Esoknya Nadin merasakan nyeri hampir di seluruh tubuhnya, ia bangun dan merasakan kepalanya pening, setelah memeriksa keadaan tubuhnya sendiri, sepertinya ia demam. Ia ingin kembali berbaring di tempat tidurnya tapi dering ponsel membuatnya urung.
"Halo!" ia menjawab panggilan dari nomor yang tidak dikenalnya."Saya Selfi, kenapa sudah jam segini tapi anda belum ke kantor?" ucap Selfi di seberang sana."Maaf Bu, saya sedang sakit demam" ucap Nadin terdengar lemah."Jangan banyak alasan, segera datang ke kantor, sekarang juga" suara di seberang berubah, ia tahu itu Ronald."Tapi saya sedang sakit, Pak. Bolehkah saya...." Ucapan Nadin terpotong."Saya tidak akan menerima alasan apapun." ucapnya sarkas, bunyi Tut tiga kali mengakhiri obrolannya.Dengan terpaksa ia pergi ke kantor, sebelum berangkat ia memaksakan diri menelan beberapa suap makanan untuk sarapan lalu dalam perjalanan ia mampir ke apotek untuk membeli beberapa butir obat penurun panas dan pereda nyeriTiba di pelataran kantor, ia kembali memandang gedung yang menjulang tinggi di depannya, rasa kagum seperti sebelumnya sudah mati, kini ia merasa akan memasuki neraka.Ia menyeret kakinya menuju pintu utama, tidak lupa ia menyapa satpam yang menjaga di sana, hari ini ia tidak lagi membutuhkan bantuan sekuriti karena ia sudah memiliki id card-nya sendiri. Ia menuju lift yang terlihat sangat jauh di matanya, padahal hanya berjarak lima meter saja, mungkin efek dari sakitnya."Kamu pikir, hukumanmu sudah selesai?" Gertak Ronald dengan angkuhnya, begitu melihat Nadin memasuki ruangannya, tapi saat melihat kondisi Nadin ada sedikit rasa iba yang membuatnya sedikit berkompromi."Maaf, Pak. Saya sedang kurang sehat karena itu saya terlambat." Ucapnya lemah. Ronald tidak melanjutkan untuk menghakimi keterlambatannya lagi."Aku tidak peduli, tunggu di luar sampai aku memberi perintah" ucapnya sedikit menurunkan suaranua, ia lalu menekuri layar ponselnya. Nadin menurutinya. Untungnya di luar ada sofa empuk milik sultan, ia mengistirahatkan tubuhnya disana.Beberapa saat kemudian tubuhnya menjadi lebih baik, mungkin efek dari obatnya sudah bekerja. Ia mendapat telpon dari ibunya, ia buru-buru ke toilet agar bisa berbicara dengan nyaman."Halo Bu!" Ucapnya setelah menyentuh ikon berwarna hijau dilayar ponselnya."Bagaimana kabarmu, Nad?" Ucap Bu Sinta terdengar khawatir."Aku baik-baik saja Bu, aku sedang menikmati kemewahan kantor Bramasta" ucapnya tidak ingin membuat ibunya khawatir."Kamu di toilet ya, Nad?" selidik Bu Sinta, ia mengamati ruangan di belakang Nadin."Iya, Bu. Nadin takut mengganggu yang lain, kalau Nadin mengangkat telpon di meja kerja" ucap Nadin berbohong."Kenapa kamu kelihatan pucat? kamu sedang sakit, Nad?" Bu Sinta menyadari keadaan Nadin, dengan cepat Nadin menggeleng, ia sengaja tidak memakai apa-apa di bibirnya agar Ronald memberinya keringanan, dan itu berhasil."Tidak, Bu. Nadin baik-baik saja, mungkin karena Nadin tidak memakai make up, makanya kelihatan pucat" Nadin membuat alasan seadanya, yang penting ibunya percaya."Oh begitu? Syukurlah kalau kamu tidak apa-apa, tapi kau harus tetap berhati-hati ya, Nad. Jangan sampai ketahuan keluarga ayahmu" ucap Bu Sinta."Iya, Bu. Nadin akan berhati-hati, Nadin bisa jamin tidak akan bertemu dengan keluarga ayah.." ucap Nadin, ingin meyakinkan ibunya, ia tidak akan bercerita tentang Ronald, lagi pula ibunya tidak mengenal Ronald."Ya sudah, nanti ibu telpon lagi" ucap Bu Sinta ingin mengakhiri obrolannya."Iya Bu" Balas Nadin."Oke Sayang!" Bu Sinta melambai sebelum wajahnya menghilang dari layar ponsel Nadin.Selama Nadin melakukan panggilan dengan ibunya melalui video call, ia tidak tahu ada yang memperhatikan dan menguping pembicaraannya."Jadi kamu tidak ingin membuat ibumu khawatir? Sayang sekali, rasanya tidak seru kalau pemeran utama tidak merasakan hukuman juga" Gumam Ronald menyeringai tajam, ia tidak puas hanya menyiksa Nadin, ibunya juga harus merasakan penderitaan, karena kesalahan sebenarnya disebabkan oleh Bu Sinta, juga Pak Dion, Nadin hanyalah korban."Dari mana saja kamu? Bukannya sudah kubilang tunggu sampai aku memberi perintah?" tanya Ronald, pada kenyataannya itu hanya basa basi, ia sedang berdiri sambil melipat tangan di depan pintu ruangannya. Sebenarnya itu pemandangan yang sangat bagus, tapi mengingat perlakuannya yang tidak manusianya membuat Nadin lebih baik mengutuk orang itu dari pada memujinya."Saya habis dari toilet, Pak" ucap Nadin."Ikut saya" titah Ronald, sambil melangkah masuk ke ruangannya, Nadin mengekor di belakangnya, ia memandang punggung Ronald yang kokoh dengan tatapan bengis.Ronald melangkah melewati mejanya, ia berhenti tepat di depan beberapa brankas besar yang berisi dokumen lama."Di dalam brankas ini adalah dokumen-dokumen lama, isinya cukup brantakan, aku mau kamu menyortirnya dan susun kembali sesuai tahun bulan dan tanggalnya, paham? Semuanya merupakan dokumen penting, jadi cukup lihat sampulnya saja di situ sudah tertera tanggal hingga tahunnya." Jelas Ronald, Nadin melongo dibuatnya, ia menghitung dalam hati, di depannya ada 12 brangkas. Ronald menyerahkan semua kunci brankas padanya, Nadin menerima itu dan mencoba membuka satu brankas, beberapa isinya berjatuhan ke lantai."Itu yang aku maksud, rapikan semuanya. Aku memberimu pekerjaan yang cukup ringan hari ini, karena aku tau kamu sedang sakit" ucapnya tampak menjengkelkan di mata Nadin."Ringan katamu? Semoga kau mati disambar petir" ucap Nadin, tentu saja dalam hati."Ada apa, cepat kerjakan" seru Ronald, kemudian melangkah ke mejanya, ia duduk lalu bersantai dengan ponselnya. Nadin ingin sekali benar-benar berteriak menyumpahinya.Sebenarnya Ronald tidak benar-benar memainkan ponselnya, ia sedang memikirkan cara untuk menghukum orang tua Nadin.Waktu terus berputar, Nadin masih setia dengan tugasnya, sementara Ronald terlihat masih santai, beberapa kali Selfi masuk mengantar dokumen untuk ditanda tangani olehnya, atau Selfi datang karena ada laporan penting yang harus ia sampaikan, begitu terus hingga waktu berlalu begitu saja, sampai tiba waktunya makan siang, Selfi datang lagi, kali ini ia menghampiri Nadin yang sedang sibuk di antara tumpukan kertas yang sebagian Sudah tertata rapi, ia membawa jatah makan siang untuk Nadin."Makanlah, aku sengaja meminta Selfi mengantarkan makan siangmu karena kamu sedang sakit. Oh iya, jangan lupa selesaikan tugasmu setelah makan" ucap Ronald tersenyum mengejek. Nadin ingin sekali menimpuknya dengan gulungan kertas."Baik, Pak. Terima kasih" ucap Nadin sambil tersenyum palsu. Ronald melihat itu, senyuman Nadin membuatnya kembali memikirkan Tari, ia melihat Tari di wajah Nadin, tapi itu wajar karena mereka adalah saudara,Tiba-tiba sebuah ide terlintas di otaknya."Nadin, menikahlah denganku" Ucap Ronald tiab-tiba, ia terdengar serius, Nadin terlongo bingung dibuatnya. Ronald akan menikahi Nadin untuk menggantikan Tari, ia akan menjadikan Nadin sebagai umpan untuk membalas orang tuanya."Anda baik-baik saja, Pak?" Tanya Nadin memastikan keadaan Ronald. Bahkan Selfi yang masih berada di ruangan itu terheran-heran dibuatnya."Aku serius, menikahlah denganku!"Nadin menatap Ronald tidak percaya, ia langsung menjawab tanpa berpikir dua kali."Maaf, Pak. Saya tidak bisa" Nadin menolak dengan yakin."Oh ya? ternyata kamu berani menolakku?" Ucap Ronald, ia hanya berbasa-basi, Nadin mau atau tidak ia akan tetap berniat menikahinya, "Coba sebutkan alasan kamu menolak!" tantang Ronald. "Bukannya sudah jelas alasannya, memangnya pernikahan semudah mengucapkannya? Pasti kau merencanakan sesuatu kan?" omel Nadin, tentu saja dalam hati, mana Berani dirinya mengomeli Ronald."Banyak alasannya, Pak. Pertama, ini terlalu tiba-tiba. Kedua, saya dan Pak Ronald tidak punya hubungan apa-apa selain bos dan karyawan. Ketiga tidak ada rasa cinta di antara kita, Pak. Sementara sebuah pernikahan harus dibangun dengan rasa cinta dan yang keempat, anda tau bagaimana rumitnya keadaan keluarga saya." jelas Nadin.Ronald tau alasan-alasan itu memang benar, adapun tentang cinta? sepertinya cintanya telah dibawa pergi oleh Tari karena ia benar-benar tidak memiliki cint
Setelah sepakat untuk menikah, Nadin akhirnya bekerja dengan layak, ia juga sudah mendapatkan meja kerjanya di kantor bagian marketing. Meski begitu, ia belum merasa senang dan tenang, karena dihantui oleh rencana Ronald yang akan menikahinya untuk balas dendam atas kematian Tari.Pak Dion secara kebetulan berkunjung ke kantor Bramasta. Nadin kaget melihat ayahnya memasuki kantornya, sebelum ketahuan ia segera bersembunyi di bawah kolong meja, orang-orang melihatnya bingung. Tapi orang-orang itu tidak sempat bertanya pada Nadin karena harus menyambut kedatangan orang yang paling terhormat di perusahaan itu. Nadin langsung menebak apa yang terjadi di atas sana. Benar, Pak Dion datang bersama Ronald."Di mana karyawan dari perusahaan Mega Food?" Ronald menanyakan tentang Nadin. Ia menyebutkan perusahaan Pak Bambang.Nadin semakin membungkukkan tubuhnya seraya memberi isyarat pada rekan kerja yang melihat ke arahnya, sayangnya arah pandangan rekan kerjanya itu sudah memberi petunjuk pada
Tiga bulan berlalu, waktu yang cukup untuk mengatur segalanya, sebenarnya Ronald selesai mengatur rencana pernikahan tanpa cintanya dalam waktu seminggu tapi ia memperlambat waktunya agar tidak terkesan buru-buru, ia memperkirakan waktu tiga bulan sudah bisa diterima akal untuk berpaling pada wanita lain setelah ditinggalkan kekasih.Ia akan mengatur pernikahan sebagaimana adanya, hal pertama yang ia lakukan adalah mengenalkan Nadin pada keluarganya. Ternyata keluarganya tidak begitu peduli dengan keputusannya, ia sudah tahu itu, ia memperkenalkan Nadin kepada mereka sebagai rasa hormat saja, meskipun pernikahannya bukan atas dasar cinta, tetap saja pernikahan adalah sesuatu yang dianggap sakral, mungkin mereka tidak begitu peduli karena selama ini Ronald dianggap pemberontak oleh ayahnya, begitu juga Ronald, ia tidak mengambil pusing tanggapan ayahnya karena mereka tidak sedekat itu.Berbeda dengan ibunya, wanita paruh baya itu sangat antusias mendengar putranya akan menikah, Ronald
Hari pernikahan yang harusnya indah dan mendebarkan itu akhirnya tiba. Seperti kesepakatan sebelumnya, mereka akan melangsungkan pernikahan di kota kediaman Nadin, karena itu keluarga Ronald menyewa penginapan termewah di kota itu dan tentu saja harganya tidak main-main, mereka tidak bertanya kenapa dan bagaimana, mereka hanya menuruti semua keputusan Ronald. Pernikahan Ronald dan Nadin akan berlangsung di hotel itu juga, menggunakan aula hotel yang masih layak disebut mewah.Adapun Nadin, ia kini berada di dalam salah satu ruang pengantin di hotel itu, wajahnya akan disulap seperti putri yang keluar dari dunia fairy tale oleh seorang perias handal, ia yang memilih konsep dan sebagainya, Ronald tidak peduli dengan itu, ia hanya bertanggung jawab untuk pembayarannya saja, harga dirinya bisa jatuh kalau Nadin juga yang membayar semuanya. Baginya pernikahan sudah tidak istimewa lagi karena pernikahan impiannya sudah terkubur dalam-dalam, ia hanya ingin acara pernikahan ini segera selesai.
Di tempat lain, Nadin masih sibuk mencari kamar melati yang di maksud Ronald. Ia sumringah saat menemukan pintu kayu dengan ukiran mewah bertuliskan Melati Room. Saat ia bingung harus bagaimana untuk membuka pintunya, seorang pelayan kabin yang dikhususkan bertugas di lantai VIP datang menghampiri."Apakah anda Nona Nadin?" ucapnya dengan sopan."Iya, saya Nadin" Balas Nadin."Ini keycard kamar anda, selamat beristirahat, Nona" ucapnya sopan seraya menyerahkan benda pipih berbentuk persegi panjang kepada Nadin."Iya, terima kasih." Balas Nadin, sang pelayan membungkuk memberi hormat lalu pergi.Nadin berhasil membuka kamar itu, tampaklah ruangan mewah dengan interior yang megah di dalamnya, ia merasa tidak sedang berada di atas kapal, ia tidak merasakan ada guncangan sama sekali. Setelah matanya menyisir seluruh ruangan dan mengaguminya, ia terpaku pada kasur king size, benda itu seperti menghipnotisnya, tiba-tiba ia merasakan matanya mengantuk ditambah tubuhnya yang lelah setelah seh
Nadin bangkit dari kasur lalu berjalan dengan lunglai menuju kamar mandi, ia masuk ke dalam bath up lalu menyalakan shower. Dengan perlahan ia merasakan dinginnya air yang menetes menembus pakaian yang masih menempel di tubuhnya, air matanya keluar bersamaan dengan itu."Apakah dosa orang tuaku begitu besar, Tuhan? Harusnya engkau tidak menciptakan aku dari mereka." Lirihnya sambil meraba pipinya yang perih. Ia juga membasuh bibirnya lalu menggosok tubuhnya dengan kasar, mengingat Ronald telah menyentuh di bagian itu. Ia menyalahkan dirinya yang terlalu lemah, ia harusnya bertahan untuk tidak menikah dengan Ronald, ia terlalu memandang enteng balas dendam yang akan dilancarkan Ronald padanya, dipikirnya laki-laki itu pasti tidak akan memberinya hukuman yang berat apalagi memukulnya. Lalu bagaimana nasibnya jika pernikahan ini tidak usai, apakah ia akan disiksa di sepanjang hidupnya? Ia menenggelamkan seluruh tubuhnya ke dalam bath up yang sudah dipenuhi air. Sepertinya ia ingin melaku
Katanya sedang berbulan madu, tapi tidak ada kesan bulan madu sama sekali, jangankan bulan madu, status sebagai suami istri saja tidak terlihat sama sekali. semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Ronald sibuk dengan cinta pertamanya sementara Nadin sibuk dengan eksplorasinya menjelajahi kapal pesiar, kapan lagi ia bisa mendapat kesempatan untuk memasuki kapal raksasa itu secara gratis. Jika mengandalkan dirinya sendiri, mungkin kapal raksasa itu hanya bisa dilihatnya dari layar ponsel dan berada di dalamnya hanya sebuah khayalan. Untuk membeli tiketnya saja sudah menghabiskan seluruh gajinya yang hanya belasan juta. Di dalam kapal pesiar Bramasta ada beberapa aktivity coordinator yang mengatur jadwal kegiatan setiap hari untuk penumpang biasa. Mereka menyediakan koran yang berisi jadwal itu. Mulai dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, mereka menyediakan aktivitas yang memungkinkan untuk dilakukan di atas kapal. Ada fasilitas olahraga seperti kolam renang anak-anak dan dewasa,
Setelah mengarungi lautan selama seminggu, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Semua penumpang turun dari kapal pesiar, tidak terkecuali Ronald dan Nadin.Nadin tampak bingung harus kemana, ia hanya mengekor di belakang Ronald agar tidak tersesat. Meskipun harus menyaksikan pemandangan yang sedikit menyayat hati. Ronald bersama Nata, mereka tampak ceria bersama. Ronald sesekali tersenyum menanggapi omongan Nata, kadang juga tertawa, mungkin sesuatu yang mustahil untuk ia dapatkan dari Ronald. Setiap laki-laki itu berhadapan dengannya, wajah dan sorot matanya menjadi penuh kebencian dan dendam."Sampai kapan kau mau mengikuti kami?" Ucap Ronald tiba-tiba berhenti. Membuat Nadin menabraknya. Nadin meringis dengan tampang kesal."Aku tidak tau harus kemana? Biarkan aku mengikutimu. Anggap saja aku orang lain, aku tidak akan mengganggu keharmonisan kalian." Ucap Nadin, Ronald menanggapinya dengan tatapan mengejek, sementara Nata tersenyum mendengarnya."Terserah kau saja," Ronald menyer
Bu Mary berhasil menyulap Nadin menjadi sangat cantik yang pada dasarnya memang sudah cantik."Sekarang ganti baju, di dalam paper bag ada baju dan sepatu, mamah mau kau memakainya," untungnya Nadin membawa pemberian mertuanya itu bersamanya, tadi ia tidak sempat menyimpannya. Ia mengambilnya lalu mengeluarkan isinya, ternyata Bu Mary memberinya barang branded."Nah, pakai itu sekarang dan buang baju kedodoran yang kau pakai itu" "Iya, Mah" balasnya dengan kikuk."Cantik sekali, ini baru menantu mamah" puji Bu Mary mengagumi menantunya."Beginilah harusnya penampilanmu sehari-hari," sambung Bu Mary.Diperlakukan sedemikian baik oleh mertuanya membuatnya berfikir, 'Seandainya putranya juga bisa sebaik ini?' suara Nadin di dalam hati.Setelah semuanya selesai, mereka turun ke bawah untuk meminta penilaian Ronald yang sedang menunggu mereka untuk sarapan, Bu Mary sangat bersemangat menanti pujian dari putranya."Bagaimana penampilan istrimu? Cantik 'kan?" Seru Bu Mary saat tiba di had
"Ada apa denganku?" Nadin berucap dengan lirih merenungi apa yang terjadi pada dirinya. Ronald tampak tidak peduli."Ah, kenapa aku tiba-tiba merasa panas begini?" Nadin membuka blezer yang menutupi dress yang ia kenakan sambil mengipas tubuhnya menggunakan tangan."Kau sedang apa?" Ronald menoleh ke arahnya dan memindai keadaannya. "Aku tidak tau, aku merasa sangat tidak nyaman dan seluruh tubuhku seperti akan mengeluarkan aliran listrik." Nadin mulai tidak sabar dan ingin menurunkan tali dress yang menggantung di bahunya."Hentikan itu! kamu mau telanjang di sini?" Ronald berkata sambil menurunkan kecepatan laju mobilnya, Nadin masih bisa menurut di antara kesadarannya yang mulai samar."Sudah kubilang, aku kepanasan, coba bantu aku meredakan ini." Ia menggigit bibirnya sambil mengacak rambutnya demi meredam gelanyar aneh yang hampir menguasai dirinya."Kau pasti salah meminum atau memakan sesuatu," Ronald mulai menebak apa yang terjadi pada Nadin. Ia kembali mempercepat laju mobil
Malam pun tiba, Nadin memasuki sebuah bangunan yang tidak begitu besar, tapi tatanannya yang estetik membuat nyaman berada di dalamnya. Ia mendekati meja yang sudah ada beberapa rekan kerja yang sedang menunggu, ia bersyukur karena tidak ada yang menyinggung masalah CEO mereka, mungkin belum karena perhatian mereka masih terfokus pada pemeran utama yang sedang berulang tahun belum hadir, tapi beberapa saat kemudian Pak Hery akhirnya tiba. Ferdi juga datang setelahnya."Hai, Fer!" sapa Nadin."Gimana? CEO kita bisa datang nggak?" bisik Ferdi, Nadin segera melotot padanya dan berkata, "jangan dibahas, aku sedang berharap mereka melupakannya" Nadin sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Ferdi agar semua orang tidak mendengar suaranya membuat Ferdi tertawa ringan."Ayo pesan menu-menu yang ada, kita akan berpesta malam ini" seru Pak Hery, sambil mengambil buku menu, ia memilih beberapa dan menawarkan kepada yang lainnya juga, seorang pelayan sudah bersiap mencatat setiap menu yang disebutk
Nadin telah kembali dari rumah sakit setelah mendapatkan perawatan selama dua hari, hanya Selfi yang selalu setia menemaninya selama dirinya dirawat, Selfi juga yang mengantarnya pulang saat ini, ia tidak memberitahu orang tuanya tentang keadaannya karena tidak ingin membuat mereka khawatir. Adapun Ronald, ia tidak pernah sekalipun datang menjenguknya, ia telah menyerahkan semua pengurusan Nadin kepada Selfi. Saat tiba di rumah Ronald, Nadin berniat langsung masuk ke kamarnya. Tapi ia menghentikan langkahnya saat berpapasan dengan Ronald, ia hendak tersenyum pada Ronald dan mengucapkan terima kasih, mengingat Ronald sudah menolongnya beberapa waktu lalu, tapi ternyata Ronald hanya menatapnya dingin itu pun hanya sejenak lalu pergi begitu saja, ia akhirnya menarik kembali guratan senyum yang hendak timbul serta membuang niatnya untuk mengucapkan terima kasih. Matanya memperhatikan kepergian Ronald dan melihat ada memar dan luka gores di tangan Ronald."Aku pikir dia sudah le
Hari telah berganti, Rencana Nadin agar terusir dari rumah Ronald gagal total, ia juga menyerah. Akhirnya ia pasrah menjalani kehidupannya.Hari ini ia kembali berangkat ke perusahaan untuk bekerja seperti biasanya. Berangkat sendiri menggunakan kendaraan umum. Berbeda dengan Ronald yang berangkat dengan kendaraan pribadi kadang dengan sopir kadang juga menyetir sendiri.Ketika mobil yang membawa Nadin tiba di depan kantor Bramasta, ia turun lalu membayar ongkosnya, saat mobil itu telah pergi, sebuah mobil lain bergerak ke arahnya, karena penasaran, ia menunggu mobil itu berhenti tanpa ada rasa curiga sama sekali. Saat mobil itu tiba tepat di depannya, orang dari dalam mobil membuka pintu dan menariknya masuk dengan paksa, ia sempat berontak dan berteriak tapi segera mulutnya disekap oleh orang yang berada di dalam mobil dan membiusnya hingga pingsan.Selfi mengetahui itu dari karyawan yang melihat kejadian, ia melaporkannya pada Ronald."Pak, ada yang melihat Bu Nadin, dibawa pergi ol
Satu Minggu telah berlalu. Selama seminggu itu Nadin sangat setia mengurus keperluan Ronald dengan telaten, ia juga menahan diri untuk melancarkan rencananya. Berkatnya Ronald bisa sembuh dengan cepat, gips di kakinya pun sudah dilepas, ia sudah bisa beraktivitas seperti biasanya. Hari itu ia mulai datang ke perusahaan, ia datang bersama Nadin, mereka datang bersama atas perintah Ronald, karena semua orang tau Nadin adalah istri yang merawatnya selama kakinya sakit. Semua orang tampak menunggu kedatangannya, mereka semua memberi ucapan selamat atas kedatangannya kembali ke perusahaan ataupun ucapan selamat atas kesembuhannya, tidak sedikit juga yang memberinya hadiah, ia menerima semua hadiah-hadiah itu lalu menyerahkannya pada Selfi untuk disimpan. Saat dirawat di rumah pun sudah banyak yang datang menjenguk tapi yang datang rata-rata para petinggi di perusahaan, salah satunya adalah ayah Nata. Semua orang hanya memperhatikan Ronald, ia seperti bulan di antara para bintang, sepertinya
Nadin mulai memikirkan cara agar dirinya bisa diusir dari rumah Ronald. Ia berpikir, dengan begitu Ronald akan melepaskannya dengan suka rela tanpa meninggalkan trauma dan menyakiti orang tuanya. Sebelum melancarkan misinya, Ia bertanya kepada para pelayan untuk mengumpulkan informasi, hal apa saja yang paling disukai dan paling dibenci oleh Ronald, ia berhasil mendapatkan beberapa info. Ia akan melakukan yang ringan-ringan dulu sebagai pemanasan. Ia akan melakukan rencana besarnya saat kaki Ronald sudah sembuh.Dari informasi yang ia dapatkan dari para pelayan di dapur, Ronald sangat tidak suka bubur ayam yang dicampur dengan kuah, dan ia akan menyiapkan makanan itu untuk sarapan Ronald. Ada juga informasi dari pelayan yang mengurus kebersihan, Ronald sangat tidak suka kalau ada basah di depan kamar mandi, ia bisa mengamuk jika menemukan hal itu, tapi Nadin malah meletakkan keset yang basah di tempat itu.Ronald telah terbangun di pagi hari, ia mengucek matanya lalu bangun kemudian be
Malam telah datang, Nadin memastikan seluruh keperluan Ronald sudah tersedia. Setelah itu, Nadin ke kamarnya sendiri untuk istirahat. Adapun Ronald, ia sudah tertidur lebih dulu. Tapi saat Nadin ingin tidur ia tidak bisa menutup mata, tiba-tiba saja ia merasa khawatir, seperti halnya seorang perawat yang khawatir pada pasiennya. Ia pun kembali ke kamar Ronald dan tidur di sofa.Saat tengah malam, suara Ronald membuatnya terjaga, sepertinya Ronald sedang mimpi buruk, nafasnya terengag-engah dan tubuhnya berkeringat dingin. Nadin buru-buru menghampirinya lalu membangunkannya."Ronald...! Hei!" Panggil Nadin sambil mengguncang tubuh Ronald, tapi Ronald tidak lantas bangun, ia pun meletakkan tangannya di sisi kiri dan kanan kepala Ronal lalu berteriak tepat di depan wajahnya."Ronald!! Bangunlah!" Panggil Nadin, lebih keras dari sebelumnya. Mata Ronald berhasil terbuka, ia menatap Nadin yang masih setia memegangi kepalanya dengan nafasnya yang masih terengah-engah."Kamu mimpi apa sih!?" S
Nadin susah payah membopong Ronald di sepanjang jalan, ia sempat memberikan tongkat pada Ronald agar bobot tubuhnya yang berat dan keras sedikit berkurang. Hingga akhirnya mereka tiba di tempat titik kumpul. Saat melihat keadaan Ronald, semua orang sigap memberi pertolongan, seseorang langsung menggantikan Nadin memapah tubuh Ronald, seseorang lagi sigap mengambilkan kursi, sementara itu Nadin langsung membiarkan tubuhnya menggelepar di tanah dengan nafas ngos-ngosan, layaknya ikan yang sedang butuh air. Ronald meliriknya dengan tatapan yang bercampur aduk, antara menahan sakitnya atau menertawakan Nadin, tapi jauh di dalam hati ada sedikit rasa kagum. Namun sedetik kemudian raut wajahnya berubah saat Ferdi mendekati Nadin, dan mengulurkan tangan untuknya."Kamu baik-baik saja?" Ucap Ferdi seraya membantu Nadin bangun."Iya! Aku hanya kelelahan setelah berjalan sambil menanggung beban yang sangat berat, bahkan hatiku ikut lelah membawanya." Sindir Nadin sambil melirik Ronald yang suda