Siangnya, Sanaya yang masih berada di unit Dilan terlihat sedang duduk di sofa ruang tamu dengan wajah tertekuk masam. Keputusannya untuk tetap tinggal di sini memang tidak ada yang salah. Hanya saja, gara-gara perkataan Dilan, Sanaya jadi terus kepikiran. Hatinya resah, dan bertanya-tanya sendiri."Apa Dilan suka sama aku, ya? Tapi kalau misalkan iya, aku juga gak bisa bales perasaannya," gumam Sanaya sambil memainkan ponsel yang sedari tadi ada di tangan. "Ah, tahu, deh! Tapi ngeselin emang itu cowok, sukanya bikin aku baper sama kepikiran," dengusnya kesal lantaran sikap Dilan yang menurutnya selalu membuatnya dag-dig-dug.DrrttPonsel Sanaya bergetar dan mengedip sekali. Fokusnya pun teralihkan. "Leo?"Kening gadis itu mengerut, menghela panjang dan mengabaikan chat tersebut. Tak berminat untuk membuka apalagi membaca pesan dari tunangannya itu. Sanaya sudah bisa menebak pasti Leo cuma mau minta maaf atau menanyakan keberadaannya."Basi!" Sanaya mematikan ponselnya, lalu meletakka
Hari-hari yang dilalui Sanaya sudah kembali seperti semula. Seperti dulu saat dia dan Dilan mulai dekat. Perhatian-perhatian kecil yang dia dapat, ternyata diam-diam menumbuhkan rasa nyaman. Hati perempuan mana yang tidak akan meleleh bila terus-terusan dihujani perhatian dengan sedemikian besar?Berhubung Restoran sedang tutup, minggu ini rencananya, Sanaya ingin mengajak Dilan pergi ke suatu tempat. Namun, tiba-tiba ayah menelepon dan meminta Sanaya untuk ke rumah. Rindu. Itu yang dikatakan ayah, hingga gadis itu tidak bisa mengelak mau pun menolak.Sesibuk apapun, Sanaya sebisa mungkin tidak menolak permintaan ayah. Mungkin, ini akan menjadi kunjungannya yang pertama kali bersama Dilan ke rumah ayah. Herannya, Dilan sangat terlihat antusias dan mengajak Sanaya mampir sebentar ke toko buah.Kata pemuda itu, dia sudah lama sekali tidak menjenguk ayah. Terakhir kali saat Sanaya pulang ke Indonesia. Sekitar 4bulan yang lalu.Keluar dari toko buah, Dilan menenteng dua kresek berwarna m
Makan siang yang penuh ketegangan itu pun akhirnya selesai. Dengan memberi sedikit alasan yang sekiranya masuk akal, ayah akhirnya percaya. Beliau juga maklum dengan kesibukan sang calon menantunya itu. Karenanya, meskipun begitu ingin melihat puterinya berkunjung dengan calon suaminya, ayah hanya bisa pasrah saat Sanaya datang sendiri atau ditemani laki-laki lain seperti sekarang ini. Selanjutnya, Sanaya membantu ayah pergi ke kamar untuk beristirahat, sedangkan Dilan memilih menunggu di ruang tamu.Sembari menunggu, Dilan membalas chat dari Bianca. Calon tunangannya itu memintanya datang ke Butik karena harus melakukan fitting baju sekali lagi. Namun, dengan berbagai macam alasan, dan tentunya meminta maaf lantaran tidak bisa datang, Dilan seperti sudah terbiasa berbohong.Hingga detik ini, meski dia dan Bianca akan bertunangan. Hatinya seolah belum merasakan getaran atau debaran yang sama, seperti halnya ketika dia tengah bersama Sanaya. Selalu ada gejolak dan gelora dari dalam di
"Ayah kira kalian menginap," ucap ayah, rautnya terlihat murung ketika Sanaya dan Dilan hendak berpamitan pulang. Ketiganya sudah berada di halaman rumah. Langit pun sudah menggelap. Sanaya memeluk pinggang ayah. "Maaf, Yah. Besok-besok, kalo ada waktu lagi Nay pasti nginep." Dilan pun turut menimpali. "Iya, Om. Besok-besok Dilan pasti bakal main ke sini lagi." "Ajak calon istrimu juga. Om mau kenalan sama dia," pinta ayah, raut murungnya telah berubah sumringah seketika. Kabar Dilan yang tiga hari lagi akan bertunangan disambut dengan bahagia oleh beliau. Maksud Dilan mengabari ayah hanyalah sekadar membagi kebahagiaan. Meski nyatanya dia sama sekali tidak merasakan hal itu. Yang ada sesak di dadanya malah justru semakin merajai. Pembahasan soal hubungannya dengan Sanaya tadi sore, berakhir dengan dingin. Bayangan adegan panas yang telah terancang di otaknya pun terpaksa harus buyar dan enyah. Berganti dengan rasa kecewa, dan tidak saling bertegur sapa hingga detik ini. "Pasti,
"Nay ...." Dilan menegur Sanaya yang hanya terdiam, melepas kedua tangan Sanaya yang melingkar di lehernya, lalu dia bangkit dan duduk di samping gadis itu. "Mikir apa, hm?" Sanaya menoleh, bibirnya yang ranum mengulas senyum. "Enggak, gak lagi mikir apa-apa," kilahnya, kemudian menyandarkan kepalanya di dada Dilan. "Apa aku ini egois?" Kening Dilan langsung mengernyit mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir Sanaya. Dia merentangkan tangan di balik punggung Sanaya, memeluknya erat seperti biasa. "Egois dalam hal apa dulu, nih?" "Egois, karena udah bikin kamu terikat sama perjanjian konyol. Egois karena udah nutupin hubungan kita ke ayah. Egois karena aku gak bisa berhenti bermain-main dengan semua ini. Aku takut, Dilan. Aku takut ngebayangin kamu gak ada di sisiku." Bisa dikatakan jika dirinya memang selama ini selalu bergantung pada Dilan. Rasa takutnya akan kehilangan Dilan jauh lebih besar daripada rasa takutnya ketahuan Leo. Sanaya
Tiga hari kemudian ~Di dalam mobil Sanaya berulang kali mengembuskan napasnya gusar. Namun, tak kunjung mengurangi rasa sesak yang terus saja merajai.Perasaan apa ini, Tuhan? Kenapa aku rasanya ingin menangis, pikirnya.Malam ini dia dan Leo akan pergi menghadiri acara pertunangan Dilan dan Bianca di salah satu hotel ternama ibu kota. Undangan yang diberikan secara khusus oleh Irene selaku teman dari calon ibu mertuanya. Sebenarnya, Sanaya malas dan tidak berminat sama sekali datang, tetapi maminya Leo terus memaksa.Terlebih, dia yang selaku atasan Dilan, rasanya aneh jika tidak menghadiri acara dari salah satu karyawannya. Ayah juga sudah berpesan dan meminta Sanaya untuk mewakilinya.Dia lantas bisa apa? Meskipun enggan, tetapi Sanaya harus tetap berusaha bersikap biasa saja. Agar tak ada orang yang menaruh curiga padanya. Dilan pantas bahagia, mendapatkan gadis yang baik pula."Gak nyangka, ternyata karyawan kamu bisa dapet calon istri orang kaya juga. Beruntung banget dia, ya.
Berusaha untuk tetap tenang dan biasa saja, ternyata semua itu sungguh melelahkan. Terbukti, bila saat ini Sanaya sedang tidak baik-baik saja, semenjak pernyataan Leo yang hendak bertanya kepada ayah Wili. Tubuhnya memang berada di sini, di tengah keramaian lautan manusia yang mengisi ballroom hotel. Sementara pikirannya berkelana ke mana-mana.Bisa ditebak, jika tamu yang hadir dalam acara pertunangan ini bukanlah dari kalangan biasa. Sanaya bahkan melihat beberapa para selebgram dan selebriti ibu kota hadir di acara tersebut. Sanaya tak pernah menduga, jika Dilan akan mendapatkan pasangan dari keluarga terpandang dan memiliki nama besar. Tak heran, jika Leo—tunangannya betah menggerutu dan menyindir nasib Dilan yang beruntung. Andai saja bisa, Sanaya ingin pergi dan menjauh dari lelaki itu. Telinganya sakit lantaran gerutuan tak berfaedah Leo. 'Hfuuh ….' Embusan napas jengah mungkin sudah ke sekian kali keluar dari hidung Sanaya. Melirik Leo yang berada di sampingnya tengah mengo
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, Leo benar-benar merealisasikan niatnya. Menyewa sebuah kamar VIP bersama Sanaya untuk melancarkan aksi yang sudah dia susun di pikirannya. Yakni, ingin mencicipi tubuh calon istrinya itu. "Duduk, Nay. Aku pesen minum dulu," titah Leo, berjalan menjauh menuju sudut kamar untuk menekan tombol interkom yang berada di dekat pintu. Sementara Sanaya duduk dengan perasaan yang mulai tak keruan. "Aku harus gimana? Aku gak mau Leo berhasil jalanin rencananya," gumamnya sembari terus berpikir. Dia tidak mau bahkan tidak rela jika Leo sampai melakukan itu semua. Tidak! Sanaya tidak siap! Getar pada tasnya mengalihkan fokus Sanaya, yang lantas buru-buru mengambil benda pipihnya dari sana. "Dilan?" Ada pesan masuk dari Dilan ternyata. Pemuda itu menanyakan keadaan Sanaya. Tanpa menunggu lama, Sanaya segera membalas pesan tersebut. [Dilan, tolong aku. Aku ada di kamar 209. Please....] Terkirim! "Siapa, Nay?" Teguran Leo jelas mengejutkan Sanaya. Ga
Setelah melewati drama yang mengharu biru, dan puas melepas rindu dengan semua orang di Restoran. Sorenya Sanaya meminta Dilan untuk mengantarnya ke Hotel tempat menginap para karyawannya yang bekerja di toko kuenya. Sesuai dengan janjinya, Sanaya mampir ke Hotel tersebut sebelum Rena dan yang lainnya berangkat untuk kembali ke Jogja. Sanaya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung kepada semua yang telah menyempatkan datang ke pernikahannya kemarin. Jika tidak ada mereka, Sanaya juga tidak akan bisa menjalankan bisnis toko kuenya di Jogja dengan lancar. Sekalian, Sanaya ingin menyerahkan separuh tanggung jawab kepada Rena, yang sekiranya sudah mampu dan dapat dipercaya. Usulan Dilan tentu mendapat sambutan baik dari Sanaya, jika dipikir-pikir, akan sangat merepotkan apabila dia mesti bolak-balik Jakarta-Jogja. Belum lagi, Sanaya harus mengurus restoran yang kini telah kembali ke tangannya. "Apa, Mbak? Aku diangkat jadi Manager? Manager toko kue Mbak Sanaya? Aku gak salah den
Sepanjang perjalanan menuju tempat yang akan ditunjukkan Dilan pada Sanaya, seakan semua tempat yang dilewati terasa tidak asing di ingatan perempuan berhijab itu. Sanaya masih ingat dengan jelas, rute jalan tersebut hendak menuju ke mana. Namun, dia yang tak ingin menerka-nerka sendiri pun, akhirnya bertanya kepada sang suami. Lelaki yang fokus dengan jalan di hadapan nampak santai dan datar. Sejak keluar dari halaman rumah hingga hampir setengah jam berada di jalan, Dilan tak ada sedikit pun membuka suara. "Dilan?" Sanaya menegur sang suami, memiringkan posisi duduknya sambil mengamati jalan sekitar yang dilewati. Kenapa, dugaannya semakin kuat saja, pikirnya dalam diam. "Ya? Kenapa, Nay?" Dilan hanya menoleh sekilas, lalu fokus ke depan lagi. Sayangnya, Sanaya tidak sadar, seringai samar yang terbit di sudut bibir Dilan. "Ini? Kayaknya aku gak asing sama jalanan ini deh?" ucap Sanaya ragu, takut apabila dugaannya meleset. "Gak asing gimana?" Dilan masih berpura-pura bersikap
Usai sarapan, Dilan pergi ke ruangan kerjanya untuk mengerjakan sebentar pekerjaan kantor yang dikirimkan sekretarisnya melalui email, sebelum dia mengajak sang istri pergi ke Restoran. Sementara Sanaya memilih bersiap-siap lagi di kamar, berganti baju yang lebih rapi dan sedikit berdandan. Namun, mengingat jika besok dia akan berangkat bulan madu pagi-pagi sekali, karena itu Sanaya berpikir untuk menyicil mempersiapkan beberapa keperluan yang akan dibawanya. Hanya beberapa potong pakaian, lantaran Dilan melarangnya membawa banyak barang. 'Gak usah bawa banyak-banyak, nanti kita bisa beli di sana kalo semisal kurang sesuatu. Biar waktu pulang kita juga gak kerepotan.' Kata Dilan mengingatkan sang istri, dan menurut Sanaya itu ada benarnya juga.Sanaya yang sibuk memasukkan baju-baju yang dia ambil dari lemari, tiba-tiba kepikiran toko. Otomatis, dia harus menambah masa liburnya, karena dia akan pergi bulan madu sekitar satu Minggu."Oia, aku belum ngasih tau Rena, kalo aku bakal lam
Paginya, Sanaya yang selalu bangun lebih awal sudah sibuk berkutat di dapur, menyiapkan sarapan dengan dibantu bibi yang bertugas di bagian itu. Walaupun ada banyak asisten rumah tangga, Sanaya tak bisa berdiam diri begitu saja, dan tinggal menikmati makanan yang sudah disiapkan. Terbiasa mandiri, dan basicnya dia suka memasak, membuat Sanaya ingin mengeksplor berbagai macam jenis masakan. Sayang 'kan, ada dapur sebagus ini jika tidak dimanfaatkan? pikir Sanaya. Semalam meskipun Sanaya hanya tidur beberapa jam saja, tenaganya masih cukup kuat kalau hanya memasak. Dilan benar-benar mengerjainya habis-habisan, sampai tak memberinya jeda sebentar saja.Ya ... kendati begitu, Sanaya tak bisa berbohong, kalau dia pun menikmati setiap momen panas semalam. Suatu kegiatan yang pastinya berbuah pahala, karena menyenangkan pasangan kita di ranjang. Sanaya berharap, rumah tangganya akan selalu dilimpahkan kebahagiaan dan keberkahan dari Sang Pencipta. "Bi, saya tinggal sebentar, ya? Saya mau
Mau tak mau Dilan harus mandi, bukan? Bercinta dalam keadaan bersih tentu akan terasa lebih nyaman dan tenang. Apalagi, setelah sekian lama dia menantikan momen ini. Sanaya telah resmi menjadi miliknya seutuhnya, dan dia berjanji akan terus berusaha melimpahkan kebahagiaan untuk perempuan cantik itu.Sementara Dilan masuk ke kamar mandi, Sanaya menunggu sang suami di depan meja rias. Senyumnya belum luntur, dan semakin mengembang ketika mengingat bagaimana konyolnya Dilan yang sempat tak mau mandi."Dia gak berubah sedikit pun," gumam Sanaya, sambil menggelengkan kepala, lalu mengeringkan rambutnya dengan hairdryer yang tersedia. Sambil menunggu, mungkin Sanaya akan sedikit memberi riasan di wajahnya, supaya tidak terlalu pucat. Kebetulan sekali, di meja rias sudah tersedia perlengkapan make up lengkap dengan skincare yang biasa Sanaya pakai."Darimana dia tau, kalo aku pakek ini?" Sanaya mengambil penyegar wajah, setelah selesai dengan urusan rambut. Botol kemasan kecil itu adalah m
Acara pernikahan Dilan dan Sanaya berlangsung cukup meriah, meskipun yang hadir hanya beberapa orang terdekat saja, tetapi tidak mengurangi kebahagiaan sepasang pengantin yang tak lagi baru itu. Semua orang tentu tahu, akan status keduanya yang lebih dulu telah menikah dengan pasangan masing-masing. Namun, tak banyak yang tahu, jika selama ini pula, keduanya sempat menjalin hubungan diam-diam di belakang. Saling mengisi kekosongan di hati.Waktu pun terus berlalu, sampai hampir malam menjelang, satu persatu dari mereka berpamitan pulang. Melihat sang istri kelelahan, Dilan berinisiatif memintanya agar kembali ke kamar terlebih dahulu. Sanaya menurut, dan pergi ke lantai atas, ke tempat kamarnya Dilan berada.Statusnya yang sudah resmi menjadi istri dari lelaki itu, tentu mengharuskan Sanaya tinggal di kamar tersebut. Rasanya, kenapa sangat mendebarkan, padahal dulu dia sering masuk ke kamar Dilan, waktu masih tinggal di apartemen.Apa mungkin, karena sudah begitu lama, dia tidak masuk
Tak ada yang bisa menebak, bagaimana dan apa yang akan terjadi ke depannya dengan kehidupan kita. Kemarin, Sanaya hanya menghabiskan hari-harinya di ruko dengan berkutat dengan berbagai macam bahan kue. Memutuskan pergi ke kota lain, dan memulai hidup barunya dengan status seorang janda.Selama enam bulan, Sanaya hidup dalam kesepian, dan kenangan orang-orang yang dia sayang. Kehilangan ayah merupakan hal terberat baginya dan butuh waktu untuk belajar ikhlas. Kerinduannya akan sosok yang dulu sering mendampingi pun terkadang harus Sanaya pendam dalam-dalam, lantaran tak sanggup jika dia harus mengenang kebersamaannya lagi dengan seseorang.Seseorang yang selama ini dia pikir telah berbahagia dengan pasangannya. Namun, apa yang Sanaya kira, ternyata salah. Dilan pun rupanya merasakan hal yang sama sepertinya. Tenggelam dalam kubangan masa lalu yang memiliki kenangan paling manis dan indah. Hatinya, telah tersemat nama lelaki itu, yang dulu Sanaya pikir akan mudah melupakannya seiring
Dulu, Sanaya memang pernah tinggal di rumah besar, tetapi tidak sebesar rumah kakeknya Dilan. Untuk ukuran kamar yang dia tempati saat ini saja, luasnya melebihi kamarnya waktu di rumahnya dulu.Ah, Sanaya malah jadi rindu rumahnya yang dulu. Kenangannya tertinggal di rumah masa kecilnya itu. Andai, dia tidak terpaksa menjualnya demi menutupi utang ayah kepada keluarga Leo. Pasti, saat ini Sanaya masih bisa menempati rumah tersebut.Ada rasa sesal tersendiri sebenarnya, ketika Sanaya memutuskan menjual seluruh peninggalan ayah. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, dia sama sekali tidak punya pilihan selain menjualnya, sebab Sanaya takut sang ayah menanggung beban berat di akhirat sana.Sedikit demi sedikit dia mulai paham soal hukum utang yang tidak dibayar meski nominalnya sangat kecil. Sanaya sayang dan ingin ayahnya tak terbebani dengan urusan utang. Kendati, dia harus kehilangan segalanya."Ah, iya. Baik-baik. Terima kasih. Besok saya sudah bekerja lagi. Silakan kirim dokumennya ke ka
Seperti janjinya, setibanya di Jakarta, Dilan langsung membawa Sanaya ke makam ayah Wili, menemani perempuan itu yang katanya ingin berziarah. Untuk yang ketiga kalinya Dilan ke tempat tersebut. Yang pertama saat dia tahu kabar jika ayahnya Sanaya telah meninggal. Yang kedua beberapa waktu yang lalu ketika dia hendak pergi menyusul Sanaya ke Jogja. Lalu, hari ini, Dilan berniat meminta restu kepada orang yang telah membantunya dulu.Kondisi makam yang bersih dan rapi tentu menimbulkan pertanyaan di benak Sanaya, yang baru saja tiba. "Ini? Kenapa makam Ayah keliatan rapi?"Manik Sanaya menyusuri makam yang nampak berbeda dari hari terakhir yang dia lihat. Makam ayah sudah dipondasi sedemikian rupa, dengan kelopak bunga mawar merah dan putih berada di atasnya.Karena seingatnya, Sanaya lupa meminta pengurus makam untuk merawat makam sang ayah. Berada di kota yang jauh, cukup menyulitkannya berkomunikasi dengan pengurus makam."Mungkin ada orang baik yang meminta tolong sama pengurus mak