Lillian sudah mulai memejamkan mata ketika bel apartemennya berbunyi. Noam? Tidak ada lagi selain pria itu yang mengetahui alamat tinggalnya sekarang. Namun, bukankah tadi ia mengatakan akan pergi ke tempat gym?Atau, mungkin saja ia berubah pikiran?Lillian keluar dari kamarnya, berjalan cepat menuju ke arah pintu masuk. Baju tidur berbahan sutra yang menjuntai anggun pada tubuhnya, telah ditutup sempurna dengan cardigan panjang berwarna mocca.“Kau tidak jadi ke gym?” Lillian bertanya sambil membuka pintu, tanpa melihat terlebih dulu pada siapa sosok yang sedang berdiri di depannya.“Apakah aku terlihat seperti akan pergi ke tempat gym?” Jayde, masih dengan setelannya tadi saat mereka bertemu di pinggir sungai Rhein, sedang berdiri di depan Lillian dengan wajah datar.Kedua mata Lillian membelalak lebar. Keningnya mengerut dalam, jelas ia sangat terkejut karena kedatangan Jayde yang tiba-tiba. “K-kau! Dari mana kau tahu aku ada di sini?!”Jayde menyeringai, lalu menerobos tanpa perm
Berkali-kali Lillian mencoba untuk menemukan alasan atas sikap Jayde, tapi selalu saja ia menemukan jalan buntu. Tidak ada alibi kuat tentang sikapnya yang sangat ingin mempertahankan pernikahan mereka. Sungguh, jika dipikir lagi, sebuah keuntungan besar bagi Jayde jika Lillian mengajukan perceraian.Sebelumnya Lillian yakin dengan pasti jika perceraian mereka akan berjalan dengan lancar. Jayde langusng setuju, dan dirinya sendiri akan menyembuhkan hati dengan pergi, sementara Rosalee akan sepenuhnya diakui menjadi pasangan Jayde.Namun, kenapa justru situasinya menjadi serumit ini?Tidak bisa, Lillian tidak bisa membiarkan hal ini terus mengalir tanpa ada penjelasan seperti ini. Ia berlari, mengejar Jayde yang hampir masuk ke dalam lift. Sebelah tangannya menarik lengan pria itu untuk mencegahnya pergi.“Kau berubah pikiran, Lilly?” Sebelah alis Jayde terangkat setelah ia berbalik, menatap Lillian.“Beri aku satu alasan kenapa kau menolak bercerai denganku.” Lillian berusaha untuk me
Pertanyaan Lillian beberapa hari yang lalu pada Jayde tentang bagaimana seorang pria bertanggung jawab seharusnya bertindak, tidak mendapatkan jawaban sampai detik ini. Pria itu hanya diam dan langsung meninggalkan apartemen Lillian saat ia dengan tegas mempertanyakan hal yang sudah jelas bahwa jawabannya adalah ‘tidak’.Lillian menyangka bahwa semuanya berakhir saat itu juga. Jayde dengan seluruh ego dalam dirinya yang pasti menolak untuk direndahkan, ia yakin bahwa pria itu akhirnya akan melepasnya.Jika sampai itu terjadi, alasan yang beberapa waktu terakhir ini ia pertanyakan menjadi tidak berguna lagi. Ia tidak akan peduli, karena tujuan utamanya untuk berpisah dengan Jayde akhirnya terwujud.Yah, begitulah pemikiran Lillian sampai beberapa detik yang lalu. Sebelum ia membuka pintu apartemennya dan mendapati seorang Jayde Foster sedang berdiri di depannya, dengan memasang ekspresi yang seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka berdua.“Apa lagi yang kau inginkan,
Tidak mungkin.Satu kata yang ada di dalam pikiran Lillian saat mendengat ucapan Jayde. Sebuah keputusan yang sangat mustahil diambil oleh seorang Jayde Foster. Jika hanya karena keinginan dirinya yang memutuskan untuk bercerai sampai bisa membuat pria itu mengubah sikapnya, itu sangat tidak masuk akal.Satu pikiran negatif menyelinap dalam pemikirannya. Mungkin saja, ada hal besar yang mejadi penyebab Jayde berusaha untuk sangat mempertahankan rumah tangganya. Well, selain dari keinginan orang tuanya untuk memiliki keturunan pastinya.Atau bisa saja, itu adalah salah satu yang memicu sikap Jayde saat ini? Entahlah. Hal itu yang harus Lillian cari tahu alasannya. Dan untuk mendapatkannya, ia harus bermain cantik, sampai Jayde tak menyadari jika keinginannya untuk bercerai masih ada dan tetap akan terlaksana.“Sungguh kau akan melakukannya?” Lillian melempar pertanyaan pada Jayde.“Jika aku tidak bersungguh-sungguh untuk melakukannya, aku tidak akan datang ke sini untuk kembali memohon
Wajah kecewa itu membuat Lillian hampir tidak bisa mengucapkan kata-katanya lagi dengan lancar. Berkali-kali ia mengintip dari sudut matanya saat menunggu jawaban Noam perihal keputusan barunya yang tentu sangat kontras dengan keinginannya untuk berpisah dengan Jayde.“Sejujurnya, aku tidak masalah dengan semua hal yang akan kau lakukan, dan apa yang telah kau putuskan, Lilly.” Noam menarik napasnya berat. “Hanya saja, aku tidak suka jika kau akan terluka untuk kesekian kalinya. Kau tidak harus melakukan itu hanya untuk mengetahui kenapa Jayde tidak ingin berpisah denganmu.”Terlihat sederhana di mata orang lain, tapi tidak bagi Lillian. Mengenai semua hal yang berhubungan dengan Jayde, ia ingin meninggalkan kisah itu tanpa ada hal yang tertinggal. Semua hal yang menimbulkan lubang pertanyaan, harus ia tutup sebelum benar-benar melangkahkan kaki dari kehidupan Jayde Foster.Namun, Lillian menyadari bahwa tidak semua orang harus bisa mengerti apa yang sedang ia pikirkan dan rasakan. Di
Malam pertama kembali ke rumahnya, Lillian mulai berusaha untuk mencari sesuatu hal yang bisa ia jadikan bukti untuk memperkuat alasan bercerainya. Diam-diam ia mengendap ke ruang kerja milik Jayde, dan mencari-cari alasan kenapa pria itu sangat ingin mempertahankan dirinya di sisinya.Sangat hati-hati, Lillian membuka tiap laci dan memeriksa tiap sudut ruangan. Namun ia tidak menemukan satu pun alasan kenapa Jayde melakukannya. Demi Tuhan, Lillian masih tidak percaya jika pria itu mempertahankannya tanpa alasan.Putus asa dengan ruangan kerja milik Jayde, Lillian mengendap-ngendap menuju kamar pria itu. Mungkin saja ia sedang dalam pangilan telpon dengan Rosalee, who knows. Jika iya, tentu itu akan menjadi bukti kuat bagi Lilllian untuk memperkarakannya pada proses perceraian.Langkah Lillian sedikit berjingkat. Suasananya terlalu hening, tidak sesuai dengan apa yang telah ia bayangkan. Tidak seperti pada masa lalu, saat dirinya sering kali mendapati Jayde menghubungi Rosalee saat ma
“Benar. Untuk sementara tolong tangguhkan.”Pintu ruangan kerjanya terbuka. Lillian menoleh cepat, sementara sambungan telponnya dengan pengacara yang mengurus perceraiannya masih tersambung. Noam sedang menghampirinya, dengan tatapan mata memicing ketika mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Lillian pada sang pengacara.“Gugatan masih tetap seperti di awal. Hanya saja, saat ini saya masih harus melakukan beberapa hal. Jadi, proses yang telah masuk mohon untuk ditunda dulu sampai saya selesai menyelesaikan masalahnya.” Lillian melanjutkan obrolannya di ponsel.“Ok, terima kasih atas bantuannya. Secepatnya akan saya kabari lagi mengenai proses perceraian saya dengan Jayde Foster. Semalam siang.”Sambungan telpon terputus. Lillian menghela napas panjang, kemudian tersenyum pada Noam yang telah duduk di sofa.“Is everything okay?” tanya Noam. “Semalam tidak terjadi apa-apa, kan?”Lillian berdiri dari kursi kerjanya, mengambil tempat di sofa yang berhadapan dengan Noam. “Aku
Membahas orang tuanya tadi bersama dengan Noam, membuat Lillian tidak bisa fokus saat bekerja. Berusaha untuk terus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, nyatanya hanya membuat dada Lillian semakin sesak. Prasangka buruk terus menciptakan skenario di dalam kepalanya.Mungkinkah Jayde ada kaitannya dengan kematian orang tuanya? Jika benar begitu, apa motifnya, dan kenapa ia tidak ingin berpisah dengan dirinya?Beberapa saat kemudian, Lillian tersentak di atas kursi, dengan kedua tangan meremas kuat di atas meja. Sebuah alasan sederhana yang selama ini tidak pernah ia pikirkan. Mungkinkah? Sangat mustahil jika sampai Jayde sanggup melakukannya. Namun semua hal yang berputar setelah kematian orang tuanya terlihat saling berkaitan.Jayde yang menolak untuk bercerai, dan kedua orang tuanya yang tiba-tiba memaksa untuk memiliki keturunan. Apa yang sebenarnya telah terjadi di sekeliling Lillian? Kenapa semakin kesini menjadi semakin terlihat dalam dan gelap?Tidak bisa. Meski dipaksa p
“Aku tahu kau dari mana.”Suara Rosalee menghentikan langkah Jayde. Bunga yang ada di genggamannya, batang-batangnya hampir patah karena genggaman yang erat. “Ternyata setelah semua hal yang telah kau lakukan, dan semua ucapan yang telah kukatakan padamu, kau masih saja tidak bisa melepaskan wanita itu??” Rosalee tampak tak bisa lagi bersabar.Sudah beberapa hari ini ia memberikan perhatian lebih pada semua gerak-gerik Jayde. Ia tahu bahwa rasa cinta Jayde tak lagi sama, tapi ia tak pernah menyangka jika semua ancaman yang ia berikan selama ini, tak lantas membuat pria itu menjauh dari Lillian.“Haruskah aku habisi nyawanya juga? Sama seperti yang telah kulakukan pada orang tuanya?” Jayde masih terdiam. Bunga yang berada di genggamannya, kini telah diletakkan di atas meja. Pembicaraan yang selama ini telah ia tunggu, pada akhirnya tersebut sendiri dari mulut Rosalee.Jayde berusaha bersikap tenang, duduk di kursi, menatap tajam pada Rosalee yang terlihat muak.“Selagi kau membicarak
Jayde berdiri begitu mengucapkan kalimat terakhirnya pada Rosalee. Langkahnya bergegas, menuju satu tempat yang baru ia ketahui alamatnya. Butuh beberapa bulan sampai ia mendapatkannya.Bukan karena ia kesulitan untuk mendapatkannya, tetapi ia memberikan ruang bagi Lillian untuk bernapas setelah kejadian yang sudah dipastikan menguras emosi.Mobilnya merapat pada garis tepi jalan, tempat parkir paralel. Sepatu mengilatnya menapak trotoar, alas merahnya menunjukkan strata sosial meskipun ia tak banyak bicara. Coat hitam selututnya melambai di bagian belalang, seiring dengan langkah. Ia tak ragu sedikit saat menuju toko bunga milik Lillian. Sementara itu, di dalam toko bunga, Lillian baru saja menyelesaikan rangkaian bunga yang ia kerjakan begitu tiba sekitar setengah jam yang lalu. Di sebelahnya, Noam duduk sambil menata pastry yang baru saja ia beli di kafe sebelah.“Setelah ini kau ada acara?” Noam menoleh sejenak, sebelum mengambil segelas cappucino panas.Lillian menggeleng. Sebe
Jayde masih merasakan luka dari perceraiannya dengan Lillian. Rasa bersalah karena telah memperlakukan wanita itu dengan buruk, dan juga tentang perampasan aset setelah mereka resmi bercerai.Andai saja Jayde menyadari betapa jahat dan kejamnya Rosalee dalam mengatur semua hal demi kepentingan pribadinya, semua hal ini mungkin saja tidak akan pernah terjadi. Ah tidak… andai ia tak pernah bertemu dengan Rosalee.Lebih dari itu, ia sangat menyesal karena terlambat menyadari tentang perasaannya pada Lillian. Bahwa selama ini, rasa yang dulu pernah ada saat mereka remaja, ternyata tak pernah terhapus dari dalam hatinya.Jayde menghela napasnya dalam-dalam. Enam bulan terakhir ini ia tak pernah bisa tidur dengan nyenyak. Sedikit menoleh ke arah ranjang, ia melihat Rosalee yang terlelap. Benar, meskipun kebencian telah mengakar padanya, tetapi ia tak bisa langsung melepaskan Rosalee begitu saja. Jika ia memutuskan hubungan dengan wanita itu, berarti ia menghilangkan kesempatan untuk menca
“Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?” Rexy menatap Lillian, raut wajahnya terlihat cemas.Lillian menghela napasnya panjang. “Apa lagi? Tentu saja aku harus melanjutkan hidup. Kalian tahu kalau dari dulu aku ingin membuka florist, kan? Kurasa, saat ini adalah waktu yang tepat untuk memulainya.”Rexy dan Noam saling pandang. Suara tv di ruangan santai apartemennya Lillian dari tadi menjadi backsound samar yang tidak mereka hiraukan sama sekali. “Well, kalau kau memang mau melakukannya, maka kau harus melakukannya. Aku akan akan mendukungmu—kami, akan selalu mendukungmu. Ya, kan, Rex?” ucap Noam.Anggukan kecil dari Rexy menjadi tanda setuju. Banting setir menjadi florist bukan hal yang buruk. Apalagi itu adalah impian Lillian sejak awal. “Tapi…,” ucap Rexy. “Kau tetap mau membawaku untuk kerja bersama, kan? Maksudku… aku tidak mau menjadi sekretaris mantan suamimu itu.”Lillian membuka kaleng soda, lalu menyesapnya perlahan. “Aku tidak melarangmu. Tapi kau harus tahu, sepertiny
Hari yang telah ditunggu oleh Lillian pada akhirnya tiba. Sidang perceraian antara dirinya dan Jayde Foster akhirnya telah berakhir. Sejak palu hakim diketuk tiga kali, keduanya telah resmi bercerai. Lillian menghela napasnya lega sambil memejamkan kedua matanya. Ia tahu bercerai bukan hal yang patut dibanggakan, tapi untuk kali ini ia ingin merayakannya.Tidak ada interaksi dirinya dengan Jayde. Mereka tampak seperti orang asing yang tidak saling menyapa. Well, Lillian tidak merisaukannya. Bersikap seperti justru membuatnya lebih nyaman. Lagipula dirinya juga telah muak dengan Jayde.Noam tersenyum pada Lillian saat wanita itu keluar dari ruangan sidang. pelukan hangat menyambut sang kekasih yang telah mendapatkan kebebasannya. Kali ini, Noam bisa mencintai Lillian sepenuhnya. Semua hal buruk yang pernah dirasakan oleh wanita itu, dengan tekad yang kuat akan ia ganti dengan semua kebahagiaan yang bisa ia tawarkan dan akan selalu diusahakan.Namun belum sempat Lillian mengucapkan kali
Jayde melempar satu dokumen yang berhasil ia raup dari atas meja kerjanya di kantor setelah membaca sebuah surat yang baru saja diantar untuknya. Beberapa hari berlalu setelah terakhir kali ia menemui Lillian, sekarang di tangannya telah terselip panggilan sidang untuk perceraiannya dengan wanita itu.Emosinya yang membuncah seakan hampir meledak di kepala. Meskipun ia menyadari bahwa kelakuannya selama ini pada Lillian tidak bisa dibenarkan dan dinormalisasikan. Saat ini bukan tentang harga dirinya yang merasa diinjak karena keinginan Lillian untuk berpisah, melainkan tentang perasaannya yang perlahan mulai kembali lagi pada wanita itu.Benar, Jayde memang egois. Ia menyadarinya, tapi ia tidak memiliki kuasa untuk menahannya. Egonya yang terlalu besar membuatnya menjadi kerap tidak tahu diri. Surat panggilan sidang perceraian itu ia lempar begitu saja ke atas mejanya.“Sayang? Ada masalah?”Jayde menoleh cepat, sorotnya matanya terlihat tidak senang melihat Rosalee yang melenggang be
“Brengsek!”Tangan Jayde mengepal kencang sambil beberapa kali memukul setir mobil. Urat di pelipisnya menonjol, seiring dengan emosinya yang berusaha meledak bersama dengan geraman teredam.“Damn, Noam! Damned, Rosalee!”Jayde jelas mengutuk Noam karena pria itu berhasil merebut Lillian darinya. Mungkin lebih tepatnya, Noam mengambil kesempatan dengan cerdas saat Jayde menyia-nyiakan Lillian dengan kebodohannya. Setelah semuanya menjadi lebih terang bagi Jayde, saat itulah ia merasakan ketololan yang berhasil menggigitnya sedikit demi sedikit; mengoyak; dan menghancurkan pada akhirnya.Satu hal yang tak pernah ia bayangkan dalam hubungan sempurnanya dengan Rosalee, ternyata akan membawanya pada hal-hal yang mengerikan. Semua perlakuan buruknya pada Lillian memang tak terbantahkan. Ia mengakuinya, dan saat ini menyesalinya dengan segenap jiwa.Namun semuanya telah menjadi terlambat bagi Jayde. Semua kenangannya bersama dengan Lillian sebelum Rosalee hadir di kehidupannya kembali memba
Ponsel Lillian berdering beberapa kali saat ia masih memfokuskan pikirannya pada pekerjaan. Ada beberapa hal yang harus ia kerjakan hari ini juga, mengenai rencana penambahan armada pesawat sehubungan dengan penambahan slot yang telah disetujui oleh pihak bandara. Semakin banyak antusias warga asing untuk mengunjungi Eropa menjadi perhatiannya saat ini agar mampu menyediakan fasilitas penerbangan yang memuaskan.Wanita itu hanya melirik sebentar dan mendesah malas setelah membaca nama sang penelepon. Jayde terus berusaha untuk menghubunginya. Semenjak mengetahui ada foto-foto dirinya dengan ancaman kematian, ia berniat untuk segera Jayde dari kehidupannya. Entah Jayde atau bukan yang melakukan hal-hal buruk itu, yang jelas dirinya mendapatkan banyak masalah setelah bersama dengan Jayde.Namun ia kembali mengingat tentang pendapat Noam mengenai kemungkinan bahwa Jayde berusaha menyembunyikan itu semua agar tidak membebani pikiran Lillian. Walaupun itu adalah hal yang sangat tidak masuk
Hal-hal negatif terus bermunculan dalam pikiran Lillian selama mobil yang dikendarakan oleh Noam melaju kencang, menembus jalanan untuk membawa mereka kembali ke rumah Lillian bersama dengan Jayde. Lillian merasa harus memeriksa sekali lagi rumah itu, mungkin saja ada hal yang terlewatkan olehnya.Noam tak bisa melarangnya. Dirinya tidak berada pada posisi yang bisa untuk melarang Lillian menantang bahaya seperti ini. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah mendampingi dan mendukung apa pun yang akan dilakukan oleh Lillian.“Maafkan aku, Noam,” ucap Lillian tanpa mengalih pandangannya dari jendela mobil.Noam menoleh sekilas padanya. “Maaf untuk apa?”“Karena kau jadi terlibat dalam masalah yang tidak terlihat ujungnya ini. Aku merasa bersalah padamu.” Lillian memejamkan matanya sejenak, merasakan panas yang mengakar dari bola matanya dan menyebar cepat ke kepala.“Saat ini kau adalah kekasihku, Lilly. Dan sangat wajar jika aku terlibat dalam masalahmu.” Noam merasakan kehangatan