan itu pun akhirnya selesai. Dengan memberi sedikit alasan yang sekiranya masuk akal, ayah akhirnya percaya. Beliau juga maklum dengan kesibukan sang calon menantunya itu. Karenanya, meskipun begitu ingin melihat puterinya berkunjung dengan calon suaminya, ayah hanya bisa pasrah saat Sanaya datang sendiri atau ditemani laki-laki lain seperti sekarang ini. Selanjutnya, Sanaya membantu ayah pergi ke kamar untuk beristirahat, sedangkan Dilan memilih menunggu di ruang tamu.Sembari menunggu, Dilan membalas chat dari Bianca. Calon tunangannya itu memintanya datang ke Butik karena harus melakukan fitting baju sekali lagi. Namun, dengan berbagai macam alasan, dan tentunya meminta maaf lantaran tidak bisa datang, Dilan seperti sudah terbiasa berbohong.Hingga detik ini, meski dia dan Bianca akan bertunangan. Hatinya seolah belum merasakan getaran atau debaran yang sama, seperti halnya ketika dia tengah bersama Sanaya. Selalu ada gejolak dan gelora dari dalam di
"Ayah kira kalian menginap," ucap ayah, rautnya terlihat murung ketika Sanaya dan Dilan hendak berpamitan pulang. Ketiganya sudah berada di halaman rumah. Langit pun sudah menggelap. Sanaya memeluk pinggang ayah. "Maaf, Yah. Besok-besok, kalo ada waktu lagi Nay pasti nginep." Dilan pun turut menimpali. "Iya, Om. Besok-besok Dilan pasti bakal main ke sini lagi." "Ajak calon istrimu juga. Om mau kenalan sama dia," pinta ayah, raut murungnya telah berubah sumringah seketika. Kabar Dilan yang tiga hari lagi akan bertunangan disambut dengan bahagia oleh beliau. Maksud Dilan mengabari ayah hanyalah sekadar membagi kebahagiaan. Meski nyatanya dia sama sekali tidak merasakan hal itu. Yang ada sesak di dadanya malah justru semakin merajai. Pembahasan soal hubungannya dengan Sanaya tadi sore, berakhir dengan dingin. Bayangan adegan panas yang telah terancang di otaknya pun terpaksa harus buyar dan enyah. Berganti dengan rasa kecewa, dan tidak saling bertegur sapa hingga detik ini. "Pasti,
Setelah melewati drama yang mengharu biru, dan puas melepas rindu dengan semua orang di Restoran. Sorenya Sanaya meminta Dilan untuk mengantarnya ke Hotel tempat menginap para karyawannya yang bekerja di toko kuenya. Sesuai dengan janjinya, Sanaya mampir ke Hotel tersebut sebelum Rena dan yang lainnya berangkat untuk kembali ke Jogja. Sanaya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung kepada semua yang telah menyempatkan datang ke pernikahannya kemarin. Jika tidak ada mereka, Sanaya juga tidak akan bisa menjalankan bisnis toko kuenya di Jogja dengan lancar. Sekalian, Sanaya ingin menyerahkan separuh tanggung jawab kepada Rena, yang sekiranya sudah mampu dan dapat dipercaya. Usulan Dilan tentu mendapat sambutan baik dari Sanaya, jika dipikir-pikir, akan sangat merepotkan apabila dia mesti bolak-balik Jakarta-Jogja. Belum lagi, Sanaya harus mengurus restoran yang kini telah kembali ke tangannya. "Apa, Mbak? Aku diangkat jadi Manager? Manager toko kue Mbak Sanaya? Aku gak salah den
Sepanjang perjalanan menuju tempat yang akan ditunjukkan Dilan pada Sanaya, seakan semua tempat yang dilewati terasa tidak asing di ingatan perempuan berhijab itu. Sanaya masih ingat dengan jelas, rute jalan tersebut hendak menuju ke mana. Namun, dia yang tak ingin menerka-nerka sendiri pun, akhirnya bertanya kepada sang suami. Lelaki yang fokus dengan jalan di hadapan nampak santai dan datar. Sejak keluar dari halaman rumah hingga hampir setengah jam berada di jalan, Dilan tak ada sedikit pun membuka suara. "Dilan?" Sanaya menegur sang suami, memiringkan posisi duduknya sambil mengamati jalan sekitar yang dilewati. Kenapa, dugaannya semakin kuat saja, pikirnya dalam diam. "Ya? Kenapa, Nay?" Dilan hanya menoleh sekilas, lalu fokus ke depan lagi. Sayangnya, Sanaya tidak sadar, seringai samar yang terbit di sudut bibir Dilan. "Ini? Kayaknya aku gak asing sama jalanan ini deh?" ucap Sanaya ragu, takut apabila dugaannya meleset. "Gak asing gimana?" Dilan masih berpura-pura bersikap
Usai sarapan, Dilan pergi ke ruangan kerjanya untuk mengerjakan sebentar pekerjaan kantor yang dikirimkan sekretarisnya melalui email, sebelum dia mengajak sang istri pergi ke Restoran. Sementara Sanaya memilih bersiap-siap lagi di kamar, berganti baju yang lebih rapi dan sedikit berdandan. Namun, mengingat jika besok dia akan berangkat bulan madu pagi-pagi sekali, karena itu Sanaya berpikir untuk menyicil mempersiapkan beberapa keperluan yang akan dibawanya. Hanya beberapa potong pakaian, lantaran Dilan melarangnya membawa banyak barang. 'Gak usah bawa banyak-banyak, nanti kita bisa beli di sana kalo semisal kurang sesuatu. Biar waktu pulang kita juga gak kerepotan.' Kata Dilan mengingatkan sang istri, dan menurut Sanaya itu ada benarnya juga.Sanaya yang sibuk memasukkan baju-baju yang dia ambil dari lemari, tiba-tiba kepikiran toko. Otomatis, dia harus menambah masa liburnya, karena dia akan pergi bulan madu sekitar satu Minggu."Oia, aku belum ngasih tau Rena, kalo aku bakal lam
Paginya, Sanaya yang selalu bangun lebih awal sudah sibuk berkutat di dapur, menyiapkan sarapan dengan dibantu bibi yang bertugas di bagian itu. Walaupun ada banyak asisten rumah tangga, Sanaya tak bisa berdiam diri begitu saja, dan tinggal menikmati makanan yang sudah disiapkan. Terbiasa mandiri, dan basicnya dia suka memasak, membuat Sanaya ingin mengeksplor berbagai macam jenis masakan. Sayang 'kan, ada dapur sebagus ini jika tidak dimanfaatkan? pikir Sanaya. Semalam meskipun Sanaya hanya tidur beberapa jam saja, tenaganya masih cukup kuat kalau hanya memasak. Dilan benar-benar mengerjainya habis-habisan, sampai tak memberinya jeda sebentar saja.Ya ... kendati begitu, Sanaya tak bisa berbohong, kalau dia pun menikmati setiap momen panas semalam. Suatu kegiatan yang pastinya berbuah pahala, karena menyenangkan pasangan kita di ranjang. Sanaya berharap, rumah tangganya akan selalu dilimpahkan kebahagiaan dan keberkahan dari Sang Pencipta. "Bi, saya tinggal sebentar, ya? Saya mau
Mau tak mau Dilan harus mandi, bukan? Bercinta dalam keadaan bersih tentu akan terasa lebih nyaman dan tenang. Apalagi, setelah sekian lama dia menantikan momen ini. Sanaya telah resmi menjadi miliknya seutuhnya, dan dia berjanji akan terus berusaha melimpahkan kebahagiaan untuk perempuan cantik itu.Sementara Dilan masuk ke kamar mandi, Sanaya menunggu sang suami di depan meja rias. Senyumnya belum luntur, dan semakin mengembang ketika mengingat bagaimana konyolnya Dilan yang sempat tak mau mandi."Dia gak berubah sedikit pun," gumam Sanaya, sambil menggelengkan kepala, lalu mengeringkan rambutnya dengan hairdryer yang tersedia. Sambil menunggu, mungkin Sanaya akan sedikit memberi riasan di wajahnya, supaya tidak terlalu pucat. Kebetulan sekali, di meja rias sudah tersedia perlengkapan make up lengkap dengan skincare yang biasa Sanaya pakai."Darimana dia tau, kalo aku pakek ini?" Sanaya mengambil penyegar wajah, setelah selesai dengan urusan rambut. Botol kemasan kecil itu adalah m
Acara pernikahan Dilan dan Sanaya berlangsung cukup meriah, meskipun yang hadir hanya beberapa orang terdekat saja, tetapi tidak mengurangi kebahagiaan sepasang pengantin yang tak lagi baru itu. Semua orang tentu tahu, akan status keduanya yang lebih dulu telah menikah dengan pasangan masing-masing. Namun, tak banyak yang tahu, jika selama ini pula, keduanya sempat menjalin hubungan diam-diam di belakang. Saling mengisi kekosongan di hati.Waktu pun terus berlalu, sampai hampir malam menjelang, satu persatu dari mereka berpamitan pulang. Melihat sang istri kelelahan, Dilan berinisiatif memintanya agar kembali ke kamar terlebih dahulu. Sanaya menurut, dan pergi ke lantai atas, ke tempat kamarnya Dilan berada.Statusnya yang sudah resmi menjadi istri dari lelaki itu, tentu mengharuskan Sanaya tinggal di kamar tersebut. Rasanya, kenapa sangat mendebarkan, padahal dulu dia sering masuk ke kamar Dilan, waktu masih tinggal di apartemen.Apa mungkin, karena sudah begitu lama, dia tidak masuk
Tak ada yang bisa menebak, bagaimana dan apa yang akan terjadi ke depannya dengan kehidupan kita. Kemarin, Sanaya hanya menghabiskan hari-harinya di ruko dengan berkutat dengan berbagai macam bahan kue. Memutuskan pergi ke kota lain, dan memulai hidup barunya dengan status seorang janda.Selama enam bulan, Sanaya hidup dalam kesepian, dan kenangan orang-orang yang dia sayang. Kehilangan ayah merupakan hal terberat baginya dan butuh waktu untuk belajar ikhlas. Kerinduannya akan sosok yang dulu sering mendampingi pun terkadang harus Sanaya pendam dalam-dalam, lantaran tak sanggup jika dia harus mengenang kebersamaannya lagi dengan seseorang.Seseorang yang selama ini dia pikir telah berbahagia dengan pasangannya. Namun, apa yang Sanaya kira, ternyata salah. Dilan pun rupanya merasakan hal yang sama sepertinya. Tenggelam dalam kubangan masa lalu yang memiliki kenangan paling manis dan indah. Hatinya, telah tersemat nama lelaki itu, yang dulu Sanaya pikir akan mudah melupakannya seiring
Dulu, Sanaya memang pernah tinggal di rumah besar, tetapi tidak sebesar rumah kakeknya Dilan. Untuk ukuran kamar yang dia tempati saat ini saja, luasnya melebihi kamarnya waktu di rumahnya dulu.Ah, Sanaya malah jadi rindu rumahnya yang dulu. Kenangannya tertinggal di rumah masa kecilnya itu. Andai, dia tidak terpaksa menjualnya demi menutupi utang ayah kepada keluarga Leo. Pasti, saat ini Sanaya masih bisa menempati rumah tersebut.Ada rasa sesal tersendiri sebenarnya, ketika Sanaya memutuskan menjual seluruh peninggalan ayah. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, dia sama sekali tidak punya pilihan selain menjualnya, sebab Sanaya takut sang ayah menanggung beban berat di akhirat sana.Sedikit demi sedikit dia mulai paham soal hukum utang yang tidak dibayar meski nominalnya sangat kecil. Sanaya sayang dan ingin ayahnya tak terbebani dengan urusan utang. Kendati, dia harus kehilangan segalanya."Ah, iya. Baik-baik. Terima kasih. Besok saya sudah bekerja lagi. Silakan kirim dokumennya ke ka
Seperti janjinya, setibanya di Jakarta, Dilan langsung membawa Sanaya ke makam ayah Wili, menemani perempuan itu yang katanya ingin berziarah. Untuk yang ketiga kalinya Dilan ke tempat tersebut. Yang pertama saat dia tahu kabar jika ayahnya Sanaya telah meninggal. Yang kedua beberapa waktu yang lalu ketika dia hendak pergi menyusul Sanaya ke Jogja. Lalu, hari ini, Dilan berniat meminta restu kepada orang yang telah membantunya dulu.Kondisi makam yang bersih dan rapi tentu menimbulkan pertanyaan di benak Sanaya, yang baru saja tiba. "Ini? Kenapa makam Ayah keliatan rapi?"Manik Sanaya menyusuri makam yang nampak berbeda dari hari terakhir yang dia lihat. Makam ayah sudah dipondasi sedemikian rupa, dengan kelopak bunga mawar merah dan putih berada di atasnya.Karena seingatnya, Sanaya lupa meminta pengurus makam untuk merawat makam sang ayah. Berada di kota yang jauh, cukup menyulitkannya berkomunikasi dengan pengurus makam."Mungkin ada orang baik yang meminta tolong sama pengurus mak