Bantu vote-nya donk....huhuuu🤧biar aku tambah semangat dan rajin up-nya:")
"Ayah..." seru Sanaya, begitu kakinya melangkah masuk ke rumah masa kecilnya. Menghambur ke pelukan ayah yang menyambut kedatangan anak perempuannya dengan antusias. "Nay kangeeen," rengeknya, meluapkan rasa rindu kepada sang ayah. Lelaki paruh baya dengan rambut separuh beruban itu pun terkekeh seraya menepuk-nepuk punggung Sanaya. "Makanya sering-sering main ke sini, tengokin ayah." "Nay, kan sibuk, Yah...." jawab Sanaya, lalu mengurai pelukan. "Si Dilan liburnya lama banget. Udah hapenya gak aktif." Sanaya menggerutu, menyindir jatah cuti Dilan yang menurutnya terlampau lama. Masa ada, orang cuti hampir sebulan? Aneh—pikir Sanaya. "Sabar... Dilan itu lagi banyak urusan keluarga. Jadi, belum bisa masuk kerja dulu." Ayah meraih tangan Sanaya, lalu menuntunnya duduk di sofa, yang berada di ruang keluarga. "Restoran aman 'kan?" tanyanya kemudian. Kepala Sanaya mengangguk lesu. "Aman. Tapi, Yah, kok, Ayah tahu kalo Dilan masih sibuk ngurusin urusan keluarga? Emang dia ada telepon Ay
Baru saja Sanaya menutup pintu kamar mandi, tetapi tiba-tiba sudah terdengar suara ayah yang memanggilnya dari luar."Nay...." Ayah membuka pintu kamar Sanaya, lalu melongokkan kepala. Pandangannya segera tertuju pada pintu kamar mandi yang dibuka dari dalam.Lalu, muncullah Sanaya dari sana. "Iya, Yah?" Gadis itu berjalan menghampiri ayah yang hanya membuka separuh pintu kamarnya."Ada Leo di bawah," ucap ayah, memindai sekilas penampilan Sanaya yang ternyata masih belum mengganti bajunya. "Belum mandi?" tanyanya yang langsung diangguki Sanaya."Mas Leo ngapain ke sini?""Ya... ayah belum sempet nanya, Nay. Dia langsung nanyain kamu."Dahi Sanaya terlihat mengerut, seraya bertanya-tanya dalam hati. Kenapa tiba-tiba Leo mencarinya, dan rela jauh-jauh datang ke sini. Aneh—pikir Sanaya.Tidak biasanya, Leo sudi datang ke rumah ayah. Sekali pun Sanaya merengek, memintanya untuk menemani. Yang ada, justru kemarahan yang diberikan Leo. Ck! Benar-benar patut dicurigai sikap tunangannya itu.
"Jahenya, Neng." Mbok Mina meletakkan cangkir jahe hangat, yang sudah diberi tambahan lemon dan madu ke meja makan. Kemudian, secangkir teh hijau tanpa gula untuk ayah. "Makasih, Mbok." Sanaya tersenyum pada Mbok Mina, sosok asisten rumah tangga yang telah bekerja di rumah ayah selama hampir lima belas tahun. "Sama-sama, Neng. Nanti semisal perlu yang lain bilang aja sama mbok." "Iya, Mbok." "Mbok ke belakang lagi." Sanaya mengangguk ramah, mempersilakan mbok Mina kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya. Lalu dia meraih cangkir jahe dan menghirup aromanya sekilas. Segar dan menenangkan. "Kalo gak enak badan, mending kamu gak usah ke restoran dulu, Nay," ucap ayah, sembari meraih cangkir tehnya. Mengangkatnya, lalu menyesapnya sedikit. "Nay gak pa-pa, kok, Yah. Paling cuma masuk angin," sanggah Sanaya, menyeruput jahe madu lemon yang menghangatkan perutnya seketika. "Entar siang ada janji ke butik sama Mas Leo. Gak enak kalo dia harus jemput ke sini. Kejauhan." San
Sanaya dan Leo turun dari mobil lelaki itu secara bersamaan, tepat di pelataran parkir sebuah butik. Siang ini, mereka akan menemui desainer yang sebelumnya sudah membuat janji terlebih dahulu. Atas saran mami, Sanaya dan Leo memakai jasa dari butik yang brandnya sudah cukup terkenal dan mempunyai nama.Kaki Sanaya mengayun dengan enggan, karena moodnya siang ini sudah lebih dulu dikacaukan oleh sikap Leo. Waktu perjalanan menuju ke butik, keduanya sempat berdebat masalah kecil. Leo mengatakan secara terang-terangan bila dirinya benar-benar muak dengan semua ini. Dan terpaksa menuruti perintah kedua orang tuanya, lantaran tidak ingin hak warisnya dicabut.Oh, satu lagi alasan yang baru Sanaya ketahui. Selain licik, Leo ternyata takut hidup miskin. Ck! Karenanya, lelaki itu mau menikah dengan Sanaya, asal namanya tidak dicoret dari daftar kartu keluarga.Sanaya sedikit tersentak, saat tangannya tiba-tiba ditarik Leo. "Ada apa?""Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana. Aku mau angkat telep
Sanaya jelas terkejut saat tidak sengaja bertemu Dilan di butik Irene. Namun, ada satu hal yang baru dia sadari. Bianca, putri dari Irene itu terlihat bergelayut manja di lengan Dilan. Dan, nampak mesra seperti orang yang sedang menjalin kasih.Tunggu! Bianca? Sepertinya nama itu tidak asing di telinga Sanaya. 'Bianca?' Kedua alis Sanaya terangkat perlahan saat menyadari sesuatu. Ah, bukannya itu nama perempuan yang pernah disebut Dilan waktu malam itu? Perempuan yang katanya hanya teman dekat? Ck! Bisa-bisanya Dilan menipunya mentah-mentah. Mana ada teman dekat yang menempel seperti itu—pikir Sanaya. "Sanaya…." Irene menegur Sanaya sembari berjalan mendekati gadis itu. Pasalnya, Sanaya hanya berdiri termangu di depan pintu. Terhenyak, mendengar namanya di sebut. Lamunannya tentang Dilan pun seketika buyar dan berceceran. Sanaya segera menggelengkan kepala agar kesadarannya kembali penuh. Tidak mau Irene atau yang lainnya merasa curiga. Cukup dia bersandiwara, berpura-pura tidak m
Setelah menyelesaikan urusan di butik Irene, Sanaya lantas segera pamit pulang kepada sang pemilik butik. Jengah sekaligus malas jika dirinya harus berlama-lama berada di dalam satu ruangan bersama Dilan dan Bianca. Sikap kekasih Dilan itu benar-benar berlebihan dan tidak tahu malu. "Memangnya dia pikir, cuma dia doang yang punya pacar? Ck, ngeselin!" gerutu Sanaya sambil terus melangkah menjauh dari pelataran parkir butik. Sedari tadi mulutnya tak berhenti membeo, dan bersungut-sungut. Entah apa yang membuatnya menjadi bersikap demikian. Karena fakta Dilan yang sudah punya pacarkah? Atau ada penyebabnya lain yang mendasari kekesalannya itu. Yang jelas, Sanaya merasa tidak terima lantaran Dilan sudah menipunya. Keluar dari area butik, Sanaya baru menghentikan langkahnya. Mengatur napasnya yang sedikit ngos-ngosan karena sudah berjalan terburu-buru, lalu setelah merasa tenang dia merogoh tas selempang yang menjuntai di bahu. Jarak butik dan restoran lumayan jauh, karena itu Sanaya h
Dilan membawa motornya dengan laju sedang seperti janjinya pada Sanaya sebelum meninggalkan butik. Namun, di perjalanan kali ini tak ada satu pun dari mereka yang berniat membuka obrolan. Dilan dan Sanaya sama-sama fokus pada isi kepala masing-masing. Bila Sanaya tengah bertanya-tanya perihal hubungan Dilan dengan Bianca. Sementara Dilan tengah bertanya-tanya dengan kondisi Sanaya saat ini.Sempat mendengar dari Irene waktu di butik tadi, jika Sanaya dan Leo akan menikah dalam waktu dekat. Yakni dua bulan lagi. Lalu, di pikiran Dilan pun terbesit sebuah pertanyaan, tentang kondisi Sanaya yang nampaknya baik-baik saja. Tidak ada hal-hal yang mengarah pada kehamilan.Apa itu artinya, Sanaya memang tidak hamil? Atau... memang perempuan itu sengaja membuat dirinya tidak hamil, pikir Dilan.Selang beberapa menit menempuh perjalanan, akhirnya motor yang dikendarai Dilan berhenti tepat di parkiran Restoran. Tanpa menunggu lama, Sanaya buru-buru turun dari motor tersebut, lalu merapikan seben
"Itu..." Dilan terdiam sesaat, menggantung kalimatnya di ujung bibir."Itu apa?" Sanaya benar-benar sudah tidak sabar."Kami... intinya gak pacaran, Mbak. Udah itu. Sama kaya Mbak dan Leo. Yang tahu-tahu dijodohkan. Kurang lebih aku sama Bianca kaya gitu." Dilan tidak bohong, memang seperti itu hubungannya dengan Bianca. Tidak ada yang spesial."Tapi, Dilan—""Ssstt! Udah Mbak. Gak usah dibahas lagi." Telunjuk Dilan menempel di bibir Sanaya, merasa enggan dan malas jika harus membahas mengenai hubungannya bersama Bianca. "Sekarang kita bahas masalah kita yang sempat tertunda." Menarik kembali telunjuknya, kemudian beralih ke sisi wajah Sanaya lagi.Seketika Sanaya menelan ludah. Ingatannya berkelana pada kejadian malam itu, dan mimpi-mimpi yang sempat dia alami. Ah, memalukan! Di saat seperti ini, mengapa otak Sanaya justru mengingat aktivitas panas tersebut."Mbak?" tegur Dilan, karena Sanaya malah asyik melamun sendiri. "Mbak hamil gak?""A-apa? Hamil?" Manik Sanaya bergerak gelisah
Setelah melewati drama yang mengharu biru, dan puas melepas rindu dengan semua orang di Restoran. Sorenya Sanaya meminta Dilan untuk mengantarnya ke Hotel tempat menginap para karyawannya yang bekerja di toko kuenya. Sesuai dengan janjinya, Sanaya mampir ke Hotel tersebut sebelum Rena dan yang lainnya berangkat untuk kembali ke Jogja. Sanaya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung kepada semua yang telah menyempatkan datang ke pernikahannya kemarin. Jika tidak ada mereka, Sanaya juga tidak akan bisa menjalankan bisnis toko kuenya di Jogja dengan lancar. Sekalian, Sanaya ingin menyerahkan separuh tanggung jawab kepada Rena, yang sekiranya sudah mampu dan dapat dipercaya. Usulan Dilan tentu mendapat sambutan baik dari Sanaya, jika dipikir-pikir, akan sangat merepotkan apabila dia mesti bolak-balik Jakarta-Jogja. Belum lagi, Sanaya harus mengurus restoran yang kini telah kembali ke tangannya. "Apa, Mbak? Aku diangkat jadi Manager? Manager toko kue Mbak Sanaya? Aku gak salah den
Sepanjang perjalanan menuju tempat yang akan ditunjukkan Dilan pada Sanaya, seakan semua tempat yang dilewati terasa tidak asing di ingatan perempuan berhijab itu. Sanaya masih ingat dengan jelas, rute jalan tersebut hendak menuju ke mana. Namun, dia yang tak ingin menerka-nerka sendiri pun, akhirnya bertanya kepada sang suami. Lelaki yang fokus dengan jalan di hadapan nampak santai dan datar. Sejak keluar dari halaman rumah hingga hampir setengah jam berada di jalan, Dilan tak ada sedikit pun membuka suara. "Dilan?" Sanaya menegur sang suami, memiringkan posisi duduknya sambil mengamati jalan sekitar yang dilewati. Kenapa, dugaannya semakin kuat saja, pikirnya dalam diam. "Ya? Kenapa, Nay?" Dilan hanya menoleh sekilas, lalu fokus ke depan lagi. Sayangnya, Sanaya tidak sadar, seringai samar yang terbit di sudut bibir Dilan. "Ini? Kayaknya aku gak asing sama jalanan ini deh?" ucap Sanaya ragu, takut apabila dugaannya meleset. "Gak asing gimana?" Dilan masih berpura-pura bersikap
Usai sarapan, Dilan pergi ke ruangan kerjanya untuk mengerjakan sebentar pekerjaan kantor yang dikirimkan sekretarisnya melalui email, sebelum dia mengajak sang istri pergi ke Restoran. Sementara Sanaya memilih bersiap-siap lagi di kamar, berganti baju yang lebih rapi dan sedikit berdandan. Namun, mengingat jika besok dia akan berangkat bulan madu pagi-pagi sekali, karena itu Sanaya berpikir untuk menyicil mempersiapkan beberapa keperluan yang akan dibawanya. Hanya beberapa potong pakaian, lantaran Dilan melarangnya membawa banyak barang. 'Gak usah bawa banyak-banyak, nanti kita bisa beli di sana kalo semisal kurang sesuatu. Biar waktu pulang kita juga gak kerepotan.' Kata Dilan mengingatkan sang istri, dan menurut Sanaya itu ada benarnya juga.Sanaya yang sibuk memasukkan baju-baju yang dia ambil dari lemari, tiba-tiba kepikiran toko. Otomatis, dia harus menambah masa liburnya, karena dia akan pergi bulan madu sekitar satu Minggu."Oia, aku belum ngasih tau Rena, kalo aku bakal lam
Paginya, Sanaya yang selalu bangun lebih awal sudah sibuk berkutat di dapur, menyiapkan sarapan dengan dibantu bibi yang bertugas di bagian itu. Walaupun ada banyak asisten rumah tangga, Sanaya tak bisa berdiam diri begitu saja, dan tinggal menikmati makanan yang sudah disiapkan. Terbiasa mandiri, dan basicnya dia suka memasak, membuat Sanaya ingin mengeksplor berbagai macam jenis masakan. Sayang 'kan, ada dapur sebagus ini jika tidak dimanfaatkan? pikir Sanaya. Semalam meskipun Sanaya hanya tidur beberapa jam saja, tenaganya masih cukup kuat kalau hanya memasak. Dilan benar-benar mengerjainya habis-habisan, sampai tak memberinya jeda sebentar saja.Ya ... kendati begitu, Sanaya tak bisa berbohong, kalau dia pun menikmati setiap momen panas semalam. Suatu kegiatan yang pastinya berbuah pahala, karena menyenangkan pasangan kita di ranjang. Sanaya berharap, rumah tangganya akan selalu dilimpahkan kebahagiaan dan keberkahan dari Sang Pencipta. "Bi, saya tinggal sebentar, ya? Saya mau
Mau tak mau Dilan harus mandi, bukan? Bercinta dalam keadaan bersih tentu akan terasa lebih nyaman dan tenang. Apalagi, setelah sekian lama dia menantikan momen ini. Sanaya telah resmi menjadi miliknya seutuhnya, dan dia berjanji akan terus berusaha melimpahkan kebahagiaan untuk perempuan cantik itu.Sementara Dilan masuk ke kamar mandi, Sanaya menunggu sang suami di depan meja rias. Senyumnya belum luntur, dan semakin mengembang ketika mengingat bagaimana konyolnya Dilan yang sempat tak mau mandi."Dia gak berubah sedikit pun," gumam Sanaya, sambil menggelengkan kepala, lalu mengeringkan rambutnya dengan hairdryer yang tersedia. Sambil menunggu, mungkin Sanaya akan sedikit memberi riasan di wajahnya, supaya tidak terlalu pucat. Kebetulan sekali, di meja rias sudah tersedia perlengkapan make up lengkap dengan skincare yang biasa Sanaya pakai."Darimana dia tau, kalo aku pakek ini?" Sanaya mengambil penyegar wajah, setelah selesai dengan urusan rambut. Botol kemasan kecil itu adalah m
Acara pernikahan Dilan dan Sanaya berlangsung cukup meriah, meskipun yang hadir hanya beberapa orang terdekat saja, tetapi tidak mengurangi kebahagiaan sepasang pengantin yang tak lagi baru itu. Semua orang tentu tahu, akan status keduanya yang lebih dulu telah menikah dengan pasangan masing-masing. Namun, tak banyak yang tahu, jika selama ini pula, keduanya sempat menjalin hubungan diam-diam di belakang. Saling mengisi kekosongan di hati.Waktu pun terus berlalu, sampai hampir malam menjelang, satu persatu dari mereka berpamitan pulang. Melihat sang istri kelelahan, Dilan berinisiatif memintanya agar kembali ke kamar terlebih dahulu. Sanaya menurut, dan pergi ke lantai atas, ke tempat kamarnya Dilan berada.Statusnya yang sudah resmi menjadi istri dari lelaki itu, tentu mengharuskan Sanaya tinggal di kamar tersebut. Rasanya, kenapa sangat mendebarkan, padahal dulu dia sering masuk ke kamar Dilan, waktu masih tinggal di apartemen.Apa mungkin, karena sudah begitu lama, dia tidak masuk
Tak ada yang bisa menebak, bagaimana dan apa yang akan terjadi ke depannya dengan kehidupan kita. Kemarin, Sanaya hanya menghabiskan hari-harinya di ruko dengan berkutat dengan berbagai macam bahan kue. Memutuskan pergi ke kota lain, dan memulai hidup barunya dengan status seorang janda.Selama enam bulan, Sanaya hidup dalam kesepian, dan kenangan orang-orang yang dia sayang. Kehilangan ayah merupakan hal terberat baginya dan butuh waktu untuk belajar ikhlas. Kerinduannya akan sosok yang dulu sering mendampingi pun terkadang harus Sanaya pendam dalam-dalam, lantaran tak sanggup jika dia harus mengenang kebersamaannya lagi dengan seseorang.Seseorang yang selama ini dia pikir telah berbahagia dengan pasangannya. Namun, apa yang Sanaya kira, ternyata salah. Dilan pun rupanya merasakan hal yang sama sepertinya. Tenggelam dalam kubangan masa lalu yang memiliki kenangan paling manis dan indah. Hatinya, telah tersemat nama lelaki itu, yang dulu Sanaya pikir akan mudah melupakannya seiring
Dulu, Sanaya memang pernah tinggal di rumah besar, tetapi tidak sebesar rumah kakeknya Dilan. Untuk ukuran kamar yang dia tempati saat ini saja, luasnya melebihi kamarnya waktu di rumahnya dulu.Ah, Sanaya malah jadi rindu rumahnya yang dulu. Kenangannya tertinggal di rumah masa kecilnya itu. Andai, dia tidak terpaksa menjualnya demi menutupi utang ayah kepada keluarga Leo. Pasti, saat ini Sanaya masih bisa menempati rumah tersebut.Ada rasa sesal tersendiri sebenarnya, ketika Sanaya memutuskan menjual seluruh peninggalan ayah. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, dia sama sekali tidak punya pilihan selain menjualnya, sebab Sanaya takut sang ayah menanggung beban berat di akhirat sana.Sedikit demi sedikit dia mulai paham soal hukum utang yang tidak dibayar meski nominalnya sangat kecil. Sanaya sayang dan ingin ayahnya tak terbebani dengan urusan utang. Kendati, dia harus kehilangan segalanya."Ah, iya. Baik-baik. Terima kasih. Besok saya sudah bekerja lagi. Silakan kirim dokumennya ke ka
Seperti janjinya, setibanya di Jakarta, Dilan langsung membawa Sanaya ke makam ayah Wili, menemani perempuan itu yang katanya ingin berziarah. Untuk yang ketiga kalinya Dilan ke tempat tersebut. Yang pertama saat dia tahu kabar jika ayahnya Sanaya telah meninggal. Yang kedua beberapa waktu yang lalu ketika dia hendak pergi menyusul Sanaya ke Jogja. Lalu, hari ini, Dilan berniat meminta restu kepada orang yang telah membantunya dulu.Kondisi makam yang bersih dan rapi tentu menimbulkan pertanyaan di benak Sanaya, yang baru saja tiba. "Ini? Kenapa makam Ayah keliatan rapi?"Manik Sanaya menyusuri makam yang nampak berbeda dari hari terakhir yang dia lihat. Makam ayah sudah dipondasi sedemikian rupa, dengan kelopak bunga mawar merah dan putih berada di atasnya.Karena seingatnya, Sanaya lupa meminta pengurus makam untuk merawat makam sang ayah. Berada di kota yang jauh, cukup menyulitkannya berkomunikasi dengan pengurus makam."Mungkin ada orang baik yang meminta tolong sama pengurus mak