“Astagfirullah, Asti. Sepertinya ketinggalan di mobil pria tadi!” pekikku.Antara sadar dan tidak, antara ingat dan tidak, aku merasa ponsel belum aku cabut.“Pria tadi kayaknya tampan, Ha. Hayo, siapa tahu dia jodoh lu selanjutnya.”Aku memukul pelan lengan Asti. “Sembarangan kalo ngomong.”“Kenalin, dong, pan kapan. Siapa tahu dia cocok sama gue kalo lu nggak mau.”“Eling, Ti. Katanya lu udah punya cowok? Cowok lu, tuh, yang harus lu kenalin sama gue.”Ah, aku sampai lupa dengan kesedihanku gara-gara ponsel.Asti beberapa kali cerita kalau dia punya pacar. Namun, sejauh ini aku belum bertemu dan berkenalan.“Jangan dulu. Tunggu sampai dia lamar gue dan kami tunangan. Takut doi naksir sama lu. Karena jujur, gue kalah tampang sama lu.”“Heh, ngomong apaan lu ini! Gini-gini gue udah nikah meski pernikahan gue nggak normal. Udah, pokoknya gue tunggu kapan lu bakal ngenalin ke gue.”“Ya. Udah nikah, tapi belum kawin. Ngenes banget sumpah nasib lu.”Kami tergelak.“Siapa namanya pria tadi
“Tidak boleh pacaran, apalagi di tempat umum seperti ini. Nggak malu kamu! Ayo ikut Ustaz.” Pria itu mencekal pergelangan tangan Nizam.“Ini kakak kandung saya, Ustaz. Kami tidak pacaran.”Pria itu terlihat melotot dan gugup. Sepertinya dia terkejut. “A-apa? Kakak?”“Iya.”“Dia ustaz baru, ya, Zam? Kok, Mbak baru lihat?” bisikku pada remaja yang memakai baju koko warna navy ini. Nizam mengangguk.“Maaf, Ustaz. Apa ada peraturan yang kami langgar? Apa peraturan lama sudah berubah? Bahwa adik kakak dilarang berduaan? Seperti itu?” tanyaku. Dia tampak gelagapan. Ah, lucu sekali melihat dia salah tingkah.Wajahku dan Nizam memang tidak ada kemiripan. Tinggi Nizam pun melebihi tinggi badanku. Jadi, tidak sekali dua kali orang menganggap kami pasangan kekasih padahal kami ini mahram.“Ya sudah, saya minta maaf karena sudah salah sangka. Lain kali, Zam. Jangan bersikap berlebihan. Jika memang kalian ini saudara, tapi kedekatan dan keakraban kalian tadi bisa menimbulkan salah paham.”“Baik, U
“Aqsal, tolong jangan marahi saudaramu seperti itu. Dan Niha, maaf. Semalam kamu lupa mengambil ponselmu. Saya pun lupa karena kita keasyikan kayaknya,” ucap Arjuna.Mati aku! Pasti Mas Aqsal berpikir yang bukan-bukan. Kulirik suamiku itu. Rahangnya tampak mengeras, matanya membola.“Niha, ini ponselmu. Oh, ya, Sal. Saya semalam bertanya banyak hal ke Niha. Katanya dia tinggal di sini. Lantas saya meminta alamat rumah ini ke papa dan diberikan. Maaf baru mengembalikan sekarang. Tadi pagi saya masih sibuk.” Arjuna tersenyum sopan.Ingin rasanya aku mengecil menjadi semut agar bisa melarikan diri dari. Kedatangan Arjuna membuat situasi antara aku dan Mas Aqsal makin memanas.“Aqsal, saya ingin–““Kamu bayar berapa istri saya semalam?” potong Mas Aqsal pada ucapan Arjuna.Arjuna yang tak tahu menahu hanya menggeleng. Oh, tumben pria itu menyebutku istri.“Is-tri? Maksudnya?” Arjuna balik bertanya dengan alis bertaut.“Niha istri saya, breng*ek!”“A-apa? Bukannya semalam katanya dia–““Ap
“Ambil handuk sama baju di kamar Mbak Niha, Si.” Suara itu lamat-lamat terdengar. Kesadaranku perlahan terkumpul. Telinga ini sedikit demi sedikit sudah mampu merekam suara sayup-sayup orang bercakap-cakap. Namun, mata rasanya masih berat untuk dibuka, juga tubuh yang terasa lemas. “Sadarlah. Buka matamu, Mbak ” Suara seseorang terdengar lagi. Terasa sebuah tangan membelai kening dan menepuk pelan pipiku. Dari yang tertangkap telinga, itu seperti suara Mbak Sa. “Sasi lama amat, sih.” Suara itu makin jelas, tetapi belum ada kekuatan sekadar membuka mata atau menggerakkan anggota badan. “Ini, Mbak.” Suara lain terdengar. “Ayo bantu mengeringkan tubuh Mbak Niha. Habis itu kita pakaikan pakaian.” Dua suara wanita berbeda itu terdengar lagi. Tubuhku yang kedinginan mulai merasakan hangat. “Untung tadi ketahuan, Mbak. Kalo enggak, aku nggak bisa bayangin gimana keadaan Mbak Niha.” Aku mencoba menggetarkan pita suara. Sekali, dua kali, tidak berhasil. Saat salah satu titik di tubuhku
“Bahaya kalau robekannya parah dan sampai terjadi pendarahan hebat. Ada kasus yang dulu pernah viral. Pengantin baru, sampai transfusi darah. Tapi, kalau pendarahan tidak banyak dan segera ditangani, tidak perlu khawatir. Penting juga komunikasi antar suami istri mengenai teknik berhubungan agar aman dan tidak menyakiti pasangan.”“Apa kasus saya ini, saya bisa subur dan suatu saat bisa hamil?”“Bisa, insyaallah bisa. Robekan tidak sampai mempengaruhi rahim. Rahim Ibu normal dan sehat, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”Aku mengangguk. “Terima kasih, Dok.”Dokter itu lalu menyudahi pemeriksaan, lalu meresepkan obat.Aku lega. Setidaknya aku masih normal dan suatu saat rahimku bisa menerima kehadiran anak. Semoga. Entah bersama Mas Aqsal atau suami lain. Entahlah nanti akan seperti apa takdirku.**Dua hari sudah aku berada di rumah sakit. Selama itu pula, sekali pun Mas Aqsal tidak pernah mengunjungiku. Hanya Asti dan Mbak Sa yang datang saat pekerjaan mereka selesai. Sisanya, aku b
“Sudah pulang? Gimana rasanya nginep beberapa hari di hotel mewah?” ejek Mas Aqsal dari lantai atas. Wanita yang bersamanya terlihat bergelayut manja.Ejekannya terasa ... sakit sekali. Saat aku meregang nyawa karena ulahnya, dengan entengnya dia malah berkata seperti itu. Rumah sakit dibilang hotel mewah? Apakah nurani pria itu sudah mati?Aku mencoba tegar dengan tersenyum. Tak disangka, Mas Aqsal dan wanita itu menuruni anak tangga dan sepertinya berjalan ke arahku.“Mbak Sa, tolong bantu saya ke kamar, aja, ya.” Aku meminta Mbak Sa memapah menuju kamar. Wanita itu mengangguk.Ketika baru beberapa langkah, tanganku terasa ada yang mencekal.“Rumah sakit bayarnya mahal, jadi kamu harus menggantinya. Memang aku yang membayarkan, tapi itu tidak gratis dan aku anggap utang.”Aku terpejam. Perlakuan kasar Mas Aqsal seolah-olah kembali berputar. Namun, aku menguatkan diri untuk melawan rasa trauma ini. Ketakutan hanya akan membuat pria ini senang.Aku membuka mata, lalu bibirku tersunggi
Pria itu ... Arjuna. Untuk apa dia datang ke sini? Konfeksi ini terdiri dari beberapa ruang. Ruang paling depan ada ruang untuk menerima tamu. Di sampingnya yang bersekat tembok, ada ruangan Mama Elena yang sekarang aku tempati. Sementara di belakangnya, ada ruangan menjahit dengan banyak jendela hingga sinar matahari bisa langsung masuk dan ruangan jahit sangat terang meski tanpa lampu.Jam seperti ini, para pekerja biasanya sudah mulai bersiap-siap kerja di ruang jahit. Tidak ada satu pun yang terlihat. Mungkin mereka hanya mempersilakan Arjuna masuk, lalu ditinggal pergi.Dengan masih diselimuti banyak tanya, aku menghampiri pria berkemeja biru laut tersebut.“Assalamualaikum. Selamat pagi, Pak Arjuna. Ada yang bisa saya bantu?” sapaku ramah. Dia pun mendongak. Lalu bangkit.“Wa-waalaikumussalam. Niha, bagaimana kabarmu? Akhirnya kamu datang juga.” Matanya menyorot lembut ke arahku. Sementara bibirnya terus menyunggingkan senyum. Pria itu mengulurkan tangan. Aku membalas dengan me
Ternyata, mereka adalah ustaz dan ustazah utusan dari pesantren Nizam. Aku tersenyum lebar kala menyapanya.“Assalamualaikum, Mbak Niha. Kami datang ke sini untuk memesan seragam untuk para santri,” ujar salah seorang dari mereka setelah aku menyalami dan duduk.“Masyaallah, terima kasih karena sudah mempercayakan seragamnya kepada kami. Ustaz dan Ustazah sampai datang jauh-jauh dari Bandung,” ucapku penuh haru.“Saya sering mendengar tentang Mbak dari abah, umi, dan Nizam. Kata Nizam, kakaknya bekerja di sebuah konfeksi besar. Ternyata malah ownernya. Kami juga membaca ulasannya di Goo**e, ternyata memang bagus. Banyak yang merekomendasikan. Kebetulan sekolah dan pondok juga butuh seragam. Makanya kami ke sini. Biasanya kami memberikan kain buat dijahit wali santri sendiri, tapi tahun ini mau nyoba yang beda. Biar nanti jadi perbandingan lebih efisien yang mana.” Salah seorang ustazah menjelaskan.“Alhamdulillah. Saya bukan owner, hanya menjalankan saja. Konfeksi ini milik mertua say