Bab 53Martha tertegun, mata-matanya membulat tak percaya saat mendengar berita dari Brian. Namun, senyum kebahagiaan segera merekah di wajahnya. Dia berbalik menuju Kinanti dan menariknya ke dalam pelukan hangat."Oh, Kinanti, sayang... Ini benar-benar kabar yang luar biasa!" seru Martha, suaranya penuh dengan kegembiraan yang tulus. "Kamu tidak tahu betapa bahagianya Mama saat mendengar kabar ini!"Kinanti tersenyum, meski masih ada jejak kesedihan di wajahnya, namun berita kehamilan itu setidaknya memberikan kebahagiaan baru dalam hidupnya.“Terima kasih, Ma,” jawab Kinanti lembut. “Aku hanya berharap bisa membuat Papa dan Mama bangga.”Alvian yang mendengar itu, tersenyum bangga pada menantunya. “Tentu saja kami bangga, Kinanti. Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini sejak hari pertama, dan kehadiran anakmu kelak akan melengkapi kebahagiaan kami.”Namun, sebelum suasana semakin sentimental, Martha tiba-tiba melepaskan pelukan dan memandang Alvian dengan mata berbinar-binar. “
Bab 54. Tertekan batinKinanti berlari dengan perasaan hancur, dengan apa yang ia lihat barusan di dalam kamar. Suami yang mulai ia percayai ternyata sedang bersenang-senang dengan wanita lain. Sementara Brian dari kejauhan mengirim anak buahnya untuk segera membawa Kinanti pulang terlebih dahulu. Marco yang melihat acara Brian kacau mencoba mendekati Brian dan berkata, “Maafkan aku, Brian. Aku tidak tahu kalau Kinanti ternyata mengikuti mu.”“Hah, dia akan semakin benci padaku. Ya sudah biarkan saja. Pastikan Kinanti pulang dengan selamat.”“Apa kamu tidak akan mengejarnya, Brian?” Brian langsung balik badan dan menghampiri wanita itu, ini lebih penting bagi Brian daripada harus menyusul Kinanti dan mendengar ocehan Kinanti. Lagian kaki Brian akan terasa sakit kalau cairan itu tidak segera ia keluarkan. Brian dengan santai memanggil wanita yang sudah mengenakan pakaiannya. Brian berkata, “Ayo lanjutkan, pekerjaanmu belum selesai.”______Kinanti sampai ketiduran menunggu Brian yan
Bab 55 Setelah pesta syukuran kehamilan yang penuh dengan formalitas dan senyum-senyum palsu, malam itu akhirnya berakhir. Tamu-tamu mulai beranjak pulang, aula besar perlahan mulai kosong, dan hanya tinggal sisa-sisa suara dari pekerja yang membersihkan ruangan. Kinanti dan Brian pun kembali ke kamar mereka, meninggalkan keramaian di belakang. Malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya, meskipun seluruh rumah besar Alvian masih dihiasi dengan kemegahan pesta yang baru saja usai. Kinanti melangkah pelan menuju kamar tidur, melepas sepatunya dan duduk di tepi ranjang. Rasa lelah menyelimuti tubuhnya, tidak hanya secara fisik tapi juga emosional. Pikirannya masih dipenuhi dengan bayangan-bayangan yang menghantui, tentang Sarah, tentang perasaan terkhianati, dan tentang semua tekanan yang ia rasakan. Brian, yang selama ini tampak penuh percaya diri di hadapan para tamu, kini duduk di sampingnya. Tanpa berkata apa-apa, ia tiba-tiba meraih tangan Kinanti dan menariknya dalam peluk
Bab 56 Ruang kerja Alvian terasa lebih berat dari biasanya. Setumpuk dokumen dan file investigasi tersusun rapi di atas meja kayu yang besar, namun kegelisahan di wajah Alvian tidak bisa tersembunyi. Aldo, detektif senior yang mengawasi kasus ini, baru saja mengkonfirmasi keterlibatan Rey, paman Kinanti, dalam perencanaan kecelakaan yang merenggut nyawa orang tua Kinanti. Alvian tahu bahwa langkah selanjutnya harus dilakukan dengan hati-hati.“Bos, kami sudah menyelesaikan semua penyelidikan,” kata Aldo dengan nada serius, membuka file yang menunjukkan bukti-bukti yang ada. “Semua petunjuk mengarah pada Rey. Rekaman, dokumen, bahkan saksi semua menunjukkan keterlibatannya.”Alvian memeriksa dokumen-dokumen tersebut dengan seksama, wajahnya semakin tegang. “Rey? Aku tidak pernah membayangkan dia bisa melakukan sesuatu yang begitu kejam. Apa ada cara untuk memastikan agar Brian tahu secepatnya? Kita perlu memberitahunya agar dia bisa mengambil tindakan yang tepat.”Aldo mengangguk. “Pa
Bab 57 Kinanti dalam bahaya Pelabuhan malam itu dipenuhi dengan hiruk-pikuk kegiatan, deru mesin kapal, dan suara deburan ombak yang menghantam dermaga. Di antara kekacauan itu, Brian berdiri dengan ekspresi muram, memandang ke arah laut yang gelap. Pikirannya seharusnya terfokus pada pengiriman paket narkoba besar-besaran yang sudah direncanakan selama berbulan-bulan. Namun, rasa cemas yang menyelinap perlahan mengalihkan perhatian utamanya yaitu Kinanti.“Apa Kinanti sudah pulang?” tanyanya pada diri sendiri. Brian mencoba menenangkan diri, meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, saat ponselnya berdering, dan nama Andra muncul di layar, amarah yang sudah lama ia tahan mulai naik ke permukaan. Dia tahu panggilan itu tidak akan membawa kabar baik."Damn it, apa lagi sekarang?" geram Brian sambil mengangkat telepon, bersiap untuk meledakkan kemarahannya kepada Andra. "Andra, kenapa kamu ….!” "Bos! Bos Brian!" suara Andra terdengar putus asa, dipenuhi ketakutan
Bab 58Malam itu begitu gelap, disertai suara angin yang menderu seperti menggema di telinga. Lampu-lampu kendaraan yang dinyalakan oleh Brian dan Marco serta timnya menerobos kegelapan, mencari-cari di antara bayangan yang menutupi jalanan. Mereka akhirnya sampai di lokasi di mana pengawal Kinanti terakhir kali memberi kabar sebelum segalanya menjadi sunyi. Brian turun dari mobil dengan cepat, langkahnya penuh dengan determinasi dan kemarahan yang sulit ditahan.“Apa di sini tempatnya, Marco?” “Hmmmm, itu mobil mereka semua. Dan lihatlah ….” Marco dan Brian bergegas turun dari dalam mobil, ketika mereka sampai di lokasi, pemandangan yang menyambutnya membuat darahnya mendidih. Enam bodyguard yang seharusnya melindungi istrinya kini tergeletak di tanah, terluka parah. Darah berceceran di mana-mana, dan di antara mereka, tubuh Andra yang tak bergerak menjadi pusat perhatian Brian. Andra tergeletak dengan kondisi tubuh yang sangat mengenaskan, seperti telah dilindas oleh mobil berulan
Bab 59Kinanti duduk dengan tubuh masih terikat di kursi, pikirannya dipenuhi dengan campuran ketakutan dan kekecewaan yang mendalam. Rasanya seperti mimpi buruk yang tak berujung, terjebak dalam situasi mengerikan ini, dikhianati oleh seseorang yang seharusnya menjadi keluarganya sendiri. Dia berusaha keras menahan air mata yang mulai menggenang di matanya, namun rasa sakit di hatinya begitu kuat sehingga dia tidak bisa menahannya lebih lama lagi.Ketika Rey kembali ke ruangan, dengan senyum sinis yang menghiasi wajahnya, Kinanti tak bisa lagi menahan semua perasaan yang bergejolak di dalam dirinya. Meski lemah, dia menatap pamannya dengan sorot mata penuh kekecewaan dan luka yang dalam.“Kenapa, Paman?” tanya Kinanti, suaranya terdengar bergetar namun penuh dengan kesedihan. “Kenapa Paman begitu jahat padaku? Aku ini keponakan kandungmu. Darah daging dari saudara kandungmu sendiri. Tapi... kenapa Paman dan keluarga Paman selalu memperlakukanku seperti ini?”Rey terdiam sejenak, mena
Bab 60Rey yang main-main dengan Brian. Beberapa jam setelah Kinanti dan Sarah disekap, telepon genggam Brian kembali bergetar. Kali ini, panggilan itu datang dari nomor tak dikenal. Brian, yang masih diliputi kegelisahan, segera menjawab dengan cepat.“Halo, Siapa ini?" suaranya terdengar tegang, penuh amarah yang sudah tak tertahankan."Brian, aku tak perlu memperkenalkan diri, bukan?" Suara Rey terdengar dari seberang telepon, dingin dan penuh kepuasan.Brian merasakan darahnya mendidih saat mengenali suara itu. Tangan yang menggenggam ponsel bergetar karena kemarahan."Apa yang kau inginkan, Rey? Di mana Kinanti dan Sarah?"Rey tertawa kecil, menikmati ketegangan yang bisa dirasakannya dari nada suara Brian. "Jadi kamu sudah tahu kalau mereka berdua ada bersamaku? Mereka aman bersamaku, aman untuk saat ini. Tapi keselamatan mereka, Brian, bergantung pada seberapa cepat kau bisa mengabulkan permintaanku."“Apa yang kau inginkan? Uang, kan?" Suara Brian tajam dan tanpa basa-basi.
Bab 106Membangun Perang OpiniMalam semakin larut, tapi Brian belum juga beranjak dari kursinya. Ruangan markas itu dipenuhi dengan cahaya dari layar komputer yang terus menampilkan rekaman siaran langsung. Media sudah mulai meliput demonstrasi besar-besaran yang terjadi di depan rumah Jenderal Harjo. Ribuan orang berkumpul, membawa spanduk dan meneriakkan tuntutan agar keadilan ditegakkan. Telepon di meja Brian kembali berdering, memecah konsentrasinya. Kali ini panggilan dari Papanya Frans. Brian langsung menjawab, menduga kabar penting yang akan disampaikan. "Brian,"suara Frans terdengar dalam dan serius, "Papa baru saja dapat kabar. Kamu tahu apa yang terjadi sekarang?"Brian menghela napas, tangannya mengusap dagunya yang mulai ditumbuhi janggut tipis. "Apa itu, Pa?""Kepolisian sedang kacau. Kantor mereka penuh massa dan wartawan. Orang-orang marah, Brian. Mereka menuntut agar ada instansi lain yang turun tangan. Katanya, polisi sudah tidak bisa dipercaya lagi. Semua ini kar
Bab 105Serangan BalikSuara telepon yang berdering memecah keheningan malam di markas Brian. Dia meraih telepon itu dengan cepat, menduga ada sesuatu yang mendesak. Begitu diangkat, terdengar suara panik dari salah satu anak buahnya.“Bos, kami baru saja mendapat kabar dari informan kalau besok akan ada penggerebekan besar-besaran di markas kita yang ada di pinggiran kota. Yang memerintahkannya adalah Jenderal baru,” lapor suara di telepon, terengah-engah.Brian terdiam sejenak, matanya menyipit mendengar kabar tersebut. Biasanya, dia selalu mendapat informasi sebelumnya jika akan ada operasi besar dari pihak kepolisian atau militer. Jenderal yang lama selalu memberi sinyal pada Brian, namun sejak jenderal itu digantikan, situasinya berubah total. Jenderal baru tampaknya tidak hanya lebih tertib dalam menjalankan hukum, tapi juga memasang pengawasan ketat di semua lini.Brian menutup telepon dengan cepat dan menoleh ke arah Marco yang sedang duduk di kursi di depannya. “Marco, kita d
Bab 104Rencana BerbahayaMalam semakin larut di dalam kamar hotel, dan Brian merasakan ketegangan yang meliputi ruang itu. Setelah pertemuan dengan Victor, pikirannya berputar, mempertimbangkan setiap kemungkinan langkah yang harus diambil. “Kita harus bergerak cepat, Marco,” katanya, menatap sahabatnya dengan serius. “Waktu tidak berpihak pada kita.”Marco mengangguk, tetapi ekspresinya menunjukkan keraguan. “Brian, aku punya ide. Bagaimana kalau kita melibatkan Kinanti dalam rencana ini?”Brian langsung tertegun, matanya melebar penuh kemarahan. “Apa? Kamu ingin aku mematahkan lehermu, Marco? Itu ide yang gila!”Marco menatap Brian dengan kaget. “Tenang, Brian! Aku hanya berpikir kalau Kinanti punya karakter yang tepat untuk mendekati sang jenderal.”“Jenderal itu adalah monster,” Brian menjawab tegas. “Dia sudah menghancurkan hidupku. Mengapa kamu ingin melibatkan Kinanti? Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini!”“Karena dia sosok yang baik dan lembut. Sang jenderal menyukai w
Bab 103 Misi yang berbahaya Di sebuah hotel mewah, Brian duduk di depan meja rapat besar bersama Marco. Pemandangan kota yang gemerlap di luar jendela tampak kontras dengan suasana serius yang meliputi ruangan itu. Di hadapan mereka, seorang pria bersetelan rapi duduk dengan tenang, tatapannya penuh perhitungan. Pria itu adalah klien baru mereka, seorang pengusaha yang terhubung dengan pihak yang ingin menggulingkan sang Jenderal. Namanya Victor, dan ia adalah kunci dari semua rencana mereka. Brian menatap Victor dengan tajam. "Jadi, apa yang kamu inginkan dari kami?" tanyanya dengan nada datar, meskipun dalam hatinya sudah dipenuhi oleh api balas dendam. Victor menyandarkan diri ke kursinya, mengangkat alis dengan tenang. "Yang saya inginkan adalah kekacauan. Jenderal itu terlalu kuat. Selama dia memegang kendali, bisnis kami sulit bergerak. Kami butuh seseorang untuk menyingkirkannya, bukan secara langsung, tapi dengan menghancurkan keluarganya, reputasinya. Jika dia runtuh, kami
Bab 102Keresahan KInantiKinanti duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya yang sunyi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Sudah tiga hari berlalu sejak Brian pergi bersama Marco. Tiga hari tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa suara yang bisa menenangkan hatinya. Jantungnya berdegup cepat setiap kali pikirannya melayang ke arah terburuk. Apa yang terjadi pada Brian? Kenapa sampai sekarang dia belum memberi kabar?Dengan tangan gemetar, Kinanti memeriksa ponselnya lagi, berharap ada pesan yang masuk. Namun, layar tetap kosong. Hampa. Seperti hatinya. Kinanti menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun kegelisahan terus menghantamnya. Ia tahu, hidup bersama Brian berarti harus menerima risiko besar, tapi perasaan takut kehilangan tetap tak bisa ia kesampingkan.Sarah, yang duduk di kursi dekat jendela, memerhatikan Kinanti sejak tadi. Ia bisa melihat kecemasan yang menggantung di wajah Kinanti. "Kinanti, sabar ya. Brian dan Marco pasti sedang sibuk. Mereka mungkin belum sempat m
Bab 101Ketakutan KinantiDi dalam mobil yang melaju cepat meninggalkan rumah mereka, suasana terasa tegang dan berat. Hujan mulai turun, mengguyur kaca mobil dengan deras, menambah kelam suasana. Brian duduk di kursi belakang, mengapit tangan Kinanti yang gemetar. Tapi ia tahu, bukan karena cuaca Kinanti seperti itu.Kinanti duduk diam di sebelahnya, namun air mata mulai mengalir di pipinya. Meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tangisnya tidak bisa lagi ditahan. Di depan, Sarah dan Marco saling bertukar pandang, tak ingin mengganggu momen itu, tapi jelas mereka merasa ketegangan yang memenuhi mobil.Brian, yang sejak tadi hanya menatap ke luar jendela, akhirnya menyadari getar di tangan istrinya. “Kinanti, kamu kenapa? Apa yang membuat kamu menangis?” tanyanya lembut, meskipun ia tahu jawabannya sudah jelas.Kinanti menundukkan kepala, air matanya makin deras. “Ini yang aku takutkan, Brian,” katanya dengan suara serak, suaranya penuh ketakutan dan rasa frustasi.
Bab 100Brian duduk di ruang tamu, tak bisa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Berita yang muncul menggambarkan suasana baku tembak yang terjadi antara mafia dan pihak berwajib di sebuah pabrik. Dalam berita itu, dilaporkan bahwa semua anggota mafia yang terlibat, termasuk Marco dan anak buahnya, diduga tewas di tempat. Tidak ada satupun yang selamat setelah pihak berwajib melakukan pembersihan besar-besaran dengan meledakkan bahan peledak di area tersebut. Hati Brian serasa runtuh saat mendengar laporan tersebut. Kepalanya terasa berat, dan keringat dingin mengucur di pelipisnya. Marco, sahabat dan anak buahnya yang setia, kini diduga tewas. Brian tidak tenang. Berita itu menggema dalam benaknya, membuatnya dilanda rasa bersalah yang mendalam.“Marco...” gumamnya dengan suara parau. Tangannya mengepal erat, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menghimpit dadanya. “Aku gagal melindungi kamu.”Kinanti yang berada di kamar, mendengar suara berita yang semakin menguat. Ia
Bab 99Suasana rumah Brian semakin mencekam setelah kedatangan polisi yang menanyakan keterlibatannya dengan seorang Jenderal dalam jaringan narkoba. Meski berhasil meyakinkan para petugas bahwa dirinya tidak terlibat, ketegangan di dalam rumah itu tak kunjung surut. Kinanti yang duduk gelisah di kamar, tak henti-hentinya mengucap syukur atas keselamatan Brian. Namun, kecemasan masih menghantui pikirannya.Tak lama, pintu kamar kembali terbuka. Frans, ayah mertua Brian, masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tegang, jelas ada kemarahan yang terpendam. Ia mendekat ke Brian yang sedang berdiri di tepi jendela, melihat ke luar dengan tatapan kosong."Brian!" seru Frans dengan nada tinggi. "Apa yang terjadi selama Papa tidak ada? Papa dengar pabrikmu kebakaran, dan sekarang... Marco, dia juga dalam bahaya! Kenapa semua ini bisa terjadi? Apa kamu tidak bisa bekerja dengan baik lagi?"Brian berbalik, menatap Frans dengan tenang meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa semua tuduhan itu mengarah
**Bab 98**Matahari baru saja menyapa pagi, memberikan sinar lembut ke seluruh penjuru rumah Brian yang besar. Di Bab 98Suasana di ruang keluarga masih terasa tenang meskipun di luar sana, ada kekacauan yang siap mengancam. Kinanti duduk di sudut kamar, matanya berkaca-kaca setelah mengetahui bahwa polisi telah mendatangi rumah mereka, membuat hati Kinanti tidak tenang, seakan firasat buruk sedang melingkupi dirinya."AKu tidak ingin terjadi sesuatu padamu, Brian. Tolong dengarkan aku dan jangan pergi," Kinanti bermonolog sendiri di dalam kamarnya, setrlah sedari tadi Kinanti memohon Ke Brian agar tidak kemana-mana dulu. Brian bahkan berkata, "Aku akan baik-baik saja, Kinanti. Tolong jangan mencemaskan aku berlebihan seperti ini kIntanti." Tapi tetap saja hati Kinanti tidak tenang, dia tetap ingin Brian ada di rumah bersamanya kini.Brian baru saja selesai menenangkan Kinanti di malam sebelumnya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, pagi itu, kecemasan Kinanti kembali d