Melihat tubuh Tukijo yang penuh dengan luka, Muhiroh berkata, "Duh Gusti, Tukijo! Nangapa awake kowe pada babak belur kaya kie? (Ya Tuhan, Tukijo! Kenapa badanmu penuh luka seperti ini?)" Tangannya yang sudah mengeriput menyentuh wajah Tukijo dengan lembut.
"Ngapurane Mbah, miki ... pitte nyong kesrempet trek, ngasi nyong mental tiba semaput (Maaf Nenek, tadi ... sepedaku terserempet truk hingga aku terpental jatuh pingsan,)" jawab Tukijo sedikit gugup.Ningsih melompong.Setelah mengobati luka Tukijo, Ningsih mendengar suara perut adiknya protes. Dia segera keluar menemui Teguh yang sedang berdiri menyandarkan punggungnya ke mobil."Teguh! Belikan lima porsi makanan, ah tidak ... beli enam porsi!" perintah Ningsih."Baik Nona," Teguh memasuki mobil dan pergi melaksanakan perintah majikannya.Beberapa saat kemudian.
"Maaf Nona, aku hanya menemukan makanan ini di jalan," ungkap Teguh memberikan dua kantong plastik yang berisi masing-masing tiga nasi bungkus."Ya sudah, seadanya saja," timpal Ningsih."Ini untukmu dua porsi." Ningsih menyodorkan dua nasi bungkus kepada Tukijo. "Kamu harus banyak makan supaya badanmu berisi.""Terima kasih, Nona!" ucap Tukijo sambil mengambil nasi bungkusnya."Hmp, panggil aku Kakak!" protes Ningsih cemberut."Ah, iya ... Kakak. Hehe," balas Tukijo meringis."Bagus!" ucap Ningsih tersenyum sambil mengusap kepala Tukijo. "Sepertinya dia anak baik dan penurut," gumamnya merasa senang.Tukijo mengambil air dalam sebuah mangkok untuk mencuci tangan. Karena lantai rumahnya yang masih berupa tanah, mereka duduk bersama di dipan kayu yang sudah sedikit keropos. Melihat cara Tukijo dan neneknya makan dengan tangan, Ningsih tertegun."Apa Kakak butuh sendok dan piring?" tanya Tukijo melihat kakaknya yang sendari tadi hanya terdiam."Oh, nggak perlu Jo ... aku bisa makan seperti cara kalian makan. Ini hanya butuh proses sebentar untuk mempelajarinya," jawab Ningsih tenang. Kemudian Ningsih membuka nasi bungkusnya dan memakannya seperti cara mereka makan. Dia makan menggunakan tangan dengan posisi kaki kiri melipat ke depan, dan kaki kanan berdiri dengan lutut berada di atas. "Bagaimana mungkin Kakak punya adik sepertiku?" tanya Tukijo tiba-tiba sembari menelan makanannya.Ningsih bercerita, "Ibumu dulunya adalah seorang pembantu yang mengasuhku. Waktu itu, aku masih berusia tujuh tahun. Demi memuaskan hasrat, Ayah memperkosanya dan menyiksanya. Kebetulan saat itu pada malam hari, aku merasa sangat haus lalu pergi ke dapur. Aku sungguh melihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang telah dilakukan Ayah padanya.""Apa! Dadi bapakmu! (Apa! Jadi Ayahmu!)" teriak Muhiroh mengagetkan Tukijo. "Siki, nang endi wonge (Sekarang, dimana orangnya)?"Ningsih bingung.
"Maksud Mbah Muhiroh, dimana Ayah berada sekarang?" terang Tukijo menerjemahkan."Aku sudah membunuhnya karena dia ingin melakukan hal yang sama kepadaku," jawab Ningsih menggertakkan gigi."Dahulu ketika Bibi Siti (ibunya Tukijo) pergi meninggalkanku, aku menangis sejadi jadinya. Dia berkata bahwa jika suatu saat aku ingin bertemu dengannya, aku harus pergi ke Cilacap untuk mencarinya. Beberapa tahun kemudian saat aku menginjak usia remaja, aku mendengar kabarnya telah meninggal. Aku mencari-cari sanak keluarganya sampai beberapa bulan yang lalu aku mendapatkan kabar bahwa beliau memiliki seorang anak laki-laki bernama Tukijo. Dia seorang anak SMA yang tidak memiliki ayah, itu membuatku semakin yakin bahwa kamu adalah adikku." lanjut Ningsih menjelaskan."Koe bener, sapet Siti bali kang Jakarta, wonge dadi nguplek bae. Ra tau crita sapa sing marakna deweke dadi kaya kue (Kamu benar, sejak Siti pulang dari Jakarta, dia selalu mengurung diri dan tidak pernah bilang siapa yang telah berbuat sekeji ini kepadanya,)" ucap Muhiroh menghela nafas."Ah, sepertinya aku harus belajar ngapak." Ningsih menepuk jidatnya dengan telapak tangan.Tukijo hanya terdiam mendengarkan penjelasan Ningsih. "Ternyata rumor tentang Kak Ningsih sebagai wanita yang kejam itu tidaklah benar," batinnya. Dia sungguh tidak menyangka bahwa ibunya memiliki hubungan dengan keluarga konglomerat ini.Setelah makan malam, Ningsih berpamitan untuk pulang. Selama mencari Tukijo dia tinggal di Hotel Dafam yang termasuk kategori hotel bintang lima di Cilacap."Hari Sabtu kamu libur sekolah?" tanya Ningsih kepada Tukijo sebelum pergi."Iya, tapi aku ada pekerjaan di Restoran Mas Agus," jawab Tukijo."Kamu kerja? Astagaaaa," ucap Ningsih mengerutkan dahinya. Dia merasa betapa menderita adiknya. "Andai aku bisa menemukanmu lebih cepat.""Kakak nggak perlu merasa bersalah. Aku senang bisa bertemu denganmu," ujar Tukijo tersenyum tulus."Ya ampuun, manis banget sih ...." Ningsih mencubit kedua pipi Tukijo."Besok kamu ikut aku, ya ... pekerjaanmu, biar Teguh atau Marno yang gantiin," pinta Ningsih.Keesokan harinya, tepat pukul 07.00 WIB Ningsih datang ke rumah Tukijo dengan mobil mewahnya bersama Teguh dan Marno. "Jo! Ayo naik!" Ningsih mengajak Tukijo yang berdiri di depan rumahnya siap untuk berangkat. Kemudian dia naik ke mobil duduk di belakang bersama kakaknya. "Di mana kamu bekerja?" tanya Ningsih. "Di Restoran Mas Agus lokasinya di Perempatan Mojing." "Meluncur ke sana!" perintah Ningsih kepada Teguh. "Baik Nona." "Marno, nanti kamu yang gantiin Tukijo ya." "Siap! Laksanakan!" jawab Marno. "Emm, Kak. Bolehkah aku meminta sesuatu?" ucap Tukijo sedikit ragu. "Apa?" timpal Ningsih. "Tolong rahasiakan bahwa aku memiliki hubungan dengan orang dari Perusahaan Gaje. Kakak sangat terkenal, Mas Agus pasti mengenalimu." Tukijo memasang wajah memelas memohon kepada kakaknya. "Kita sudah sampai di Restoran Mas Agus, Nona," sela Teguh. Melihat Ningsih tidak menjawab permintaannya, Tu
Setelah membeli handphone, Ningsih dan Tukijo pergi ke pusat perbelanjaan. Mereka membeli baju seragam, tas dan keperluan sekolah. "Sini Jo! Cobain ini deh!" Tangan kanan Ningsih memegang kaos putih bergaris, sedangkan tangan kirinya memegang jaket abu-abu. Tukijo yang sedang asik mencoba handphone barunya, segera menyimpannya dan menghampiri kakaknya. Setelah beberapa saat, Tukijo keluar dari ruang ganti. "Wow!" ujar Ningsih kagum. "Ini baru keren! Coba deh, kamu ngaca!" Ningsih membalikkan badan Tukijo dan mendorongnya agar mendekat ke cermin. Tukijo tercengang melihat dirinya di cermin. "Ini aku?" ujarnya. "Yeah ...," jawab Ningsih bangga. Lalu mata Tukijo tertuju pada rangkaiaan kacamata yang terletak dimeja. Melihat hal tersebut, Ningsih bertanya, "Apa kamu butuh kacamata?" "Em, mataku terasa pusing saat melihat tulisan di papan tulis dari bangku belakang," jawab Tukijo. "Oke, kita ambil beberapa," ti
"Pesen lima porsi, dibungkus dua. Nanti kamu ambil satu," ucap Ningsih kepada Marno. "O iya, sama es teh dua ya ...." Marno segera pergi menyiapkan sajiannya. Beberapa menit kemudian. "Wow ...!" ucap Tukijo takjub. Kemudian, mereka menyantapnya dengan lahap. "Jo, soal yang kamu bilang ke Mbah Muhiroh itu bohong, kan?" celetuk Ningsih. "Walaupun nggak tau artinya, tapi Kakak paham apa yang kamu maksud." Tukijo kaget hampir tersendak makanannya. "Uhuk ...." Dia meraih minumnya lalu menanggapi perkataan kakaknya, "Ehem ... iya Kak, aku cuma nggak mau simbah khawatir." Anak itu tertunduk menekuk wajah. "Jadi, apa yang membuatmu babak belur sampai terkapar di jalan seperti itu?" tanya Ningsih dengan wajah serius. "Emm, itu Kak ... anu ... aku ..." "Kamu dibullying?" potong Ningsih cepat dengan sorot mata yang tajam. Tukijo diam. "Jadi, benar?" desak Ningsih. "Iya Kak," jawab Tukijo akhirnya membuka mulut. "Sejak kapan?" tanya Ningsih lagi. "Sejak SD," balas Tukijo. "Apa! Seja
Tukijo terperanjat. Seketika pandangannya menjadi buyar. "Ah, iya Kak ... maaf," ujarnya. "Kamu kenapa, Jo? Tiba-tiba melamun. Lihat ibu-ibu ngrumpi?" canda Ningsih. Sebenarnya Ningsih mengetahui bahwa Tukijo telah terpaku melihat seorang wanita pengantar bingkisan. "Idih ... ngapain juga, aku lihat ibu-ibu ngrumpi," sanggahnya. "Terus, kamu ngelamunin apa?" tanya Ningsih pura-pura tidak tahu. "Eh ... itu ... tadi aku lihat ada teman sekelasku lewat naik motor," jawab Tukijo. "Oh, jadi cewek yang tadi itu teman sekelasmu. Cantik juga," puji Ningsih. "Iya, cantik ... tapi cuek." Tukijo mendengus. "Pfft. Kamu naksir ya?" tanya Ningsih spontan. "Si ... siapa yang naksir." Tukijo menyembunyikan wajahnya yang memerah dengan berpura-pura mengelap keringat di dahinya. "Hmm ...." Ningsih mengernyitkan dahi, matanya menyelidiki tingkah Tukijo. "Ya sudah, ayo lanjut latihan." Mereka berlatih hingga matahari tepat
Hari Senin, Tukijo mulai bersekolah dengan penampilan barunya. Sebelum dia berangkat ke sekolah, Ningsih datang membawa semua barang-barangnya. "Aku bantuin ya, Kak," tawar Tukijo. "Nggak usah, Jo. Kamu berangkat sekolah aja sana! Nanti telat. Hmm, atau kamu mau diantar Teguh pake mobil?" ucap Ningsih sambil menurunkan barang-barangnya di depan rumah Tukijo. "Aku ... berangkat sekarang aja deh, makasih atas tawarannya." Tukijo segera pergi meninggalkan Ningsih. "Bisa gawat kalau satu sekolah tau aku berangkat diantar mobil," gumamnya. Setelah sampai di sekolah, Tukijo meletakan sepedanya di parkiran dekat tiang kayu. "Wah! Siapa tuh?" "Anak baru kayaknya, aku belum pernah lihat." "Ganteng bangeeeet. Dia bakalan jadi kandidat pertama ulzzangnya SMANJI nih ... (singkatan SMA N 1/SMAN Siji)." "Eh, samperin yuk ... barangkali bisa dapet nomor WA-nya. Mayan gebetan baru." "Eaaaa ... cus." Dua siswi saling berbisik melihat penampilan baru Tukijo. Ketika mereka hendak mendekati Tuki
Udin yang masih dalam posisi berlutut, melihat orang itu dari ujung kaki, hingga ujung rambut yang telah memutih sebagian. Dia adalah Hartono (ayah Markonah).Sementara Udin teralihkan oleh Hartono, Markonah mengambil gelas, lalu melangkahkan kakinya ke sebuah galon air yang bertengger di samping meja kasir. Sejak makan siang, dia belum meminum air seteguk pun sehingga merasa sangat haus."Anda ...""Aku ayahnya, kamu mau apa?" sela Hartono memotong ucapan Udin. Dia mengatupkan bibirnya dan matanya melotot."Ayah mertua!" seru Udin merangkak mendekatinya."Siapa Ayah yang mertuamu?" tampik Hartono.Udin memeluk lutut Hartono. "Ayah mertua, restuilah hubunganku dan Markonah, tolong jangan pisahkan kami! Kami tulus saling mencintai," rengeknya.Markonah tersentak menyemburkan air minum di mulutnya."Apa kau GILA!?" sergah Markonah."Iya, aku sangat tergila-gila padamu." Udin mengepalkan
Markonah tersentak, dia dikagetkan oleh pertanyaan Cecep yang dilontarkan tiba-tiba. "Ecie ... cie ... pagi-pagi udah berduaan aja. Cus Cep! Ngapain lo malah berhenti, gangguin mereka aja!" imbuh Tiyem menepuk bahu Cecep. Kemudian mereka pergi memarkirkan motor dan langsung ke kelas tanpa menghiraukan Markonah lagi. "Pffft ...." Markonah tertawa dengan menutup mulutnya. "Cowokmu? Mereka ngomong apa sih?" Tukijo menggaruk-garuk kepala tidak paham apa yang Cecep dan Tiyem katakan. "Dah lah, nggak usah dipikir. Ayo ke kelas! Mereka bakal kaget saat kamu masuk kelas," Markonah tersenyum. "Oh iya, aku mau mampir ke TU (Tata Usaha). Kamu duluan aja, Mar," ungkap Tukijo. "Ya udah, ayo bareng!" ajak Markonah. "Hah? Beneran? Kamu mau nungguin aku?" sahut Tukijo melebarkan mata. "Ya enggak lah ... kita jalan bareng, ngapain nungguin kamu yang nggak pasti. Aku temenin kamu sampe ke pertigaan karidor depan Lab. IPS." Kemudian
"Astagaaaa." Tukijo menjauhkan wajahnya dari Tuti. "Aku harus cari cara untuk kabur," gumamnya berpikir. Suara bel masuk berbunyi, tapi karena tidak dilaksanakan upacara bendera, maka satu jam pelajaran kosong. Tukijo merasa kesulitan menghadapi Tuti. Kebetulan bunyi bel bisa dijadikan alasan olehnya. Dia melihat di sebelah kanan Tuti ada celah. "Maaf, udah bel masuk. Aku mau ke kelas." Dengan cekatan Tukijo mundur selangkah lalu bergerak ke sisi kanan Tuti, menghindari Ipul yang berada di belakang Tuti. Tukijo berhasil melewati Udin dan gengnya lalu dia berlari di karidor depan ruang guru menuju jalan beraspal. Kemudian dia berbelok ke timur bermaksud ke kelas dengan jalur memutar melewati jalan beraspal yang terletak di sepanjang kelas XII IPS. "Asep! Hadang dia dari belakang ruang musik!" perintah Udin. Asep adalah yang tercepat diantara mereka. Dengan gesit dia berlari diikuti oleh Udin, Ipul dan Tuti. Tukijo samar-samar mend
"Berhenti!" teriak si botak. Seketika, Tukijo menghentikan mobilnya secara mendadak. Hal itu membuat seisi mobil menghempaskan tubuh mereka ke depan. "Be-benar, di sini tempatnya," kata si pria berjaket. "Kuburan? Apa-apaan kalian! Masa bawa kita ke tempat kek gini!" sembur Tukijo. "Maaf, kami cuma bisa nunjukin sampe sini. Bisa berabe kalo ketahuan. Di belakang kuburan, ada sebuah rumah besar. Itu adalah markas kami," terang si botak. "Aku akan mengatakan suatu rahasia yang tersembunyi, jika kalian membiarkan kami pergi sekarang!" lanjut si pria berjaket. "Rahasia? Apa yang kalian ketahui?" "Ketua kami adalah seorang direktur Perusahaan Kencotstory, Bos Mandop. Ide gilanya memproduksi snack jajanan anak-anak dengan dicampur ganja. Bahkan, dia memiliki kebun ganja tersembunyi di hutan kota. Di sana ada sebuah gudang tempat penyimpanan ganja berkarung-karung." "Apa! Itu benar-benar keterlaluan!" sahut Markona
"Kau, Ujang!" ungkap Kris. Ujang? Oh, ternyata dia si Tuan Muda dari Perusahaan Kencotstory. Batin Ningsih. Dia mendongakkan kepalanya menatap dingin pria itu. Ujang menutup wajahnya dengan jari-jari yang direnggangkan. "Haha. Ternyata kau masih mengingatku. Kalau saja dulu kakakmu memilihku menjadi suaminya, tentu saja dia tidak akan mengalami hal seperti itu, kan, Tuan Kris." "Heh! Menurutku, kakakku memilih orang yang tepat. Meskipun dia harus meninggalkan anaknya di usia yang masih sangat muda, setidaknya dia merasakan kebahagian di masa hidupannya." "Cih! Kau dan kakakmu sama saja! Paman Cokro benar, kalian pantas mati! Hahaha. Kuliti mereka hidup-hidup! Bunuh sesuka kalian!" Ujang berbalik membelakangi Ningsih. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Saat pasukannya hendak menyerang Ningsih dan Kris, dia berkata, "Tunggu!" Pria itu berbalik lagi berhadapan dengan Ningsih. Ujang menundukkan badannya dan meletakan kedua tangannya di pi
"Maaf Tuan Muda, sepertinya mereka menyadari alat pelacak yang di pasang di tubuh Nona. Alat itu berada di sekitar Anda," ujar Teguh memalui telepon.Tukijo terdiam. Lalu, dia melihat ke arah Bagas, mata anak kecil itu terlihat sembab."Astaga, kenapa anak sekecil itu harus mengalami kejadian seperti ini," gumamnya merasa iba."Apakah perlu saya melacak setiap CCTV di jalanan, Tuan Muda?""Tidak perlu, aku tau cara yang lebih efesien. Siapkan uang sejumlah 50 juta! Aku akan segera kembali!"Kemudian Tukijo menghampiri Markonah dan Bagas."Ayo pergi!" ucapnya."Ke mana?" tanya Markonah."Kita harus memaksa kedua orang itu membuka mulut. Aku yakin ini ada kaitannya dengan mereka."Mereka kembali ke pusat perusahaan untuk mengambil koper berisi uang 50 juta."Bang Teguh, nitip Bagas ya," pinta Tukijo. Lalu dia pergi bersama Markonah menemui dua tawanan yang mereka tangkap di rumah sakit.Saat membuka pintu seb
Yulie berniat menelpon Ningsih dan memberi kabar bahwa Cecep sudah sadar. Di situasi yang sama, saat itu Bagas sedang bersembunyi di tong sampah samping pos kamling. Dia menangis, berjongkok dengan tubuh yang gemetar sambil memegang pisau. Lima belas menit yang lalu, saat Bagas sedang menunggu Kris bersama gurunya yaitu Marni, datang seorang pria tak dikenal. Pria itu mengaku diperintah oleh Kris untuk menjemput Bagas. Padahal, baru saja Bagas selesai menelpon Kris dengan ponsel milik Marni. Tentu saja Marni tidak percaya dengan pria tak dikenal itu. Karena tidak berhasil membujuknya, dia mengeluarkan sebuah pisau untuk mengancam. Marni berusaha melindungi Bagas. Si pria merasa geram, sehingga menusuknya dengan pisau. Kemudian dia mencabut pisau itu, lalu menggendong Bagas pergi. Anak kecil itu berontak. Dia menggigit bahu si pria dengan kuat, hingga pria itu kesakitan. "Aaaaargh, sial!" Bagas berusaha melepaskan di
"Tunggu!" Markonah berusaha menghentikan Tukijo. Namun, daripada itu dia lebih memilih untuk menenangkan Cecep terlebih dahulu."Dok ... cepetan Dok. Pokoknya kalau terjadi apa apa sama Cecep. Anda harus bertanggung ja ..." Tukijo menghentikan perkataannya ketika melihat Cecep sadar dengan keadaan terbaring di ranjang. "Cecep! Kamu udah sadar? Gimana keadaanmu?" tanya Tukijo khawatir."Apa-apaan ekspresi lo! Lo pikir gue bakalan mati semudah itu?" Seketika itu Cecep merasakan sakit di seluruh tubuhnya. "Aaaaargh, badan gue sakit semua.""Biar saya periksa dulu," ucap Pak Dokter. "Coba julurkan lidah Anda!"Cecep menjulurkan lidah sesuai permintaan dokter."Sepertinya Anda mengalami gejala keracunan," tutur Pak Dokter."Tadi, seseorang menyumpal mulutku dengan sesuatu saat aku baru sadar. Itu yang membuatku kejang-kejang dan muntah," ujar Cecep.Kemudian dokter memberi resep obat dan menyuruh salah satu dari mereka mengambi
Markonah datang di saat Tukijo sedang tertidur. "Kalau begitu, Ayah tinggal ya ... mau isi bensin dulu," pinta Hartono. "Iya Ayah, hati-hati." Markonah duduk di samping Tukijo sambil memandangi wajahnya. "Dasar bodoh! Kamu memang selalu berbuat apa yang kamu inginkan, meskipun itu membahayakanmu," ketus Markonah mengomel, sedangkan Tukijo masih dalam keadaan mata terpejam. Tiba-tiba Tukijo membuka sebelah mata. "Maaf ya, bikin kamu khawatir," ucapnya. "Ish! Kamu pura-pura tidur ya?" sahut Markonah kesal. "Nggak kok, tadi aku beneran tidur. Aku terbangun karena omelanmu," balasnya memanyunkan bibir. Lalu dia melirik sesuatu yang di bawa Markonah. "Apaan tuh?" Matanya tertuju pada sebuah kresek yang berisi kotak makan. "Idih, tau aja aku bawa sesuatu." "Aku cuma makan roti darimu sejak pagi, tentu saja aku mengharapkan sesuatu." Tukijo cemberut. "Hah, serius?" "Ho'oh." Tukijo mengangguk. "Aku juga kok," gumam Kris ngenes melihat dua
Di Perusahaan Gaje Herbafood Jagakarsa."Berpencar! Periksa seluruh akses jalan! Jika kalian menemukan petunjuk, segera hubungi aku!" perintah Ningsih memberi komando untuk melacak jejak orang yang telah mencuri bahan baku perusahaan."Siap, lanksanakan!"Mereka pun berpencar. Sampai beberapa saat kemudian, Marno menemukan bubuk haver tercecer di sepanjang jalan H. Abdul Karim. Dia segera menghubungi Ningsih. Namun, baru saja dia mengambil posel, tiba-tiba seseorang memukulnya dari belakang.Bugh!"Ugh," rintih Marno memegang kepala.Dia masih setengah sadar berusaha menekan poselnya untuk menelpon Ningsih, lalu memasukan ponselnya ke dalam saku. Samar-samar Marno melihat, ternyata yang memukulnya adalah salah satu rekan kerjanya, Saepul."Heh! Bodyguard yang selalu mendampingi direktur cuma segini kemampuannya?"Saepul tersenyum kecut memandang rendah Marno. Kemudian datang beberapa orang yang tidak dikenal berada di belakangn
"Bahan baku?" tanya Tukijo dengan mengulangi perkataan Kris."Benar, dan tempat mereka memindahkan karung-karung itu adalah rumahku," ungkap Kris.Kris dapat memaklumi bahwa Tukijo baru baru ini diangkat menjadi direktur. Sehingga dia belum begitu memahami ciri khas dari karung steril yang dipakai perusahaan untuk menyimpan bahan baku. "Hah? Rumah Kakak? Itu berarti si pak tua Paimin adalah orang kepercayaan Pak Cokro?""Benal ini tempat kami tinggal," sela Bagas."Aku sungguh tidak tau bahwa Pak Paimin berpihak pada ayaku," ujar Kris.Tukijo berpikir, kali ini prediksinya meleset. Tujuan Pak Cokro bukanlah Perusahaan Obatofarma yang saat ini berada dalam genggaman Ferguso. Penculikan Yulie hanya sebuah pengalihan, agar dia bisa mengobrak-abrik Perusahaan Gaje."Haaaah!" Tukijo menghembuskan napas."Oh, bukankah itu Tuan Muda Kris?" celetuk salah satu dari pekerja Paimin.Tiba-tiba, Cokro keluar dari d
"Astaga, kenapa di saat terburu-buru seperti ini malah macet," gerutu Teguh mengendarai mobil bersama Ningsih.Bruuum ... bruuum.Sugeng datang dengan menaiki sebuah motor butut."Ayo Kak! Ikut aku saja," ajaknyaTanpa pikir panjang, Ningsih pun keluar dan membonceng Sugeng sembari melihat-lihat motor yang di pakainya. Ningsih merasa familiar dengan motor itu."Tancaaaaap!" Sugeng mengendarai motor dengan kecepatan super."Ngomong-ngomong, kamu dapat motor dari mana?" tanya Ningsih di tegah laju motor berkecepatan tinggi."Eh, ini ... motornya Markonah. Hehe."Tiba-tiba ...Dhoodododododododot ...Motor yang mereka pakai mogok di tengah jalan.Dalam pikiran Sugeng, seketika terngiang-ngiang perkataan Markonah. "Jangan ngebut-ngebut, nanti mogok!""Ya ampun, beneran mogok? Hadeuh." Sugeng menggerutu."Ya udah, aku lari aja." Ningsih turun dari motor. Aku pikir karena dekat, jadi aku nggak pake