Hola! Ketemu di novel baru aku, hihii...
Happy reading, semoga suka!
***
“Sanaya! Sanaya!”
Seorang pria berperawakan tinggi tegap berteriak seraya berjalan tergesa-gesa menuju di mana ruangan seorang perempuan bernama Sanaya berada. Raut wajahnya terlihat murka dan kesal. Semua pengunjung yang berada di Restoran itu memusatkan perhatiannya pada Leo yang sama sekali tak peduli bila sikapnya itu sudah mengganggu ketenangan para tamu.
Pun dengan para pelayan yang tengah berseliweran di area itu. Beberapa dari mereka berbisik-bisik membicarakan sikap pria yang sangat mereka kenali.
“Pasti dia mau marah-marah lagi sama Mbak Sanaya,” kata pelayan berambut ikal dan berwarna hitam. Dia berbisik dengan rekannya sambil sibuk membereskan meja bekas pelanggan.
“Iya. Kalo ke sini pasti mau marah-marah doang. Punya tunangan, kok, galaknya ngelebihin herder. Ih! Kalo aku, sih, ogah! Biarpun dia ganteng terus kaya tujuh turunan,” sahut pelayan yang rambutnya di ikat ke belakang. Bibirnya komat-kamit menggerutu sang tunangan bos mereka.
"... kenapa juga Mbak Sanaya mau sama cowok modelan kaya gitu? Masa iya dia BuCIN? Atau udah keabisan stok cowok di luaran sana?" sambungnya lagi masih dengan mimik muka yang sama.
Mereka seolah hafal dengan kebiasaan pria yang hobinya marah-marah dan membuat onar tadi. Seluruh pekerja di sana hanya bisa mendoakan supaya bos mereka yang bernama Sanaya diberikan kesabaran seluas samudera.
“Ada apa? Siapa tadi yang teriak-teriak?” tanya seorang pria berpenampilan rapi dan sangat tampan. Dia tiba-tiba muncul dari balik punggung kedua pelayan yang baru saja hendak berbalik.
“Eh, Mas Dilan? Biasa, Mas. Si tukang onar.” Pelayan berambut ikal menyahut dengan raut tak suka yang ditujukan untuk tunangan bosnya.
Alis Dilan menaut, kemudian menebak, “Leo?”
Karena yang ada di pikirannya dengan ciri-ciri semacam itu, hanya Leo saja—yang tak lain dan tak bukan adalah tunangan Sanaya.
Kedua pelayan yang masih berdiri di depannya mengangguk serentak. Mereka lantas pamit ke belakang, meninggalkan pria yang menjabat sebagai Manajer Restoran tempatnya bekerja selama ini. Sementara itu, pria bernama Dilan kini mulai terlihat cemas dan khawatir.
“Ada apa lagi? Kenapa Leo selalu bertindak sesukanya. Enggak bisa dibiarin!” Dilan bermonolog seraya mengingat semua perangai Leo yang selalu semena-mena kepada Sanaya.
Rahangnya seketika mengeras, kemudian dia memutuskan untuk melihat keadaan di ruangan Sanaya. Langkah kaki Dilan lebar-lebar, telapak tangannya secara tidak sadar ikut mengepal erat. Ayah Sanaya—Tuan Wili telah memberinya tanggung jawab untuk menjaga putri satu-satunya itu. Jelas saja Dilan harus melaksanakannya. Akan tetapi, di luar permintaan tersebut, terselip rasa ingin melindungi di hati Dilan.
Sanaya adalah perempuan yang tidak pernah banyak bicara, mengeluh, maupun marah. Sifatnya yang terlalu lembut sering kali dimanfaatkan oleh Leo yang arogan. Oleh karena itu, Dilan merasa geram saat Leo bertindak sesukanya.
“Brengsek!” Langkahnya tiba-tiba terhenti, lalu umpatan kasar meluncur dari mulut Dilan ketika dari kejauhan dia melihat Sanaya yang tengah ditarik paksa oleh Leo. Keduanya tiba-tiba keluar dari ruang kerja perempuan itu.
Kekesalannya semakin bertambah dengan sikap Leo yang selalu menyakiti Sanaya tanpa melihat tempat. Lihatlah! Saat ini, Leo bahkan hendak memukul Sanaya yang jelas-jelas tidak mau menuruti perintahnya.
“Woi!” Dilan berteriak. Sambil mempercepat langkahnya, pria itu menghampiri Sanaya dan Leo yang kini menatapnya.
“Dilan?” Sanaya bergumam, menatap wajah Dilan yang nampak menahan emosi, sementara Leo berdecih tak suka dengan kedatangan Dilan yang mengganggu urusannya.
Begitu tiba di hadapan Leo dan Sanaya, Dilan menyorot tajam lelaki yang tingginya hampir sejajar dengan dirinya seraya menahan lengan kokoh berbalut kemeja keluaran merek ternama.
“Maaf, sepertinya Anda sudah melewati batas, Tuan Leo yang terhormat,” ucap Dilan.
“Anda sudah mengganggu ketenangan para tamu di sini, dan sudah melakukan tindak kekerasan.” Dia sedikit memberi tekanan pada lengan Leo yang berotot, seolah sengaja melakukannya agar lelaki angkuh itu menghentikan tindakannya.
Leo menghempaskan tangan Dylan dengan kasar, lalu berdecih. “Bukan urusan lu! Minggir! Ini urusan gue sama tunangan gue!”
Leo kemudian mendorong mundur pundak Dilan. Tak lama, Leo kembali menatap Sanaya yang tak bergeming.
Dilan mendengkus, sikap Leo sungguh memuakkan. Lantas, dia pun berpikir keras agar Leo menghentikan tingkah lakunya. Sekilas, sudut matanya melirik Sanaya yang menundukkan kepalanya sejak tadi. Dilan dapat melihat Sanaya yang meremas jari-jarinya, dan isakan terdengar samar-samar.
‘Sanaya pasti nangis lagi gara-gara cowok enggak berotak ini.’ Dilan membatin, lalu seketika ide muncul di pikirannya.
“Kamu lihat! Gara-gara kamu yang sering manjain pegawai kamu, mereka jadi enggak ada yang ngehargain aku. Kayak dia ini, nih! Ck!” cecar Leo seraya menunjuk muka Sanaya, kemudian laki-laki itu melengos sekilas ke arah Dilan. Dirinya merasa tak terima lantaran ada orang yang berani mengganggunya.
Mendengar itu, Sanaya akhirnya mengangkat pandangannya, lalu berkata, “Jangan bawa-bawa mereka ke masalah kita. Cukup kamu marah sama aku, mereka enggak ada urusannya. Lagi pula mereka hanya mau membelaku, apa itu salah?”
Leo melebarkan mata ketika mendengar Sanaya yang tiba-tiba berani menjawabnya. Apa gadis di hadapannya ini sudah mulai berani melawannya? Dipenuhi pikiran tersebut, Leo pun kembali berang dan marah. Tangannya terangkat tinggi hendak mendarat ke pipi Sanaya, hingga membuat gadis itu seketika memejamkan mata. Perempuan itu pasrah dengan konsekuensi yang dia terima karena telah melawan Leo.
“Ka—“
Namun, belum sempat telapak tangan Leo mendarat, Dilan lebih dulu menahannya.
“Woi!” bentaknya yang tak kalah emosi. Terbuat dari apa sebenarnya otak pria ini? Kenapa dia begitu bebal? “Kalo Anda berani mengangkat tangan lagi, siap-siap Anda menerima risikonya,” ancamnya tegas, kemudian melepas kasar tangan Leo.
“Apa?! Apa yang mau lu lakuin? Hah! Apa?!” Leo malah menantang Dilan, berkacak pinggang sambil mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Dia belum sadar juga rupanya bila saat ini dirinya tengah menjadi pusat perhatian semua para pengunjung yang ada di sana.
Dilan tersenyum miring. Dia sudah cukup hafal dengan sifat Leo. Sebisa mungkin, dia tidak akan terpancing emosi. Cukup dia menggunakan otaknya ketimbang ototnya.
“Anda sebaiknya pergi dari sini sekarang. Kalau tidak, saya akan panggilkan polisi,” ancamnya, yang kemudian menunjuk muka Leo dengan berang, “di sini, ada banyak saksi yang pastinya akan memberatkan hukuman Anda, Tuan... Leo yang terhormat.”
Kali ini Dilan sungguh tidak akan main-main dengan ancamannya.
“Brengsek!” Mendengar itu, Leo mengumpat seraya melengos. Tunangan bosnya itu lalu memandang ke sisi kiri dan kanan yang dipenuhi tatapan sinis para pengunjung. Ternyata benar bila saat ini dia sedang jadi pusat perhatian semua orang.
Berpikir sejenak sambil beralih menatap Sanaya, Leo lalu pindah menatap Dilan. Leo tentu saja tak ingin nama baiknya tercemar jika sampai ada yang melaporkan perbuatannya. Oleh sebab itu, dia memilih mengalah untuk sementara. Mungkin, akan lebih baik—pikirnya. Lain kali, dia bisa melanjutkan kekesalannya kepada Sanaya.
“Liat aja, lu, bakal gue bales!” Leo menunjuk hidung Dilan, kemudian pergi dari sana dengan perasaan kesal dan dongkol seraya menyenggol kasar pundak pemuda itu.
“Gue tunggu!” Dilan menanggapi tanpa takut, seringai puas tercetak di bibirnya saat ini. Mengusir Leo bukanlah perkara yang sulit. Sekali-kali, pria sombong itu harus diberi pelajaran agar tak berbuat sesukanya lagi.
Lantas, setelah kepergian Leo, Dilan segera mendekati Sanaya yang sedari tadi betah menunduk. Perempuan itu rupanya menangis, dia merasa malu dan tidak pernah menyangka jika dia nanti akan menikahi seorang monster seperti Leo.
“Mbak, Mbak Sanaya enggak apa-apa ‘kan?” tanya Dilan sambil memegang pundak Sanaya. Karena tidak menyangka dengan sentuhan mendadak di pundaknya itu, Sanaya sedikit berjengit kaget.
“Eng-enggak apa-apa, Dilan.” Sanaya pun terbata-bata menjawab pertanyaan Dilan. Perempuan itu segera mengusap air mata yang menetes ke pipi dengan punggung tangan. Sungguh, Sanaya begitu lelah! Untuk mengangkat pandangannya saja, rasanya dia tidak sanggup.
Dilan tersenyum getir. Dia merasa kasihan sekaligus iba kepada Sanaya. Perempuan baik seperti Sanaya, kenapa harus mendapatkan jodoh seburuk Leo? Ck! Takdir yang menyedihkan —pikirnya.
“Ayo Mbak, mendingan Mbak masuk lagi. Saya mau periksa luka Mbak.” Meski Dilan tak melihatnya, tetapi dia tahu jika Sanaya pasti terluka.
Sanaya sontak mengangkat pandangannya. Dia memindai wajah Dilan yang kini tersenyum manis kepadanya.
‘Kenapa selalu Dilan yang menolongku?’ batin Sanaya.
###
bersambung...
Happy reading! Semoga suka😚***Sanaya terhenyak ketika Dilan meraih tangannya, lalu membawanya masuk ke ruangan. Pandangan perempuan itu tertuju pada tangan Dilan yang menggenggam erat tangannya. Laki-laki itu menuntunnya perlahan dan hati-hati.Ah, seandainya Leo bisa bersikap lembut seperti Dilan, mungkin dirinya akan mudah jatuh cinta kepada lelaki brengsek itu. Sayangnya, Leo dan Dilan memiliki perbedaan bak langit dan bumi. Dilan ibarat malaikat penjaganya, sementara Leo ibarat malaikat pencabut nyawanya.‘Hfuuh ....’ Sanaya membuang kasar napasnya, seraya meringis menahan nyeri yang berasal dari sudut bibirnya yang sedikit robek.“Duduk sini, Mbak. Aku ambilin kotak obat dulu,” ucap Dilan, lalu mendudukkan Sanaya di sofa panjang yang berada di sudut ruangan tersebut.Sanaya terduduk sambil memandangi punggung lebar Dilan yang terbalut kemeja hitam. Diam-diam, diperhatikannya sikap pemuda itu yang begitu perhatian padanya. Dia lantas berpikir, entah akan seperti apa jadinya bil
Waktu bergulir sangat cepat. Tak terasa malam telah menjelang. Sanaya yang menuruti perkataan Dilan untuk tetap berada di ruangannya, lama-kelamaan pun mulai merasa bosan. Lagi pula, jam kerja juga sudah lewat, dan ini waktunya dia pulang.“Mending aku pulang aja, deh. Udah jam tujuh ternyata.” Sanaya lantas beranjak dari kursi, lalu mengambil tas yang ada di meja kerjanya.Namun, sebelum itu dia ingin mencari Dilan terlebih dulu. Sanaya tidak mau pemuda itu merasa khawatir saat tidak menemukannya di sini. Oleh karena itu, lebih baik dia memutuskan untuk berpamitan.Begitu keluar dari ruangan, tempat pertama yang dituju adalah ruangan Dilan yang berada tak jauh dari ruangannya. Akan tetapi, saat Sanaya membuka pintunya, sosok yang dicari tidak sedang berada di tempat.“Mungkin Dilan lagi di depan?” Sanaya bergumam setelah menutup pintu itu lagi. Dia berbalik, hendak mencari Dilan yang biasanya pada jam segini berada di meja kasir. Sanaya lupa, jika Dilan selalu berada di sana pada jam
Dengan langkah pelan, Dilan dan Sanaya berjalan bersisian menuju ke dalam. Tepat, di saat itu pula, hujan di luar sana semakin deras. Suara petir bahkan terdengar menggelegak bersahut-sahutan.“Tuh ‘kan, saya bilang apa. Hujannya pasti tambah deres,” ucap Sanaya, yang menoleh sekilas ke Dilan. Mereka hampir tiba menuju lorong gedung tersebut, melewati beberapa orang yang keluar masuk.“Iya, Mbak. Aku pikir tadi cuma bentar. Eh, tahunya malah deres. Mana enggak bawa jas hujan lagi.” Dilan membalas perkataan Sanaya sambil terkekeh, menggaruk tengkuknya guna menutupi rasa canggung yang ada. Dia dan Sanaya kini berada di dalam lift hanya berdua.“Kamu juga, harusnya sedia jas hujan, Dilan. Kita ‘kan enggak pernah tahu kapan hujan turun? Ya ... kaya sekarang ini,” timpal Sanaya, lagi-lagi mengingatkan pemuda yang berdiri di sampingnya.Dilan melempar senyum konyol. “Hehe ... iya, Mbak. Suka enggak kepikiran.”Sanaya menanggapinya dengan gelengan kepala. Bisa-bisanya Dilan tidak memikirkan
"Mbak Sanaya baik-baik aja 'kan? Atau... Mbak Sanaya sakit?" tanya Dilan pada Sanaya yang masih berada di pelukannya. Sementara Sanaya terhenyak dan mengerjap lambat.Beruntung pemuda itu berinisiatif untuk menyusul Sanaya ke dapur, karena tak sengaja mendengar percakapan. Andai saja dia telat sedikit, pasti Sanaya akan terjatuh di lantai."Kepala saya sakit, Dilan. Saya pusing." Sanaya menjawab lemah, bahkan memilih menaruh kepalanya di dada Dilan dan memejamkan mata.Lalu Sanaya kembali bersuara, "Dilan....""Iya, Mbak.""Boleh saya minta sesuatu?""Apa, Mbak? Mbak Sanaya mau aku ambilin obat atau mau aku anter ke rumah sakit?" Dilan yang merasa khawatir memberondong begitu banyak pertanyaan pada Sanaya yang cuma terkekeh."Bukan, Dilan. Bukan itu," sahut Sanaya yang kembali sendu."Terus apa dong, Mbak?""Tetaplah seperti ini untuk sementara waktu, Dilan. Saya ... merasa tenang berada di pelukan kamu. Saya butuh sandaran malam ini. Saya benar-benar enggak tahu lagi mesti gimana, La
Ini enggak bener, Sanaya!Ini salah!Kamu udah punya tunangan.Yang berhak atas kamu adalah Leo, bukan Dilan!Sadar Sanaya! Sadar!Sisi lain dari Sanaya seolah mencoba menyadarkan gadis itu untuk menghentikan semua yang terjadi saat ini. Detik ini, dia dan Dilan masih saling memagut dan memperdalam ciuman mereka.Lalu, tiba-tiba saja bayangan kemarahan Leo berkelebat di ingatan Sanaya, kala tangan Dilan menekan tengkuknya. Sehingga membuat kedua mata Sanaya terbuka lebar, dan dengan cepat mendorong dada Dilan.“Stop! Dilan!” jerit Sanaya, lalu mengusap kasar bibirnya dengan punggung tangan, berharap tak ada jejak bibir Dilan di sana. Dadanya naik turun, berusaha memasok oksigen yang hampir habis.“... ini salah! Ini enggak seharusnya terjadi!” Sanaya menggeleng berkali-kali sambil melangkah mundur, menghindari Dilan yang hendak menyentuhnya.“Mbak.” Dilan maju selangkah, tetapi Sanaya malah semakin menjauh. Pemuda itu berusaha tetap bersikap tenang dan mencoba menjelaskan yang terjadi
Pagi ini Sanaya mematut penampilannya berulang kali di cermin. Memindai wajahnya yang sedikit berantakan akibat kurang tidur semalaman. “Ini gara-gara Dilan, aku jadi enggak bisa tidur,” gerutunya sambil mengoleskan lipstik berwarna nude pink di bibirnya.Ya, semalaman Sanaya memang tidak bisa tidur lantaran terus terbayang adegan ciumannya dengan Dilan. Alhasil, dia pun baru bisa tidur pukul tiga pagi.Ck!Sebegitu sulitnya dia mencoba mengenyahkan bayangan Dilan. Rasanya sungguh memalukan. Di saat dia meminta Dilan untuk melupakan saja kejadian itu. Justru, dirinya sendiri yang tidak bisa melupakan setiap adegan demi adegan tersebut. Bahkan, rasanya jejak bibir Dilan masih menempel di bibir Sanaya.“Argh...! Ya Tuhan... apa ini?” Perasaannya carut-marut tak menentu gara-gara sikap Dilan yang semakin ke sini malah semakin berani.“Sanaya, kamu pasti bisa lupain ciuman itu. Pasti!”Tak mau semakin larut dalam bayangan Dilan, Sanaya memutuskan untuk segera berangkat setelah memesan tak
Sanaya menelan ludah dengan kasar. Kecurigaan Leo membuatnya berdecak dalam hati, sejurus kemudian sebuah alasan yang sekiranya tepat pun meluncur dari bibir Sanaya. “Aku pinjem hapenya si Desi. Tahu ‘kan Desi?” Leo mengangguk, dia mengenal Desi yang bekerja sebagai pelayan di Restoran milik Sanaya. Dia memilih percaya dengan apa yang dikatakan tunangannya dan memutuskan untuk pergi dari sana. “Ya udah, ayo berangkat. Aku anter,” ajak Leo, meraih tangan Sanaya dan menuntunnya masuk ke dalam lift. “I-iya.” Sanaya membuang napas lega setelah berhasil berbohong kepada Leo. Ini kali pertamanya dia berbohong kepada lelaki itu. Dan, rasanya sangat menegangkan. ‘Gara-gara Dilan. Aku jadi bohong sama Leo. Ck!’ b atin Sanaya yang kembali mengingat Dilan. _ Perjalanan menuju Restoran terasa sangat singkat bagi Sanaya, yang sejak masuk ke mobil terus saja melamun. Dia tidak menyadari jika ternyata mobil Leo sudah berhenti di halaman parkir Restoran. “Nay, ayo turun,” ajak Leo, membuat San
Leo memicingkan mata ke arah Dilan yang berada di balik pintu. Rahangnya seketika mengeras sambil menggertakkan gigi. Dia pun kembali mengingat masalah kemarin, saat Dilan mengancamnya.Tidak suka melihat kehadiran Dilan di sini, Leo akhirnya memutuskan untuk pergi saja.“Udah siang, mending aku langsung aja, Nay,” pamitnya yang lantas meletakkan cangkir kopi ke meja. Leo mendekati Sanaya, lalu mengecup singkat bibir bungkam itu. “Bay....”Sanaya terkesiap dengan ciuman mendadak yang diberikan Leo. “I-iya. Kamu hati-hati.” Saat mengatakan itu, sudut matanya melirik ke arah Dilan yang ternyata menyaksikan semuanya. Ada rasa malu sekaligus serba salah bersarang di hati Sanaya.Dilan menyingkir sebentar dari pintu karena Leo hendak keluar dari ruangan itu. Keduanya saling melempar tatapan sinis ketika berpas-pasan. Sebelum akhirnya Leo keluar dan melenggang dari hadapan Dilan.Sementara itu, Sanaya masih berdiri di tempatnya, menunggu Dilan masuk. Dan, demi menutupi rasa malu, Sanaya pu
Setelah melewati drama yang mengharu biru, dan puas melepas rindu dengan semua orang di Restoran. Sorenya Sanaya meminta Dilan untuk mengantarnya ke Hotel tempat menginap para karyawannya yang bekerja di toko kuenya. Sesuai dengan janjinya, Sanaya mampir ke Hotel tersebut sebelum Rena dan yang lainnya berangkat untuk kembali ke Jogja. Sanaya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung kepada semua yang telah menyempatkan datang ke pernikahannya kemarin. Jika tidak ada mereka, Sanaya juga tidak akan bisa menjalankan bisnis toko kuenya di Jogja dengan lancar. Sekalian, Sanaya ingin menyerahkan separuh tanggung jawab kepada Rena, yang sekiranya sudah mampu dan dapat dipercaya. Usulan Dilan tentu mendapat sambutan baik dari Sanaya, jika dipikir-pikir, akan sangat merepotkan apabila dia mesti bolak-balik Jakarta-Jogja. Belum lagi, Sanaya harus mengurus restoran yang kini telah kembali ke tangannya. "Apa, Mbak? Aku diangkat jadi Manager? Manager toko kue Mbak Sanaya? Aku gak salah den
Sepanjang perjalanan menuju tempat yang akan ditunjukkan Dilan pada Sanaya, seakan semua tempat yang dilewati terasa tidak asing di ingatan perempuan berhijab itu. Sanaya masih ingat dengan jelas, rute jalan tersebut hendak menuju ke mana. Namun, dia yang tak ingin menerka-nerka sendiri pun, akhirnya bertanya kepada sang suami. Lelaki yang fokus dengan jalan di hadapan nampak santai dan datar. Sejak keluar dari halaman rumah hingga hampir setengah jam berada di jalan, Dilan tak ada sedikit pun membuka suara. "Dilan?" Sanaya menegur sang suami, memiringkan posisi duduknya sambil mengamati jalan sekitar yang dilewati. Kenapa, dugaannya semakin kuat saja, pikirnya dalam diam. "Ya? Kenapa, Nay?" Dilan hanya menoleh sekilas, lalu fokus ke depan lagi. Sayangnya, Sanaya tidak sadar, seringai samar yang terbit di sudut bibir Dilan. "Ini? Kayaknya aku gak asing sama jalanan ini deh?" ucap Sanaya ragu, takut apabila dugaannya meleset. "Gak asing gimana?" Dilan masih berpura-pura bersikap
Usai sarapan, Dilan pergi ke ruangan kerjanya untuk mengerjakan sebentar pekerjaan kantor yang dikirimkan sekretarisnya melalui email, sebelum dia mengajak sang istri pergi ke Restoran. Sementara Sanaya memilih bersiap-siap lagi di kamar, berganti baju yang lebih rapi dan sedikit berdandan. Namun, mengingat jika besok dia akan berangkat bulan madu pagi-pagi sekali, karena itu Sanaya berpikir untuk menyicil mempersiapkan beberapa keperluan yang akan dibawanya. Hanya beberapa potong pakaian, lantaran Dilan melarangnya membawa banyak barang. 'Gak usah bawa banyak-banyak, nanti kita bisa beli di sana kalo semisal kurang sesuatu. Biar waktu pulang kita juga gak kerepotan.' Kata Dilan mengingatkan sang istri, dan menurut Sanaya itu ada benarnya juga.Sanaya yang sibuk memasukkan baju-baju yang dia ambil dari lemari, tiba-tiba kepikiran toko. Otomatis, dia harus menambah masa liburnya, karena dia akan pergi bulan madu sekitar satu Minggu."Oia, aku belum ngasih tau Rena, kalo aku bakal lam
Paginya, Sanaya yang selalu bangun lebih awal sudah sibuk berkutat di dapur, menyiapkan sarapan dengan dibantu bibi yang bertugas di bagian itu. Walaupun ada banyak asisten rumah tangga, Sanaya tak bisa berdiam diri begitu saja, dan tinggal menikmati makanan yang sudah disiapkan. Terbiasa mandiri, dan basicnya dia suka memasak, membuat Sanaya ingin mengeksplor berbagai macam jenis masakan. Sayang 'kan, ada dapur sebagus ini jika tidak dimanfaatkan? pikir Sanaya. Semalam meskipun Sanaya hanya tidur beberapa jam saja, tenaganya masih cukup kuat kalau hanya memasak. Dilan benar-benar mengerjainya habis-habisan, sampai tak memberinya jeda sebentar saja.Ya ... kendati begitu, Sanaya tak bisa berbohong, kalau dia pun menikmati setiap momen panas semalam. Suatu kegiatan yang pastinya berbuah pahala, karena menyenangkan pasangan kita di ranjang. Sanaya berharap, rumah tangganya akan selalu dilimpahkan kebahagiaan dan keberkahan dari Sang Pencipta. "Bi, saya tinggal sebentar, ya? Saya mau
Mau tak mau Dilan harus mandi, bukan? Bercinta dalam keadaan bersih tentu akan terasa lebih nyaman dan tenang. Apalagi, setelah sekian lama dia menantikan momen ini. Sanaya telah resmi menjadi miliknya seutuhnya, dan dia berjanji akan terus berusaha melimpahkan kebahagiaan untuk perempuan cantik itu.Sementara Dilan masuk ke kamar mandi, Sanaya menunggu sang suami di depan meja rias. Senyumnya belum luntur, dan semakin mengembang ketika mengingat bagaimana konyolnya Dilan yang sempat tak mau mandi."Dia gak berubah sedikit pun," gumam Sanaya, sambil menggelengkan kepala, lalu mengeringkan rambutnya dengan hairdryer yang tersedia. Sambil menunggu, mungkin Sanaya akan sedikit memberi riasan di wajahnya, supaya tidak terlalu pucat. Kebetulan sekali, di meja rias sudah tersedia perlengkapan make up lengkap dengan skincare yang biasa Sanaya pakai."Darimana dia tau, kalo aku pakek ini?" Sanaya mengambil penyegar wajah, setelah selesai dengan urusan rambut. Botol kemasan kecil itu adalah m
Acara pernikahan Dilan dan Sanaya berlangsung cukup meriah, meskipun yang hadir hanya beberapa orang terdekat saja, tetapi tidak mengurangi kebahagiaan sepasang pengantin yang tak lagi baru itu. Semua orang tentu tahu, akan status keduanya yang lebih dulu telah menikah dengan pasangan masing-masing. Namun, tak banyak yang tahu, jika selama ini pula, keduanya sempat menjalin hubungan diam-diam di belakang. Saling mengisi kekosongan di hati.Waktu pun terus berlalu, sampai hampir malam menjelang, satu persatu dari mereka berpamitan pulang. Melihat sang istri kelelahan, Dilan berinisiatif memintanya agar kembali ke kamar terlebih dahulu. Sanaya menurut, dan pergi ke lantai atas, ke tempat kamarnya Dilan berada.Statusnya yang sudah resmi menjadi istri dari lelaki itu, tentu mengharuskan Sanaya tinggal di kamar tersebut. Rasanya, kenapa sangat mendebarkan, padahal dulu dia sering masuk ke kamar Dilan, waktu masih tinggal di apartemen.Apa mungkin, karena sudah begitu lama, dia tidak masuk
Tak ada yang bisa menebak, bagaimana dan apa yang akan terjadi ke depannya dengan kehidupan kita. Kemarin, Sanaya hanya menghabiskan hari-harinya di ruko dengan berkutat dengan berbagai macam bahan kue. Memutuskan pergi ke kota lain, dan memulai hidup barunya dengan status seorang janda.Selama enam bulan, Sanaya hidup dalam kesepian, dan kenangan orang-orang yang dia sayang. Kehilangan ayah merupakan hal terberat baginya dan butuh waktu untuk belajar ikhlas. Kerinduannya akan sosok yang dulu sering mendampingi pun terkadang harus Sanaya pendam dalam-dalam, lantaran tak sanggup jika dia harus mengenang kebersamaannya lagi dengan seseorang.Seseorang yang selama ini dia pikir telah berbahagia dengan pasangannya. Namun, apa yang Sanaya kira, ternyata salah. Dilan pun rupanya merasakan hal yang sama sepertinya. Tenggelam dalam kubangan masa lalu yang memiliki kenangan paling manis dan indah. Hatinya, telah tersemat nama lelaki itu, yang dulu Sanaya pikir akan mudah melupakannya seiring
Dulu, Sanaya memang pernah tinggal di rumah besar, tetapi tidak sebesar rumah kakeknya Dilan. Untuk ukuran kamar yang dia tempati saat ini saja, luasnya melebihi kamarnya waktu di rumahnya dulu.Ah, Sanaya malah jadi rindu rumahnya yang dulu. Kenangannya tertinggal di rumah masa kecilnya itu. Andai, dia tidak terpaksa menjualnya demi menutupi utang ayah kepada keluarga Leo. Pasti, saat ini Sanaya masih bisa menempati rumah tersebut.Ada rasa sesal tersendiri sebenarnya, ketika Sanaya memutuskan menjual seluruh peninggalan ayah. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, dia sama sekali tidak punya pilihan selain menjualnya, sebab Sanaya takut sang ayah menanggung beban berat di akhirat sana.Sedikit demi sedikit dia mulai paham soal hukum utang yang tidak dibayar meski nominalnya sangat kecil. Sanaya sayang dan ingin ayahnya tak terbebani dengan urusan utang. Kendati, dia harus kehilangan segalanya."Ah, iya. Baik-baik. Terima kasih. Besok saya sudah bekerja lagi. Silakan kirim dokumennya ke ka
Seperti janjinya, setibanya di Jakarta, Dilan langsung membawa Sanaya ke makam ayah Wili, menemani perempuan itu yang katanya ingin berziarah. Untuk yang ketiga kalinya Dilan ke tempat tersebut. Yang pertama saat dia tahu kabar jika ayahnya Sanaya telah meninggal. Yang kedua beberapa waktu yang lalu ketika dia hendak pergi menyusul Sanaya ke Jogja. Lalu, hari ini, Dilan berniat meminta restu kepada orang yang telah membantunya dulu.Kondisi makam yang bersih dan rapi tentu menimbulkan pertanyaan di benak Sanaya, yang baru saja tiba. "Ini? Kenapa makam Ayah keliatan rapi?"Manik Sanaya menyusuri makam yang nampak berbeda dari hari terakhir yang dia lihat. Makam ayah sudah dipondasi sedemikian rupa, dengan kelopak bunga mawar merah dan putih berada di atasnya.Karena seingatnya, Sanaya lupa meminta pengurus makam untuk merawat makam sang ayah. Berada di kota yang jauh, cukup menyulitkannya berkomunikasi dengan pengurus makam."Mungkin ada orang baik yang meminta tolong sama pengurus mak