Waktu gue keteteran kerjaan, sering banget gue pengen resign. Tapi ketika gue denger 8 orang ini punya nasib nggak jelas di kantor ini, gue bener-bener bersyukur, seenggaknya itu bisa jadi peringatan buat gue sebelum kontrak gue habis nantinya. Karena seperti yang pernah Veve kasih tahu sama gue. Di kantor ini, kalo kerjaan lo banyak banget, waktu berlalu gitu aja. Untuk sekedar cari info loker baru, lo bahkan nggak sempet. Free time lo, lo pake buat istirahat, lari dari pekerjaan walaupun cuma sebentar.
Pantesan aja gue denger-denger si Veve bahkan udah hunting kerjaan baru di 1.5 tahun dia join di sini. Dia tahu dia nggak bakalan dijadiin karyawan tetap. Karyawan tetap cuma sebatas ide tapi nggak ada yang mau perjuangin sampai ke tingkat atas. Jujur aja, gue, meskipun tahu Pak Adnan orang yang baik, tapi gue bener-bener nggak suka sama sistem rekrut karyawannya. Di depan gue dia bilang sistem HRD kacau. Tapi dia kan petinggi, masa dia nggak tahu perkembangan karyawan kaya g
Nana menggigit bibir. Dia bingung mau mulai cerita darimana.“Soal Wenny?” tanya gue menebak.Nana mengangguk. “Kasihan dia, tahu! Gue pengen bantu tapi gue sendiri nggak punya loker.”“Ya udah sih, Na. Nggak semua orang bisa lo bantu. Mungkin nih ya, cuma dengerin dia curhat aja dia udah seneng. Apalagi kalo masalah kontrak kerja kalian senasib.”“Iya sih bener. Bedanya gue udah dapet kerjaan. Sedangkan dia nilainya C minus. Artinya dia nggak akan diminta balik kerja di sini. Sedangkan dia harus bayar kontrakan, bayar cicilan motor juga.”“Bingung deh gue, kenapa kalau masih kontrak berani ambil cicilan ya? Maksud gue gini, kalo bayar kontrakan oke deh, gue juga anak kosan. Kalo sama nyicil juga sih, berani juga ya dia.”Nana hanya mengangkat bahu. “Dia abis pindah team. Gue sih jujur nggak tahu sebelumnya leader dia siapa. Maklum engineer kan segitu banyak. Nah team yang bar
Gue merasa semakin sepi kantor gue, meskipun orang-orang baru semakin banyak yang datang. Gue tahu diantaranya ada pengganti Nana. Mereka kelihatan masih sangat bersemangat bekerja. Entah karena udah lama banget pengen kerja di sini atau karena akhirnya mendapatkan pekerjaan impian mereka. Saat mereka berkeliling gue di situ merasa miris, apakah mereka tahu nantinya 2 tahun lagi kontrak mereka berakhir mereka belum tentu jadi karyawan tetap? Apakah mereka tahu di sini atasan tidak pernah bisa terlalu berpartisipasi aktif dalam kenaikan jabatan? “Korban baru,” bisik Sania pada gue yang menyadari bahwa gue memperhatikan para pendatang baru dengan lekat-lekat. “Jangan gitu dong, gue juga masih kehitung baru!” sahut gue kesal. “Iya, iya. Just kidding, say! Abisnya lo serius banget mukanya. Lagian lo udah nggak baru lagi. Ini udah ganti tahun wei, bentar lagi juga Mei kan?” sahut Sania. Belum sempat gue menimpali, Bu Angel datang. Raut wajah dia nggak enak
Dari sudut pandang Hanna, kesalahan yang terjadi tentang proposal milik Sania bukan kesalahan dia sepenuhnya. Bu Respati, sejak awal Hanna masuk, bukanlah atasan yang mau bertanggungjawab atas apa yang terjadi pada bawahannya. Dia selalu melimpahkan segalanya pada mereka. Meskipun segala approval sistem legal harus melewati dia, dia cuma akan nanya: “Udah beres?” tanpa mengecek ulang. Begitu seterusnya.Sebenernya asisten Hanna, Bowo yang salah kirim file ke Rahma untuk dicetak. Dia mengirim yang masih format belum fix. Tapi, di email itu, Hanna juga di cc, bahkan nggak cuma Hanna, Bu Respati atau biasa dipanggil Bu Res juga udah di cc juga. Jadi nggak ada alasan tim mereka nggak tahu, harusnya di recall email itu, dan kirim email baru. Hanna beralasan sedang banyak kontrak yang dikerjakan jadi nggak ngecek lagi file yang dikirim sama Bowo.Jujur aja gue kasihan sama dia. Tapi dia sendiri juga kurang teliti. Dari sisi gue, Rahma juga nggak ngecek, apalagi S
Gue baru saja meletakkan laptop kembali ke atas meja dan mengecek ojol untuk pesan makan siang. Saat gue sedang scroll makanan, Bu Angel mendekati gue.“Ri, siang ke mana?” tanya beliau sambil duduk di samping gue, tempat Sania biasanya duduk.“Mau meeting sama Bu Anna, Bu. Gimana?” sahut gue dan meletakkan hp gue di atas laptop yang masih tertutup.“Oh, ya udah. Sania belom balik ya? Harusnya nanti sore kita meeting soal masalah kontrak kemarin itu,” kata Bu Angel.“Udah otw ke sini Bu, Ci Sanianya!” kata Rahma cepat-cepat.“Oh, bagus deh. Kalo gitu nggak jadi ya, Ri!” kata Bu Angel sambil menepuk-nepuk bahu gue.Rahma yang melihat sikap Bu Angel kepada gue itu tertegun sejenak. Namun tak berapa lama dia kembali lagi bekerja. Ya gue cukup kaget sih dia nepuk-nepuk bahu gue kaya gitu. Jujur aja dia nggak pernah gitu sama sesama karyawan wanita lainnya.“Tadinya tuh gue
Seingat gue itu hari itu panas luar biasa. Sales bahkan nggak kelihatan di kantor satupun. Kayanya sih kalo mereka di project, mereka nggak akan milih buat balik kantor lagi. Kalau nggak ngadem di café atau workspace, mereka pasti balik ke tempat tinggal masing-masing. Begitupun gue. Perjalanan dari satu tempat ke tempat lain bener-bener terasa menguras tenaga hari ini. Belum macet di mana-mana.Untungnya, ground floor gedung bank tempat Bu Ana bekerja ini punya café dan koneksi internet yang cepet. Jadi biar nggak dikata ngebolos, gue kerja di situ sebentar sama Ronald, salah satu tim engineer gue yang biasa nemenin gue selain Yudha.“Ri, lo mau balik ke kantor nggak?” tanya Ronald.“Kayaknya enggak deh. Lo sendiri gimana?” tanya gue balik.“Kayanya gue malah mau balik ke atas. Ada masalah sama aplikasi yang lagi diupgrade,” sahut Ronald sambil membereskan laptop dan kabel-kabelnya.Ronald kemudian
Seperti yang udah gue dengar sebelumnya dan harus gue rahasiakan, kedatangan Bu Nami sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan oleh Pak Jaya. Tentu saja dia nggak sendiri. Dia bahkan punya sekretaris pribadi bernama Ayu. Ayu bahkan disediakan tempat di area divisi sekretaris. Sofa mini yang biasa dipakai kami semua untuk duduk-duduk menunggu antrian penyerahan dokumen ke C level untuk ditandatangani, tak ada lagi. Sofa mini itu diganti dengan meja bulat kecil dan kursi 4 biji melingkarinya. Ayu duduk di sana, dan bagi kami para fakir tanda tangan, bisa menunggu di salah satu kursi itu. Yang artinya duduk bersamanya.Menyenangkan? Tentu saja enggak. Gue nggak mengenal Bu Nami dengan baik. Begitupun gue juga enggan untuk beramahtamah dengan Ayu. Dan sama seperti gue, karyawan lain akan merasa canggung duduk berdekatan dengannya.Bu Nami tak memiliki ruangan sendiri. Dia selalu duduk di manapun di area lounge. Dia tak membawa laptop, hanya Ipad dan keyboard portable yang
Siapa sih yang nggak kesal kalau posisinya terancam? Apalagi posisi yang udah dia pegang selama bertahun-tahun tanpa adanya intervensi dari pihak manapun? Bagaikan Raja kecil, Bu Wanda selalu merasa dia bisa berbuat apapun sesuai kehendaknya. Peraturan-peraturan mengenai karyawan yang sudah disesuaikan di UU ketenagakerjaan banyak yang dilanggarnya. Gue juga heran gimana bisa semua itu lolos dari pantauan kementrian. Kalo kata Victor sih, klausul-klausul di kontrak kerja karyawan banyak yang membuat kementrian sendiri nggak bisa berbuat apa-apa. Apalagi kontrak kerja itu sudah dittd oleh masing-masing karyawan di atas materai. Sudah sah banget secara hukum jadinya. Peraturan-peraturan itu sedikit demi sedikit dievaluasi lagi sama Pak Jaya. Dia akan mempertahankan yang akan dipertahankan dan merubah yang tidak sesuai dengan cara memimpinnya. Makanya orang-orang di divisi HRD lagi rajin banget meeting. Kaya hampir tiap hari mereka mondar-mandir ke ruang meeting. Sekalinya kela
Waktu gue masuk ke ruang divisi legal, ruang yang sempit itu hanya menyisakan Hanna di sana. Bu Res nggak ada. Dua orang lainnya pun tak ada. Asisten Hanna sendiri nggak ada di tempatnya. Hanna tampak sedang membereskan semua dokumen-dokumennya. Besok adalah hari terakhir dia di kantor. Sisa cuti 5 hari dia ambil semua, sehingga tanggal 22 Maret 2019 adalah hari terakhirnya di kantor ini. Gue melempar senyum. Hanna membalas senyum gue dengan canggung. “Beberes Ci?” tanya gue. “Well, iya nih. Gue harus cabut besok kan. Dan gue mau bawa beberapa barang gue yang ada di sini. Biar besok nggak banyak-banyak banget bawa barang apa-apa. Tinggal keliling salaman, maap-maapan, gitu aja,” sahut Hanna sambil memasukkan barang pribadinya ke kardus yang sudah dia siapkan. “Kaya lebaran aja, Ci,” kata gue meledek. Hanna tertawa. Ya, itu dia tertawa pertama kali karena candaan gue. “Hahaha, iya juga ya. Ngapain gue minta maaf segala. Mereka yang ngedepak gue
Namun kejanggalan yang lain yang gue temukan, malah bukan soal Bu Angel lagi. Mungkin Bu Angel berhasil diredam dan nggak mencuat, setidaknya gitu yang gue pahami. Tapi soal Pak Marjan dan Bu Cla.Gue pikir, mereka juga udah adem. At least kalopun emang masih ada hubungan, mereka nggak yang seenak jidat muncul di publik sebagai pasangan. Tapi, gue malah ketemu mereka, saat gue sedang antri beli kopi di salah satu kedai kopi di dekat kantor.“Siang, Bu, Pak!” sapa gue dengan lantang pada mereka yang baru masuk ke barisan antrian, yang kebetulan sebagai pengantri terakhir.Mereka nggak bisa mengelak untuk nggak ngantri di belakang gue, karena memang belum ada pelanggan lain yang masuk. Bu Cla akhirnya cuma bisa tersenyum. Sedangkan Pak Marjan malah tampak tak peduli dengan kehadiran gue di situ. Sudah biasa, dia cuma nyapa yang menurut dia satu level sama dia. Sedangkan gue? Gue cuma budak corporate aja, nggak lebih dari itu.Waktu gue order, Bu
Kepulangan gue dari Singapore disambut kabar tak enak saat gue masuk ke kantor. Desas-desus soal Bu Angel jadi simpanan udah jadi bahan obrolan blak-blakan siapapun. Dulu, biasanya cuma jadi bahan ghibah underground. Soalnya nggak banyak yang tahu cowoknya siapa. Meskipun beberapa dari mereka bisa menebak bahwa dia adalah orang penting, bukan orang biasa.Makanya, gue pun nggak ketemu sama sekali dengan Bu Angel saat kedatangan gue pertama di kantor dari liburan. Oleh-oleh yang gue sengaja beli khusus buat dia bahkan nggak disentuh sama sekali sama dia di meja yang biasa dia duduki. Dia nggak pernah muncul di kantor. Semua koordinasi bahkan lewat email dan telepon aja. Chat gue bahkan dibaca dan dibalas bisa sehari kemudian. Itupun ngambang. Padahal gue lagi butuh dia buat nge-guide customer gue yang baru yang gue dapet dari bokapnya Hafis, anak perusahaan Bank lama yang mau mandiri dan bikin manajemen sendiri.Tentunya itu nggak gampang. Selain karena pasti banyak per
Gue adalah orang yang paling terakhir ke basement. Ditemani Hafis, sebagai juru kunci apartemen, kami berdua sama-sama turun. Seharusnya, lift ini bisa disetting langsung ke basement, tapi entah kenapa, lift berhenti di lantai Ground, tempat lobby berada.Gue hampir menahan napas saat gue sadar, yang masuk ke dalam lift adalah istrinya Pak Abimanyu, yang sampai saat itu gue nggak tahu namanya. Menyadari ada Hafis, dia hanya tersenyum namun setelah itu memalingkan muka dan menunduk. Gue dan Hafis tahu dia habis atau masih menangis. Hanya saja kami berdua merasa kikuk untuk berbincang. Akhirnya lift melaju menuju basement dengan sunyi senyap. Suara mesin lift yang halus terdengar samar menjadi satu-satunya background suara.“Ting!”Lift berhenti. Wanita tadi mengangguk pada Hafis dengan sopan tanpa berkontak mata bersiap untuk pergi.Ternyata, kami menuju basement yang sama, meskipun masih ada 3 lantai basement lagi. Gue yang tahu kalau dekat de
“Sebelum berangkat, jangan lupa kumpul dulu di tempat gue!” Hardik Hafis mengingatkan di telepon.Gue yang masih di kantor dan izin setengah hari itu langsung memakinya.“Nggak usah teriak-teriak juga, kali!” kata gue kesal.“Lo di mane nih?” tanya Hafis.“Masih di kantor gue cuy!” sahut gue.“Are you kidding me? Lo izin setengah hari?”“Iyap! Gue nggak mau rugi, man! Penerbangan kita kan masih jam 7 malem. Nanti istirahat makan siang gue balik kosan dulu, ganti baju terus ke apartemen lo.”“Ya udah, pokoknya jam 4 sore kita berangkat ya dari apartemen. Kalo lo telat dikit, gue tinggal. Ngerti lo?”“Iya, iya, tenang aja!”“Oke deh, gue udahan ya! Mau nelepon yang lain.”“Siap.”Gue kadang geli sama sifat perfeksionisnya Hafis. Kaya kalau kita mau trip bareng-bareng kaya gini, pasti kita ak
Gebrakan pertama yang dibuat HRD adalah mereka membuat HRD Socialization Day setiap satu bulan sekali. Makin padat nggak tuh jadwal gue di kantor. Ada Sales Monthly Meeting, ada Quarterly Meeting dan kali ini ada HRD Socialization Day yang diprakarsai Bu Sylvi lewat email blast-nya hari ini. Gue yang lagi kelar meeting bareng Yudha dan Ronald langsung mengeluh saat mengecek email itu dari hp kami. Tentu saja bagi kami yang mirip sebagai pekerja lapangan itu cukup memberatkan.“Gue udah dapet mandat nih di group WA, kalau dari divisi gue, digilirin aja jadwal yang ikut sosialisasi itu. Kan lo tahu anak engineer sebanyak apa, jadi kaya dibagi dua orang per sesi. Bagus deh jadinya adil. Kalo yang nggak bisa dateng boleh tukeran jadwal sama yang belum pernah dateng,” kata Ronald sambil menunjukkan WA grupnya.“Beneran tuh?” sahut Yudha.“Beneran, makanya kalo punya grup WA dibaca dong, bro!” sahut Ronald.“Bukannya gi
Awal bulan Juni tahun 2019 bertepatan dengan libur panjang Hari Raya Idul Fitri 2019. Tentu saja kantor gue baru officially masuk di tanggal 10 Juni. Trip gue bareng geng Sableng harus diundur hingga bulan depan. Gue enggak enak sama mereka sebenarnya, cuma mengingat seharusnya Bu Sylvi, pengganti Direktur HRD sudah datang, dan cuti gue bisa disapprove. Lagian nggak cuma gue yang mengalami hal yang sama. Untuk cuti lebaran semuanya sudah approve kecuali cuti harian, semuanya masih menunggu approval HRD.Ada opsi lain. Pak Vino udah nawarin ke kami semua kalau mau cuti, cuti aja izin ke dia, nanti dia catetin, sambil nunggu sistem beres. Kalau udah beres, dia akan minta HRD input semua kuota cuti yang terpakai. Cuma kaya ribet aja harus laporan dulu ke dia. Pasti gue harus ngejelasin mau ke mana. Mana kontrak kerja gue ditangguhkan lagi. Ini kejadian yang persis sama kaya waktu Nana dulu. Bedanya kalau dulu ngebenerin sistem, kalau sekarang nggak ada yang approve sistemnya. Ja
Selama menunggu pengganti resmi, Bu Nami membantu beberapa pekerjaan HRD. Misalnya untuk review kebijakan baru, review cuti, review sistem dan lain-lain, namun bukan sebagai final approval. Dia mencatat banyak hal, untuk dilaporkan kepada Pak Jaya. Seperti biasa, sistem karyawan milik gue belum bener. Alamat trip sama geng Sableng bakalan diundur. Untungnya mereka bisa ngerti dan menunggu sinyal oke dari gue.Beberapa pekerjaan gue sebagai sidekick sudah banyak berkurang, dulu seminggu sekali pasti ada job, sekarang, bisa 2 sampai 3 minggu sekali, itu pun cuma ngecekin SOP-SOP baru doang udah sampai proses apa. Dari situ gue banyak tahu, beberapa alur proses ada yang diubah sedikit, adapula yang dirombak abis-abisan. Terutama soal budget entertainment ke customer. Bahkan terang-terangan ditulis, perwakilan kantor gue yang biasanya 2-3 orang, dibatasi hanya 1 orang aja. Kalaupun nambah, FA berhak nggak approved sisanya. Hal ini dikecualikan jika gue udah kasih proposal di awal
Gue kaget setengah mati saat Sania dan Rahma memberitahu bahwa hari itu adalah hari terakhir Bu Wanda bekerja bersama di kantor ini. Meskipun sebenarnya gue sudah mengira kejadian ini akan segera datang, tapi gue nggak menyangka bahwa hari itu adalah hari yang sudah gue prediksi selama ini. Wajah para bawahannya tampak sedih. Karena bagaimanapun juga Bu Wanda sudah bergabung lama dengan perusahaan. Beberapa orang memberikan ucapan selamat dan menyalaminya dengan sopan. Meskipun akhir-akhir ini banyak tersulut emosi, Bu Wanda nyatanya tetap membagi-bagikan kue donat untuk dibagi-bagi ke seluruh divisi. Gue sendiri juga dapet bagian. Lumayan snack time di sore hari. Beberapa orang berkerumun untuk ngajak foto farewell. Tentu saja gue enggak ikutan atau sedikitpun tertarik. Sania dan Rahma nggak mau ketinggalan. Sepertinya banyak yang ingin foto bareng sama beliau untuk terakhir kali. Namun hal itu nggak membuat gue berkeinginan yang sama. Gue sendiri belum genap 1 tahu
Seharusnya udah musim kemarau, tapi bulan April itu gue disambut hujan deras di awal bulan. Banyak yang masih bertahan di kantor karena nggak menyangka hujan akan turun sederas itu. Biasanya bulan April bakalan jadi sisa-sisa musim penghujan. Namun nyatanya, hujan masih sederas bulan Desember dan Januari. Gue yang mau pulang akhirnya mengurungkan niat dan mengajak Anwar buat main PS di lounge.“Nggak berani gue, Kak!” sahut Anwar sambil mengeluarkan hpnya dengan niat main game online sambil menungggu hujan.“Kan udah selesai jam kerja, dodol!” timpal gue kesal.“Boleh kali, War, main PS, orang disediain juga! Gue liat-liat lo sekarang jiper amat! Biasanya juga seenaknya lo!” ledek Sania.Anwar menarik napas.“Ya udah ayok, tapi bentar aja ya, gue mau nerobos hujan aja. Mau pulang cepet, nyokap masak opor ayam kesukaan gue nih!” sahut Anwar dan mengikuti gue menuju ke lounge.Untungnya di sana t