Selama di perjalanan itu, dalam panggulan Antaguna, Puti Bungo Satangkai selalu mencoba untuk bisa bebas dari belitan benang-benang halus berwarna merah itu. Tapi sebelum itu, ia harus bisa melepaskan pengaruh totokan pada tubuhnya terlebih dahulu.Meskipun ia menyesal karena sempat menganggap enteng senjata berupa jaring merah itu sebelumnya, namun hal itu sudah tidak berguna lagi. Bungo tetap memantapkan tekadnya untuk bisa lepas dari cengkeraman Antaguna.Sudah sedari beberapa saat yang lalu, ketika kuda hitam tunggangan Antaguna meninggalkan kawasan hutan di belakang, lalu berbelok memasuki kawasan ke arah barat. Bungo tidak lagi mendengar suara tawa pria berbada besar tersebut.Sang gadis semakin yakin bahwa Antaguna memang membawanya ke arah barat sebab dari posisi mereka itu, ia sudah bisa mendengar deburan ombak memecah di tepian, atau aroma garam yang terbawa embusan angin malam ke daratan.Sekian lama ia berada di bahu kanan Antaguna dengan kuda hitam besar yang menerabas se
Tatapan Puti Bungo Satangkai pada pria berbadan besar dan berotot itu semakin tajam laksana mata pedang yang terasah dengan sempurna. Tapi pria tersebut menanggapi tatapannya dengan tawa halus.“Sudah kukatakan, bukan?” ujar Antaguna. “Aku tidak ingin melihatmu mati kehausan.”Antaguna membuang daun talas begitu saja setelah air di dalamnya habis. Ia duduk begitu saja di tanah, menghadap ke arah sungai dengan dua lutut bertekuk ke atas. Untuk sesaat, ia memejamkan matanya demi meresapi embusan angin yang sepoi-sepoi.“Ke arah hilir sungai ini,” ia membuka matanya, melirik pada Bungo, lalu memandang ke arah kiri, arah hilir sungai. “Ada sebuah kawasan yang berdekatan dengan pantai. Cukup tersembunyi.”Antaguna kembali memandang pada gadis di atas gundukan tanah, ia tersenyum lagi, dan menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.“Sungguh,” ujarnya. “Jika menurutkan keinginanku, aku akan memperkosamu di sini, saat ini, sekarang juga.”Bungo menyipitkan pandangannya, laksana sepasang pedang kemb
“Apa kau tetap akan diam seperti ini, hah?!” Antaguna mengguncang-guncang bahu Puti Bungo Satangkai. “Katakan sesuatu padaku, gadis sialan!”Sebab tidak bisa lolos dari cengkeraman Antaguna, Bungo hanya bisa berdoa demi keselamatannya meskipun hal itu mustahil akan terjadi mengingat bagian kiri pakaiannya telah robek besar, dan Antaguna sendiri yang sepertinya telah sangat berahi.Lalu, doa-doa itu menjadi sesuatu yang sangat menyesakkan dadanya hingga Bungo tak mampu menahan kepedihan akan nasib buruk yang sekejapan mata lagi saja menimpanya. Rasa sesak yang pada akhirnya memancing air matanya untuk berderai, bergulir perlahan menuruni pipinya.Antaguna menyipitkan matanya, ia melihat air mata yang bergulir itu.“Argh…!” saking kesalnya, ia mendorong begitu saja sang gadis hingga tertelentang di atas dipan berlapis beledu tersebut. “Sialan! Sialan! Apa kau bisu, hah? Kenapa tidak menjawab kata-kataku?!”Semakin kesal dan bertambah kesal, Antaguna merasa tengah dipermainkan sang gadis
Mendengar kata-kata Antaguna yang cukup tajam itu, Puti Bungo Satangkai akhirnya tidak tahan untuk bereaksi. Setidaknya, ia ingin membalas kata-kata kasar pria tersebut andai ia bisa bicara.Tapi, tidak masalah! Pikirnya.Entah terhasut oleh apa, Bungo justru mendekati Antaguna, lalu menggunakan kedua tangannya untuk berbicara kepada Antaguna meskipun ia tidak yakin bahwa pria itu akan paham.‘Memangnya kenapa jika aku pasrah pada perbuatanmu? Kau sudah jelas berniat memperkosaku, dan aku berada dalam pengaruh totokanmu!’Antaguna membelalak, ia mengubah posisi duduknya dengan lebih baik. Memandang tak berkedip pada Bungo yang berhenti sekitar lima langkah di hadapannya.“Kau—”‘Kenapa?’ Bungo mendelik. Kata-kata Antaguna tadi itu sangat menyingung perasaannya. ‘Aku memilih pasrah saja sebab aku tidak bisa bicara! Apa kau buta? Tidak bisa melihat kekuranganku?’Bahkan sang gadis sampai terengah-engah sebab merasa sangat emosi dalam menyampaikan kata-katanya dengan gerakan isyarat tang
‘Tentang kemampuanku,’ ujar Puti Bungo Satangkai dengan gerakan isyarat tangannya kepada Antaguna.“Maksudmu,” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Sabai Nan Manih?”Bungo menunjuk Antaguna sembari mengangguk-angguk. ‘Lalu apa?’“Apanya yang apa? Jangan membuatku pusing, gadis sialan!”‘Hubunganmu dengan Inyiak Gadih? Dasar gila!’“Jangan mengejekku gila, berengsek!” Antaguna mendengus.Dengan langkah santai, Bungo mendekati dipan berlapis beledu itu lagi, lalu duduk manis di tepiannya.Antaguna malah mengernyit, mendesah panjang dan berat demi menanggapi tingkah sang gadis.“Berengsek!” makinya. “Jika aku tahu akan begini jadinya, lebih baik aku membunuhmu saja di dusun tadi itu!”‘Kau tidak akan melakukan itu kepadaku.’“Jangan sok yakin!” sahut Antaguna. “Kau tidak mengenalku sama sekali.”‘Itukah yang kau pikirkan?’Paling tidak, dengan mewarisi kesaktian dan ilmu silat Sabai Nan Manih alias Inyiak Gadih, Bungo juga mendapat keterampilan untuk membaca satu gelagat sebagaimana den
Sembari menunggu Antaguna yang entah sedang melakukan apa di dalam ruangan yang ada di ujung sana itu, Puti Bungo Satangkai memandang keseluruhan ruangan tersebut dengan melangkah santai, dari titik yang satu ke titik lainnya.Ruangan luas yang dipahat di dalam sebuah tebing ini terasa lebih sejuk, pikir sang gadis. Mungkin karena berdekatan dengan kawasan pantai, dan di sekitar tebing itu tadi ia sempat melihat pepohonan masih cukup rimbun, juga di bagian atas tebing itu sendiri.Lalu, Bungo mendengar suara cipratan air, ia tersenyum. Dugaannya, Antaguna pasti sedang mandi di dalam ruangan di ujung sana.Merasa pria tinggi besar dan berotot itu akan lama di dalam kamar mandinya, Bungo memutuskan untuk keluar saja.Angin laut yang berembus langsung menyapa sang gadis ketika ia baru saja berada di luar. Ia melihat kuda hitam bernama Sikumbang, sedang asyik mengunyah rumput di sisi kanan.Karena berada di tepi laut, tentu saja tanah di sekitar sana tertutup oleh pasir putih. Bungo melih
Selama pria berbadan besar dan berotot melakukan hal tersebut, selama itu pula Puti Bungo Satangkai memerhatikan. Bukan tentang ia yang takut diracuni atau sejenisnya, tapi lebih kepada ekspresi pria itu sendiri yang cukup menggelikan baginya.“Kau lihat?” ujar Antaguna sembari mengusap mulutnya dengan punggung tangannya. “Tidak ada racun dalam makanan itu, gadis sialan!”Lalu, Bungo tertawa-tawa sembari menunjuk-nunjuk Antaguna. Ia sudah tidak bisa lagi menahan tawanya, terlebih pada saat itu mulut Antaguna belepotan.“Berengsek!” dengus Antaguna. “Kau malah menertawaiku.”‘Kau sangat lucu!’Antaguna membelalak. “Hei, jangan sembarangan menilaiku. Aku ini penjahat, seorang pemimpin penjahat pula. Jangan seenaknya menganggapku sebagai seorang pelawak! Kau menjatuhkan harga diriku, kau tahu itu?!”Tapi wajah kesal pria tersebut justru semakin membuat tawa sang gadis berderai, seperti ia sulit untuk menghentikannya.“Berengsek!” dengus Antaguna.Dan ia memilih untuk diam sampai gadis it
“Ya, ya,” ujar Antaguna tanpa melirik sebab ia sudah paham dengan apa yang hendak ditanyakan oleh sang gadis. “Kau bertanya apakah aku mengenali benda yang menjadi liontin kalungmu itu, bukan?”Bungo mengangguk-angguk.“Maaf-maaf saja, gadis aneh,” ujar Antaguna. “Aku tidak tertarik dengan benda-benda seperti itu. Aku lebih suka merampas permata, emas, berlian, atau perak. Jadi, yah,” ia mengendikkan bahunya. “Aku tidak tahu.”Bungo mendesah panjang, ia memerhatikan liontin di tangannya itu untuk sesaat sebelum ia simpan kembali ke balik bajunya.Antaguna menyadari perubahan yang sesaat di wajah sang gadis, ia menghela napas dalam-dalam.“Hei,” ujarnya, lalu ia duduk di bangku panjang itu, di samping kiri Bungo, dipisah oleh piring tembikar. “Apakah kau turun gunung untuk mencari sesuatu yang ada hubungannya dengan liontinmu itu?”Bungo mengangguk.“Lalu, kemana tujuanmu sebenarnya, sampai-sampai kau rela meninggalkan makam Sabai Nan Manih dan suaminya itu?”Sang gadis meraih sebuah r
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau