Kehidupan berubah dengan satu kata penolakan, mengapa tidak? Semua orang ingin bahagia, itu sudah jelas. Namun tidak semua orang bisa mendapatkan kebahagiaan itu sendiri. Kebahagiaan tidak dicari, melainkan dibentuk. Memang kemana kita bisa mencarinya, selain dibentuk sendiri? Rasa bahagia muncul ketika semua keinginan itu bisa tercapai. Tetapi satu hal, rintangan akan selalu ada yang menghambat jalannya kebahagiaan. Kebahagiaan akan muncul dengan sendirinya, ketika kita bisa menerima dengan ikhlas apa yang telah terjadi.
Dikejauhan sana, di pesisir pasir putih dibawah rembulan purnama yang terang terduduklah seorang gadis dengan dress putihnya yang kusut. Tangan mungilnya terus melempari batu pada deburan ombak yang sedari tadi menatap kepiluannya dengan bisu. Hari sudah malam, bahkan sudah hampir pagi. Namun dirinya masih disini, di bawah langit biru yang hanya diterangi satu cahaya dunia. Baginya tiada tempat untuk pulang, kemana ia bisa pergi bahkan dunia bukan lagi miliknya. Mengingat hal itu, membuatnya membenci segalanya. Leana mengusap sudut matanya yang berair, dan tangan kecilnya mengepal erat kemudian ia lepaskan perlahan dan menatapanya lama."Kenapa? Aku tidak mempunyai banyak pertanyaan, tapi hanya satu! Kenapa ini terjadi padaku?" lirihnya sembari menatap kedua tangannya dengan mata yang berkaca - kaca, dan kemudian ia terisak hebat.Dunia terasa tidak adil, tapi Leana sadar jauh diluar sana masih ada orang yang lebih menderita daripada dirinya sekarang. Tapi ia hanya manusia biasa, yang mempunyai batas sabar, tidak pantaskah ia mengeluh atau meminta keadilan?Hidup adalah pilihan dan kita yang menentukannya sendiri, kemana akan melangkah. Tetapi dihidupnya hidup bukan lagi pilihan, melainkan dipilihkan. Bukankah itu tidak adil? Ayo katakan padanya bahwa itu tidak adil, setidaknya ia akan merasa bahwa dirinya tidak sendirian hidup di dunia cakrawala yang sebesar harapan ini."Leana!"Gadis itu menegang, punggungnya kembali bergetar ketika mendengar suara berat dari lelaki yang tengah ia hindari. Leana menelungkupkan kepalanya diantara tangan yang ia lipat. Bahkan mendengar suaranya saja ia begitu merasa takut."Lea," lelaki itu kembali bersuara, kali ini nadanya terdengar melembut."Pergi!""Sayang, ayo pulang! Jangan seperti ini!""Al, please. Pergilah!" ujar gadis itu dengan suara yang memelas dan masih enggan menatap lelaki itu."Jangan kembali memancing emosiku Lea," lirih Nalendra sambil berusaha menggapai tangan gadisnya, namun dengan segera ditepis oleh Leana.Gadis itu menghembuskan nafas pelan, dan menatap Nalendra tajam, "Aku tidak memancing emosimu Arsyanendra Nalendra Yasa. Pergilah dari hadapanku sekarang juga! Aku muak melihat tingkahmu!" sentak Leana dengan penuh penekanan dengan tatapan tajam nya yang tidak hilang sedikitpun."Huh!" Smirk lelaki itu, ternyata gadisnya punya nyali juga untuk membentaknya, dan bahkan menyebut nama lengkapnya. "Bagus! Punya nyali juga kamu," ujar Nalendra sembari menengadahkan kepalanya ke atas, menatap rembulan dengan iris matanya yang biru terang bagaikan batu safir. Sesuai dengan namanya, Nalendra yang artinya batu safir biru terang.Plak!"Ahkk!"Wajah Leana terlempar ke samping akibat tamparan dari lelaki itu. Rasanya panas, dan sudut bibirnya begitu perih. Sungguh seorang Nalendra begitu ringan tangan, dengan santainya ia menampar gadis itu."Ternyata tangisanmu jauh lebih indah, dari rembulan yang sedang ku tatap Lea,"Leana hanya memegang pipinya yang terasa kebas, berusaha untuk tidak mendengar kata - kata gila yang keluar dari mulut lelaki itu."Ayo sayang sekarang kita pulang, sudah cukup dramanya!"Leana bergeming, tidak menjawab sepatah katapun. Apa lelaki itu bilang, drama? Hanya orang gila yang mengatakan bahwa ini drama."Bangun! Jika tidak mau aku seret. Tampilanmu saja sudah seperti gembel dipinggir jalan!"Leana memejamkan matanya erat, mendengar kata - kata pedas yang keluar dari mulut lelaki itu. Ia tidak heran lagi, tapi rasanya sungguh sakit."Pergi Al!""Ahkk apa yang kau lakukan?! Le-lepaskan aku!!" teriak Leana di kesunyian tepi pantai yang hanya disaksikan oleh deburan ombak, kala lelaki itu dengan tega menyeret dirinya."Al, sa-sakit please stop it!"Rasanya perih, jiwanya hancur. Dengan sadisnya lelaki yang berstatus sebagai tunangannya itu menyeret dirinya secara kasar di atas bebatuan terumbu karang.Nalendra berhenti, menatap Leana tanpa rasa kasihan sedikitpun. "Kita pulang?" tanya lelaki itu sekali lagi."I-Iya kita pulang," jawab Leana secara terbata, tidak ada pilihan lain. Jemari nya dengan erat menggenggam butiran pasir, menyalurkan segala emosinya karna selalu kalah dihadapan lelaki itu."Good girl. Ini baru tunanganku yang penurut Kerleeanna Alina!""Leana,""Pergi!" sentak gadis itu datar tanpa memandang wajah lelaki itu. Ia tidak ingin paginya yang cerah berubah menjadi suram karna menatapnya.Leana mengeratkan selimutnya sembari menyesap coklat panas yang ada ditangannya tanpa melirik lelaki iti sedikit pun. Matanya sibuk meneliti setiap tetesan hujan yang jatuh membasahi bumi. Nalendra mengepalkan tangannya erat pada pembatas balkon, ia benci diacuhkan. Tapi kali ini ia harus menurunkan sedikit egonya. Lelaki itu berjalan masuk ke kamar gadis itu lalu membuka laci dan mengambil kotak P3K."Apa masih sakit?" tanya Nalendra lembut sambil mengobati luka di kaki gadisnya. Kemarin ia tahu sudah kelewatan, tapi Leananya sungguh gadis yang pembangkang. Dengan telaten Nalendra membuka perbannya dan menggantinya dengan yang baru, tidak lupa memberi obat merah. Karena luka itu terlihat masih cukup segar, ternyata ketika ia menyeret gadisnya kemarin di tepi pantai menimbulkan luka yang berbentuk abstrak ini."Lea...""Sayang...""Baby!"
Setelah kepergian Nalendra, wanita paruh baya itu kembali melanjutkan kegiatannya di dapur. Memasak adalah hobby nya, dan sekarang Emely tengah mempersiapkan alat dan bahan untuk membuat adonan cookies. Sambil bersenandung ria ia mulai untuk membuat adonan, hingga kedatangan suaminya Rafa, "Apa yang terjadi?""Apanya yah?" tanya Emely menatap suaminya. Rafa menghembuskan nafas kasar, ia sungguh tidak enak rasanya dengan Nalendra. "Leana! Apa yang terjadi pada gadis itu? Apa dia tidak punya sopan santun, Nalendra sudah datang pagi - pagi kesini hanya untuk menemui anak pemalas itu. Tapi gadis itu malah mendekam di dalam kamarnya!" ujar Rafa menatap istrinya yang masih sibuk membuat adonan, dari kata - katanya terlihat sekali bahwa lelaki paruh baya itu tengah marah.Melihat kemarahan suaminya, Emely segera mencuci tangannya dan mendekati Rafa "Biarkan saja yah, mungkin Leana masih lelah," ujarnya lembut, sambil mengelus lengan suaminya. Ia tahu, suaminya ini adalah orang yang tegas."La
Leana mempercepat langkahnya, bahkan terlihat setengah berlari ketika lelaki itu terus saja mengikutinya. Luka dikakinya pun tak lagi ia hiraukan, karna sudah tidak terasa sakit. Gadis itu pun dengan cepat memasuki kelasnya, sepanjang koridor kampus tak henti - hentinya ia merasa heran. Mengapa tidak, kampus yang tengah ia pijaki ini lebih sepi dari sebuah kuburan.Gadis itu menoleh kebelakang dan menghela nafas lega, ketika melihat Nalendra tidak mengikutinya lagi. Leana megedikkan bahunya acuh mungkin lelaki itu sudah pulang. Ia lalu berbalik dan berniat melanjutkan langkahnya untuk ke kelas namun seketika ia mematung di tempat. Bagaimana bisa?"Kenapa pucat by? Apa wajahku menakutkan?" tanya Nalendra dengan senyuman manis yang menghiasi wajahnya.Apa lelaki itu hantu?"Al, kenapa kau mengikutiku?"Nalendra tersenyum dan meraih tangan gadis itu lalu menggandengnya menuju ruangannya. "Kenapa? Kau kan milikku!""Tapi aku butuh ruangku sendiri! Hidupku tidak selalu tentangmu," desis Lea
Tanpa memperhatikan sekitar gadis itu terus memakan buburnya dengan lahap, dan mengindahkan tatapan para mahasiswa lain yang menatapnya heran sekaligus ngeri. Bagaimana tidak, jika disamping gadis itu terdapat seorang lelaki gagah berjas, lengkap dengan dasinya tengah mengasah pisau. Leana meminum jus alpukatnya, suara dari asahan pisau itu terus mengalun merdu di telinganya.Benar - benar tidak waras.Suapan terakhir leana menyantapnya dengan cepat dan segera beranjak dari duduknya. Namun goresan di lengannya yang berasal dari pisau itu seketika membuatnya mendesis."Melangkah sekali lagi aku akan memotong tanganmu!"Leana memutar bola matanya malas, entah apa lagi yang diinginkan oleh lelaki ini darinya. "Ck. Apa lagi? Gu- a-aku sudah mengatakan tadi pagi untuk jangan menggangguku kali ini saja." ujar Leana, gadis itu terlihat memelas sambil menahan sakit di pergelangan tangannya. Dengan tidak berperasaannya Nalendra menekan pisau itu ketika mendengar gadisnya akan berkata lo - gue.
Suara jam dinding terus berbunyi, bau khas dari obat - obatan menguar kuat. Di pojokan brankar UKS sana terdapat seorang gadis yang tertidur lelap. Hujan telah berhenti, menyisakan setitik embun diujung daun yang terus membasahi bumi. Tangan lelaki itu terus tergerak untuk mengelus surai gadisnya, mata yang biasanya menatapnya tajam dan penuh kemarahan kini tengah terpejam. Nalendra tersenyum sambil memainkan sehelai rambut Leana, "Baby, apa yang kau lakukan padaku?" gumamnya dengan tatapan yang tidak berhenti menatap wajah damai gadisnya, "Mengapa aku bisa mencintaimu sampai seperti ini, rasanya aku bisa gila jika kau pergi." lirih lelaki itu, mata tajam sebiru lautan yang tidak pernah ada orang yang berani menatapnya kini meneteskan air matanya. Ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa kehadiran seorang Leana.Tidak peduli gadisnya mencintainya atau tidak, itu tidak penting. Jika Leana tetap bersamanya, itu sudah lebih dari cukup.Nalendra tersentak ketika mendapati raut wajah Leana
Keringat dingin terus mengalir di pelipisnya, jantungnya berpacu cepat. Leana terus mengikuti langkah besar lelaki itu sembari memegang dadanya.Rasanya sesak, amat sesak. Tidak kah lelaki itu mengerti penderitaannya?"Al, please jangan lalukan ini padaku," lirih Leana pelan, namun sepertinya lelaki itu tuli dan tidak mendengarkannya. Melihat itu membuat darahnya mendidih, rasanya ia ingin sekali mencabik - cabik lelaki yang tengah menyeretnya itu.Sekuat tenaganya Leana berusaha melepaskan tangannya dari Nalendra, namun ia tidak berdaya cengkraman lelaki itu begitu kuat hingga tulangnya pun terasa ngilu."Al!""Nalendra!!" teriak Leana keras yang seketika membuat lelaki itu menoleh.Nalendra berbalik dan menyentak tangan gadisnya kasar. "Berani sekali kau!" desis Nalendra tajam sambil mencengkram dagu leana. "Hari ini, kau sudah melewati batasan yang ada," smirk lelaki itu menatap tajam iris pekat yang menatapnya penuh kebencian, tapi tidak apa - apa. Karena ia suka itu. "Dan aku beba
"Arrghh...."Timah panas itu tepat mengenai betis kanannya, gadis itu tersungkur sambil memegangi kakinya. Rasanya panas, dan seketika kakinya terasa mati rasa dengan darah segar yang terus mengalir. Leana mencengkram kakinya erat, ini menyakitkan namun tidak semenyakitkan hatinya. Lelaki itu memang tidak pantas disebut sebagai manusia, dengan tidak berperasaannya iblis itu menatapnya dengan kekehan disertai seringaian. Dengan susah payah, Leana berusaha berdiri dan mencoba lari meski itu mustahil tapi ia akan mencobanya. Bukankah tidak ada yang tidak mungkin?Teriakan itu begitu mengalun merdu ditelinga Nalendra, ia meniup pelan ujung pistolnya yang tidak pernah mengecewakannya dan selalu tepat sasaran. Kaki jenjangnya melangkah pelan mendekati gadisnya yang masih berusaha melarikan diri dengan menyeret kaki kanannya."Bajingan, keparat, bangsat, manusia hina! Lo bukan manusia Nalendra!!" teriak Leana kesal, keringat bercucuran di pelipisnya dan sudut matanya yang mengeluarkan bulir b
Senandung kecil terus terlantun dari seorang gadis yang tengah berjalan itu, sesekali ia berjingkrak senang. Hari ini adalah hari pertamanya kuliah, universitas impian dan jurusan yang ia inginkan semuanya tercapai dan hal itu membuatnya tak berhenti tersenyum. Karena ia sangat bahagia. Tas yang gadis itu sampirkan di bahunya ia turunkan pelan dan mengambil sebuah permen lolipop dan wortel.Gadis itu tertawa, pasti kelinci kesayangannya tengah menunggunya sekarang. "Hallo manis, kau merindukanku tidak? Hehehe, hari ini aku bawakan kau wortel terenak di dunia karena ini aku beli dari uang jajanku," ujar gadis itu senang sambil berjongkok dan mengelus kelinci putih yang ia beri nama manis.Pembicaraan terus berlanjut, gadis itu sangat senang melihat si manis kesayangannya makan begitu lahap. Namun saking fokusnya pada satu titik, tanpa gadis itu sadari sesuatu telah menunggunya di dalam sana. Melihat beberapa mobil mewah yang berjejer rapi di halaman rumahnya, tidak membuatnya peka akan
Suara tembakan revolver itu menggema di keheningan malam, dan detik itu juga seorang lelaki melompat dari bukit tersebut. Meninggalkan seorang gadis yang baru saja ia nyatakan cintanya, tengah merintih kelu sembari mencengkram erat lengan kanannya yang terkena timah panas."Arghh..." rintih Leana terduduk sambil menutup lukanya dengan jas pemberian Melvian, dan tanpa ia sadari ada sepasang mata yang menatapnya tajam penuh intimidasi.Nalendra tersenyum smirk dan menaruh revolvernya kembali, setelah menyelamatkan lelaki itu dengan beraninya gadisnya memeluk jas dari lelaki lain. "Bitch!" desis Nalendra tajam dan merampas kasar jas tersebut lalu membuangnya asal. Tangannya terangkat menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah cantik yang tengah merintih itu, namun tak ada setetes liquid bening yang jatuh. Harus ia akui, jika Leana seorang gadis yang tangguh. "Why baby?" bisik Nalendra rendah sambil mengelus puncuk kepala gadisnya lembut, nafasnya yang hangat dan teratur menerpa per
Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan dua insan berbeda usia itu saling berbincang ramah. Berbalut jas hitam yang terlihat pas ditubuh tegapnya, Nalendra begitu terlihat menawan dengan tatapan biru safirnya yang tajam. Rafa tidak berhenti menyunggingkan senyumnya kala melihat calon menantunya yang menenteng banyak paper bag dan tentunya dari merk yang terkenal."Masuklah Al, Lea ada dikamarnya."Tanpa menjawabnya Nalendra melangkahkan kakinya dan berjalan menuju kamar gadisnya, namun sebelum itu ia menaruh paper bag itu di atas meja sembari tersenyum sinis menatap Rafa. Ia mengambil salah satu paper bag, dan menatapnya lembut. Ini adalah hadiah spesial untuk gadisnya.Sampai di ambang pintu Nalendra menghentikan langkahnya, aroma parfum yang begitu menguar sangat mengusik indera penciumannya. Lelaki itu tersenyum smirk, lalu menoleh kesamping. Menatap Emely yang memandangnya penuh takut, lalu wanita paruh baya itu memasuki kamarnya dan mengunci pintunya."Berani kau bermain-main den
"Wtf, kenapa lo harus secantik ini Lea?" gumamnya sendiri sembari memperhatikan dirinya di cermin, lekukan tubuhnya terpahat sempurna dalam balutan one shoulder dress hitam yang terlihat kontras dengan kulitnya yang putih.Gadis itu terkikik geli seraya memutar tubuhnya perlahan, sudah lama ia tidak memakai dressnya dan tidak disangka jika balutan dress ini mampu membuatnya terlihat lebih dewasa. Leana menyisir rambutnya perlahan, sepertinya disisir biasa tidak akan sepadan dengan dressnya. Gadis itu tampak berpikir sejenak, dan ekor matanya melirik catokan curly di meja riasnya dan ia tahu apa yang harus di lakukan."Kencan, kencan, kencan lalalala..." Senandung kecil terus mengalun indah, tangannya dengan lihai memberikan sentuhan make-up di wajahnya. Leana memperhatikan dirinya sejenak di cermin, satu kata yang dapat ia berikan. "Sempurna!""Ayo Lea, tunjukin pesona lo pada si Melvian!"Tangannya mengambil ponsel untuk membalas pesan dari Melvian yang katanya akan menjemputnya lan
Pintu tertutup sempurna, meninggalkan Nalendra yang mematung di tempat. Gadisnya begitu keras kepala, ia terkekeh pelan sambil meraup wajahnya kasar. Gadis kecilnya yang lugu telah berubah menjadi singa betina, dan itu tentu saja berkat dirinya. Nalendra melangkahkan kakinya dan kembali duduk, seraya menyalakan sebatang nikotin pikirannya menerawang jauh memikirkan apa yang telah berlalu. "Lo terlalu membiarkannya berkeliaran bebas!" celetuk seseorang membuat Nalendra menoleh dan menatap lelaki yang berdiri di ambang pintu itu datar. "Bukan urusan lo!" sahut Nalendra acuh.Defrizal terkekeh lalu duduk di hadapan Nalendra dan menuangkan segelas wine. "Lo terlalu larut dalam peran, dan jangan sampai lo lupa tujuan awal kita!" peringatnya menatap Nalendra serius. Nalendra tidak menjawab, ia terus menyesap sebatang nikotin yang berada di sela jarinya sembari menatap lurus ke jendela. Kata-kata yang di lontarkan oleh Defrizal tidak salah, namun ia benci jika mengingat semua itu."Tapi d
"Aww perih by!" Plak!"Sakit by, kok malah di geplak sih?" gerutu Nalendra ketika Leana malah memukul tangannya yang sedang diobati itu. Leana membanting kotak obat itu dengan kasar, telinganya panas ketika mendengar segala rengekan yang keluar dari mulut seorang Nalendra. Rasanya ia menyesal telah menghentikan lelaki itu, kenapa tadi ia tidak pergi saja?"By kok berhenti sih? Ayo obatin lagi, sakit nih tangan aku!""Bacot anjing!" gumam Leana kesal sambil mengacak rambutnya kasar, sepertinya Nalendra benar-benar mengidap gangguan bipolar. Leana menoleh ketika merasakan lelaki itu yang menatapnya intens, "Keceplosan!" ujarnya cepat ketika mengetahui apa yang akan dikatakan oleh lelaki dihadapannya ini. Terdengar helaan nafas kemudian Nalendra tersenyum, ia senang ketika gadisnya mengetahui kesalahannya. "Kalau sakit ngapain masih dilakuin? Bego si jadi orang!" gerutu Leana sambil mengisi kapas ditangannya dengan obat merah. Tangan Nalendra cukup bengkak dengan darah yang sedikit ke
Leana menoleh dengan smirk nya yang masih terpatri, gadis itu mendekatkan wajahnya dan berbisik pelan di telinga seorang gadis yang meringkuk ketakutan. "Lo selamat sekarang Riana, tapi nggak tau deh nanti!" kekeh Leana seraya memasukkan pisaunya ke sakunya kembali."Kamu tuli Leana?""Saya nggak tuli pak!" seru Leana cepat sembari menghampiri seorang lelaki yang sudah meneriakinya itu. Lelaki itu tersenyum miring menatap mahasiswi nya yang cukup urakan itu. "Ikut ke ruangan saya sekarang!"Leana mendengus dan berjalan cepat mendahului lelaki itu. Telinganya sungguh panas mendengar segala desas-desus mengenai dirinya dari mulut tajam penghuni kampus yang menyaksikan dirinya. Leana tersenyum miring seraya menatap satu persatu mahasiswa yang menatap dirinya secara terang-terangan.Merasa di tatap demikian tajam oleh Leana, semua para masiswa seketika mengalihkan pandangannya dan berlalu pergi dari sana. Sementara seorang gadis yang masih terduduk di lantai secara mengenaskan itu mengep
Kedua manusia berbeda gender itu berjalan beriringan dengan sang lelaki yang terus menggenggam erat tangan gadisnya. Pasangan yang sempurna, setidaknya itu lah yang bisa para mahasiswa deskripsikan ketika melihat pasangan bak dewa dewi itu. Namun di balik itu semua banyak isu tak sedap yang menyertainya. Leana melepas kasar tangannya yang digenggam Nalendra membuat lelaki itu mengernyit heran. "Aku ke kelas dulu.""Ayo aku antar."Leana berdecak dan menatap Nalendra datar, "Ini kampus Al, bukan medan perang! Aku bisa pergi sendiri." seru gadis itu dan segera berlalu pergi, Nalendra terdiam dan menatap kepergian gadisnya dengan raut wajah yang tak terbaca. Ia sudah menuruti keinginan Leana untuk merahasiakan segalanya, apa itu tidak cukup?Lelaki itu melihat arloji nya dengan gaya khasnya yang membuat para kaum hawa maupun adam terpesona olehnya. Tak sedikit orang yang tidak mengagumi pesona dari seorang Nalendra, namun pemilik iris biru hanya itu menatap satu gadis dalam hidupnya. Le
Iris mata hitam legam itu menatap datar seorang lelaki tampan yang sudah rapi dengan kemeja dan balutannya jas nya. Kadar ketampanannya bertambah berkali lipat ketika tengah serius melilitkan perban di kaki kanan seorang gadis yang tengah menatapnya sedari tadi itu. Ketika sedang marah, lelaki itu bagaikan iblis yang siap mencabut nyawa mangsanya. Namun di saat tenang seperti ini lelaki itu bagaikan sesosok malaikat. Leana menepuk jidatnya kesal, tanpa sadar baru saja ia tengah memuji bajingan dihadapannya ini.Lelaki itu mendongak menatap raut wajah Leana yang kesal kemudian tertawa pelan, "Aku memang tampan by, kau bisa melihatnya langsung," bisik Nalendra lembut sembari mengambil telapak tangan gadis itu dan ditaruh diwajahnya, ia menggerakkannya perlahan seolah Leana tengah menyusuri wajah tampannya. "Dan juga menyentuhnya, karna ini milikmu.." lanjutnya lalu mendekat dan mengecup singkat pipi gadisnya. Leana melotot kaget lalu dengan cepat ia mendorong Nalendra, "Bacot!" desisny
"Uh..."Gadis itu terbangun sambil meringis pelan, ia memegang keningnya dan ternyata sudah ada perban yang menempel. Leana menengok ke samping lalu ia mendesah pelan sambil menyingkirkan sebuah tangan kekar yang berada di atas perutnya. Perlahan gadis itu bangkit tanpa menimbulkan suara apapun, hari masih gelap tapi sepertinya ini sudah pagi. Sebelum melangkahkan kakinya Leana mendekat pada seorang lelaki yang masih mendekur halus. Leana mendekat dan memperhatikan wajah Nalendra dari dekat, seketika ia menutup mulutnya ketika mencium aroma alkohol yang menguar kuat. Sepertinya lelaki itu mabuk berat semalam, Leana kembali menyentuh keningnya seketika ia terdiam. Apa dalam keadaan mabuk lelaki itu mengobatinya."Lo itu aneh Al," Leana tersenyum getir sambil mengelus kepala lelaki yang berstatus tunangannya itu yang membuat Nalendra bergerak mencari posisi ternyaman. "Lo yang memberi luka, tapi lo yang ngobatin." Lanjutnya lagi sambil berjongkok disamping lelaki itu masih dengan menge