Pertanyaan Lillian beberapa hari yang lalu pada Jayde tentang bagaimana seorang pria bertanggung jawab seharusnya bertindak, tidak mendapatkan jawaban sampai detik ini. Pria itu hanya diam dan langsung meninggalkan apartemen Lillian saat ia dengan tegas mempertanyakan hal yang sudah jelas bahwa jawabannya adalah ‘tidak’.Lillian menyangka bahwa semuanya berakhir saat itu juga. Jayde dengan seluruh ego dalam dirinya yang pasti menolak untuk direndahkan, ia yakin bahwa pria itu akhirnya akan melepasnya.Jika sampai itu terjadi, alasan yang beberapa waktu terakhir ini ia pertanyakan menjadi tidak berguna lagi. Ia tidak akan peduli, karena tujuan utamanya untuk berpisah dengan Jayde akhirnya terwujud.Yah, begitulah pemikiran Lillian sampai beberapa detik yang lalu. Sebelum ia membuka pintu apartemennya dan mendapati seorang Jayde Foster sedang berdiri di depannya, dengan memasang ekspresi yang seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka berdua.“Apa lagi yang kau inginkan,
Tidak mungkin.Satu kata yang ada di dalam pikiran Lillian saat mendengat ucapan Jayde. Sebuah keputusan yang sangat mustahil diambil oleh seorang Jayde Foster. Jika hanya karena keinginan dirinya yang memutuskan untuk bercerai sampai bisa membuat pria itu mengubah sikapnya, itu sangat tidak masuk akal.Satu pikiran negatif menyelinap dalam pemikirannya. Mungkin saja, ada hal besar yang mejadi penyebab Jayde berusaha untuk sangat mempertahankan rumah tangganya. Well, selain dari keinginan orang tuanya untuk memiliki keturunan pastinya.Atau bisa saja, itu adalah salah satu yang memicu sikap Jayde saat ini? Entahlah. Hal itu yang harus Lillian cari tahu alasannya. Dan untuk mendapatkannya, ia harus bermain cantik, sampai Jayde tak menyadari jika keinginannya untuk bercerai masih ada dan tetap akan terlaksana.“Sungguh kau akan melakukannya?” Lillian melempar pertanyaan pada Jayde.“Jika aku tidak bersungguh-sungguh untuk melakukannya, aku tidak akan datang ke sini untuk kembali memohon
Wajah kecewa itu membuat Lillian hampir tidak bisa mengucapkan kata-katanya lagi dengan lancar. Berkali-kali ia mengintip dari sudut matanya saat menunggu jawaban Noam perihal keputusan barunya yang tentu sangat kontras dengan keinginannya untuk berpisah dengan Jayde.“Sejujurnya, aku tidak masalah dengan semua hal yang akan kau lakukan, dan apa yang telah kau putuskan, Lilly.” Noam menarik napasnya berat. “Hanya saja, aku tidak suka jika kau akan terluka untuk kesekian kalinya. Kau tidak harus melakukan itu hanya untuk mengetahui kenapa Jayde tidak ingin berpisah denganmu.”Terlihat sederhana di mata orang lain, tapi tidak bagi Lillian. Mengenai semua hal yang berhubungan dengan Jayde, ia ingin meninggalkan kisah itu tanpa ada hal yang tertinggal. Semua hal yang menimbulkan lubang pertanyaan, harus ia tutup sebelum benar-benar melangkahkan kaki dari kehidupan Jayde Foster.Namun, Lillian menyadari bahwa tidak semua orang harus bisa mengerti apa yang sedang ia pikirkan dan rasakan. Di
Malam pertama kembali ke rumahnya, Lillian mulai berusaha untuk mencari sesuatu hal yang bisa ia jadikan bukti untuk memperkuat alasan bercerainya. Diam-diam ia mengendap ke ruang kerja milik Jayde, dan mencari-cari alasan kenapa pria itu sangat ingin mempertahankan dirinya di sisinya.Sangat hati-hati, Lillian membuka tiap laci dan memeriksa tiap sudut ruangan. Namun ia tidak menemukan satu pun alasan kenapa Jayde melakukannya. Demi Tuhan, Lillian masih tidak percaya jika pria itu mempertahankannya tanpa alasan.Putus asa dengan ruangan kerja milik Jayde, Lillian mengendap-ngendap menuju kamar pria itu. Mungkin saja ia sedang dalam pangilan telpon dengan Rosalee, who knows. Jika iya, tentu itu akan menjadi bukti kuat bagi Lilllian untuk memperkarakannya pada proses perceraian.Langkah Lillian sedikit berjingkat. Suasananya terlalu hening, tidak sesuai dengan apa yang telah ia bayangkan. Tidak seperti pada masa lalu, saat dirinya sering kali mendapati Jayde menghubungi Rosalee saat ma
“Benar. Untuk sementara tolong tangguhkan.”Pintu ruangan kerjanya terbuka. Lillian menoleh cepat, sementara sambungan telponnya dengan pengacara yang mengurus perceraiannya masih tersambung. Noam sedang menghampirinya, dengan tatapan mata memicing ketika mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Lillian pada sang pengacara.“Gugatan masih tetap seperti di awal. Hanya saja, saat ini saya masih harus melakukan beberapa hal. Jadi, proses yang telah masuk mohon untuk ditunda dulu sampai saya selesai menyelesaikan masalahnya.” Lillian melanjutkan obrolannya di ponsel.“Ok, terima kasih atas bantuannya. Secepatnya akan saya kabari lagi mengenai proses perceraian saya dengan Jayde Foster. Semalam siang.”Sambungan telpon terputus. Lillian menghela napas panjang, kemudian tersenyum pada Noam yang telah duduk di sofa.“Is everything okay?” tanya Noam. “Semalam tidak terjadi apa-apa, kan?”Lillian berdiri dari kursi kerjanya, mengambil tempat di sofa yang berhadapan dengan Noam. “Aku
Membahas orang tuanya tadi bersama dengan Noam, membuat Lillian tidak bisa fokus saat bekerja. Berusaha untuk terus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, nyatanya hanya membuat dada Lillian semakin sesak. Prasangka buruk terus menciptakan skenario di dalam kepalanya.Mungkinkah Jayde ada kaitannya dengan kematian orang tuanya? Jika benar begitu, apa motifnya, dan kenapa ia tidak ingin berpisah dengan dirinya?Beberapa saat kemudian, Lillian tersentak di atas kursi, dengan kedua tangan meremas kuat di atas meja. Sebuah alasan sederhana yang selama ini tidak pernah ia pikirkan. Mungkinkah? Sangat mustahil jika sampai Jayde sanggup melakukannya. Namun semua hal yang berputar setelah kematian orang tuanya terlihat saling berkaitan.Jayde yang menolak untuk bercerai, dan kedua orang tuanya yang tiba-tiba memaksa untuk memiliki keturunan. Apa yang sebenarnya telah terjadi di sekeliling Lillian? Kenapa semakin kesini menjadi semakin terlihat dalam dan gelap?Tidak bisa. Meski dipaksa p
“Apakah aku terlihat menyedihkan?” Lillian bertanya, tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela mobil.Kilasan perasaannya selama di makam tadi masih membekas. Rasa sesaknya masih berputar di rongga dadanya, melesak ke tenggorokan dan membuatnya tercekat berkali-kali. Namun, ia tidak lagi bisa menangis. Padahal rasa sesaknya itu akan cepat menghilang jika ia bisa meraung-raung.Noam menoleh sekilas, dan menjawab setelah fokusnya kembali pada jalanan yang terlihat lenggang. “Menyedihkan dari sisi mana? Aku tidak melihatnya sama sekali.”Lillian tersenyum tipis, lalu menghela napasnya dalam-dalam. Kedua matanya terpejam, merasakan perasaan yang bergejolak di dalam dadanya. “Aku tahu kehidupan seseorang pasti akan berada pada fase naik dan turun. Aku hanya tidak menduga jika turun pada posisiku adalah terhempas sampai membuatku patah.”“Kau hanya perlu untuk bersandar pada tempat yang tepat, Lilly. Seberat apa pun masalahnya, sedalam apa pun kau terjatuh, kau hanya perlu tempat untuk be
Sepeninggal orang tuanya, Lillian menjadi lebih sibuk untuk urusan pekerjaan. Sebagai satu-satunya pewaris tunggal W&B Group yang bergerak di bidang penerbangan, dan juga memiliki puluhan anak perusahaan berupa hotel dan motel, membuatnya menjadi lebih banyak meninjau ke lokasi secara langsung; satu pekerjaan rutin setiap bulan yang selalu dilakukan oleh mendiang ayahnya.Tak sendiri, saat ini ia ditemani oleh Noam saat meninjau jalannya operasional di bandara. Mulai dari kinerja karyawan, sampai memastikan stock barang untuk keperluan ATK semuanya masih aman.Bukan karena tidak percaya dengan laporan yang selalu diberikan padanya setiap bulan, tapi menurut ayahnya, itu adalah cara mereka untuk bisa lebih mendekatkan diri pada karyawan.Dan karena saat ini Lillian yang mengambil alih tugas itu, dan ia juga mempercayakan semuanya itu pada setiap divisi yang bertugas, maka ia mengubah agenda itu hanya untuk menyapa karyawan di bandara dan menanyakan ada keluhan apa selama mereka bekerja
Hari yang telah ditunggu oleh Lillian pada akhirnya tiba. Sidang perceraian antara dirinya dan Jayde Foster akhirnya telah berakhir. Sejak palu hakim diketuk tiga kali, keduanya telah resmi bercerai. Lillian menghela napasnya lega sambil memejamkan kedua matanya. Ia tahu bercerai bukan hal yang patut dibanggakan, tapi untuk kali ini ia ingin merayakannya.Tidak ada interaksi dirinya dengan Jayde. Mereka tampak seperti orang asing yang tidak saling menyapa. Well, Lillian tidak merisaukannya. Bersikap seperti justru membuatnya lebih nyaman. Lagipula dirinya juga telah muak dengan Jayde.Noam tersenyum pada Lillian saat wanita itu keluar dari ruangan sidang. pelukan hangat menyambut sang kekasih yang telah mendapatkan kebebasannya. Kali ini, Noam bisa mencintai Lillian sepenuhnya. Semua hal buruk yang pernah dirasakan oleh wanita itu, dengan tekad yang kuat akan ia ganti dengan semua kebahagiaan yang bisa ia tawarkan dan akan selalu diusahakan.Namun belum sempat Lillian mengucapkan kali
Jayde melempar satu dokumen yang berhasil ia raup dari atas meja kerjanya di kantor setelah membaca sebuah surat yang baru saja diantar untuknya. Beberapa hari berlalu setelah terakhir kali ia menemui Lillian, sekarang di tangannya telah terselip panggilan sidang untuk perceraiannya dengan wanita itu.Emosinya yang membuncah seakan hampir meledak di kepala. Meskipun ia menyadari bahwa kelakuannya selama ini pada Lillian tidak bisa dibenarkan dan dinormalisasikan. Saat ini bukan tentang harga dirinya yang merasa diinjak karena keinginan Lillian untuk berpisah, melainkan tentang perasaannya yang perlahan mulai kembali lagi pada wanita itu.Benar, Jayde memang egois. Ia menyadarinya, tapi ia tidak memiliki kuasa untuk menahannya. Egonya yang terlalu besar membuatnya menjadi kerap tidak tahu diri. Surat panggilan sidang perceraian itu ia lempar begitu saja ke atas mejanya.“Sayang? Ada masalah?”Jayde menoleh cepat, sorotnya matanya terlihat tidak senang melihat Rosalee yang melenggang be
“Brengsek!”Tangan Jayde mengepal kencang sambil beberapa kali memukul setir mobil. Urat di pelipisnya menonjol, seiring dengan emosinya yang berusaha meledak bersama dengan geraman teredam.“Damn, Noam! Damned, Rosalee!”Jayde jelas mengutuk Noam karena pria itu berhasil merebut Lillian darinya. Mungkin lebih tepatnya, Noam mengambil kesempatan dengan cerdas saat Jayde menyia-nyiakan Lillian dengan kebodohannya. Setelah semuanya menjadi lebih terang bagi Jayde, saat itulah ia merasakan ketololan yang berhasil menggigitnya sedikit demi sedikit; mengoyak; dan menghancurkan pada akhirnya.Satu hal yang tak pernah ia bayangkan dalam hubungan sempurnanya dengan Rosalee, ternyata akan membawanya pada hal-hal yang mengerikan. Semua perlakuan buruknya pada Lillian memang tak terbantahkan. Ia mengakuinya, dan saat ini menyesalinya dengan segenap jiwa.Namun semuanya telah menjadi terlambat bagi Jayde. Semua kenangannya bersama dengan Lillian sebelum Rosalee hadir di kehidupannya kembali memb
Ponsel Lillian berdering beberapa kali saat ia masih memfokuskan pikirannya pada pekerjaan. Ada beberapa hal yang harus ia kerjakan hari ini juga, mengenai rencana penambahan armada pesawat sehubungan dengan penambahan slot yang telah disetujui oleh pihak bandara. Semakin banyak antusias warga asing untuk mengunjungi Eropa menjadi perhatiannya saat ini agar mampu menyediakan fasilitas penerbangan yang memuaskan.Wanita itu hanya melirik sebentar dan mendesah malas setelah membaca nama sang penelepon. Jayde terus berusaha untuk menghubunginya. Semenjak mengetahui ada foto-foto dirinya dengan ancaman kematian, ia berniat untuk segera Jayde dari kehidupannya. Entah Jayde atau bukan yang melakukan hal-hal buruk itu, yang jelas dirinya mendapatkan banyak masalah setelah bersama dengan Jayde.Namun ia kembali mengingat tentang pendapat Noam mengenai kemungkinan bahwa Jayde berusaha menyembunyikan itu semua agar tidak membebani pikiran Lillian. Walaupun itu adalah hal yang sangat tidak masuk
Hal-hal negatif terus bermunculan dalam pikiran Lillian selama mobil yang dikendarakan oleh Noam melaju kencang, menembus jalanan untuk membawa mereka kembali ke rumah Lillian bersama dengan Jayde. Lillian merasa harus memeriksa sekali lagi rumah itu, mungkin saja ada hal yang terlewatkan olehnya.Noam tak bisa melarangnya. Dirinya tidak berada pada posisi yang bisa untuk melarang Lillian menantang bahaya seperti ini. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah mendampingi dan mendukung apa pun yang akan dilakukan oleh Lillian.“Maafkan aku, Noam,” ucap Lillian tanpa mengalih pandangannya dari jendela mobil.Noam menoleh sekilas padanya. “Maaf untuk apa?”“Karena kau jadi terlibat dalam masalah yang tidak terlihat ujungnya ini. Aku merasa bersalah padamu.” Lillian memejamkan matanya sejenak, merasakan panas yang mengakar dari bola matanya dan menyebar cepat ke kepala.“Saat ini kau adalah kekasihku, Lilly. Dan sangat wajar jika aku terlibat dalam masalahmu.” Noam merasakan kehangatan
Lillian dan Noam hari ini memutuskan untuk pergi ke kediaman orang tua Lillian. Misteri yang tentang kematian orang tuanya biar bagaimanapun juga harus bisa diuangkap. Itu seakan menjadi hutang bagi Lillian untuk mencari keadilan bagi orang tuanya.Bukannya ia masih tidak bisa menerima kematian kedua orang tuanya tersebut. Semua orang pasti akan mengalami kematian. Namun hal yang tidak wajar dalam sudut pandangnya membuat ia tidak bisa menerima hal itu begitu saja. Karena itulah, apa pun yang terjadi mereka tidak akan pernah menyerah untuk menemukan petunjuk tentang kebenaran dari kecelakaan itu.Mobil Noam berhenti tepat di depan rumah bercat putih bergaya eropa dengan sentuhan mewah di tiap-tiap sisinya. Helaan napas terdengar dari Lillian sebelum ia melepas sabuk pengaman yang ia kenakan.“Hei, kau baik-baik saja?”Noam meraih tangan Lillian sebelum wanita itu membuka pintu mobil.Lillian memutar kepalanya sambil tersenyum. “Selama bersamamu aku akan baik-baik saja, Noam.” Ucapannya
Tunggu...Kenapa Noam ada di sisi Lillian??Wanita itu terbangun dengan kedua mata membelalak lebar saat menyadari Noam sedang tertidur di sisinya. Masih dengan tubuh mematung karena tak ingin membangunkan pria itu, Lillian mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi pada mereka berdua.Satu detik... dua detik... tiga detik... sampai beberapa detik selanjutnya...Oh, my Godness!! Apa yang telah kulakukan?? jerit Lillian dalam hati.Dengan jantung berdebar, ia berusaha untuk mengintip bagian bawahnya yang masih tertutup selimut. Yeah, seperti dugaan. Semuanya masih polos, sama dengan bagian atas tubuhnya yang tak menempel sehelai benang pun, hanya tertutup selimut.Semalam... meskipun samar dalam ingatannya, tapi ia masih bisa merasakan kehangatan dari tiap dekapan dan sentuhan Noam. Semuanya terasa menenangkan, membawanya pada puncak kebahagiaan yang telah lama tak ia rasakan. Saat bibir Noam menjejak di tiap jengkal tubuhnya, saat ia menyentak dalam dan memainkan ritmenya, saat s
Seharian ini adalah hari yang sangat sibuk bagi Noam. Final laporan audit harus diselesaikan hari ini juga. Karena itulah, pria itu sama sekali tidak mengetahui bahwa Lillian mengajukan cuti dadakan. Ia baru mengetahuinya ketika akan masuk ke dalam ruangannya. Rexy—sekretaris Lillian mengatakan bahwa Lillian telah mengajukan cuti dadakan untuk beberapa hari kedepan.“Apakah dia sakit?” Noam terdengar cemas saat menanyakannya.Rexy menggeleng. “Justru nada bicaranya terdengar sangat bersemangat. Kalau kau mencemaskannya, kenapa tidak menghubunginya sendiri?”Noam memicingkan kedua matanya saat mendengar nada bicara Rexy dan raut wajah wanita itu yang terlihat sedang menggodanya. “Hei, kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Noam.Rexy tertawa, kemudian menepuk pundak Noam pelan. “Kau tahu bahwa dari dulu aku mendukung kalian berdua, kan? Kurasa ini kesempatanmu untuk menaklukkan hati Lilly.”Noam langsung menoleh ke kanan dan ke kiri saat Rexy mengatakan hal itu tanpa merasa berdosa s
Hampir tengah malam, dan Lillian sengaja membaca buku di ruang depan. Sengaja ia menunggu Jayde, ingin melihat apakah ada reaksi yang berbeda setelah pria itu bertemu dengan Rosalee—Walaupun dalam hatinya, ia yakin pasti jawabannya tidak akan ada reaksi apa-apa.Sekitar setengah jam setelah Lillian memutuskan untuk duduk di single sofa yang langsung memudahkan pandangannya untuk langsung melihat ke arah lorong pintu masuk, Jayde datang. Pria itu berjalan tenang, seperti tak pernah terjadi apa-apa—menurutnya, dan langsung mengerutkan keningnya saat melihat Lillian yang juga tengah memandangnya.“Kenapa kau belum tidur?” tanya Jayde, terdengar canggung, sisa dari pertengkaran semalam.Lillian mengangkat bukunya dengan kedua alis terangkat ke atas. “Kau tidak melihat aku sedang membaca buku?”Raut wajah Jayde terlihat sedikit gusar. Rupanya ia masih belum terbiasa dengan semua sikap patuh Lillian yang tiba-tiba lenyap. Lillian yang dulu tak lagi ia temukan pada sosok Lillian yang sekaran