Zea mendadak terbangun dari mimpi mengerikan itu, dahinya mengucurkan keringat dingin. Padahal kejadian itu sudah enam tahun berlalu, tapi entah kenapa sangat berbekas diingatannya.
Matanya beralih ke lehernya, disana tersemat kalung berbandul sisik pemberian Hans. Di pandanginya kalung berbentuk bunga oval yang kini berkilat begitu indah. Inilah yang tersisa dari semua kenangan yang dia miliki dulu.
Suatu benda cantik yang menjadi ganti atas nyawa sahabatnya, ingin rasanya Zea membuang jauh-jauh, dan mengubur dalam-dalam benda mematikan itu. Namun di satu sisi benda itu juga menjadi kenangan terakhir dari Hans. Wujud dari suatu memori termanis juga terburuk dalam hidupnya.
Lantas Zea mengedarkan pandangan berusaha mengenali sekitar, Pemandangan pertama yang terlihat oleh sepasang mata hijau itu adalah langit-langit plafon yang terukir dengan sulur-sulur memanjang berwarna keperakan, ini adalah kamarnya. Dan hal yang gadis itu rasakan pertama kali ad
Pangeran Wirya menghabiskan sarapan di depannya dengan lahap, entah kenapa setelah kepindahan nya ke istana Arga, juga turut menjadikan nafsu makannya bertambah. Walau meja makan besar itu hanya terisi dengan dirinya dan sang guru."Masakan di sini, luar biasa enak, apalagi dengan steak setengah matang ini, seakan meleleh di mulut saat di gigit." Ungkap si pangeran.Lalu sang pangeran, memindahkan beberapa makanan, menyusunnya ke atas nampan. "Mau anda apakan makanan itu pangeran?," Tukas Arga.Wirya menyengir, "Ingin di berikan kepada ibu." sahutnya, walau Wirya tahu bahwa para pelayan juga sudah memberikan putri Clamire makanan, namun tetap saja dia masih melakukannya, lantaran sudah menjadi kebiasaan untuk menyisihkan makanan kepada sang ibunda. "Wirya pergi dulu, terima kasih banyak sarapannya guru!." seru Wirya, seraya berlalu pergi menuju kamar Clamire.Melihat anak didiknya menjalani hidup dengan baik, membuat Arga turut sen
Pagi ini, permaisuri sedang berada di paviliun terbuka yang terletak di antara hamparan taman bunga di dekat istananya. Dia sedang menjemurkan diri dengan hangatnya mentari, di temani keindahan bunga-bunga serta semilir angin pagi yang mendamaikan hati.Sesekali wanita paruh baya itu akan menyesap kesegaran dari teh beraroma mawar melalui gelas cawan berukiran burung bangau kesukaannya."Salam hormat permaisuri." Sapa seorang pelayan wanita yang terlihat sudah berumur. "Saya ingin mengabarkan perkembangan para selir." Permaisuri meliriknya sekilas, mengizinkan pelayan pribadinya itu untuk bersuara, "para selir yang baru memasuki istana sudah diwajibkan untuk mengikuti perjamuan teh mingguan, mulai besok." Sambungnya."Lantas bagaimana dengan perkembangan selir lama?." Tanya permaisuri, "sesuai rencana kita sebelumnya permaisuri, sejak perjamuan teh mereka di hentikan sebulan lalu. Banyak dari mereka yang jatuh sakit hingga menjadi gila, akibat
BRAKK!Suara dobrakan pintu akibat dibuka paksa terdengar nyaring memenuhi ruangan pribadi Arga, setelah membuka kedua matanya yang semula terpejam, dia mendapati sosok sang kawan berdiri di hadapannya dengan berkacak pinggang. "Ada apa Kastara?." Tanya Arga heran."Apa kau memiliki katak emas Arga?." Tanya Kastara penuh selidik, kedua mata beriris kelam itu menatap sahabatnya serius."Aku punya. Katak itu sekarang berada di ruangan lab ku." Jawab Arga jujur. Dia lantas membawa Kastara memasuki lab tersembunyi miliknya. Lalu mengarahkan pemuda itu ke sebuah kotak mini yang terbuat dari kaca transparan.Di dalamnya tampak seekor katak sedang berkamuflase di balik bebatuan spon, katak itu memperhatikan seekor nyamuk, ketika si nyamuk terbang mendekat, katak tadi lantas menjulurkan lidahnya, lalu memangsanya. "Sejak Ling memberikanku katak ini, aku memyimpannya di dalam sini.""Fiuh... Syukurlah." Tukas Kastara lega
Keesokan Harinya. Tak terasa hari mulai semakin larut, tetapi Arga dan Kastara terlihat masih sibuk membuat obat penawar untuk putri Clamire di dalam laboratorium istana. Mereka berpindah tempat kesana, lantaran membutuhkan peralatan yang lebih lengkap agar bisa mencampurkan kedua elemen api dan air, yang berasal bahan dasar obat berupa bulu Garuda Api, dan mutiara dari mineral murni. Dengan kehati-hatian dan penuh perhitungan Kastara menaburkan serpihan mutiara yang sudah dihaluskan, ke atas permukaan Bulu Garuda Api yang sudah direndam dengan cairan khusus semalaman. Ketegangan terlihat di antara kedua pemuda itu, mereka dengan was-was menunggu hasil dari reaksi kedua bahan berlainan sifat tersebut. Lalu kepulan asap berwarna keunguan terbentuk dari hasil reaksi campuran tadi. Tak lama kemudian, gumpalan asap berukuran kecil itu perlahan memudar dan berangsur-angsur menghilang. "kita berhasil menyatukan mereka!." Seru Kastara sen
BRUKK! BRUKK! Arga menaiki tangga dengan tergesa ketika telinganya menangkap suara tak lazim yang datang dari kamar putri Clamire. Ia membuka pintu kamar dengan tidak sabar, lalu menemukan para pelayan mengitari ranjang di mana putri Clamire biasanya terbaring, dengan Wirya yang berteriak-teriak tak terima, sembari menangis pilu, hingga terjatuh dari kursi dan terduduk di atas karpet. Mata Arga melotot karena itu, dia sadar bahwa telah terlambat. Namun Arga tetap melenggang menghampiri kerumunan. Dia tidak ingin berpikiran buruk sekarang, mungkin saja Clamire hanya tertidur lalu susah di bangunkan, mungkin saja dirinya hanya kelelahan, atau mungkin saja... Pemuda itu masih berharap di setiap langkah kakinya yang kian mendekati kasur. Tetapi sayangnya kenyataan berkata lain, di depannya Jasad Clamire sudah terbujur kaku, wajah damai tersenyumnya bak seorang malaikat yang sedang tertidur, menunjukkan bahwa putri Clamire sudah tak merasakan sakit lagi. Pemuda itu tertegun tak perc
Setelah Wirya terlihat mulai tenang, Arga perlahan mendekat, di tangannya tersemat sepucuk surat, "pangeran Wirya, sebenarnya sebelum kepergiannya, Putri Clamire sempat menitipkan surat wasiat ini. Mendiang sang putri berpesan kepadaku untuk memberikan surat ini, di saat dirinya telah tiada." Wirya menerima surat yang berwarna krim dengan kuncian stempel mawar merah, serta berkeliman emas. Dengan gemeteran Wirya mulai membaca bait demi bait wasiat sang ibunda, 'Jalanilah kehidupan sesuai yang kau inginkan anakku. Setiap kali kau akan melakukan sesuatu, pikirkanlah dulu baik-baik. Hiduplah dengan bebas, sampai maut mempertemukan kita lagi.' Setelah Wirya menyelesaikan membaca kalimat terakhir, pandangan matanya berubah kosong, pupil matanya bergerak-gerak gelisah. Bukan karena dirinya akan menangis lagi. Tidak, fisik lelah Wirya tidak bisa melakukan hal itu sekarang. Melainkan karena dirinya bimbang, sebagai pangeran yang terbuang penyemangat hidupnya selama ini hanyalah Ibunya seo
"Yang mulia pangeran, Kekaisaran ini sejatinya tak lain dari sebuah delusi semata." Arga berjalan mendekati bangku Wirya, dia tengah menjelaskan sejarah-sejarah kelam kerajaan."Sederhananya, seperti alat penghubung antar manusia. Namun untuk para rakyat jelata dan budak, mereka tak memerlukan pangkat tinggi dari kebebasan sejati." sedangkan, Wirya berfokus pada semua penjelasan materi.Mereka sekarang tengah berada di sebuah ruangan berelemen kayu yang di desain untuk proses belajar-mengajar, Wirya tampak serius mendengarkan penjelasan sang guru. Sambil di catatnya semua materi yang disampaikan di atas sebuah buku agar tidak terlupa."Sebaliknya, akan lebih baik jika membiarkan mereka melarikan diri dari beban mengerikan yang mengekang mereka.""Ambillah semua yang anda inginkan pangeran. Meskipun sesuatu itu sudah memiliki pemiliknya. Anda tak perlu goyah dengan menghormati kekayaan." Semua benih-benih akan kekejaman kerajaan sang guru jabarkan kepada m
"Sombong sekali!." ketus Huli, setelah mendengar sumpah dari si pemuda. Raynar menahan napasnya, seketika tekanan udara di ruangan itu secara tiba-tiba berubah menjadi amat berat dan menyesakkan. 'A –apa ini?' "Jaga bicaramu Tuan, jika kau masih sayang dengan nyawamu itu." Gcreet! Mata Raynar menyipit merasakan sakit saat kedua pergelangan tangannya seperti di remas sesuatu, ia melirik sekilas dan mendapati kedua tangannya yang tengah diikat oleh semacam... sulur?, Kenapa sejak tadi ia selalu melihat sulur di mana-mana?. Raynar menatap wanita di hadapannya dengan datar, "Apa maumu?" Tanyanya menantang dengan gaya khas seorang Syaron. "Lihat keadaanmu Tuan, kau tidak dalam keadaan bisa bersikap 'angkuh' dan 'sok tinggi' sekarang." wanita itu berdiri, membuat syal beludru yang sejak tadi berada di pundaknya bergerak mengikutinya. Ctik! Jentikan jari di depan wajahnya refleks membuat Raynar mengerjap. Dia