Share

Bab 55

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-27 23:05:05

Setengah berlari aku masuk menyusuri koridor rumah sakit dengan senyum tak lepas dari bibir. Lelah tak kurasa, yang ada bahagia dengan bayangan wajah Cahaya di pelupuk mata.

Semakin dekat dengan ruangan di mana Cahaya berada, dadaku semakin berdegup kencang. Apalagi, setelah mata ini melihat Mama yang tengah duduk di depan kamar Cahaya.

"Mah, mana Aya?" tanyaku seraya mengatur napas.

Mama berdiri, melangkah mendekatiku dan ....

Plak!

Aku bergeming. Tidak mengerti kenapa tiba-tiba Mama menamparku dengan air matanya yang menganak sungai.

"Mah—"

"Ke mana saja, kamu? Kenapa baru datang sekarang? Katanya kamu sayang pada Cahaya, katanya kamu menganggap dia anakmu sendiri, tapi kenapa baru datang?!" jerit Mama, kemudian tubuh itu kembali duduk dengan kedua tangan menutupi wajah tuanya.

Aku masih diam di tempat tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Mulutku tertutup rapat tidak sama sekali bisa berkata-kata saat Mama kembali berucap.

"Tadi, Cahaya bangun, Ranum. Dia mencarimu. Dia memi
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Dapur Omah Ijo
ngaku anak tapi gak bersikap seperti ibu dan egois ranum ttp bukan ibu yang baik buat cahaya
goodnovel comment avatar
Dapur Omah Ijo
gemes banget ama ceritanya tapi aku ttp menyalahkan ranum dan ibunya yg lebih memenangkan sifat kekanakan dan egonya dibanding kemanusiaan terhadap nyawa seorang anak, toh sandi juga sudah ajak rujuk
goodnovel comment avatar
Claudia
sedih banget... Cahayaaaaa...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 56

    "Cahaya! Kenapa secepat ini kamu pergi, Nak?" "Bangun, Sayang. Ini Nenek datang untukmu, huhuhu ...!"Aku tersenyum masam melihat aktris-aktris yang tengah beradu akting di sana. Pantas saja Mawar pandai sekali bersandiwara, karena ibunya pun sama. Di depan semua orang yang datang memberikan ucapan belasungkawa, mereka menangis seolah-olah merasa sangat kehilangan. Di sini, aku hanya jadi penonton mereka seraya duduk bersandar pada tembok. Air mataku sudah hilang. Kering dan tak lagi turun seperti di rumah sakit tadi. Bukan karena aku sudah tidak sedih, tapi diri ini sedang berdamai dengan takdir. Belajar merelakan meskipun teramat berat. "Bunda ...."Aku menoleh ke samping di mana Shanum duduk di pangkuan ayahnya. Sejak datang bersama Ibu dan Bapak, anak itu tak mau jauh dari Mas Sandi. Sesekali dia mengusap kepala kakaknya yang tertutup kain kafan. "Apa, Nak?" tanyaku. "Kakak, kok tidak bangun-bangun, ya Bunda ...." Aku memaksakan tersenyum, tapi enggan untuk menjawab. Tub

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-27
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 57

    Aku bangun dari dudukku, menghampiri dia dan langsung menghadiahkan tamparan di pipi kanannya. Mama tersentak kaget dengan apa yang aku lakukan ini. Begitu pun dengan Mawar. Dia langsung berteriak memanggil suaminya seraya memegangi pipinya yang sudah memerah. "Ranum, apa-apaan kamu? Kenapa menampar Mawar?" tanya Mas Sandi tidak terima. "Ajarkan istrimu untuk lebih sopan lagi. Kalau perlu, bawa ke pesantren untuk belajar adab dan tatakrama. Menurutmu, apa pantas masuk tanpa ketuk pintu, sedangkan di dalam sini ada orang tua yang tengah bicara serius dengan anaknya? Silahkan kamu tampar aku jika ucapanku salah. Silahkan, Mas." Aku menepuk pipi sebelah kiriku. Dan Mas Sandi hanya bergeming tidak melakukan apa-apa. "Mas, tampar, dong. Dia sudah nampar aku, tadi. Masa, kamu diam saja istrinya ditampar?" ujar Mawar menggoyangkan lengan suaminya. Namun, pria itu hanya diam saja, lalu menarik tangan Mawar keluar dari kamar di mana ada Mama yang masih menanti sebuah penjelasan. Aku me

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-27
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 58

    "Mari, Bu, silahkan ikut kami. Ibu jelaskan di kantor saja," ujar polisi bertubuh tegap tinggi kepada Mawar. "Tunggu, Pak. Sebenarnya istri saya ini salah apa? Kekerasan apa yang dia lakukan, dan pada siapa?" Mas Sandi kembali bertanya. Sedangkan Mawar, wanita sejuta drama itu bersembunyi di balik tubuh suaminya. Dia ketakutan, sampai kakinya ikut bergetar. "Maaf, Pak. Kami tidak bisa menjelaskan di sini. Saya hanya menjalankan perintah untuk membawa Ibu Mawar ke kantor. Ibu Mawar bisa didampingi selama pemeriksaan, Pak." Polisi itu kembali menjelaskan. Mas Sandi menatap istrinya dengan penuh tanda tanya. Namun, Mawar enggan mengangkat kepala melihat pada suaminya itu. Aku masih di sini, bersorak riang dalam hati menyaksikan momen yang tak akan Mawar lupakan selama hidupnya. Apakah aku jahat karena telah mentertawakan wanita itu? Iya. Sekarang aku yang jahat, dan akan menjadi jahat jika berhadapan dengan orang seperti dia. Pak Polisi kembali meminta Mawar untuk ikut dengan mere

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-27
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 59

    Shanum mengangguk. Dia pun merebahkan tubuhnya di sampingku yang kembali melanjutkan mengaji hingga selesai. Kini semua orang sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Hanya ada dua wanita tetangga samping rumah yang berbaik hati ikut membantu membereskan bekas pengajian barusan. "Ibu, terima kasih sudah membantu kami hingga beres. Kami berhutang budi, loh," ujarku setelah semuanya selesai. "Ranum, jangan seperti itu. Sudah seharusnya kami sesama manusia, apalagi tetangga, saling membantu. Apalagi dalam suasana duka seperti ini."Aku mengangguk seraya kembali berterima kasih. "Oh, iya Num. Tadi, kami melihat ada dua mobil polisi yang datang. Terus, sekarang kami tidak melihat Sandi dan istrinya. Apa polisi tadi membawa mereka?" Aku tidak langsung menjawab. Menggaruk tengkuk leher terlebih dahulu yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. "Emmhh ... saya tidak bisa jawab, Bu. Takut jadi fitnah, karena belum ada kabar selanjutnya," ujarku akhirnya. Mereka mengangguk-anggukkan kep

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-27
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 60

    "Apa, Mas? Cerai?" ujar Soni.Aku yang sudah hampir masuk ke ruangan di mana putriku berada, harus mengurungkan niat setelah mendengar permintaan Mas Sandi. Soni, balik badan dan menghampiri kakaknya itu. "Iya. Kamu masih kecil, tidak akan mampu jadi kepala keluarga dan ayah dari putriku. Ceraikan Ranum. Biarkan dia bebas mendapatkan laki-laki dewasa yang akan membahagiakannya."Soni tertawa sumbang mendengar permintaan Mas Sandi. "Laki-laki dewasa seperti apa, Mas? Sepertimu, yang hobi selingkuh?""Tutup mulutmu, Soni! Aku khilaf, bukan hobi.""Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Aku bukan laki-laki pengumbar talak. Talak sini, talak situ, balik sini, minta balik lagi ke situ. Aku, akan mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku."Apa maksud Soni berkata demikian? Apakah dia menganggap pernikahan kami ini sungguh-sungguh? "Sudah, Sandi, Soni, jangan terus berdebat. Mama pusing liat kalian seperti ini," tutur Mama menengahi kedua putranya itu. Mas Sandi mengusap wajahnya dengan kasar.

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-27
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 61

    Kasihan sekali dia. Wajahnya jadi hancur karena terus dipukul. Anehnya, tidak terlihat ada beban darinya. Seperti yang sudah biasa dengan pukulan dan hantaman di tubuh itu. Aku tidak menjawab ucapan Soni. Lebih memilih langsung pergi meninggalkan dia dan Mama. Tubuhku memang lelah sekali. Belum ada istirahat sedikit pun dari pagi hingga malam ini. "Eeeuuh ...." Aku melenguh seraya meregangkan otot-otot tubuh, lalu berbaring di samping Shanum yang sudah tidur sejak tadi. Sepertinya dia pun sama lelahnya. Keributan yang dibuat ayahnya, tidak sama sekali mengganggu tidurnya. Sudah setengah jam aku berada di kamar ini, tapi nyatanya mataku tak bisa terpejam. Banyak sekali bayangan permasalahan hidup yang berkeliaran membuatku sulit untuk pergi ke alam mimpi. Aku bangun. Turun dari ranjang setelah melirik jam yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Perlahan, kubuka pintu kamar dan keluar dari sana. Di ruang tengah, Mama tengah tidur ditemani Soni. Aku menoleh ke sebelah kiri.

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-27
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 62

    "Num, aku turut berduka cita atas meninggalnya Cahaya. Maaf, ya aku kemarin gak bisa datang," ujar Safira dengan raut sesalnya."Tidak apa-apa, Fir. Aku tahu, kok kamu ini sibuk. Oh, iya, aku tadi lupa ngabarin kamu, kalau Shanum gak bisa masuk sekolah. Pagi-pagi dia demam, Fir.""Gak apa-apa, jangan dipaksakan. Namanya juga anak-anak."Pagi-pagi sekali aku sudah pulang dari rumah Mas Sandi. Saat sampai di rumah, aku langsung istirahat lagi karena kepala yang pusing kurang tidur. Shanum pun demikian, dia yang demam, tidak aku izinkan sekolah hingga akhirnya Safira datang untuk menanyakan keadaan putriku, sekaligus mengucapkan belasungkawa. "Diminum, Fir," ucapku kemudian. "Makasih, Num. Repot-repot banget kamu ini, padahal aku biasanya juga suka ambil sendiri."Kami tertawa bersama seraya menikmati angin yang berembus pelan membelai dedaunan tanaman hias milik Ibu. Saat ini, kami memang sedang berada di bale-bale samping kolam ikan. Safira meminta duduk di sini karena suka dengan

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-27
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 63

    "Di sini juga, Fir?" "Iya, Van. Kamu ada kepentingan apa datang ke sini?" Pria yang tak lain adalah Devano, menoleh ke arah wanita yang dibawanya. Dan aku masih sangat ingat sekali jika wanita yang bersama Devano, adalah orang yang sama yang telah menyiramku dengan air pel di kafe waktu itu. "Aku datang ke sini mengantar Diandra. Katanya, dia mau ketemu Ranum," ujar Devano menarik tangan wanita bernama Diandra itu. "Kalau gitu, mari kita masuk saja," ucapku mengajak mereka ke rumah. "Ah, tidak usah, Num. Di sini saja, kita tidak akan lama, kok.""Oh ... oke," ujarku lagi seraya kembali duduk setelah tadi sempat berdiri. Aku menggeser tubuh lebih dekat ke sampai Safira. Kemudian mempersilahkan kedua orang yang selalu saling menggenggam tangan itu untuk naik ke bale-bale dan duduk lesehan bersama kami. Safira yang ditemani Shanum, masuk ke dalam rumah untuk membuatkan minuman bagi tamuku ini. Sedangkan aku, masih diam di tempat menunggu apa sekiranya yang akan disampaikan mereka

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-27

Bab terbaru

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 145

    "Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 144

    "Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 143

    "Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 142

    Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 141

    Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 140

    "Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 139

    "Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 138

    "Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 137

    Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status