"Hem... aku...." Dilan menelan ludah susah payah, di desak seperti ini oleh Sanaya. Entah mengapa, malam ini Sanaya nampak berbeda dari biasanya. "Jawab aja, Dilan. Gak apa-apa. Toh, itu hak kamu," pinta Sanaya yang belum melepas tatapannya pada sosok kharisma itu. "Saya lebih suka kamu jujur. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Karena saya perlu tahu, apakah laki-laki yang sudah berani mencuri ciuman pertama saya punya hubungan dengan wanita lain atau enggak. Itu aja." 'Hah? Serius? Yang kemarin itu ciuman pertamanya Sanaya? Gila! Mampus lu, Dilan!' Dilan menggerutu dan merutuki dirinya dalam hati. "So-sorry, Mbak. Kalo emang itu kenyataannya. Kalo pun aku tahu itu ternyata ciuman pertama Mbak Sanaya, aku gak bakal lakuin itu. Sumpah!" Dilan seketika gelagapan dan panik sendiri, dia bahkan sampai rela bersumpah seraya mengangkat kedua jari membentuk huruf V ke atas. "Tapi kamu udah terlanjur ngelakuin itu, Dilan. Dan kamu tahu, apa akibatnya bagi saya?" Sanaya semakin berani, berbicar
Dulu, ayah pernah berkata jadi seorang perempuan itu harus bisa menjaga diri, meski tinggal berjauhan di negeri orang. Harus pandai memilih teman, pergaulan dan jangan pernah terjerumus ke hal-hal yang negatif, yang hanya akan merusak diri kita. Dan, yang paling penting ialah menjaga kehormatan. Karena itu merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi perempuan. Apalagi jika kita hanya mempersembahkan kesucian untuk lelaki yang kelak akan menjadi pendamping hidup kita untuk selamanya. Menyerahkan mahkota yang kita punya hanya untuk lelaki yang kita cintai. Apabila kita salah dalam mengambil langkah tersebut, maka kerusakan dan kerugian ada pada diri kita seorang. Detik ini, apakah Sanaya telah salah dalam mengambil langkah? Karena sudah menyerahkan apa yang dia punya kepada pria yang tidak memiliki status apa pun dengannya? Sanaya telah menghancurkan kepercayaan yang diberikan ayah padanya dalam sekejap mata, lantaran menuruti nafsu yang sudah menggelapkan matanya. Memilih kalah dan
"A-apa?" Sanaya tercengang hingga untuk menelan ludah saja rasanya susah. "Jangan bercanda, Dilan! Gak lucu!" hardik Sanaya yang lantas melengos, untuk menghindari tatapan mata Dilan.Lelucon apa lagi ini? Sanaya sudah terjebak dalam kegilaannya sendiri. Dilan mengajaknya menikah?'Heuh! Gak! Gak bisa!' batin Sanaya yang terus saja menolak kenyataan. Ini semua terjadi juga karena tindakan bodohnya yang sudah melibatkan Dilan."Kenapa, Mbak? Mbak gak mau?" tanya Dilan yang jelas-jelas tahu arti dari keterkejutan Sanaya. Namun, bukankah ini sudah benar? Dia berniat baik dan ingin bertanggung jawab atas perbuatan yang sudah mereka lakukan tadi.Akan tetapi, Dilan seakan tidak mengerti dengan sikap Sanaya yang mencoba menghindar. Apa sebenarnya yang diinginkan atasannya ini? Kenapa selalu saja membuat semuanya semakin rumit dan... jadi serba salah.Sanaya menarik napas dalam-dalam seraya memejam sejenak. Kalimat yang hendak dia lontarkan mungkin akan semakin menyakiti hati Dilan."Enggak!
Hari ini Sanaya berangkat ke Restoran agak siangan. Selain tubuhnya yang merasa lelah dan remuk, Sanaya juga ingin menghindari Dilan. Dia belum siap untuk bertemu pemuda itu dalam keadaan kacau seperti sekarang. Seperti hari-hari lalu, gadis itu semalaman tidak bisa tidur, karena terus mengingat pergumulan panasnya bersama Dilan. Imbas dari kebodohan dan keputusan yang diambil, kini Sanaya kembali merasa dilema. Hingga, tanpa sadar mempengaruhi konsentrasinya dalam bekerja. Sebelum kejadian tersebut, Sanaya tidak pernah merasa sekacau ini. Hidupnya selalu disiplin, teratur dan penuh perencanaan. Tak pernah sedikit pun dia melakukan kesalahan. Sanaya tipe perempuan yang sangat memegang prinsip. Namun, setelah dia mengenal dan dekat dengan Dilan, semua yang ada pada dirinya perlahan menghilang. Mulai dari berbohong, membawa laki-laki masuk ke apartemen. Lalu, pergi makan es krim berduaan, masuk ke apartemen pria yang tak memiliki status dengannya, dan terakhir melakukan... "Argh...!!
Sepulang dari Restoran, Sanaya tidak langsung menuju ke apartemen. Dia diminta Leo untuk ke rumah tunangannya itu, lantaran calon mertua Sanaya ingin bertemu. Dan, dengan terpaksa Sanaya menuruti saja perintah Leo, walau tubuhnya benar-benar merasa lelah hari ini.Hubungan Sanaya dan maminya Leo terbilang akrab dan dekat. Perempuan paruh baya itu sangat menyayangi Sanaya seperti putrinya sendiri, begitu pun papinya Leo. Persahabatan antara ayah dan papinya Leo terjalin semenjak di bangku kuliah. Karena itu, mereka telah merencanakan perjodohan ini sejak lama. Tak sekedar perjodohan, pertunangan ini terjadi lantaran ayah yang mempunyai utang budi kepada papi Leo. Sama-sama anak tunggal, Sanaya yang hanya memiliki ayah di dunia ini, harus menerima perjodohan tersebut dengan berat hati. Entah, dengan Leo, yang selama ini tidak pernah sekali pun terlihat membangkang kedua orang tuanya. Seperti biasa, mami selalu memperlakukan Sanaya dengan penuh kasih sayang. Memanjakan sang calon menan
Harusnya, Sanaya tahu akan berakhir seperti apa dirinya saat berani bermain-main dengan Leo. Tak hanya fisiknya yang sakit, hati dan batinnya pun turut merasakan pedih. Bekas tangan yang terukir di pipinya masih tak seberapa, dibandingkan dengan tekanan yang dia terima.Sanaya meringis, menahan rasa perih di area wajah dan sudut bibirnya yang sobek. Sengaja, membasahi sekujur tubuhnya di bawah kucuran air shower agar rasa sakit yang bercokol di dada bisa sedikit berkurang. Rencana pernikahan yang dipercepat dan terkesan mendadak, membuat kepala Sanaya semakin berdenyut. Itu artinya, tidak lama lagi dia akan hidup selamanya bersama Leo. Laki-laki dengan segala pikiran licik dan sikap kejamnya. "Apa aku sanggup hidup bersama dengan Leo?" Keraguan itu semakin besar di hati Sanaya, saat menyadari semua ini memang sudah terlambat. Dia dan Leo, mungkin memang ditakdirkan bersama. Menghabiskan sisa hidupnya dengan lelaki arogan itu. "Dilan...." Bahkan, di saat seperti sekarang, hanya Dila
Selama Dilan cuti, pekerjaan Sanaya menjadi dua kali lipat dari biasanya. Pekerjaan yang seharusnya dipegang Dilan, kini terpaksa dirinya yang menghendel. Cukup merepotkan memang, tetapi Sanaya juga tidak bisa menolak permintaan customer yang menginginkan owner restoran turun tangan. Masalahnya tidak hanya pada pekerjaan saja yang semakin banyak. Beberapa hari ini tubuh Sanaya juga mudah sekali lelah. Perempuan itu sama sekali belum pernah merasakan hal ini sebelumnya. Tidak bersemangat dan mood yang sering berubah-ubah. "Hfuuh...." Helaan panjang berembus dari bibir serta hidung Sanaya. Meletakkan ponselnya, lalu menopang kepala dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja kerja. "Pusing," keluhnya lirih. Guna menghilangkan rasa pusing Sanaya lantas memijat pelipis dengan ke sepuluh jarinya. Memejamkan mata, sambil merilekskan otot-otot leher yang sedikit kaku. Kepenatan yang mendera seakan menumpuk di pundak Sanaya. tok!tok! "Masuk!" seru Sanaya kepada orang yang baru saja me
"Eh, Nay...." Mami Anne terlonjak kaget, lalu buru-buru mengambil tisu yang ada di meja. Beliau membantu Sanaya mengeringkan cipratan lemon tea, yang hampir membasahi seluruh celana bahan yang dipakai gadis itu. "Pelan-pelan, Nay...." Sanaya jadi salah tingkah, merutuki sikapnya yang sangat ceroboh itu. "Ma-maaf, Mam. Sanaya malah bikin Mami repot." Perempuan berkulit putih itu mengelap bibir dan hidungnya, yang terasa tidak nyaman, dengan tisu pemberian mami. Tenggorokannya pun juga terkena imbasnya. Gara-gara mengingat tanggal bulanan yang sudah terlewat, Sanaya hampir saja mati tersedak. ck! Payah, kamu Sanaya! Tetapi, ngomong-ngomong, Sanaya juga baru sadar akan hal itu. Siklus bulanannya, sudah terlewat satu Minggu. Itu artinya dia terlambat datang bulan. Pantas saja, moodnya belakangan ini sering tak karu-karuan. Ternyata Sanaya belum mendapatkan jatah bulanannya. "Kamu lagi mikirin apa, Nay? Cerita ke mami." Mami mengusap belakang kepala Sanaya yang kini malah melamun. Be
Setelah melewati drama yang mengharu biru, dan puas melepas rindu dengan semua orang di Restoran. Sorenya Sanaya meminta Dilan untuk mengantarnya ke Hotel tempat menginap para karyawannya yang bekerja di toko kuenya. Sesuai dengan janjinya, Sanaya mampir ke Hotel tersebut sebelum Rena dan yang lainnya berangkat untuk kembali ke Jogja. Sanaya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung kepada semua yang telah menyempatkan datang ke pernikahannya kemarin. Jika tidak ada mereka, Sanaya juga tidak akan bisa menjalankan bisnis toko kuenya di Jogja dengan lancar. Sekalian, Sanaya ingin menyerahkan separuh tanggung jawab kepada Rena, yang sekiranya sudah mampu dan dapat dipercaya. Usulan Dilan tentu mendapat sambutan baik dari Sanaya, jika dipikir-pikir, akan sangat merepotkan apabila dia mesti bolak-balik Jakarta-Jogja. Belum lagi, Sanaya harus mengurus restoran yang kini telah kembali ke tangannya. "Apa, Mbak? Aku diangkat jadi Manager? Manager toko kue Mbak Sanaya? Aku gak salah den
Sepanjang perjalanan menuju tempat yang akan ditunjukkan Dilan pada Sanaya, seakan semua tempat yang dilewati terasa tidak asing di ingatan perempuan berhijab itu. Sanaya masih ingat dengan jelas, rute jalan tersebut hendak menuju ke mana. Namun, dia yang tak ingin menerka-nerka sendiri pun, akhirnya bertanya kepada sang suami. Lelaki yang fokus dengan jalan di hadapan nampak santai dan datar. Sejak keluar dari halaman rumah hingga hampir setengah jam berada di jalan, Dilan tak ada sedikit pun membuka suara. "Dilan?" Sanaya menegur sang suami, memiringkan posisi duduknya sambil mengamati jalan sekitar yang dilewati. Kenapa, dugaannya semakin kuat saja, pikirnya dalam diam. "Ya? Kenapa, Nay?" Dilan hanya menoleh sekilas, lalu fokus ke depan lagi. Sayangnya, Sanaya tidak sadar, seringai samar yang terbit di sudut bibir Dilan. "Ini? Kayaknya aku gak asing sama jalanan ini deh?" ucap Sanaya ragu, takut apabila dugaannya meleset. "Gak asing gimana?" Dilan masih berpura-pura bersikap
Usai sarapan, Dilan pergi ke ruangan kerjanya untuk mengerjakan sebentar pekerjaan kantor yang dikirimkan sekretarisnya melalui email, sebelum dia mengajak sang istri pergi ke Restoran. Sementara Sanaya memilih bersiap-siap lagi di kamar, berganti baju yang lebih rapi dan sedikit berdandan. Namun, mengingat jika besok dia akan berangkat bulan madu pagi-pagi sekali, karena itu Sanaya berpikir untuk menyicil mempersiapkan beberapa keperluan yang akan dibawanya. Hanya beberapa potong pakaian, lantaran Dilan melarangnya membawa banyak barang. 'Gak usah bawa banyak-banyak, nanti kita bisa beli di sana kalo semisal kurang sesuatu. Biar waktu pulang kita juga gak kerepotan.' Kata Dilan mengingatkan sang istri, dan menurut Sanaya itu ada benarnya juga.Sanaya yang sibuk memasukkan baju-baju yang dia ambil dari lemari, tiba-tiba kepikiran toko. Otomatis, dia harus menambah masa liburnya, karena dia akan pergi bulan madu sekitar satu Minggu."Oia, aku belum ngasih tau Rena, kalo aku bakal lam
Paginya, Sanaya yang selalu bangun lebih awal sudah sibuk berkutat di dapur, menyiapkan sarapan dengan dibantu bibi yang bertugas di bagian itu. Walaupun ada banyak asisten rumah tangga, Sanaya tak bisa berdiam diri begitu saja, dan tinggal menikmati makanan yang sudah disiapkan. Terbiasa mandiri, dan basicnya dia suka memasak, membuat Sanaya ingin mengeksplor berbagai macam jenis masakan. Sayang 'kan, ada dapur sebagus ini jika tidak dimanfaatkan? pikir Sanaya. Semalam meskipun Sanaya hanya tidur beberapa jam saja, tenaganya masih cukup kuat kalau hanya memasak. Dilan benar-benar mengerjainya habis-habisan, sampai tak memberinya jeda sebentar saja.Ya ... kendati begitu, Sanaya tak bisa berbohong, kalau dia pun menikmati setiap momen panas semalam. Suatu kegiatan yang pastinya berbuah pahala, karena menyenangkan pasangan kita di ranjang. Sanaya berharap, rumah tangganya akan selalu dilimpahkan kebahagiaan dan keberkahan dari Sang Pencipta. "Bi, saya tinggal sebentar, ya? Saya mau
Mau tak mau Dilan harus mandi, bukan? Bercinta dalam keadaan bersih tentu akan terasa lebih nyaman dan tenang. Apalagi, setelah sekian lama dia menantikan momen ini. Sanaya telah resmi menjadi miliknya seutuhnya, dan dia berjanji akan terus berusaha melimpahkan kebahagiaan untuk perempuan cantik itu.Sementara Dilan masuk ke kamar mandi, Sanaya menunggu sang suami di depan meja rias. Senyumnya belum luntur, dan semakin mengembang ketika mengingat bagaimana konyolnya Dilan yang sempat tak mau mandi."Dia gak berubah sedikit pun," gumam Sanaya, sambil menggelengkan kepala, lalu mengeringkan rambutnya dengan hairdryer yang tersedia. Sambil menunggu, mungkin Sanaya akan sedikit memberi riasan di wajahnya, supaya tidak terlalu pucat. Kebetulan sekali, di meja rias sudah tersedia perlengkapan make up lengkap dengan skincare yang biasa Sanaya pakai."Darimana dia tau, kalo aku pakek ini?" Sanaya mengambil penyegar wajah, setelah selesai dengan urusan rambut. Botol kemasan kecil itu adalah m
Acara pernikahan Dilan dan Sanaya berlangsung cukup meriah, meskipun yang hadir hanya beberapa orang terdekat saja, tetapi tidak mengurangi kebahagiaan sepasang pengantin yang tak lagi baru itu. Semua orang tentu tahu, akan status keduanya yang lebih dulu telah menikah dengan pasangan masing-masing. Namun, tak banyak yang tahu, jika selama ini pula, keduanya sempat menjalin hubungan diam-diam di belakang. Saling mengisi kekosongan di hati.Waktu pun terus berlalu, sampai hampir malam menjelang, satu persatu dari mereka berpamitan pulang. Melihat sang istri kelelahan, Dilan berinisiatif memintanya agar kembali ke kamar terlebih dahulu. Sanaya menurut, dan pergi ke lantai atas, ke tempat kamarnya Dilan berada.Statusnya yang sudah resmi menjadi istri dari lelaki itu, tentu mengharuskan Sanaya tinggal di kamar tersebut. Rasanya, kenapa sangat mendebarkan, padahal dulu dia sering masuk ke kamar Dilan, waktu masih tinggal di apartemen.Apa mungkin, karena sudah begitu lama, dia tidak masuk
Tak ada yang bisa menebak, bagaimana dan apa yang akan terjadi ke depannya dengan kehidupan kita. Kemarin, Sanaya hanya menghabiskan hari-harinya di ruko dengan berkutat dengan berbagai macam bahan kue. Memutuskan pergi ke kota lain, dan memulai hidup barunya dengan status seorang janda.Selama enam bulan, Sanaya hidup dalam kesepian, dan kenangan orang-orang yang dia sayang. Kehilangan ayah merupakan hal terberat baginya dan butuh waktu untuk belajar ikhlas. Kerinduannya akan sosok yang dulu sering mendampingi pun terkadang harus Sanaya pendam dalam-dalam, lantaran tak sanggup jika dia harus mengenang kebersamaannya lagi dengan seseorang.Seseorang yang selama ini dia pikir telah berbahagia dengan pasangannya. Namun, apa yang Sanaya kira, ternyata salah. Dilan pun rupanya merasakan hal yang sama sepertinya. Tenggelam dalam kubangan masa lalu yang memiliki kenangan paling manis dan indah. Hatinya, telah tersemat nama lelaki itu, yang dulu Sanaya pikir akan mudah melupakannya seiring
Dulu, Sanaya memang pernah tinggal di rumah besar, tetapi tidak sebesar rumah kakeknya Dilan. Untuk ukuran kamar yang dia tempati saat ini saja, luasnya melebihi kamarnya waktu di rumahnya dulu.Ah, Sanaya malah jadi rindu rumahnya yang dulu. Kenangannya tertinggal di rumah masa kecilnya itu. Andai, dia tidak terpaksa menjualnya demi menutupi utang ayah kepada keluarga Leo. Pasti, saat ini Sanaya masih bisa menempati rumah tersebut.Ada rasa sesal tersendiri sebenarnya, ketika Sanaya memutuskan menjual seluruh peninggalan ayah. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, dia sama sekali tidak punya pilihan selain menjualnya, sebab Sanaya takut sang ayah menanggung beban berat di akhirat sana.Sedikit demi sedikit dia mulai paham soal hukum utang yang tidak dibayar meski nominalnya sangat kecil. Sanaya sayang dan ingin ayahnya tak terbebani dengan urusan utang. Kendati, dia harus kehilangan segalanya."Ah, iya. Baik-baik. Terima kasih. Besok saya sudah bekerja lagi. Silakan kirim dokumennya ke ka
Seperti janjinya, setibanya di Jakarta, Dilan langsung membawa Sanaya ke makam ayah Wili, menemani perempuan itu yang katanya ingin berziarah. Untuk yang ketiga kalinya Dilan ke tempat tersebut. Yang pertama saat dia tahu kabar jika ayahnya Sanaya telah meninggal. Yang kedua beberapa waktu yang lalu ketika dia hendak pergi menyusul Sanaya ke Jogja. Lalu, hari ini, Dilan berniat meminta restu kepada orang yang telah membantunya dulu.Kondisi makam yang bersih dan rapi tentu menimbulkan pertanyaan di benak Sanaya, yang baru saja tiba. "Ini? Kenapa makam Ayah keliatan rapi?"Manik Sanaya menyusuri makam yang nampak berbeda dari hari terakhir yang dia lihat. Makam ayah sudah dipondasi sedemikian rupa, dengan kelopak bunga mawar merah dan putih berada di atasnya.Karena seingatnya, Sanaya lupa meminta pengurus makam untuk merawat makam sang ayah. Berada di kota yang jauh, cukup menyulitkannya berkomunikasi dengan pengurus makam."Mungkin ada orang baik yang meminta tolong sama pengurus mak