"Tenang, Mas. Kamu nggak usah repot-repot berlutut seperti itu, bangun!" Mbak Giska mengulurkan tangannya, ia meminta suami laknat itu bangkit. Senyum Mbak Giska tampak manis, hal ini membuat mataku menyipit. Aku agak ragu dengan sikapnya, apakah sandiwara? Atau memang luluh karena lihat wajah Mas Firman yang melas? Mas Firman berdiri ketika Mbak Giska memerintahkan, kini mereka berdua saling berhadapan. Cemburu? Tidak, aku hanya khawatir Mbak Giska memakai perasaan dan memaafkan suami tidak tahu diri itu. Aku menyaksikan sendiri tatapan Mbak Giska seakan memberikan harapan pada Mas Firman, walaupun sebelum menuju kantor kakak maduku sudah memberikan instruksi bahwa kami disuruh sama-sama sandiwara memaafkan segala kesalahan Mas Firman. Akan tetapi kali ini aku melihat satu keikhlasan dalam diri Mbak Giska. "Mbak, pria ini yang nyaris membunuhmu, lantas dengan mudahnya kamu memaafkan?" Aku bertanya sambil menunjukkan ekspresi tidak suka. Kemudian, Tante Soraya pun menghampiri k
"Untuk apa kamu tanya hal itu, Mas? Bukankah sudah berhasil menaklukkan hati Mbak Giska lagi? Jadi, aku rasa wanita yang bernama Airin itu tidak penting lagi ditanyakan," timpalku coba membela diri. "Jangan mancing emosiku, kamu tahu kan berapa cintanya aku pada Airin, jadi jika ada yang menyakitinya, kau tahu sendiri akibatnya," ancam Mas Firman. Ternyata benar dugaanku, ia tetap pilih Airin. Tangisan dan berlutut di kaki Mbak Giska hanyalah pencitraan saja. Semoga kakak maduku sadar akan hal itu. Kemudian, setelah selesai bicara empat mata, Mas Firman kembali dengan Mbak Giska, sedangkan aku, dihampiri dengan Tante Soraya. Ia melambaikan tangannya ke arah Mbak Giska sambil berteriak. "Giska, Tante cuma pesan hati-hati semobil dengan ular!"Mbak Giska menoleh dan menatap nanar. Lalu mereka pergi begitu saja. Aku terdiam sambil berdiri. Mata ini tak berkedip memandang Mbak Giska yang berjalan dirangkul dengan Mas Firman. Ular itu, yang pernah membuat Mbak Giska lumpuh dan bisu, ta
Aku melangkahkan kaki bersama Tante Soraya ke dalam. Namun, setelah menyeruak ke dalam, ada hal yang tiba-tiba aku ingat, Airin juga antek-antek Mas Firman yang belum ada di sini. Padahal aku lihat mobil Adnan sudah terparkir. "Kok sepi? Di mana mereka?" tanyaku sambil celingukan. Padahal baru sehari tidak menginjakkan kaki ini ke rumah megah nan mewah, tapi suasana sudah berubah mencekam. "Kita disuruh ke gudang, ruang bawah tanah," ucap Tante Soraya. Aku menganggukkan kepala sambil beranjak ke ruangan yang dulunya ditempati oleh Airin, selingkuhan Mas Firman. "Kenapa Mbak Giska tidak langsung usir mereka sih, Tante?" Aku bicara pelan padanya. Sebab harus hati-hati sudah berada di rumah ini lagi. "Udah, ikuti aja perintah Giska, Tante yakin ini yang terbaik, kalau Firman diusir, lalu masuk penjara, selesai dong, kita nggak bisa ngerjain mereka, jadi puas-puasin aja dulu," timpal Tante Soraya. Aku terdiam, padahal sejak Mbak Giska sembuh, ia tidak pernah punya pikiran untuk berb
"Stop aku bilang!" Mbak Giska membentangkan tangannya dengan disertai suara lantang. Aku hanya bisa terdiam, harus apa? Mbak Giska tidak bicara apa-apa tentang hal ini. Aku disuruh ke rumah ini tanpa ada perintah untuk rujuk. Namun, disaksikan oleh Tante Soraya dan Adnan tentu membuatku malu, permasalahan keluarga yang seharusnya ditutup aibnya, tapi ini malah dibeberkan. Aku tahu mereka orang terdekat, dan sudah terlanjur tahu semuanya. Sebab mereka turut campur dalam pulihnya kesehatan Mbak Giska, terutama Adnan. Ia yang memberikan rekomendasi, hingga akhirnya wanita kuat itu berdiri tegak. Tiba-tiba Tante Soraya mengedipkan matanya ke arahku. Aku baru sadar bahwa ini semua masih permainan. Namun, tidak menyangka harus menerima Airin di sini. Tadinya aku pikir akan langsung dijebloskan ke penjara tapi ternyata masih membiarkan Mas Firman berada di rumah ini. Malah diminta untuk rujuk denganku. "Ini syarat kalau kamu mau nikah lagi, Mas, salah satu cara yaitu rujuk dengan Nurma,"
Sebenarnya aku tidak mengetahui apa yang sebenarnya ingin mereka siapkan. Perintah Mbak Giska hanya menyuruh akur saja. Ia tidak menjelaskan apa-apa. Adnan sudah pulang dengan sedikit senyum. Padahal sebelumnya ia sempat mencemaskanku. Ada getaran saat Adnan bicara seperti itu. Bisa-bisanya ia melakukan hal yang membuatku percaya diri terlalu tinggi. Aku masuk ke kamar sesuai dengan apa yang direncanakan. Kututup pintunya lalu menguncinya. Airin terlihat tengah menggulirkan jari lentiknya di atas layar ponsel yang menyorot terang. Ia terlihat seperti tengah mengetik pesan. Wajah wanita itu cemberut sambil memicingkan matanya ke arah layar. "Istirahat, kamu pasti capek," ucapku saat berada di sebelahnya. Kemudian, Airin menoleh ke arahku, tapi setelah itu ia berpaling kembali. Tidak ada suara tanggapan, hanya helaan napas terdengar dari mulutnya. "Kita senasib, aku yang kedua dan kamu yang ketiga," ucapku padanya. Airin menghadap ke arahku. Ia meletakkan benda pipih itu di atas r
Mas Firman terkapar di lantai depan kamar mandi, Airin yang terlalu mencintainya itu langsung menyergap tubuh laki-laki yang belum menjadi suaminya itu. Padahal seharusnya jika nakal, ya nakal sekalian, nikah siri lebih baik ketimbang zina seperti yang dilakukan mereka. Namun, perbuatan ini juga sebenarnya tidak diperbolehkan karena negara memilki undang-undang. "Aku bantu angkat ke atas ranjang," ucapku. Jari Airin memegang denyut nadinya, ia sedikit berdecak saat melepaskan tangan dari leher Mas Firman. "Syukurlah masih napas," kata Airin. Tangan yang tadinya membawa makanan pun melepas semuanya, kami berdua membopong tubuh Mas Firman yang menurutku terpeleset. Ya, aku lihat ia berada di depan kamar mandi, jadi dugaan sementara suamiku itu terpeleset. Aku berpamitan keluar untuk melaporkan kejadian ini, tentu Mbak Giska harus mengetahui kondisi Mas Firman. Aku lihat Mbak Giska dan Tante Soraya tengah duduk sambil menyantap nasi goreng buatan kami. Saat mereka ingin melanjutkan
Mas Firman tengah menangis di hadapan Airin. Namun, tubuhnya masih berbaring di atas ranjang. Kami bertiga menghampiri dengan langkah cepat. "Ada apa ini?" tanya Mbak Giska. Airin bangkit, lalu mundur dua langkah. "Aku nggak bisa bangun, Giska, tolong aku. Tolong Tuhan, jangan buat aku lumpuh." Isakan tangis yang disertai suaranya berbicara membuatku dan Tante Soraya saling beradu pandang. Begitu juga dengan Mbak Giska, sekejap mimik wajahnya berubah. 'Apa Mas Firman tengah menuai segala perbuatannya?' tanyaku dalam hati. Aku yakin raut wajah Mbak Giska pun sudah menunjukkan bahwa ia terkejut melihat dampak dari terpelesetnya Mas Firman dari kamar mandi. "Kalian nggak sedang menertawakan aku, kan? Giska, Nurma?" Mas Firman melontarkan satu pertanyaan yang seakan menyudutkan. "Kamu jatuh karena terpeleset, Mas. Kenapa berpikir aku menertawakanmu? Justru aku kaget, gara-gara terpeleset bisa seperti ini," sanggah Mbak Giska. Aku hanya bisa terdiam, masih tidak bisa mengatakan apa-
Menurut pengalaman mengurus Mbak Giska, ketika ia lumpuh, tidak bisa merasakan kakinya. Ya, aku harus diam-diam mencubit kaki Mas Firman. Dari sini aku akan mengetahui, apa ia hanya pura-pura lumpuh supaya menarik perhatian kami berdua. Kami menghampiri Mas Firman, lalu Mbak Giska kembali bicara dengannya. "Kita ke rumah sakit sekarang, Mas," ajak Mbak Giska. "Ya, kamu harus dibawa ke rumah sakit, Firman," ucap Tante Soraya. "Tidak seperti dulu saat Giska lumpuh, kamu bukan membawanya terapi dan menjalani berbagai pengobatan, tapi justru mendatangkan dokter palsu. Untungnya dokternya sadar," sindir Tante Soraya. Mas Firman menarik pergelangan tangan Mbak Giska. "Maafkan aku, Giska, jujur saja aku merasa ini adalah karma untukku," jawab Mas Firman. Saat itulah aku menyerempet ke kakinya, lalu sedikit mencubit, kalau ia tidak lumpuh pasti teriak kesakitan, namun aku tidak mendengar itu. Cubitan yang aku layangkan tidak membuat Mas Firman berteriak bahkan menunjukkan respon menahan r
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint
Beruntungnya sopir truk sadar bahwa tengah terjadi kecelakaan kecil yang menimpa Mbak Giska. Namun, ia sudah berada di pasir dengan posisi tubuhnya telungkup."Giska!" Eric berteriak kemudian. Ia lebih dulu menghampiri ketimbang aku. Laki-laki yang memiliki amanah dari Yunna itu segera membopongnya ke tempat teduh, tepatnya di bawah pepohonan. Aku pun mengekor dari belakang, begitu juga dengan Helen yang ikut bersama kami.Tubuh Mbak Giska berlumur pasir, kelihatannya ia shock sampai pingsan.Adnan yang berada di ujung proyek pun segera mendekat.Adnan memberikan air, ia menyiram seluruh wajah dan tubuh yang tersiram pasir."Astaga, Giska kamu nggak apa-apa, kan?" Eric tampak panik melihat kondisi Mbak Giska. "Adnan, coba hubungi ambulance, saya takut Giska cidera," suruh Eric kelihatan sangat panik. Adnan pun sontak mengindahkan perintah Eric untuk menghubungi ambulance.Berbeda dengan Helen, ia melipat kedua tangan lalu mendesah kesal."Sok perhatian banget sih, dia cuma pingsan it
Helen maju tiga langkah, kemudian ia berjejer dengan Eric."Aku tahu semuanya Eric," ucap Helen.Kemudian Eric menoleh dan menatapnya sinis."Apa-apaan sih, Helen? Maksud kamu itu apa?" tanya Eric."Wasiat itu tidak sungguhan kan? Kamu yang menulis di catatan handphone sepupuku." Pernyataan Helen barusan membuatku dan Mbak Giska saling beradu pandang. Aku membasahi bibir saya tak percaya."Jangan ngada-ngada kamu, Helen," ucap Eric."Loh kenapa kau sebut aku ngada-ngada? Sekarang pikir aja, Yunna tidak tahu akan kematiannya. Kenapa pakai nulis kayak begitu? Artinya ini rekayasa kan?" Jelas obrolan ini sudah ngawur, Helen hanya ingin mencari masalah saja. Datangnya ia ke sini menunjukkan bahwa Helen benar-benar ingin proyek itu ada di tangannya.Mbak Giska menghentikan perdebatan ini. Aku yakin pikirannya sama sepertiku."Mendingan kalian pulang. Aku tidak mau mencari masalah dan membuat onar di manapun. Terlebih Ini rumahku sendiri!" Mbak Giska menekan setiap kata-katanya.Aku yakin
Mbak Giska menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mengajak kami untuk meninggalkan restoran. Ia tidak meladeni ucapan dari Helen.Kami naik mobil terpisah dengan Adnan. Dikarenakan mood Mbak Giska sedang tidak baik-baik saja. Aku memutuskan yang menggantikan mengendalikan mobil ini.Sepanjang jalan wajahnya cemberut dilipat. Mbak Giska pun melipat kedua tangannya di atas dada. "Kapan bahagianya sih? Perasaan ketemu orang arogan terus!"Aku berdecak sambil menoleh ke arah kakak angkatku."Bukan hidup namanya jika lurus-lurus aja. Hidup ya begini Mbak, penuh liku-liku," ucapku."Tapi kenapa selalu wanita yang membuat masalah, ini masalah proyek doang, Ya Allah." Mbak Giska menyandarkan tubuhnya, siku sebelah kiri berada di dekat kaca jendela mobil. Setelah itu ia memegang pelipisnya."Sepertinya memang Helennya yang bermasalah." Aku menelan apa sambil bicara pada Mbak Giska.Tadinya kami mau kembali ke kantor, tapi berhubung mood bagisha sedang tidak baik-baik saja, akhirnya