Gue merasa semakin sepi kantor gue, meskipun orang-orang baru semakin banyak yang datang. Gue tahu diantaranya ada pengganti Nana. Mereka kelihatan masih sangat bersemangat bekerja. Entah karena udah lama banget pengen kerja di sini atau karena akhirnya mendapatkan pekerjaan impian mereka. Saat mereka berkeliling gue di situ merasa miris, apakah mereka tahu nantinya 2 tahun lagi kontrak mereka berakhir mereka belum tentu jadi karyawan tetap? Apakah mereka tahu di sini atasan tidak pernah bisa terlalu berpartisipasi aktif dalam kenaikan jabatan?
“Korban baru,” bisik Sania pada gue yang menyadari bahwa gue memperhatikan para pendatang baru dengan lekat-lekat.
“Jangan gitu dong, gue juga masih kehitung baru!” sahut gue kesal.
“Iya, iya. Just kidding, say! Abisnya lo serius banget mukanya. Lagian lo udah nggak baru lagi. Ini udah ganti tahun wei, bentar lagi juga Mei kan?” sahut Sania.
Belum sempat gue menimpali, Bu Angel datang. Raut wajah dia nggak enak
Dari sudut pandang Hanna, kesalahan yang terjadi tentang proposal milik Sania bukan kesalahan dia sepenuhnya. Bu Respati, sejak awal Hanna masuk, bukanlah atasan yang mau bertanggungjawab atas apa yang terjadi pada bawahannya. Dia selalu melimpahkan segalanya pada mereka. Meskipun segala approval sistem legal harus melewati dia, dia cuma akan nanya: “Udah beres?” tanpa mengecek ulang. Begitu seterusnya.Sebenernya asisten Hanna, Bowo yang salah kirim file ke Rahma untuk dicetak. Dia mengirim yang masih format belum fix. Tapi, di email itu, Hanna juga di cc, bahkan nggak cuma Hanna, Bu Respati atau biasa dipanggil Bu Res juga udah di cc juga. Jadi nggak ada alasan tim mereka nggak tahu, harusnya di recall email itu, dan kirim email baru. Hanna beralasan sedang banyak kontrak yang dikerjakan jadi nggak ngecek lagi file yang dikirim sama Bowo.Jujur aja gue kasihan sama dia. Tapi dia sendiri juga kurang teliti. Dari sisi gue, Rahma juga nggak ngecek, apalagi S
Gue baru saja meletakkan laptop kembali ke atas meja dan mengecek ojol untuk pesan makan siang. Saat gue sedang scroll makanan, Bu Angel mendekati gue.“Ri, siang ke mana?” tanya beliau sambil duduk di samping gue, tempat Sania biasanya duduk.“Mau meeting sama Bu Anna, Bu. Gimana?” sahut gue dan meletakkan hp gue di atas laptop yang masih tertutup.“Oh, ya udah. Sania belom balik ya? Harusnya nanti sore kita meeting soal masalah kontrak kemarin itu,” kata Bu Angel.“Udah otw ke sini Bu, Ci Sanianya!” kata Rahma cepat-cepat.“Oh, bagus deh. Kalo gitu nggak jadi ya, Ri!” kata Bu Angel sambil menepuk-nepuk bahu gue.Rahma yang melihat sikap Bu Angel kepada gue itu tertegun sejenak. Namun tak berapa lama dia kembali lagi bekerja. Ya gue cukup kaget sih dia nepuk-nepuk bahu gue kaya gitu. Jujur aja dia nggak pernah gitu sama sesama karyawan wanita lainnya.“Tadinya tuh gue
Seingat gue itu hari itu panas luar biasa. Sales bahkan nggak kelihatan di kantor satupun. Kayanya sih kalo mereka di project, mereka nggak akan milih buat balik kantor lagi. Kalau nggak ngadem di café atau workspace, mereka pasti balik ke tempat tinggal masing-masing. Begitupun gue. Perjalanan dari satu tempat ke tempat lain bener-bener terasa menguras tenaga hari ini. Belum macet di mana-mana.Untungnya, ground floor gedung bank tempat Bu Ana bekerja ini punya café dan koneksi internet yang cepet. Jadi biar nggak dikata ngebolos, gue kerja di situ sebentar sama Ronald, salah satu tim engineer gue yang biasa nemenin gue selain Yudha.“Ri, lo mau balik ke kantor nggak?” tanya Ronald.“Kayaknya enggak deh. Lo sendiri gimana?” tanya gue balik.“Kayanya gue malah mau balik ke atas. Ada masalah sama aplikasi yang lagi diupgrade,” sahut Ronald sambil membereskan laptop dan kabel-kabelnya.Ronald kemudian
Seperti yang udah gue dengar sebelumnya dan harus gue rahasiakan, kedatangan Bu Nami sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan oleh Pak Jaya. Tentu saja dia nggak sendiri. Dia bahkan punya sekretaris pribadi bernama Ayu. Ayu bahkan disediakan tempat di area divisi sekretaris. Sofa mini yang biasa dipakai kami semua untuk duduk-duduk menunggu antrian penyerahan dokumen ke C level untuk ditandatangani, tak ada lagi. Sofa mini itu diganti dengan meja bulat kecil dan kursi 4 biji melingkarinya. Ayu duduk di sana, dan bagi kami para fakir tanda tangan, bisa menunggu di salah satu kursi itu. Yang artinya duduk bersamanya.Menyenangkan? Tentu saja enggak. Gue nggak mengenal Bu Nami dengan baik. Begitupun gue juga enggan untuk beramahtamah dengan Ayu. Dan sama seperti gue, karyawan lain akan merasa canggung duduk berdekatan dengannya.Bu Nami tak memiliki ruangan sendiri. Dia selalu duduk di manapun di area lounge. Dia tak membawa laptop, hanya Ipad dan keyboard portable yang
Siapa sih yang nggak kesal kalau posisinya terancam? Apalagi posisi yang udah dia pegang selama bertahun-tahun tanpa adanya intervensi dari pihak manapun? Bagaikan Raja kecil, Bu Wanda selalu merasa dia bisa berbuat apapun sesuai kehendaknya. Peraturan-peraturan mengenai karyawan yang sudah disesuaikan di UU ketenagakerjaan banyak yang dilanggarnya. Gue juga heran gimana bisa semua itu lolos dari pantauan kementrian. Kalo kata Victor sih, klausul-klausul di kontrak kerja karyawan banyak yang membuat kementrian sendiri nggak bisa berbuat apa-apa. Apalagi kontrak kerja itu sudah dittd oleh masing-masing karyawan di atas materai. Sudah sah banget secara hukum jadinya. Peraturan-peraturan itu sedikit demi sedikit dievaluasi lagi sama Pak Jaya. Dia akan mempertahankan yang akan dipertahankan dan merubah yang tidak sesuai dengan cara memimpinnya. Makanya orang-orang di divisi HRD lagi rajin banget meeting. Kaya hampir tiap hari mereka mondar-mandir ke ruang meeting. Sekalinya kela
Waktu gue masuk ke ruang divisi legal, ruang yang sempit itu hanya menyisakan Hanna di sana. Bu Res nggak ada. Dua orang lainnya pun tak ada. Asisten Hanna sendiri nggak ada di tempatnya. Hanna tampak sedang membereskan semua dokumen-dokumennya. Besok adalah hari terakhir dia di kantor. Sisa cuti 5 hari dia ambil semua, sehingga tanggal 22 Maret 2019 adalah hari terakhirnya di kantor ini. Gue melempar senyum. Hanna membalas senyum gue dengan canggung. “Beberes Ci?” tanya gue. “Well, iya nih. Gue harus cabut besok kan. Dan gue mau bawa beberapa barang gue yang ada di sini. Biar besok nggak banyak-banyak banget bawa barang apa-apa. Tinggal keliling salaman, maap-maapan, gitu aja,” sahut Hanna sambil memasukkan barang pribadinya ke kardus yang sudah dia siapkan. “Kaya lebaran aja, Ci,” kata gue meledek. Hanna tertawa. Ya, itu dia tertawa pertama kali karena candaan gue. “Hahaha, iya juga ya. Ngapain gue minta maaf segala. Mereka yang ngedepak gue
Ruangan meeting Sansekerta tampak mencekam saat gue masuk. Auranya bener-bener kaya aura lagi ada sidang pembunuhan di dalamnya. Gue dan Victor yang sepakat untuk masuk ke dalam bersama-sama, sama tegangnya satu sama lain. Apalagi beberapa pasang mata menatap kami begitu tajam saat kami masuk. Termasuk Bu Wanda. Bawahannya yang ikut serta di dalamnya, juga sama. Padahal biasanya Sonny ramah banget sama gue. Tapi kali ini enggak. Mungkin dia sendiri merasa terancam juga posisinya sekarang karena dia juga bawahan Bu Wanda. Apalagi Mba Kamila, yang awalnya emang nggak pernah ramah sama gue, dagunya kaku banget kaya lagi sakit gigi. Gue dan Victor berjalan masuk, kami nggak mencetak laporan kami selembarpun, kami hanya membuatnya dalam bentuk word yang akan disiarkan di proyektor. Di deretan depan ada Bu Angel dan Pak Vino. Nggak lupa ada Pak Jaya, Pak Marjan, Bu Nami serta sekretaris kesayangannya, Ayu, si cewek kecil berkacamata. “Langsung dicolok aja laptop ke kabel p
Gue menunggu driver langganan gue di lobby kantor, saat gue lihat Olin turun pelan-pelan sambil membawa dokumen. Dia tersenyum pada gue dengan ramah. Kemudian berjalan menuju resepsionis, menyerahkan dokumen tersebut. Setelah berbincang sejenak, dia menghampiri gue. “Mau ke mana, Mba?” tanya Olin sambil duduk di sebelah gue. “Mau meeting sama klien,” sahut gue sambil tersenyum. “Bentar lagi lunch kan?” timpal Olin. “Nggak papa, gue udah bawa roti di tas gue,” sahut gue tenang. “Lo sendiri? Nggak makan?” “Ini lagi nungguin ojol, tadi temen-temen ngajakin beli bubble drink sama-sama.” “Wah enak tuh.” “Hehehe, iya. Btw, Mba, aku mau bilang makasih. Nyari kesempatan buat ngomong ke Mba secara langsung susah bener. Baru sekarang pas waktunya.” “Eh, iya, makasih buat apa, Lin?” “Udah ngebelain Olin.” Gue masih terdiam. Jujur aja, otak gue nggak konek waktu itu, karena pikiran gue lagi ke mana-mana. “It