Dalam hitungan detik, Puti Bungo Satangkai tiba di kawasan yang dimaksudkan oleh wanita suku Rejang yang sebelumnya itu.Di bawah sana, ada tiga orang tengah mengeroyok seseorang di tengah padang rumput yang tidak terlalu luas, berdekatan dengan tepian danau.‘Jadi, dialah Datuk Hulubalang Kerajaan itu?’ gumam Bungo di dalam hati. ‘Tapi aneh, mengapa ia terlihat masih muda? Usianya paling sama denganku.’Datuk Hulubalang Kerajaan itu memang terlihat cukup muda, berusia sekitar 30 tahun yang mana itu sama dengan usia Bungo sendiri—kecuali, Bungo memiliki kesaktian sebagaimana Sabai Nan Manih, sehingga wajah penampilannya layaknya seorang gadis yang baru berusia 18 tahunan.Pria gagah mengenakan pakaian kebesaran berwarna hijau dengan jahitan benang emas di beberapa sisi pakaiannya. Dan sebuah sarung pelikat di pinggangnya dengan perpaduan warna hitam dan emas.Bungo dapat melihat deta yang seharusnya melengkapi pakaian kebesaran itu di bagian kepala pria tersebut, sayangnya, deta itu t
Teph—teph!Dua cakar berbalut bunga api tertahan oleh dua tangan yang menyilang di depan dada. Andai sang Datuk Hulubalang tidak dapat melakukan itu, sudah dapat dipastikan dadanya akan terkena serangan langsung, dan itu pasti lebih fatal.Pria paruh baya menyeringai. Lalu…Dhumm!Hanya saja, hal yang dilakukan oleh sang Datuk Hulubalang tidaklah cukup, itu tidak menahan ledakan tenaga dalam sang penyerang yang akhirnya menghempaskan sang datuk ke tanah, terguling-guling sampai beberapa langkah ke belakang.Ia melentingkan tubuhnya sedemikian rupa, berputar dua kali, dan kembali menjejak tanah. Akan tetapi itu hanya sampai sedetik saja sebelum akhirnya ia kembali harus berlutut, wajah memerah, dua tangan terasa kebas, lalu tersedak, dan muntah darah.“Terlalu cepat bagimu untuk bisa menahan seranganku!” kekeh si pria paruh baya.‘Tidak, itu tidak benar!’ ujar Bungo di dalam hatinya. Bagaimanapun, ia dapat meliat bahwa sesungguhnya sang Datuk Hulubalang dapat menahan serangan itu seand
Akan tetapi, si Harimau Tua tentu tidak tahu apa yang ia harapkan dari gadis di hadapannya kini. Ia tidak kenal gadis itu alih-alih akan tahu bahwa dia adalah seorang gadis yang bisu—yang bahkan sang gadis hanya diam saja meski telah ia bentak sedemikian kasar.Memanfaatkan emosi lawan adalah salah satu strategi yang dipelajari ole Puti Bungo Satangkai dari Inyiak Mudo. Khususnya, ketika sang inyiak bersilat lidah dengan istrinya, Inyiak Gadih.Ketika seseorang terpancing emosi kemarahannya, biasanya seseorang itu akan bertindak membabi buta. Atau katakanlah, melakukan hal-hal tanpa perhitungan yang baik.Jadi, itu pulalah yang sedang diterapkan oleh Bungo. Andaikan ia bisa berkata-kata sekalipun, pada saat ini ia akan tetap memilih diam, menatap tajam pada si Harimau Tua sembari tersenyum tipis.Terlalu mudah ditebak, pikir Bungo ketika si Harimau Tua kehabisan kesabarannya sebab didiamkan saja olehnya.“Akan kuhancurkan kau hingga menjadi bubur,” teriak si Harimau Tua seraya melesat
Itu adalah pilihan yang tepat, pikirnya. Lagi pula, jika ia harus menggunakan inti dingin yang ia warisi dari Inyiak Mudo, racun-racun itu belum tentu akan dapat dihilangkan. Akan lebih tepat menggunakan inti panas milik Inyiak Gadih, panas dilawan dengan panas, begitulah yang tadi sempat ia pikirkan sebelum melakukan pengobatan pada si Datuk Hulubalang.Ketika Puti Bungo Satangkai sedang mengobati luka dalam si Datuk Hulubalang, si Harimau Tua ternyata masih sanggup untuk bangkit. Hanya saja, ia sudah kehilangan keberaniannya untuk menyerang gadis itu. Tidak dengan kondisinya yang juga menderita luka dalam dan luar yang tidak ringan.Setelah memerhatikan kondisi di sekitar sesaat, si Harimua Tua tiba-tiba bangkit dengan cepat, melesat ke arah wanita di kanan, lalu ke arah wanita di kiri, dengan cepat ia melompat jauh memasuki hutan di arah barat laut.Saat Bungo menyadari bahwa si Harimau Tua telah melarikan diri dengan membawa serta dua wanita itu, ia pun bermaksud hendak mengejar m
“Sekali lagi,” kata Talago, “terima kasih, kau telah menolongku. Tapi, aku belum tahu siapa namamu?”Puti Bungo Satangkai tersenyum, ia menggerak-gerakkan tangannya sedemikian rupa, ke bibirnya, lalu ke telinga kanannya.“Aah, maafkan aku yang bodoh ini,” Talago langsung menundukkan kepalanya. “Maafkan aku sebab aku tidak menduga kau…”‘Tidak apa-apa,’ ujar Bungo dengan bahasa isyaratnya.Akan tetapi, sepertinya cukup sulit bagi si Datuk Hulubalang untuk memahami apa yang diucapkan sang gadis dengan bahasa isyaratnya itu.“Maafkan aku,” kata Talago. “Sungguh. Aku, aku kurang bisa memahami bahasa isyarat. Aku memang bodoh.”Bungo menghela napas dalam-dalam. ‘Ini lebih sulit dari yang kubayangkan,’ pikirnya. Lalu, ia menunjuk pada Talago sembari membuat gerakan seperti sebuah tanduk.Talago mengernyit, ia hanya bisa menduga-duga dengan apa yang hendak dikatakan oleh Bungo.Tapi, terlalu sulit baginya untuk memahami.Bungo mendesah halus, lalu ia teringat akan liontin pada kalungnya. Mak
“Baiklah, mohon tunggu sebentar,” ujar si istri. “Duduklah terlebih dahulu Datuk dan istri.”“Aah, maaf,” Talago harus menahan tawanya dengan wajah yang memerah.Begitu juga dengan Bungo yang terkesiap mendengar itu, ia langsung memalingkan mukanya yang merona.“Nona Bungo ini rekan seperjalanan saya,” kata Talago. “Bukan istri saya.”“Oh, maafkan kebodohan kami, Datuk,” si istri langsung membungkuk.Sang suami langsung mendekat. “Maafkan istri saya, Datuk.”“Tidak,” Talago tersenyum. “Tidak apa-apa.”Setelah itu, si pemilik warung dan istrinya segera berlalu demi mempersiapkan makanan dan minuman untuk Talago dan Bungo.Talago menemukan bahwa Bungo sedikit merasa canggung atas ucapan istri si pemilik warung barusan. Dia pun merasakan hal yang sama.Akan tetapi, Talago sendiri berpikiran bahwa tidak ada salahnya jika hal itu benar-benar terjadi, pikirnya.Siapa yang bisa menolak seorang gadis seperti Bungo? Kendatipun dia bisu, tapi dia seorang pendekar wanita yang sangat hebat, pikir
“Bagaimana dengan penginapan?”“Aah, sayang sekali, Datuk,” ujar si pemilik warung. “Memang, kampung kami ini kawasan persinggahan, tapi belum ada satu pun warga yang membuka usaha penginapan.”“Tapi kalau seandainya Datuk terus menyusuri ke arah utara,” ujar si istri pula. “Perkampungan pertama yang akan Datuk temukan lebih ramai daripada di sini.”“Begitu, ya?” Talago mengangguk-angguk.“Dekat dengan sebuah pasar rakyat.”“Aah, saya mengerti. Terima kasih.”Setelah mereka selesai makan, Talago mengeluarkan sekeping koin emas, ia memberikan koin itu pada si pemilik warung.Si pemilik warung membelalak, ia melirik pada istrinya yang juga dalam kondisi yang sama.Semua itu, menjadi perhatian khusus bagi Bungo sendiri.“Ermm, maaf, Datuk,” ujar si pemilik warung. “Ini terlalu besar bagi kami. Apakah Datuk tidak punya uang yang lebih kecil?”Talago tersenyum lebar. “Saya tidak mengatakan kalian harus memberikan kembalian kepada saya.”“Maksud Datuk?”“Kalian simpan saja,” ujar Talago. “
Cahaya sang fajar baru saja terlihat di ufuk timur, bahkan sang surya itu sendiri belum memperlihatkan wujudnya, masih malu-malu di bawah kaki langit. Namun, Talago dan Puti Bungo Satangkai telah melanjutkan perjalanan mereka.Mereka terus melangkah menyusuri jalan tanah yang sepertinya cukup sering digunakan oleh penduduk setempat. Dua jalur seperti bekas dilewati oleh kereta kuda dan sebagainya, tercetak jelas di permukaan tanah.Semakin jauh mereka melangkah ke utara, semakin mereka sering bertemu dengan para penduduk.Ketika sang mentari telah berada di titik sepertiga awalnya, barulah mereka tiba di satu perkampungan yang cukup ramai. Tidak berapa jauh dari perkampungan itu, ada sebuah pasar rakyat.Talago mengawasi keadaan di sekitar mereka sebelum memasuki kawasan pasar itu. Ia melihat sebuah gunung di arah barat laut.“Maaf, Apak,” ujarnya pada seorang pria yang sedang memanggul keranjang berisi umbi-umbian.“Ooh, Tuan Datuk,” ujar sang pria ketika mengenali bentuk pakaian Tal