Part 60

Maaf sebenarnya ini bab 59, tapi karena emak salah update dan tidak bisa diperbaharui sendiri jadi emak kasih gratis!

***

"Mbak Andar baik-baik saja 'kan? Soalnya wajah Mbak pucet benget!" tanya Mbak Neti ketika aku menghampirinya di dapur.

"Saya baik-baik saja, Mbak. Terima kasih atas perhatiannya." Mengulas senyum tipis sambil mengenyakkan bokong perlahan di kursi meja makan.

"Mau dibuatin sarapan apa, Mbak?"

"Nggak usah repot-repot. Aku belum laper."

"Ya Allah, Mbak. Mbak Andar udah beberapa hari ini suka telat makan dan kadang sampai seharian nggak masuk makanan apa-apa, lho. Aku takut Mbak Andar sakit. Apalagi Mbak ini 'kan punya penyakit asam lambung. Tolong perhatikan kesehatan Mbak juga. Aku nggak mau sampai Mbak Andar kenapa-kenapa."

"Ya sudah. Buatkan saya roti bakar dan susu hangat. Daripada kena ceramah Mbak Neti terus!"

Wanita yang sudah mengabdi kepadaku selama hampir tujuh tahun itu tersenyum penuh kemenangan. Dia memang begitu memperhatikan kesehatatku. Mungkin merasa repot sebab setiap kali aku sakit maka sifat manjaku akan keluar.

Baru saja menggigit ujung roti, gawai milikku sudah terdengar menjerit-jerit. Ada panggilan masuk dari Dahlia.

Segera mengambil benda pipih persegi berukuran enam inci itu lalu menggeser ikon hijau dan mendekatkannya di telinga, menyapa calon adik ipar dengan salam.

"Rin, ke rumah sekarang. Penting!" ucapnya terdengar serak seperti sedang menahan tangis.

"Ada apa, Dahlia? Kenapa suara kamu terdengar sedih begitu?" tanyaku penasaran.

"Ke rumah saja sekarang biar kamu tau jawabannya."

Rabb...

Ada apa lagi? Apa Bang Azhar sudah ditemukan, atau, malah justru Ummi kenapa-kenapa karena kemarin saat aku pulang keadaannya sudah sangat memprihatinkan?

Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang bersarang dalam benak, dan hanya bisa dijawab jika aku sudah berada di rumah calon mertua.

Rumah yang ditinggali Ummi terlihat begitu ramai ketika aku sampai. Ada beberapa orang tetangga yang sudah berkumpul, termasuk pak RT juga Ustadz Samsul beserta istrinya di sana. Bendera kuning juga berkibar di setiap sudut gang, juga di pintu masuk rumah Bang Azhar.

Inalillahi wainnailaihi roji'un...

Lutut ini seketika lemas seperti tidak bertulang ketika melihat nama yang tertera di kertas kuning khas orang berduka cita itu, karena di sana terdapat nama Revandy Azhar Wilantara.

Kamu tega ninggalin aku, Bang? Bagaimana dengan pernikahan kita. Bagaimana dengan mimpi kita untuk membina biduk rumah tangga bersama.

Kamu bohong! Kamu bilang akan kembali secepatnya. Kamu juga sudah berjanji akan menjaga aku selalu dan menua bersama. Kamu ingkar janji, Bang. Kamu bohong!

Tanpa dikomando air bah nan asin berlomba-lomba jatuh melewati pipi. Padanganku mengabur lalu berubah menjadi gelap.

"Rini, ya Allah!" Aku sempat mendengar suara Arjuna dan merasa tubuh ini sedang melayang di udara, juga mencium wangi tubuhnya begitu dekat di hidung.

"Rin, Andarini!" Seseorang menepuk-nepuk pipiku pelan. Bau minyak kayu putih begitu menyengat membuatku ingin muntah sebab tidak tahan dengan aromanya.

Bang Azhar tersenyum ketika aku membuka mata. Ditatapnya wajah ini dengan penuh cinta, dan aku membalas senyuman itu meski tubuh terasa tidak bertenaga.

"Bang Azhar," panggilku pelan.

"Istighfar, Sayang. Istighfar." Tangan lembut Ustazah Hausiah mengusap pipi ini. "Kamu harus ikhlaskan kepergian calon suami kamu. Mungkin kalian belum jodoh!"

Air mata kembali merebak dari balik kelopak. Direngkuhnya tubuh mungil ini, diusap perlahan oleh guru spiritualku mencoba menenangkan hatiku yang tengah dilanda duka.

Suara sirine ambulan terdengar semakin mendekat. Suasana duka semakin terasa ketika empat petugas menggotong sebuah peti jenazah, meletakkannya di ruang tamu dan aroma harum bunga tiba-tiba menguar di udara.

Ummi menangis histeris menyambut kedatangan putranya yang bahkan di saat terakhirnya saja kami tidak boleh melihatnya.

***

Disambut gerimis halus yang turun dari langit, aku melangkah meninggalkan makam Bang Azhar. Menyeka air mata yang rasanya tidak pernah kering akhir-akhir ini.

Padahal, sudah hampir satu bulan dia dikebumikan, tapi entah mengapa aku merasa kalau dia masih ada dan semakin dekat denganku. Aku menyesal karena dulu telah mengabaikan dirinya dan terus memikirkan orang lain. Sekarang, setelah dia pergi, perlahan cinta menelusup dalam hati lalu bertahta di singgasananya.

Mengapa setelah tiada baru terasa? Apa seperti ini cara Tuhan menghukum diriku yang sudah mengabaikan perasaan laki-laki soleh seperti dia?

"Rin, aku mau bicara!" Seorang laki-laki berambut panjang berjalan menghampiri diriku yang baru saja keluar dari gerbang pekuburan. Aku mengabaikan panggilannya karena aku rasa sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. "Rin, Andarini. Tunggu!" Dia mencekal lenganku dan mencengkeramnya erat.

"Lepas. Atau aku akan berteriak!" Ancamku sambil menatap sinis.

"Teriak saja, Rin. Aku tidak takut."

"Apa mau kamu, Mas?"

"Manikahi kamu, untuk menebus dosa yang sudah aku perbuat sama kamu dulu!"

"Tidak perlu. Aku tidak mau punya suami seperti kamu, Mas."

"Rin, dengarkan penjelasan aku dulu. Waktu itu aku khilaf. Aku minta maaf!"

"Minta maaflah sama Allah, Mas. Bertaubatlah!" Aku menepis tangan Arjuna secara kasar dan segera masuk ke dalam mobil.

Sepanjang perjalanan menuju rumah aku merasakan pusing luar biasa karena terus saja menangis. Fakusku mengemudi juga sedikit pecah dan hampir saja menabrak pengendara lain jika tidak segera menginjak pedal rem.

"Astaghfirullahaladzim..." Mengusap wajah kasar lalu menepikan kendaraan roda empatku di bahu jalan dan segera menghubungi Om Risman untuk menjemput.

***

"Mbak, tolong buatkan teh hangat ya. Perut aku mual banget!" perintahku kepada Mbak Neti.

Entah mengapa akhir-akhir ini perut terasa begitu mual, apalagi jika di pagi hari. Apa asam lambungku kumat karena sering sekali terlambat makan?

Huek!

Huek!

Membekap mulut sambil berjalan cepat menuju wastafel, memuntahkan semua isi perut hingga kerongkongan terasa pahit.

"Ini tehnya, Mbak. Silakan diminum untuk mengurangi rasa mual!"

Aku mengambil cangkir yang disodorkan Mbak Neti dengan tangan gemetar. Kapalaku tiba-tiba berputar seperti gasing dan seluruh penjuru ruangan terasa gelap. Badan ini seperti sedang ditarik ke dasar tanah hingga aku terjatuh karena tidak bisa menyeimbangkan tubuh.