Bab 45Boro-boro melihat paman dan sepupunya Clara yang habis berseteru dengannya, Kinanti justru langsung masuk ke dalam mobil anak buah Brian. Seakan-akan dia tidak mengenal pria paruh baya yang berusaha ingin bertemu dengannya, itu semua terjadi akibat rasa sedih di hati Kinanti. Karena Sarah mengungkapkan kekecewaannya pada Kinanti. Disisi lain, Sarah menangis terisak-isak. Sahabat sejati sedari kecil ternyata merupakan istri dari pria yang sudah merusak kehidupan kakaknya. Hingga timbul rasa benci di hati Sarah pada Kinanti. “Kamu bukan Kinanti yang aku kenal dulu Kinanti, kamu ternyata tidak sebaik yang aku bayangkan. Aku benci kamu Kinanti, aku benci kamu,” ujar Sarah yang bermonolog sendiri. Kembali pada Kinanti, yang mana Kinanti menangis terisak-isak di dalam mobil menuju arah pulang. “Maaf Bu, apa perlu aku menghuni Bos Brian,” kata sang bodyguard. “Stop untuk menyebut namanya, antar aku pulang sekarang. Dia tidak perlu tahu apa yang terjadi padaku!” Kinanti merasa s
Bab 46Kinanti menatap kedua petugas berwajib di depannya dengan rasa cemas yang semakin dalam. Perasaannya bercampur aduk antara ketakutan dan ketidakpercayaan. Namun, sebelum Kinanti sempat mengucapkan sepatah kata pun, Nyonya Martha dan Frans keluar dari dalam rumah, langsung menempatkan diri mereka di antara Kinanti dan petugas."Apa yang kalian katakan pada menantuku?!" seru Nyonya Martha dengan nada yang tegas. Wajahnya menunjukkan kemarahan yang tak bisa disembunyikan.Frans menambahkan, "Kalian tidak punya hak untuk menekan menantuku seperti ini. Siapapun yang memberi kalian perintah, pasti akan menghadapi konsekuensinya."Petugas yang tadinya tampak percaya diri, mulai terlihat gugup di hadapan pasangan tua yang jelas memiliki pengaruh kuat. "Kami hanya menjalankan tugas, Bu," ucap salah satu petugas dengan nada agak bergetar. "Paman Nona Kinanti, Paman Rey, melaporkan bahwa Nona Kinanti telah melarikan diri dari kewajiban hukum yang pernah melukai nona Clara. Kami diminta u
Bab 47Rey duduk di kursi kantornya, tangannya gemetar saat mencoba menyalakan rokok. Kepulan asap yang keluar dari mulutnya tidak mampu menenangkan syaraf-syaraf yang tegang. Kabar yang baru saja diterimanya tentang penutupan kasus Kinanti membuat amarahnya memuncak, tetapi lebih dari itu, ketakutan mulai merayapi dirinya. Dia tahu betul siapa Brian. Bukan sekadar pengusaha dari keluarga terpandang, Brian adalah sosok yang ditakuti di dunia bawah, seorang mafia kejam yang tak segan-segan menyingkirkan siapapun yang berani mengusik keluarganya.Pikiran Rey melayang pada segala tindakan licik yang telah ia lakukan untuk menjebak Kinanti. Baginya, Kinanti adalah aset yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan keluarga. Kini, ia menyadari betapa besar kesalahannya. Menantang Brian sama saja dengan menandatangani surat kematian sendiri."Pak, apa Anda baik-baik saja?" suara lembut asisten pribadinya, Tono, menyadarkan Rey dari lamunannya.Rey melirik ke arah Tono, mata penuh dengan kepanik
Bab 48Brian menutup pintu kantor Rey dengan suara berdebum yang keras. Dia menghela napas panjang, berusaha menenangkan amarah yang masih membara di dalam dadanya. Pikiran tentang Rey yang licik dan pengkhianatannya terhadap Kinanti terus mengganggu pikirannya. Namun, ada sesuatu yang lebih mendesak yang kini memenuhi benaknya. keselamatan dan kesejahteraan Kinanti.Selepas dari perusahaan Rey, lantas Brian meminta anak buahnya membawanya menemui pihak berwajib, yang dengan berani datang membawa surat panggilan ke Kinanti.Dia menekankan setiap kata-kata yang berisi ancaman agar tidak ada seorangpun yang mengusik kehidupan Kinanti, karena Brian tidak akan segan-segan mengungkap bobrok dari beberapa pihak atasan yang bekerjasama dengannya. Dan tentunya itu menjadi ancaman tersendiri untuk mereka dan akan merusak nama institut mereka sendiri. “Ingat, aku tidak akan pernah main-main dengan ucapanku!” “Baik Pak Brian, maafkan anggotaku yang tidak tahu apa-apa,” ujar salah satu petugas.
Bab 49: Bayang-Bayang KehilanganMalam itu, di kamar mereka yang remang, Kinanti berbaring dengan gelisah di samping Brian. Pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan Sarah. Kegelisahan membayangi setiap nafasnya. Di sampingnya, Brian juga tidak bisa tidur. Pikirannya terpecah antara keinginan melindungi istrinya dan kerumitan masalah yang dihadapi. Setelah beberapa saat, Kinanti memecah keheningan."Brian, aku tidak bisa berhenti memikirkan Sarah," suaranya serak, penuh dengan keputusasaan.Brian menggenggam tangan Kinanti, mencoba menenangkan, "Aku tahu, sayang. Aku sudah meminta anak buahku untuk mencarinya. Aku janji, kita akan menemukan Sarah."Kinanti menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca, "Sudah berhari-hari, Brian. Aku takut dia sudah terlalu jauh terjebak dalam kesulitan, dan kita mungkin terlambat."Brian menarik napas dalam-dalam, merasakan beban di dadanya semakin berat. "Kinanti, aku mengerti perasaanmu. Aku akan mencari Sarah sampai menemukannya. Aku tidak akan menye
Bab 50 : Kesalahan yang Terbongkar.Kinanti sedang berada di ruang tamu rumahnya, dengan gelisah menunggu kabar dari Brian. Dia masih memikirkan Sarah, sahabatnya yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Pikirannya terus mengembara, membayangkan skenario terburuk yang mungkin terjadi pada Sarah. Ketika dua orang bodyguard yang selalu menemaninya tiba-tiba masuk ke ruangan, wajah mereka menunjukkan ekspresi serius."Bu Kinanti," kata salah satu dari mereka, bernama Jaka, dengan suara tegas namun tetap hormat. "Kami punya kabar tentang Sarah."Kinanti langsung berdiri dari tempat duduknya, matanya terbuka lebar dengan campuran harapan dan kecemasan. "Apa? Di mana dia? Apa dia baik-baik saja?"Jaka menukar pandangan dengan rekannya, Riyan, sebelum menjawab. "Kami melihatnya, Bu. Dia ada di sebuah klub... tempat yang tidak seharusnya dia berada. Kami ingat wajahnya dengan jelas."Wajah Kinanti berubah seketika. Rasa takut yang menyelimutinya semakin kuat. "Klub? Klub apa? Cepat bawa aku ke
Bab 51 Kekecewaan Kinanti Brian berjalan gelisah di luar ruangan tempat Kinanti dan Sarah berada. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai perasaan dan penyesalan, kekhawatiran, dan ketakutan. Ketika dia mendengar suara Kinanti yang mual dan melihat wajahnya yang pucat, kekhawatirannya meningkat. Dia tidak bisa lagi mengabaikan instingnya. Brian segera meraih ponselnya dan menelepon dokter pribadinya.“Dokter, aku butuh kau datang sekarang ke klub. Ini darurat,” suaranya terdengar mendesak.Hanya dalam waktu singkat, dokter pribadi Brian tiba di klub dengan membawa tas medisnya. Dia langsung menuju ke ruangan di mana Kinanti sedang duduk dengan wajah yang pucat. Brian berdiri di belakang dokter, dengan napas tertahan, menunggu hasil pemeriksaan.Dokter memeriksa Kinanti dengan cermat, merasakan nadinya, dan memeriksa tanda-tanda lain. Setelah beberapa saat, dokter berdiri dan menatap Brian dengan senyum kecil di wajahnya.“Tuan Brian,” kata dokter itu pelan, “Selamat. Istri Anda sedang ha
Bab 52. Rahasia dibalik kematian kedua orang tua Kinanti. Malam itu, ruang kerja Alvian terasa lebih sunyi dari biasanya, meskipun dinding-dindingnya penuh dengan buku-buku dan dokumen-dokumen penting. Alvian duduk di kursi kayu berlapis kulit, tatapannya terfokus pada orang suruhannya yang setia, Anton, yang berdiri di depannya dengan wajah tegang. Meja di depannya penuh dengan berkas-berkas investigasi yang telah digali oleh Anton dan timnya."Jadi, Anton, apa yang kau temukan?" tanya Alvian dengan nada rendah tapi penuh kewibawaan.Anton menelan ludah sebelum menjawab, "Tuan, kami menemukan bukti bahwa kecelakaan yang menewaskan kedua orang tua Nyonya Kinanti memang direncanakan. Rem mobil ayahnya sengaja dirusak, dan kami menduga kuat bahwa pelakunya adalah seseorang yang dekat dengan keluarga mereka."Tatapan Alvian berubah tajam. "Seseorang yang dekat dengan keluarga mereka? Apa kau sudah punya nama?"Anton mengangguk pelan. "Kami mencurigai Paman Rey, Tuan. Ada beberapa bukti
Bab 106Membangun Perang OpiniMalam semakin larut, tapi Brian belum juga beranjak dari kursinya. Ruangan markas itu dipenuhi dengan cahaya dari layar komputer yang terus menampilkan rekaman siaran langsung. Media sudah mulai meliput demonstrasi besar-besaran yang terjadi di depan rumah Jenderal Harjo. Ribuan orang berkumpul, membawa spanduk dan meneriakkan tuntutan agar keadilan ditegakkan. Telepon di meja Brian kembali berdering, memecah konsentrasinya. Kali ini panggilan dari Papanya Frans. Brian langsung menjawab, menduga kabar penting yang akan disampaikan. "Brian,"suara Frans terdengar dalam dan serius, "Papa baru saja dapat kabar. Kamu tahu apa yang terjadi sekarang?"Brian menghela napas, tangannya mengusap dagunya yang mulai ditumbuhi janggut tipis. "Apa itu, Pa?""Kepolisian sedang kacau. Kantor mereka penuh massa dan wartawan. Orang-orang marah, Brian. Mereka menuntut agar ada instansi lain yang turun tangan. Katanya, polisi sudah tidak bisa dipercaya lagi. Semua ini kar
Bab 105Serangan BalikSuara telepon yang berdering memecah keheningan malam di markas Brian. Dia meraih telepon itu dengan cepat, menduga ada sesuatu yang mendesak. Begitu diangkat, terdengar suara panik dari salah satu anak buahnya.“Bos, kami baru saja mendapat kabar dari informan kalau besok akan ada penggerebekan besar-besaran di markas kita yang ada di pinggiran kota. Yang memerintahkannya adalah Jenderal baru,” lapor suara di telepon, terengah-engah.Brian terdiam sejenak, matanya menyipit mendengar kabar tersebut. Biasanya, dia selalu mendapat informasi sebelumnya jika akan ada operasi besar dari pihak kepolisian atau militer. Jenderal yang lama selalu memberi sinyal pada Brian, namun sejak jenderal itu digantikan, situasinya berubah total. Jenderal baru tampaknya tidak hanya lebih tertib dalam menjalankan hukum, tapi juga memasang pengawasan ketat di semua lini.Brian menutup telepon dengan cepat dan menoleh ke arah Marco yang sedang duduk di kursi di depannya. “Marco, kita d
Bab 104Rencana BerbahayaMalam semakin larut di dalam kamar hotel, dan Brian merasakan ketegangan yang meliputi ruang itu. Setelah pertemuan dengan Victor, pikirannya berputar, mempertimbangkan setiap kemungkinan langkah yang harus diambil. “Kita harus bergerak cepat, Marco,” katanya, menatap sahabatnya dengan serius. “Waktu tidak berpihak pada kita.”Marco mengangguk, tetapi ekspresinya menunjukkan keraguan. “Brian, aku punya ide. Bagaimana kalau kita melibatkan Kinanti dalam rencana ini?”Brian langsung tertegun, matanya melebar penuh kemarahan. “Apa? Kamu ingin aku mematahkan lehermu, Marco? Itu ide yang gila!”Marco menatap Brian dengan kaget. “Tenang, Brian! Aku hanya berpikir kalau Kinanti punya karakter yang tepat untuk mendekati sang jenderal.”“Jenderal itu adalah monster,” Brian menjawab tegas. “Dia sudah menghancurkan hidupku. Mengapa kamu ingin melibatkan Kinanti? Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini!”“Karena dia sosok yang baik dan lembut. Sang jenderal menyukai w
Bab 103 Misi yang berbahaya Di sebuah hotel mewah, Brian duduk di depan meja rapat besar bersama Marco. Pemandangan kota yang gemerlap di luar jendela tampak kontras dengan suasana serius yang meliputi ruangan itu. Di hadapan mereka, seorang pria bersetelan rapi duduk dengan tenang, tatapannya penuh perhitungan. Pria itu adalah klien baru mereka, seorang pengusaha yang terhubung dengan pihak yang ingin menggulingkan sang Jenderal. Namanya Victor, dan ia adalah kunci dari semua rencana mereka. Brian menatap Victor dengan tajam. "Jadi, apa yang kamu inginkan dari kami?" tanyanya dengan nada datar, meskipun dalam hatinya sudah dipenuhi oleh api balas dendam. Victor menyandarkan diri ke kursinya, mengangkat alis dengan tenang. "Yang saya inginkan adalah kekacauan. Jenderal itu terlalu kuat. Selama dia memegang kendali, bisnis kami sulit bergerak. Kami butuh seseorang untuk menyingkirkannya, bukan secara langsung, tapi dengan menghancurkan keluarganya, reputasinya. Jika dia runtuh, kami
Bab 102Keresahan KInantiKinanti duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya yang sunyi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Sudah tiga hari berlalu sejak Brian pergi bersama Marco. Tiga hari tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara yang bisa menenangkan hatinya. Jantungnya berdegup cepat setiap kali pikirannya melayang ke arah terburuk. Apa yang terjadi pada Brian? Kenapa sampai sekarang dia belum memberi kabar?Dengan tangan gemetar, Kinanti memeriksa ponselnya lagi, berharap ada pesan yang masuk. Namun, layar tetap kosong. Hampa. Seperti hatinya. Kinanti menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun kegelisahan terus menghantamnya. Ia tahu, hidup bersama Brian berarti harus menerima risiko besar, tapi perasaan takut kehilangan tetap tak bisa ia kesampingkan.Sarah, yang duduk di kursi dekat jendela, memerhatikan Kinanti sejak tadi. Ia bisa melihat kecemasan yang menggantung di wajah Kinanti. "Kinanti, sabar ya. Brian dan Marco pasti sedang sibuk. Mereka mungkin belum sempat m
Bab 101Ketakutan KinantiDi dalam mobil yang melaju cepat meninggalkan rumah mereka, suasana terasa tegang dan berat. Hujan mulai turun, mengguyur kaca mobil dengan deras, menambah kelam suasana. Brian duduk di kursi belakang, mengapit tangan Kinanti yang gemetar. Tapi ia tahu, bukan karena cuaca Kinanti seperti itu.Kinanti duduk diam di sebelahnya, namun air mata mulai mengalir di pipinya. Meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tangisnya tidak bisa lagi ditahan. Di depan, Sarah dan Marco saling bertukar pandang, tak ingin mengganggu momen itu, tapi jelas mereka merasa ketegangan yang memenuhi mobil.Brian, yang sejak tadi hanya menatap ke luar jendela, akhirnya menyadari getar di tangan istrinya. “Kinanti, kamu kenapa? Apa yang membuat kamu menangis?” tanyanya lembut, meskipun ia tahu jawabannya sudah jelas.Kinanti menundukkan kepala, air matanya makin deras. “Ini yang aku takutkan, Brian,” katanya dengan suara serak, suaranya penuh ketakutan dan rasa frustasi.
Bab 100Brian duduk di ruang tamu, tak bisa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Berita yang muncul menggambarkan suasana baku tembak yang terjadi antara mafia dan pihak berwajib di sebuah pabrik. Dalam berita itu, dilaporkan bahwa semua anggota mafia yang terlibat, termasuk Marco dan anak buahnya, diduga tewas di tempat. Tidak ada satupun yang selamat setelah pihak berwajib melakukan pembersihan besar-besaran dengan meledakkan bahan peledak di area tersebut. Hati Brian serasa runtuh saat mendengar laporan tersebut. Kepalanya terasa berat, dan keringat dingin mengucur di pelipisnya. Marco, sahabat dan anak buahnya yang setia, kini diduga tewas. Brian tidak tenang. Berita itu menggema dalam benaknya, membuatnya dilanda rasa bersalah yang mendalam.“Marco...” gumamnya dengan suara parau. Tangannya mengepal erat, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menghimpit dadanya. “Aku gagal melindungi kamu.”Kinanti yang berada di kamar, mendengar suara berita yang semakin menguat. Ia
Bab 99Suasana rumah Brian semakin mencekam setelah kedatangan polisi yang menanyakan keterlibatannya dengan seorang Jenderal dalam jaringan narkoba. Meski berhasil meyakinkan para petugas bahwa dirinya tidak terlibat, ketegangan di dalam rumah itu tak kunjung surut. Kinanti yang duduk gelisah di kamar, tak henti-hentinya mengucap syukur atas keselamatan Brian. Namun, kecemasan masih menghantui pikirannya.Tak lama, pintu kamar kembali terbuka. Frans, ayah mertua Brian, masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tegang, jelas ada kemarahan yang terpendam. Ia mendekat ke Brian yang sedang berdiri di tepi jendela, melihat ke luar dengan tatapan kosong."Brian!" seru Frans dengan nada tinggi. "Apa yang terjadi selama Papa tidak ada? Papa dengar pabrikmu kebakaran, dan sekarang... Marco, dia juga dalam bahaya! Kenapa semua ini bisa terjadi? Apa kamu tidak bisa bekerja dengan baik lagi?"Brian berbalik, menatap Frans dengan tenang meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa semua tuduhan itu mengarah
**Bab 98**Matahari baru saja menyapa pagi, memberikan sinar lembut ke seluruh penjuru rumah Brian yang besar. Di Bab 98Suasana di ruang keluarga masih terasa tenang meskipun di luar sana, ada kekacauan yang siap mengancam. Kinanti duduk di sudut kamar, matanya berkaca-kaca setelah mengetahui bahwa polisi telah mendatangi rumah mereka, membuat hati Kinanti tidak tenang, seakan firasat buruk sedang melingkupi dirinya."AKu tidak ingin terjadi sesuatu padamu, Brian. Tolong dengarkan aku dan jangan pergi," Kinanti bermonolog sendiri di dalam kamarnya, setrlah sedari tadi Kinanti memohon Ke Brian agar tidak kemana-mana dulu. Brian bahkan berkata, "Aku akan baik-baik saja, Kinanti. Tolong jangan mencemaskan aku berlebihan seperti ini kIntanti." Tapi tetap saja hati Kinanti tidak tenang, dia tetap ingin Brian ada di rumah bersamanya kini.Brian baru saja selesai menenangkan Kinanti di malam sebelumnya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, pagi itu, kecemasan Kinanti kembali d