“Ya, ya,” ujar Antaguna tanpa melirik sebab ia sudah paham dengan apa yang hendak ditanyakan oleh sang gadis. “Kau bertanya apakah aku mengenali benda yang menjadi liontin kalungmu itu, bukan?”Bungo mengangguk-angguk.“Maaf-maaf saja, gadis aneh,” ujar Antaguna. “Aku tidak tertarik dengan benda-benda seperti itu. Aku lebih suka merampas permata, emas, berlian, atau perak. Jadi, yah,” ia mengendikkan bahunya. “Aku tidak tahu.”Bungo mendesah panjang, ia memerhatikan liontin di tangannya itu untuk sesaat sebelum ia simpan kembali ke balik bajunya.Antaguna menyadari perubahan yang sesaat di wajah sang gadis, ia menghela napas dalam-dalam.“Hei,” ujarnya, lalu ia duduk di bangku panjang itu, di samping kiri Bungo, dipisah oleh piring tembikar. “Apakah kau turun gunung untuk mencari sesuatu yang ada hubungannya dengan liontinmu itu?”Bungo mengangguk.“Lalu, kemana tujuanmu sebenarnya, sampai-sampai kau rela meninggalkan makam Sabai Nan Manih dan suaminya itu?”Sang gadis meraih sebuah r
‘Bisakah kau menunjukkan padaku jalan tercepat untuk mencapai Istana Minanga?’ tanya Puti Bungo Satangkai dengan bahasa isyaratnya pada Antaguna.Antaguna menghela napas dalam-dalam. Sepertinya memang ada hal yang sangat besar yang ingin dicari tahu oleh gadis yang satu ini, pikirnya.“Tidak ada jalan tercepat untuk mencapai Kotaraja,” ujar Antaguna sembari menunduk. “Tidak dari kawasan Pantai Sungai Suci ini.”Jadi, itu nama kawasan nan elok ini? pikir Bungo.“Jalan tercepat,” Antaguna melirik lagi wajah indah di samping kanannya itu. “Hanyalah dengan kau secepatnya tiba di Danau Singkarak. Di sisi timur danau itu, kau akan menemukan pintu pelabuhan besar yang langsung terhubung dengan titik awal Sungai Batang Kuantan. Dari sana, kau bisa menyewa perahu untuk menuju ke Kotaraja.”Antaguna berdiri, pasir-pasir yang menempel di celananya tidak ia hiraukan.“Kau akan tiba di Danau Singkarak jika kau menelusuri perbukitan itu!”Bungo melirik ke arah yang sedang ditunjuk oleh Antaguna.“G
Puti Bungo Satangkai hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya saja demi mendengar nama julukan yang diberikan oleh Antaguna tersebut. Ya, nama julukan yang berawal dari mulut anak buahnya sendiri.Sang gadis sama sekali tidak tersinggung dengan nama Sibunian Tongga itu, yang memiliki makna makhluk halus yang selalu sendirian.Antaguna tercekat ketika sang gadis menyentuh tangannya dengan lembut, rona merah di wajahnya semakin menebal.“A—Apa lagi yang kau inginkan?” ujarnya tanpa embel-embel kata sialan seperti sebelumnya.Bungo tersenyum. ‘Kau pria baik. Aku akan pergi sekarang. Bila masih ada jodoh pertemuan, aku ingin bertemu lagi denganmu.’“Untuk apa?”‘Mengenalmu lebih jauh.’Antaguna mendengus, lebih seperti sedang menahan tawanya. “Kau benar-benar menyebalkan.”‘Aku tahu,’ Bungo tersenyum lagi. ‘Maukah kau berjanji?’Sebelah alis mata Antaguna terangkat lebih tinggi. “Hei,” ujarnya, tidak dengan nada yang tinggi. “Kita tidak terikat oleh apa pun. Jadi, jangan meminta
Pagi datang dengan kicauan burung-burung liar yang menyambut keceriaan bersamanya, pertanda telah dimulainya awal kehidupan yang baru, yang selalu menjanjikan kebahagiaan lewat tangan-tangan sang mentari yang menyentuh cakrawala hingga memerahkan langit timur, atau warna jingga keemasan yang semakin ke ujung semakin memudar.Puti Bungo Satangkai menggeliat sedemikian rupa, ia mengerjap-ngerjap, membuka matanya, sebelum akhirnya keluar dari cekungan tersebut.Ia merentangkan tangannya, menghirup kesegaran udara perbukitan di awal pagi itu. Memandang ke sana dan kemari demi untuk mengawasi kondisi di sekitar. Sama, kondisi di sana masih sama seperti kemarin.Sang gadis mencoba untuk melangkah ke samping kiri, mencari-cari sesuatu, dan akhirnya ia menemukan sesuatu tersebut. Sebuah aliran kecil di antara bebatuan cadas.Dengan air yang mengalir dan sangat dingin itu, Bungo membasuh mukanya, meminum air tersebut beberapa tegukan.Yah, itu sudah lebih daripada cukup, pikirnya. Mungkin nant
Puti Bungo Satangkai terus saja berlari dalam ajian Kabut Kahyangannya. Melewati kerapatan pepohonan yang begitu lebat di tengah-tengah rimba belantara. Ada kalanya ia terlihat seperti anak-anak yang baru saja belajar berlari, terlihat begitu senang dalam melakukan hal tersebut.Lagi pula, ia sengaja melakukan itu demi untuk melatih kemampuannya sendiri. Bukankah pepatah bijak mengatakan bahwa tajamnya pedang karena selalu diasah? Itu pulalah yang sedang dilakukan sang gadis.Sekali waktu, ia menggabungkan ilmu meringankan tubuhnya itu dengan ajian Menapak Langit Menggenggam Awan, sehingga tubuhnya terlihat seperti mental dari satu pohon ke pohon lainnya, seperti sebuah gerakan yang sangat acak, namun sejatinya, semua itu dalam perhitungannya sendiri.Ia terus berlari ke arah timur laut, bahkan tidak beristirahat sama sekali sampai sang mentari sedikit condong ke arah barat, ia terus saja berlari. Tentu saja, hal ini tidak mungkin ia lakukan jika ia mengikuti arahan Antaguna yang memi
Dalam hitungan detik, Puti Bungo Satangkai tiba di kawasan yang dimaksudkan oleh wanita suku Rejang yang sebelumnya itu.Di bawah sana, ada tiga orang tengah mengeroyok seseorang di tengah padang rumput yang tidak terlalu luas, berdekatan dengan tepian danau.‘Jadi, dialah Datuk Hulubalang Kerajaan itu?’ gumam Bungo di dalam hati. ‘Tapi aneh, mengapa ia terlihat masih muda? Usianya paling sama denganku.’Datuk Hulubalang Kerajaan itu memang terlihat cukup muda, berusia sekitar 30 tahun yang mana itu sama dengan usia Bungo sendiri—kecuali, Bungo memiliki kesaktian sebagaimana Sabai Nan Manih, sehingga wajah penampilannya layaknya seorang gadis yang baru berusia 18 tahunan.Pria gagah mengenakan pakaian kebesaran berwarna hijau dengan jahitan benang emas di beberapa sisi pakaiannya. Dan sebuah sarung pelikat di pinggangnya dengan perpaduan warna hitam dan emas.Bungo dapat melihat deta yang seharusnya melengkapi pakaian kebesaran itu di bagian kepala pria tersebut, sayangnya, deta itu t
Teph—teph!Dua cakar berbalut bunga api tertahan oleh dua tangan yang menyilang di depan dada. Andai sang Datuk Hulubalang tidak dapat melakukan itu, sudah dapat dipastikan dadanya akan terkena serangan langsung, dan itu pasti lebih fatal.Pria paruh baya menyeringai. Lalu…Dhumm!Hanya saja, hal yang dilakukan oleh sang Datuk Hulubalang tidaklah cukup, itu tidak menahan ledakan tenaga dalam sang penyerang yang akhirnya menghempaskan sang datuk ke tanah, terguling-guling sampai beberapa langkah ke belakang.Ia melentingkan tubuhnya sedemikian rupa, berputar dua kali, dan kembali menjejak tanah. Akan tetapi itu hanya sampai sedetik saja sebelum akhirnya ia kembali harus berlutut, wajah memerah, dua tangan terasa kebas, lalu tersedak, dan muntah darah.“Terlalu cepat bagimu untuk bisa menahan seranganku!” kekeh si pria paruh baya.‘Tidak, itu tidak benar!’ ujar Bungo di dalam hatinya. Bagaimanapun, ia dapat meliat bahwa sesungguhnya sang Datuk Hulubalang dapat menahan serangan itu seand
Akan tetapi, si Harimau Tua tentu tidak tahu apa yang ia harapkan dari gadis di hadapannya kini. Ia tidak kenal gadis itu alih-alih akan tahu bahwa dia adalah seorang gadis yang bisu—yang bahkan sang gadis hanya diam saja meski telah ia bentak sedemikian kasar.Memanfaatkan emosi lawan adalah salah satu strategi yang dipelajari ole Puti Bungo Satangkai dari Inyiak Mudo. Khususnya, ketika sang inyiak bersilat lidah dengan istrinya, Inyiak Gadih.Ketika seseorang terpancing emosi kemarahannya, biasanya seseorang itu akan bertindak membabi buta. Atau katakanlah, melakukan hal-hal tanpa perhitungan yang baik.Jadi, itu pulalah yang sedang diterapkan oleh Bungo. Andaikan ia bisa berkata-kata sekalipun, pada saat ini ia akan tetap memilih diam, menatap tajam pada si Harimau Tua sembari tersenyum tipis.Terlalu mudah ditebak, pikir Bungo ketika si Harimau Tua kehabisan kesabarannya sebab didiamkan saja olehnya.“Akan kuhancurkan kau hingga menjadi bubur,” teriak si Harimau Tua seraya melesat