"Kalian memang calon pasangan pengantin yang serasi. Perempuannya cantik, laki-lakinya tampan. Sempurna!" Puji Mbak Rania lagi.
"Tapi perempuan paling cantik di dunia ini hanya kamu, Umm." Tiba-tiba Bang Hamzah--suami Mbak Rania muncul dan mencium pipi istrinya, mengelus perut perempuan berhijab panjang menjuntai itu memerkan kemesraan di hadapan kami.Aku dengar cerita dari Tante Nafsiah juga kalau dulu sebelum menikah dengan Bang Hamzah Mbak Rania harus melewati serangkaian cobaan hidup. Dia ditalak saat hamil oleh suaminya karena difitnah telah berzina sebelum menikah, dan yang lebih menyakitkan lagi Mas Azis suami Mbak Rania yang pertama tidak mau mengakui kalau dia ayah dari anak yang ada di dalam kandungan Mbak Rania.Aku harus bisa bangkit seperti dia dan mendapatkan kebahagiaan yang baru.Bismillah... Semoga kelak bisa seperti mereka berdua. Romantis, harmonis apalagi jika nanti Allah memberiku kesempatan mengandung seorang anak. Ah, tiba-Kembali mengancing baju, berjalan menjauh meninggalkan Rini yang sedang menangis di pojok ruangan sambil memeluk lututnya. Aku harap setelah pembuktian cinta ini dia mengerti bahwa aku begitu mencintai dia walaupun tidak bisa menguraikannya dengan kata.Tangis wanita itu mendominasi ruangan yang begitu besar serta sepi karena hanya dihuni oleh dia dan asisten rumah tangganya.Sekali lagi menoleh menatap perempuan berkulit putih cenderung pucat itu, tidak tega melihat tubuhnya yang gemetar dan masih terisak di pojokkan ruangan.Maaf karena aku sudah menyakiti hati kamu, Rini. Tapi setidaknya setelah kejadian malam ini kamu mengerti betapa aku mencintaimu dan menginginkan kamu.Sambil menahan rasa sesak di dada keluar dari rumah Andarini, menerobos hujan lalu masuk ke dalam mobil terus mengawasinya dari luar. Hingga pagi menyapa dan kulihat Mbak Neti kembali ke rumah Rini, diantar oleh laki-laki yang mungkin suami asisten rumah tangga di rumah itu.
#AndariniPonsel yang tergeletak di atas kasur terdengar berbunyi nyaring. Aku berjingkat kaget dan segera menyambar benda pipih persegi berukuran enam inci itu, melihat siapa yang memanggilku pagi-pagi seperti ini. Bang Azhar.Kenapa dia memanggilku dengan panggilan video? Padahal selama ini dia tidak pernah melakukan hal seperti itu. Takut zina mata karena melihat kecantikan aku. Itulah yang dikatakannya selalu.Tanpa melepas pakaian shalat kugeser ikon hijau. Menayapa si penelepon dengan salam sambil berusaha mengulas senyum walaupun masih ada duka dalam hati mengingat apa yang terjadi dan dilakukan Arjuna kemarin malam."Baru selesai solat, Dek?" tanya calon suami dengan senyum merekah indah di bibirnya."Iya, Bang. Abang udah mau jalan?" Berbasa-basi."Hu'um. Doain Abang ya, Dek.""Pasti, Bang. Adek doakan semoga Abang selamat sampai tujuan dan cepet pulang lagi ke tanah air.""Aamiin, Sayang.""Om
"Iya, Ummi. Rini sarapan dulu ya, Umm." Aku menjawab dengan intonasi kubuat selembut mungkin."Iya, Sayang. Hati-hati di jalan."Ummi kemudian memutuskan sambungan telepon dan aku segera kedapur menyantap nasi goreng yang masih mengepulkan uap putih. Hambar. Mungkin karena suasana hati sedang dilanda gelisah, sebab begitu mengkhawatirkan calon suami setelah melihat berita pagi di televisi.Semoga saja dia tidak termasuk penumpang pesawat yang hilang kontak tersebut.Ting!Sebuah notifikasi pesan masuk ke aplikasi berwarna hijau milikku. Dari Devi.[Mbak, sudah liat berita?] Isi pesan dari Devi.[Sudah. Tapi nggak aku lanjutkan.] Send, Devi Bawel.[Mbak coba nyalain lagi televisi di rumah Mbak, deh. Ada nama Bang Azhar di sana, Mbak]Deg!Aku langsung menghentikan aktivitas menyendok nasi. Nafsu makanku menguap seketika bersama berita yang dikabarkan oleh Devi.Gegas kembali m
"Aku tidak sengaja menjatuhkan piring. Aku minta maaf!" ucapku seraya berjongkok dan memunguti serpihan kaca yang hancur. Persis seperti hatiku saat ini."Biar nanti Mbak Wenti yang membersihkan, Rin. Sepertinya keadaan kamu juga sedang kurang baik. Wajah kamu pucat." Dahlia menghampiri, menatap prihatin ke arahku."Aku nggak apa-apa, Dahlia. Kamu jangan mengkhawatirkan aku. Terima kasih Mas Juna sudah membantu." Aku milirik sekilas wajah Arjuna yang sedang berdiri di tempatnya tanpa bergeming sedikit pun.***Sudah hampir satu pekan kecelakaan pesawat itu terjadi. Tapi, aku belum juga mendapatkan kabar apa pun tentang Bang Azhar. Nomer ponsel calon suami juga sulit sekali dihubungi karena selalu berada di luar jangkauan.Aku begitu kasihan melihat keadaan Ummi yang jadi sering sakit-sakitan karena terus memikirkan keadaan putra sulungnya, terlebih lagi jika menatap wajah kedua putri calon suami yang masih terlalu kecil jika harus kehilangan kedua orang tuanya.Di setiap sujud serta d
Membuka mata perlahan, menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang begitu menyilaukan. Kepalaku masih terasa berdenyut dan punggung tanganku, kenapa ada jarum infus yang menancap?Krieeett...Terdengar derit pintu terbuka, disertai suara langkah kaki mendekat. Seraut wajah tampan nan menyebalkan muncul dengan ekspresi datar seperti biasanya."Kamu ngapain ada di sini, Mas?" tanyaku pelan, hampir tidak terdengar karena tenaga ini seolah terkuras habis."Nemenin kamu, Rin. Tadi pas aku datang ke rumah kamu pingsan. Mbak Neti sudah berkali-kali mencoba membangunkan kamu tapi mata kamu tetap terpejam. Makanya aku bawa kamu ke rumah sakit," jawabnya seraya terus memindai wajahku.Huek!Huek!Aku membekap mulut saat tiba-tiba hasrat ingin muntah kembali datang. Arjuna segera membantu mendudukkanku, mengambil kresek yang entah dari mana dia dapat lalu menyodorkannya kepadaku."Apa kamu sedang hamil, Rin?" Pertanyaan dari Arjuna sontak membuatku seketika membeku. "Hamil?" "Iya. Apa kamu pern
Maaf sebenarnya ini bab 59, tapi karena emak salah update dan tidak bisa diperbaharui sendiri jadi emak kasih gratis!***"Mbak Andar baik-baik saja 'kan? Soalnya wajah Mbak pucet benget!" tanya Mbak Neti ketika aku menghampirinya di dapur."Saya baik-baik saja, Mbak. Terima kasih atas perhatiannya." Mengulas senyum tipis sambil mengenyakkan bokong perlahan di kursi meja makan."Mau dibuatin sarapan apa, Mbak?""Nggak usah repot-repot. Aku belum laper.""Ya Allah, Mbak. Mbak Andar udah beberapa hari ini suka telat makan dan kadang sampai seharian nggak masuk makanan apa-apa, lho. Aku takut Mbak Andar sakit. Apalagi Mbak ini 'kan punya penyakit asam lambung. Tolong perhatikan kesehatan Mbak juga. Aku nggak mau sampai Mbak Andar kenapa-kenapa.""Ya sudah. Buatkan saya roti bakar dan susu hangat. Daripada kena ceramah Mbak Neti terus!"Wanita yang sudah mengabdi kepadaku selama hampir tujuh tahun itu tersenyum penuh kemenangan. Dia memang begitu memperhatikan kesehatatku. Mungkin merasa r
Bukankah kamu tau hukumnya menyentuh perempuan yang bukan mahramnya, Mas. Apa kamu nggak takut sampai Tante Dewi tau dan dia marah sama kamu!""Ibu tidak akan pernah tau. Dia tidak melihat apa yang sedang kita lakukan.""Tapi Allah melihat! Allah akan melaknat kamu!"Arjuna mengendurkan pelukannya dan menatap sendu wajah ini."Aku mohon, Rin. Batalkan pernikahan kamu dan Azhar. Menikahlah denganku, atau aku akan melakukannya sekarang juga supaya kamu terikat denganku!""Mas!! Kamu jangan nekat. Aku benci sama kamu Mas Juna. Benci!" Memukul-mukul dada laki-laki yang da di hadapanku, mendorong tubuhnya kemudian duduk sambil memeluk lutut di pojok ruangan sambil menangis. Kecewa dengan kelakuan Arjuna, juga bimbang karena jujur dalam hati hanya dia yang aku cinta. Bukan Bang Azhar."Rin, kenapa melamun?" Tangan kekar itu terulur dan menyentuh lembut bahuku."Jangan sentuh lagi! Aku mohon!" sentakku spontan. "Aku tidak akan
"Hayo jalan, Calon istriku. Apa mau aku gendong?" ucap Arjuna seraya menoleh menatapaku."Gosah. Ngapain digendong. Keenakan kamunya nanti gendong-gendong anak orang!" sungutku kesal."Abis jalannya kaya keong emas. Lama banget, bikin calon suaminya tidak sabar liatnya!""Calon suami! Calon suami! Lagian, memangnya kita mau ke mana sih, Mas?""Toko perhiasan. Cari cincin buat mas kawin!""Mas, kamu ini seriusan mau nikahin aku?""Iya.""Tapi kalo aku nggak mau?""Maksa.""Jawabnya singkat amat, Mas."Dia menoleh sekilas dan menarik bibir sedikit. Mungkin kalo tersenyum lebih lebar takut susuknya lepas. Lagian orang ngaku calon suami tapi nggak ada senyum-senyumnya sama sekali, kaya orang dipaksa nikah. Padahal dia dan ibunya yang memaksa aku untuk segera dihalalkan."Kamu nggak bisa senyum apa, Mas?" protesku karena merasa bosan melihat ekspresi datar Arjuna. Padahal sering sekali aku
"Rini kenapa, Juna?" tanya Ibu terlihat panik saat melihatku sudah basah. "Buruan, ambilkan dia baju yang baru. Kamu istrinya basah begini bukannya diganti bajunya malah didiemin!""Tapi Juna panik, Bu. Makanya langsung panggil Ibu tanpa mikir ganti bajunya Rini dulu." Arjuna menjawab sambil mengayunkan kaki menuju lemari, mengambilkan daster yang baru dan membantuku menukar pakaian.Aku menggigit bibir ketika tiba-tiba rasa nyeri kembali menyerang. Rasanya luar biasa sekali sakitnya, lebih terasa dari yang aku rasakan tadi."Ayo kita ke klinik bersalin, Jun. Sepertinya istri kamu mau melahirkan!" ajak Ibu sambil membuka lemari pakaian bayi, memasukkan barang-barang yang dibutuhkan di klinik nanti ke dalam tas."Sakit, Mas!" pekikku sambil memeluk pinggang suami yang sedang berdiri tepat di depanku duduk.Wajah Arjuna terlihat sekali menegang. Dia terus saja membelai rambutku yang terikat rapi, menautkan kepala ini di perut roti sobeknya
***"Gendut, sudah makan belum?" Aku mengerucutkan bibir manja saat mendengar suami memanggilku gendut. Kayaknya dia seneng banget bikin istrinya ngambek. Dulu pengen liat aku gendut tapi, giliran perut ini sudah membukit, malah dia seneng banget memanggil gendut."Jangan cemberut, dong. Kamu itu gendut tapi menggemaskan. Bikin Babang Arjuna bertambah cinta. Kamu tau, setiap lagi kerja aku itu selalu inget sama kamu. Kangen banget rasanya kalo berjauh-jauhan!" Dia memelukku dari belakang dan menautkan dagunya di pundak."Habis Mas panggil aku gendut terus!""Itu panggilan sayang, Cantik.""Kamu jangan bikin mood istri kamu ancur terus kenapa sih, Juna. Istri kamu itu lagi hamil. Harus dibahagiakan. Orang seneng banget ledekin istrinya!" sungut Ibu membela seperti biasa."Iya, Deh. Yang udah punya mantu dan mau punya cucu. Sekarang aku dilupakan dan tersisih!" protes suami."Dasar baperan!" Ibu mencubit hidung A
"Kamu mau ngapain bumil?" tegur Ibu ketika melihat aku sedang menyapu halaman."Nyapu, Bu. Bantuin Ibu," jawabku seraya melengkungkan bibir."Nggak boleh. Mulai sekarang kamu nggak boleh ngapa-ngapain. Semua pekerjaan biar Ibu yang pegang. Ibu nggak mau terjadi sesuatu sama calon cucu Ibu kalo kamu sampe kelelahan.""Ya enggak dong, Bu. Kan Rini cuma nyapu. Masa iya Rini suruh diem aja liat Ibu sibuk. Kayaknya nggak enak banget gitu Bu diliatinnya.""Pokoke nurut sama Ibu!"Aku menghela napas berat. Selalu saja begitu. Semenjak aku positif hamil, gerakkanku jadi di batasi. Nggak boleh ini, nggak boleh itu, semuanya dilarang oleh Ibu dan suami."Jangan melamun. Masih pagi. Mendingan jalan-jalan pagi saja sama aku yuk!" ajak suami seraya merentangkan tangan dan segera kusambut tangannya itu. "Bu, Juna ajak Rini jalan-jalan sebentar. Mau cari udara pagi!""Jangan jauh-jauh. Awas istri kamu kecapean!" "Siap, Komand
***Pagi-pagi sekali membantu Ibu menyapu halaman lalu mencuci piring. Semenjak menikah aku memang sering belajar melakukan pekerjaan rumah tangga, karena tidak mungkin mengandalkan ibu mertua terus. Apalagi Ibu itu termasuk orang yang tidak mau diam. Ada saja yang dikerjakan, dan dia selalu menolak jika kutawari jasa asisten rumah tangga. Dia hanya membayar buruh cuci dan setrika saja, sedangkan seperti beberes rumah dan memasak akan dia kerjakan sendiri."Capek, Cantik?" tanya suami seraya menyodorkan segelas teh hangat."Mayan. Tapi aku seneng bisa bantu Ibu." Menyeka keringat dengan lengan dan meneguk air beraroma melati yang disuguhkan suami."Kamu memang wanita luar biasa. Nggak salah aku memilih kamu jadi pendamping hidup. Insya Allah aku akan selalu menyayangi dan mencintai kamu sampai raga tidak lagi dikandung badan."Aku menerbitkan senyuman."Ternyata kamu bisa manis juga, Mas. Aku pikir setelah menikah bakalan tetep k
"Mas, kamu mau makan dulu apa mau bagaimana? Aku sama Ibu tadi masak sayur asem sama bikin sambel pete. Enak deh!" ucapku mencoba menghilangkan rasa grogi yang bertengger dalam hati."Aku nggak lapar, Cantik. Aku maunya makan kamu!" Tangan kekar suami terulur mengusap lembut pipi ini, membuat aliran darahku melaju semakin kencang juga memanas seketika. "Aku mencintai kamu, Cantik," bisiknya lagi sambil menarik tubuhku dalam pelukannya."Kunci pintu dulu, Mas. Soalnya biasanya Ibu suka masuk ke dalam kamar kalau aku lagi sendirian. Ibu nggak tau 'kan kalau kamu sudah pulang?""Oke, Cantik." Dia beranjak dari duduknya lalu mengunci pintu dan kembali mendekat ke arahku.Aku mencoba bersikap biasa saja menghadapi perlakuan dari suami. Meski ini bukan yang pertama kali buatku, tetapi rasanya tidak kalah deg-degannya seperti saat baru menikah dengan Mas Hakam dulu."Apa aku boleh memiliki kamu seutuhnya, Andarini?" Suara Arjuna terdengar semaki
Mematikan ponsel, meletakkannya sembarangan lalu membungkus tubuh dengan selimut.Aroma tubuh suami yang menempel di sprei serta sarung bantal membuat hati ini kian merindu, ingin segera bertemu dan menyerahkan segalanya kepada dia. Mungkin jika sudah melakukannya aku akan dianggap berarti dan tidak diabaikan seperti ini. "Rin, Sayang. Juna nelepon. Katanya mau bicara sama kamu." Aku terkesiap dan lekas membuka mata saat Ibu mengusap lembut bahuku yang tengah terlelap mengarungi samudera mimpi."Mas Juna nelepon? Ke nomer Ibu?" "Iya. Katanya nomer kamu nggak aktif. Ya sudah. Ibu keluar dulu." Perempuan berambut sebahu itu tersenyum dan segera berlalu dari hadapanku."Sayang, maaf ya. Suamimu lupa kalo udah punya istri. Seriusan. Makanya aku cuma ngabari Ibu dan nggak ngabari kamu!" Arjuna malah tertawa ngakak. Menyakitkan."Sudah biasa, Mas. Ya sudah kalau begitu aku mau tidur. Nggak usah ganggu!" "Jangan ngambek dong
Aku membuka pintu perlahan lalu melongok menatap Arjuna yang sedang duduk menyandar di headboard dengan keadaan sudah bertelanjang dada, menunjukkan dada bidangnya yang terbentuk serta berotot itu."Mas!" panggilku ragu."Iya, Rin. Ada apa?" Dia menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit sekali diartikan. Senyum kembali tergambar di bibir plum suami yang dulu selalu terlihat kaku di hadapanku."Sini dulu sebentar!" Aku melambaikan tangan."Oh! Kamu maunya main di kamar mandi?" Ish! Apa-apaan sih? Otaknya malah jadi mesum.Laki-laki berambut gondrong itu kemudian turun dari tempat tidur, menghampiri diriku yang tengah berdiri di dalam toilet dengan seringai aneh. Duh, kasihan sekali dia. Padahal dari tatapannya sudah terlihat jelas kalau dia ingin meminta haknya. Tapi apa mau dikata, tamu ini datang tak diundang tepat di malam pertama kami. "Ada apa, Cantik?" tanyanya dengan suara serak dan bergetar.
"Hayo jalan, Calon istriku. Apa mau aku gendong?" ucap Arjuna seraya menoleh menatapaku."Gosah. Ngapain digendong. Keenakan kamunya nanti gendong-gendong anak orang!" sungutku kesal."Abis jalannya kaya keong emas. Lama banget, bikin calon suaminya tidak sabar liatnya!""Calon suami! Calon suami! Lagian, memangnya kita mau ke mana sih, Mas?""Toko perhiasan. Cari cincin buat mas kawin!""Mas, kamu ini seriusan mau nikahin aku?""Iya.""Tapi kalo aku nggak mau?""Maksa.""Jawabnya singkat amat, Mas."Dia menoleh sekilas dan menarik bibir sedikit. Mungkin kalo tersenyum lebih lebar takut susuknya lepas. Lagian orang ngaku calon suami tapi nggak ada senyum-senyumnya sama sekali, kaya orang dipaksa nikah. Padahal dia dan ibunya yang memaksa aku untuk segera dihalalkan."Kamu nggak bisa senyum apa, Mas?" protesku karena merasa bosan melihat ekspresi datar Arjuna. Padahal sering sekali aku
Bukankah kamu tau hukumnya menyentuh perempuan yang bukan mahramnya, Mas. Apa kamu nggak takut sampai Tante Dewi tau dan dia marah sama kamu!""Ibu tidak akan pernah tau. Dia tidak melihat apa yang sedang kita lakukan.""Tapi Allah melihat! Allah akan melaknat kamu!"Arjuna mengendurkan pelukannya dan menatap sendu wajah ini."Aku mohon, Rin. Batalkan pernikahan kamu dan Azhar. Menikahlah denganku, atau aku akan melakukannya sekarang juga supaya kamu terikat denganku!""Mas!! Kamu jangan nekat. Aku benci sama kamu Mas Juna. Benci!" Memukul-mukul dada laki-laki yang da di hadapanku, mendorong tubuhnya kemudian duduk sambil memeluk lutut di pojok ruangan sambil menangis. Kecewa dengan kelakuan Arjuna, juga bimbang karena jujur dalam hati hanya dia yang aku cinta. Bukan Bang Azhar."Rin, kenapa melamun?" Tangan kekar itu terulur dan menyentuh lembut bahuku."Jangan sentuh lagi! Aku mohon!" sentakku spontan. "Aku tidak akan