Tim yang berangkat ke LA tampaknya sangat menikmati perjalanannya, karena Sania berkali-kali screenshoot status WA sampai sosial media mereka untuk dikirim ke gue. Dia agak-agak kesal nggak diajak tapi nggak mungkin juga ngajakin dia pergi. Sedangkan gue? Gue cukup senang nggak ikutan pergi. Menurut lo pergi bareng bos-bos itu enak? Yakin deh, kalo gue ikut mereka bakalan jadi babu dadakan. Ogah gue.
Gue mulai sedikit banyak pergi ke divisi FA, yang isinya orang-orang super pendiam itu. Biasa, kulik-kulik. Tapi kali ini gue membawa beberapa dokumen yang seharusnya biasanya dikerjakan sama si Rahma. Dengan dalih meringankan pekerjaannya gue akhirnya yang submit nota reimbursement kerjaan gue ke sana sendiri. Rahma sih nggak keberatan dan nggak curiga cuga sama sekali. Dia malah mikir, gue cukup meringankan beban pekerjaannya.
Divisi FA sunyi seperti biasanya. Kalau yang kedengeran nggak suara printer ya suara ketikan laptop. Secara otomatis, siapapun yang ke sana akan b
Menemukan celah dari SOP lama dengan real case ternyata memang banyak banget hal yang nggak sinkron. Contohnya nih ya, gue nemuin kalau misalkan nota reimbursement itu bisa diakalin pake nota-nota kosong. Sebenernya ini nggak masalah sih soalnya emang beberapa case nggak bisa terelakkan, kaya pembelian ATK di toko yang nggak ada nota, ya udah tinggal bayar gitu. Atau misalkan kaya kemaren, case gue tinta billnya udah nggak jelas. Mau nggak mau kudu bikin nota cadangan. Untungnya gue ada sempet foto bill-bill itu. Jadi nggak masalah.Celah ini biasanya dimanfaatin sama anak-anak sales yang emang tahu kalau celah tersebut bisa dimainin. Biasanya sih senior-senior yang berani. Kalau cupu kaya gue, Veve atau Nana, kayanya nggak mungkin banget punya nyali segede itu. Apalagi kami semua masih dalam status kontrak. Kaya kemarin dinner bareng-bareng, gue pikir itu pake duit pribadi Bu Angel, nyatanya, beliau ngajuin reimbursement pake budget entertainment perusahaan. Gue liat dokumen
Nggak tahu ya, hubungan antara Bu Cla dan Pak Marjan udah sejauh apa. Tapi waktu gue makan siang bareng Bu Ana, mereka tampak bercengkerama di meja tempat mereka makan. Tangan mereka bertaut. Bu Ana, kesel sendiri ngeliatnya. Gue cuma geli aja ngeliat Bu Ana geregetan liat ulahnya Bu Cla dan Pak Marjan. Dia maki-maki, bahkan sempet mau foto, tapi secepatnya gue larang.“Nggak usah, Bu. Buat apa? Kita juga nggak kenal istri Pak Marjan, sebagai korban,” kata gue. “Bukannya saya mau ngebela mereka. Tapi, nggak etis aja kita foto-foto mereka, ikut campur kesannya.”Bu Ana diam sebentar. Meskipun kesal, akhirnya dia menyetujui saran gue.“Iya, bener sih. Udah deh nggak jadi. Malah panjang nanti. Apa aku kenalin si Clafita sama orang lain lagi ya?”“Nggak usah, Bu. Malah repot di kita nggak sih? Biarin aja, belum kena batunya mereka itu.”Gue akhirnya berbincang lagi masalah lain untuk mengalihkan pembicara
Pak Vino memuji analisis gue bagus banget buat laporan yang pertama minggu itu. Makanya pas Senin minggu berikutnya, gaji gue udah ditransfer via Paypal sama orang Singapore. Lumayan. Wajah gue yang ceria karena abis dapet duit, diledekin abis-abisan sama Veve dan Nana. Ya iyalah, siapa sih yang nggak seneng hasil kerja kerasnya terbayar?Pak Vino sama sekali belum kasih mandat permintaan email terbaru hari itu saat gue menyadari ada suara anak kecil di kejauhan.“Anaknya Mba Ibel,” kata si Rahma membuka suara, menyadari wajah bingung yang terlihat jelas di wajah gue.“Oh, boleh dibawa ke kantor?” tanya gue. “Bukannya Bu Gian nggak suka anak-anak ya?”“Nggak suka beranak bukan berarti nggak ngebolehin karyawannya bawa anak. Cuma hari ini aja kok sampe dapet ART baru. ART nya yang lama minggat bawa kabur baju sama duit 100ribu. Karena anaknya nggak ada yang jaga ya udah di bawa ke kantor. HRD sendiri ngizinin kok,
Veve udah mulai mengalihkan project-projectnya ke Nana. Bahkan dia udah mulai bersihin lokernya. Sampe dilap segala lho! Meja yang sering dia pakai juga akhirnya dibereskan. ATK-ATK lucu dikasihkan ke Nana, sampai bantal leher dan juga teko listrik milik dia. Dia bener-bener udah siap cabut. Kayanya udah kepalang seneng tuh anak. Pekerjaan barunya juga kayanya menyenangkan. Jadi sales digital di sebuah startup.Hanna yang tadinya biasa aja, makin hari makin galau. Dia ngerasa ditinggal temen terdekatnya di kantor. Bahkan yang tadinya dia semangat ngasih gift ke Veve malah jadi bingung sendiri. Akhirnya kita sepakat nyari di ecommerce untuk ngasih Veve tas laptop cantik, dan Hanna jadinya tiap hari cuma pasang muka cemberut.Nana sendiri sedih nggak sedih. Tapi mereka berdua kan rumahnya deketan, jadi sebenernya nggak masalah. Apalagi ortu mereka juga saling kenal dan ngehandle grup arisan ibu-ibu barengan. Cuma semuanya emang udah diatur sama yang di atas. Jadi resign
Kalo lo lihat langsung, si Natasha, anaknya modelannya kaya gue beda tipislah. Kesannya pendiem, introvert dan nggak banyak omong. Tadinya waktu Nana komplein, gue bisa cukup mengerti keadaan Natasha. Namanya juga anak baru, fresh graduated lagi. Mungkin masih terlalu idealis. Nggak nyatet? Ya mungkin sungkan aja harus nyatet di tengah penjelasan senior. Ada kan emang, tipe yang harus fokus sama satu hal yaitu mendengarkan misalnya?Dan hebatnya, dia bisa akrab sama Sania, gara-gara mereka satu kampung dari Medan dan juga rumahnya searah, beda kompleks doang. Padahal Sania itu meskipun emang carmuk banget orangnya, dia nggak gampang deket sama orang. Temennya satu-satunya cuma si Rahma. Apalagi sejak jadi new mom, dia kayanya males banget ngobrol lama-lama sama orang, pasti kepotong merah ASI atau neleponin nanny-nya di rumah.Meskipun jelas-jelas Natasha anak orang kaya, keliatan banget dari fashionnya yang bermerk, tapi taste dia untuk mix and match kurang oke. Suka
Kehidupan para pelakor di kantor gue, eh tunggu, sadis nggak sih gue sebut mereka pelakor? Ya emang belum secara pasti terang-terangan mengakui sama gue, tapi ya udahlah ya. Pokoknya kehidupan Bu Cla maupun Bu Angel kayaknya adem ayem aja. Mau siapapun ngegosipin mereka, mereka tetep naik daun. Mereka bahkan semakin moncer dengan masing-masing project yang mereka cari. Entah gimana caranya. Gue jujur nggak peduli. Cowok yang deket sama mereka bisa aja jadi andil sama kesuksesan mereka dapet project. Dua-duanya kan nggak main-main jabatannya.Jadi, di kantor gue pun, gossip soal mereka selalu dinanti tapi cepet nguap begitu aja kalo udah itungan hari berlalu. Termasuk tentang gossip baru soal Bu Angel yang notabene punya apartemen baru.Dia nawarin, kalau misalkan gue atau salah satu timnya butuh tempat buat meeting tapi lebih casual, dia bisa nyediain di apartemen dia yang emang udah di setting home office. Ada meja meeting, mesin teh, mesin kopi bahkan meja meeting ya
Suatu siang yang terik dan kebetulan gue baru kelar meeting di customer dan bersiap menuju customer berikutnya bersama tim gue, telepon gue berdering. Ternyata Bu Ana.“Mba, kamu udah arah sini belom?” tanya Bu Ana, ada nada panik di suaranya.“Hmmm, baru mau order taksi online, Bu. Ada apa ya?” tanya gue balik sambil memberi isyarat pada salah satu tim gue, Yudha untuk jangan order taksi online dulu.“Hmmm, saya ada meeting dadakan. Bisa di post poned minggu depan nggak ya?” tanya Bu Ana. “Maaf ya, biasaaa, direktur nggak bisa ditebak!”“Ohhh, oke, nggak masalah. Nanti kita atur lagi deh Bu di grup WA ya,” sahut gue cepat.Tak perlu waktu lama, Bu Ana dan gue segera mengakhiri percakapan via telepon. Yudha dan Ronald menatap gue dengan lekat-lekat, menunggu instruksi selanjutnya. Pak Muh, akhirnya langsung balik lagi ke lantai atas customer kami, buat ngecek para tim engineer yang masih a
Tak sampai di situ, kecurgiaan Pak Adnan mengharuskan Pak Marjan disidang bersama di suatu hari di hari kamis, pertengahan bulan November 2018. Saat itu hujan deras di luar. Gue tadinya mau pulang on time nggak jadi. Beberapa karyawan yang beruntung bisa segera pulang sama-sama nebeng yang bawa mobil. Yang nggak beruntung kaya gue cuma bisa menunggu sampai hujan selesai.Bu Angel masih meeting bareng Okan. Anwar udah ngibrit pulang, meskipun dia naik motor, dia yang penting on time. Hujan nggak masalah. Rahma juga udah pulang bareng Sania naik taksi online, barengan Maria, si anak sekretaris, yang kebetulan searah.Gue baru sadar, nggak banyak yang tinggal. Nana dan Victor nebeng Hanna pulang. Hanna tentu saja nggak menawari gue, hahaha. Mereka emang mau mampir ke salah satu restoran BBQ Korea non halal. Menyadari nggak banyak yang tinggal, gue akhirnya ke lounge. Mau main PS bentar sama nungguin hujan.Di lounge sendiri cuma ada sedikit orang. Sepasang anak eng
Namun kejanggalan yang lain yang gue temukan, malah bukan soal Bu Angel lagi. Mungkin Bu Angel berhasil diredam dan nggak mencuat, setidaknya gitu yang gue pahami. Tapi soal Pak Marjan dan Bu Cla.Gue pikir, mereka juga udah adem. At least kalopun emang masih ada hubungan, mereka nggak yang seenak jidat muncul di publik sebagai pasangan. Tapi, gue malah ketemu mereka, saat gue sedang antri beli kopi di salah satu kedai kopi di dekat kantor.“Siang, Bu, Pak!” sapa gue dengan lantang pada mereka yang baru masuk ke barisan antrian, yang kebetulan sebagai pengantri terakhir.Mereka nggak bisa mengelak untuk nggak ngantri di belakang gue, karena memang belum ada pelanggan lain yang masuk. Bu Cla akhirnya cuma bisa tersenyum. Sedangkan Pak Marjan malah tampak tak peduli dengan kehadiran gue di situ. Sudah biasa, dia cuma nyapa yang menurut dia satu level sama dia. Sedangkan gue? Gue cuma budak corporate aja, nggak lebih dari itu.Waktu gue order, Bu
Kepulangan gue dari Singapore disambut kabar tak enak saat gue masuk ke kantor. Desas-desus soal Bu Angel jadi simpanan udah jadi bahan obrolan blak-blakan siapapun. Dulu, biasanya cuma jadi bahan ghibah underground. Soalnya nggak banyak yang tahu cowoknya siapa. Meskipun beberapa dari mereka bisa menebak bahwa dia adalah orang penting, bukan orang biasa.Makanya, gue pun nggak ketemu sama sekali dengan Bu Angel saat kedatangan gue pertama di kantor dari liburan. Oleh-oleh yang gue sengaja beli khusus buat dia bahkan nggak disentuh sama sekali sama dia di meja yang biasa dia duduki. Dia nggak pernah muncul di kantor. Semua koordinasi bahkan lewat email dan telepon aja. Chat gue bahkan dibaca dan dibalas bisa sehari kemudian. Itupun ngambang. Padahal gue lagi butuh dia buat nge-guide customer gue yang baru yang gue dapet dari bokapnya Hafis, anak perusahaan Bank lama yang mau mandiri dan bikin manajemen sendiri.Tentunya itu nggak gampang. Selain karena pasti banyak per
Gue adalah orang yang paling terakhir ke basement. Ditemani Hafis, sebagai juru kunci apartemen, kami berdua sama-sama turun. Seharusnya, lift ini bisa disetting langsung ke basement, tapi entah kenapa, lift berhenti di lantai Ground, tempat lobby berada.Gue hampir menahan napas saat gue sadar, yang masuk ke dalam lift adalah istrinya Pak Abimanyu, yang sampai saat itu gue nggak tahu namanya. Menyadari ada Hafis, dia hanya tersenyum namun setelah itu memalingkan muka dan menunduk. Gue dan Hafis tahu dia habis atau masih menangis. Hanya saja kami berdua merasa kikuk untuk berbincang. Akhirnya lift melaju menuju basement dengan sunyi senyap. Suara mesin lift yang halus terdengar samar menjadi satu-satunya background suara.“Ting!”Lift berhenti. Wanita tadi mengangguk pada Hafis dengan sopan tanpa berkontak mata bersiap untuk pergi.Ternyata, kami menuju basement yang sama, meskipun masih ada 3 lantai basement lagi. Gue yang tahu kalau dekat de
“Sebelum berangkat, jangan lupa kumpul dulu di tempat gue!” Hardik Hafis mengingatkan di telepon.Gue yang masih di kantor dan izin setengah hari itu langsung memakinya.“Nggak usah teriak-teriak juga, kali!” kata gue kesal.“Lo di mane nih?” tanya Hafis.“Masih di kantor gue cuy!” sahut gue.“Are you kidding me? Lo izin setengah hari?”“Iyap! Gue nggak mau rugi, man! Penerbangan kita kan masih jam 7 malem. Nanti istirahat makan siang gue balik kosan dulu, ganti baju terus ke apartemen lo.”“Ya udah, pokoknya jam 4 sore kita berangkat ya dari apartemen. Kalo lo telat dikit, gue tinggal. Ngerti lo?”“Iya, iya, tenang aja!”“Oke deh, gue udahan ya! Mau nelepon yang lain.”“Siap.”Gue kadang geli sama sifat perfeksionisnya Hafis. Kaya kalau kita mau trip bareng-bareng kaya gini, pasti kita ak
Gebrakan pertama yang dibuat HRD adalah mereka membuat HRD Socialization Day setiap satu bulan sekali. Makin padat nggak tuh jadwal gue di kantor. Ada Sales Monthly Meeting, ada Quarterly Meeting dan kali ini ada HRD Socialization Day yang diprakarsai Bu Sylvi lewat email blast-nya hari ini. Gue yang lagi kelar meeting bareng Yudha dan Ronald langsung mengeluh saat mengecek email itu dari hp kami. Tentu saja bagi kami yang mirip sebagai pekerja lapangan itu cukup memberatkan.“Gue udah dapet mandat nih di group WA, kalau dari divisi gue, digilirin aja jadwal yang ikut sosialisasi itu. Kan lo tahu anak engineer sebanyak apa, jadi kaya dibagi dua orang per sesi. Bagus deh jadinya adil. Kalo yang nggak bisa dateng boleh tukeran jadwal sama yang belum pernah dateng,” kata Ronald sambil menunjukkan WA grupnya.“Beneran tuh?” sahut Yudha.“Beneran, makanya kalo punya grup WA dibaca dong, bro!” sahut Ronald.“Bukannya gi
Awal bulan Juni tahun 2019 bertepatan dengan libur panjang Hari Raya Idul Fitri 2019. Tentu saja kantor gue baru officially masuk di tanggal 10 Juni. Trip gue bareng geng Sableng harus diundur hingga bulan depan. Gue enggak enak sama mereka sebenarnya, cuma mengingat seharusnya Bu Sylvi, pengganti Direktur HRD sudah datang, dan cuti gue bisa disapprove. Lagian nggak cuma gue yang mengalami hal yang sama. Untuk cuti lebaran semuanya sudah approve kecuali cuti harian, semuanya masih menunggu approval HRD.Ada opsi lain. Pak Vino udah nawarin ke kami semua kalau mau cuti, cuti aja izin ke dia, nanti dia catetin, sambil nunggu sistem beres. Kalau udah beres, dia akan minta HRD input semua kuota cuti yang terpakai. Cuma kaya ribet aja harus laporan dulu ke dia. Pasti gue harus ngejelasin mau ke mana. Mana kontrak kerja gue ditangguhkan lagi. Ini kejadian yang persis sama kaya waktu Nana dulu. Bedanya kalau dulu ngebenerin sistem, kalau sekarang nggak ada yang approve sistemnya. Ja
Selama menunggu pengganti resmi, Bu Nami membantu beberapa pekerjaan HRD. Misalnya untuk review kebijakan baru, review cuti, review sistem dan lain-lain, namun bukan sebagai final approval. Dia mencatat banyak hal, untuk dilaporkan kepada Pak Jaya. Seperti biasa, sistem karyawan milik gue belum bener. Alamat trip sama geng Sableng bakalan diundur. Untungnya mereka bisa ngerti dan menunggu sinyal oke dari gue.Beberapa pekerjaan gue sebagai sidekick sudah banyak berkurang, dulu seminggu sekali pasti ada job, sekarang, bisa 2 sampai 3 minggu sekali, itu pun cuma ngecekin SOP-SOP baru doang udah sampai proses apa. Dari situ gue banyak tahu, beberapa alur proses ada yang diubah sedikit, adapula yang dirombak abis-abisan. Terutama soal budget entertainment ke customer. Bahkan terang-terangan ditulis, perwakilan kantor gue yang biasanya 2-3 orang, dibatasi hanya 1 orang aja. Kalaupun nambah, FA berhak nggak approved sisanya. Hal ini dikecualikan jika gue udah kasih proposal di awal
Gue kaget setengah mati saat Sania dan Rahma memberitahu bahwa hari itu adalah hari terakhir Bu Wanda bekerja bersama di kantor ini. Meskipun sebenarnya gue sudah mengira kejadian ini akan segera datang, tapi gue nggak menyangka bahwa hari itu adalah hari yang sudah gue prediksi selama ini. Wajah para bawahannya tampak sedih. Karena bagaimanapun juga Bu Wanda sudah bergabung lama dengan perusahaan. Beberapa orang memberikan ucapan selamat dan menyalaminya dengan sopan. Meskipun akhir-akhir ini banyak tersulut emosi, Bu Wanda nyatanya tetap membagi-bagikan kue donat untuk dibagi-bagi ke seluruh divisi. Gue sendiri juga dapet bagian. Lumayan snack time di sore hari. Beberapa orang berkerumun untuk ngajak foto farewell. Tentu saja gue enggak ikutan atau sedikitpun tertarik. Sania dan Rahma nggak mau ketinggalan. Sepertinya banyak yang ingin foto bareng sama beliau untuk terakhir kali. Namun hal itu nggak membuat gue berkeinginan yang sama. Gue sendiri belum genap 1 tahu
Seharusnya udah musim kemarau, tapi bulan April itu gue disambut hujan deras di awal bulan. Banyak yang masih bertahan di kantor karena nggak menyangka hujan akan turun sederas itu. Biasanya bulan April bakalan jadi sisa-sisa musim penghujan. Namun nyatanya, hujan masih sederas bulan Desember dan Januari. Gue yang mau pulang akhirnya mengurungkan niat dan mengajak Anwar buat main PS di lounge.“Nggak berani gue, Kak!” sahut Anwar sambil mengeluarkan hpnya dengan niat main game online sambil menungggu hujan.“Kan udah selesai jam kerja, dodol!” timpal gue kesal.“Boleh kali, War, main PS, orang disediain juga! Gue liat-liat lo sekarang jiper amat! Biasanya juga seenaknya lo!” ledek Sania.Anwar menarik napas.“Ya udah ayok, tapi bentar aja ya, gue mau nerobos hujan aja. Mau pulang cepet, nyokap masak opor ayam kesukaan gue nih!” sahut Anwar dan mengikuti gue menuju ke lounge.Untungnya di sana t