Penguasa Tanpa Tanding hanya sempat mengerutkan kening sebentar. Kemudian dengan kemarahan meluap, segera diserangnya Si Buta dari Sungai Ular.
"Makanlah gada besiku, Bocah! Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, Penguasa Tanpa Tanding segera meluruk deras sambil mengayunkan gada di tangan kanannya. Si Buta dari Sungai Ular mempertimbangkannya dengan cermat. Untung saja jaraknya dengan Penguasa Alam masih cukup jauh, kira-kira tiga tombak. Hal ini membuatnya tersenyum senang. "Kukira, sekaranglah saat yang tepat untuk melumpuhkan Penguasa Tanpa Tanding. Hanya saja aku harus hati-hati terhadap gada lelaki itu maupun pukulan 'Kelabang Kuning'-nya...," pikir Si Buta dari Sungai Ular dalam hati.
Seketika Si Buta dari Sungai Ular segera menyerang dengan Tulang Ekor Naga Emasnya. Namun dengan senyum meremehkan Penguasa Tanpa Tanding menggerakkan gadanya untuk menangkis datangnya serangan. Namun alangkah terkejutnya ketika Tulang Ekor Naga Emas itu tidak langsung menyerang
"Di sini! Ya ya ya...! Di sinilah letaknya harta karun itu!" pekik Manggala kegirangan. Lalu dengan agak terburu-buru, Si Buta dari Sungai Ular segera menuju tempat yang dimaksud. Memang agak sulit. Tapi bagi Manggala yang sudah memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, bukanlah satu pekerjaan sulit. Dengan menancapkan jari-jari tangannya ke dinding-dinding tebing, akhirnya dari sungai ular ini sampai di lekukan tebing bagian bawah Dan begitu menjejakkan kakinya di sana, Manggala kontan membelalakkan matanya penuh takjub!"Bukan main...!" desah Si Buta dari Sungai Ular penuh takjub seraya menepuk jidatnya sendiri. Di hadapan si pemuda kini tampak setumpuk emas permata yang memancarkan sinar beraneka warna!"Gila! Buat apa menumpuk harta sebanyak ini? Dasar manusia-manusia serakah! Kukira aku harus segera melaporkan harta karun ini pada Kanjeng Adipati..," desis Manggala tak henti-hentinya sambil terus menggeleng-gelengkan kepala.-o0o-
"Manusia penjilat macam dia sama saja. Bicara dengan buang air tetap saja bau!" ejek pula Manik Biru."Setan alas! Kaulah yang pertama kali harus kumusnahkan, Tua Bangka Keriputan! Makanlah pukulan 'Jalan Hitam Kematian'-ku! Hea...!" bentak Pelajar Agung seraya menghentakkan kedua tangannya yang telah berubah menjadi hitam.Werrr...!Seketika terdengar bunyi menggemuruh tatkala dua larik sinar biru melesat dari kedua telapak tangan Pelajar Agung ke arah Raja Penyihir. Raja Penyihir hanya tersenyum sebelum akhirnya segera melontarkan pukulan maut 'Tangan Gaib Penindih Setan'. Begitu kedua telapak tangannya dihantamkan ke depan, seketika meluruk dua gulungan asap tebal berwarna putih.Besss...!!!Tak ada bunyi ledakan hebat kala dua tenaga dalam beradu di udara. Namun anehnya, tubuh Raja Penyihir dan Pelajar Agung sama-sama terguncang hebat! Selang beberapa saat, tubuh Pelajar Agung terpental ke belakang dengan paras pias!"Setan alas
Pelajar Agung kecewa bukan main. Tubuhnya terasa lemas akibat luka dalamnya. Tangan kanannya pun tak henti-hentinya memegangi dada, berusaha menahan guncangan luka dalamnya."Teman-teman, cepat tinggalkan tempat ini!" teriak Pelajar Agung tiba-tiba. Kemudian tanpa banyak cakap lagi, lelaki ini segera berkelebat cepat meninggalkan tempat pertarungan. Kebetulan, Raja Racun dan Raja Golok pun baru saja tegak berdiri setelah mendapat hajaran dari lawan-lawannya. Maka begitu mendapat kesempatan, mereka cepat berkelebat, melarikan diri."Teman-teman, jangan kejar! Berbahaya! Lekas cari Si Buta dari Sungai Ular!" perintah Raja Penyihir ketika beberapa orang pendekar muda itu bermaksud mengejar Pelajar Agung dan kawan-kawannya."Tapi...," tukas Manik Biru keberatan."Jangan tapi-tapian! Keselamatan Si Buta dari Sungai Ular lebih penting dibanding mereka, tahu! Lekas cari Si Buta dari Sungai Ular!" hardik Raja Penyihir."Baik."Sebenarnya para pendek
"Tapi bukan berarti kau harus seenaknya mengaku utusanku, Nimas!""Maaf, Kangmas Adipati! Mula-mula aku memang tidak berpikir ke sana. Tapi, waktu kulihat banyak pendekar berkumpul di puncak Gunung Kelud, tiba-tiba pikiranku berubah. Lantas, aku mengaku saja sebagai utusan Kangmas Adipati.""Hm...!" gumam Adipati Pleret seraya menggelenggeleng. "Seharusnya kau tak boleh selancang itu, Nimas! Terus terang aku sangat mencemaskan kesel...""Maaf, Kanjeng Adipati! Aku datang melapor."Sebuah suara membuat Adipati Reksopati menghentikan pembicaraan. Keningnya berkerut tak senang. Namun ketika melihat sesosok manusia yang dikenalnya di depan pintu masuk ruang pendopo, mendadak jadi tersenyum senang.-o0o-Di depan pintu ruang pendopo, berdiri seorang pemuda tampan dengan rambut gondrong tergerai di bahu. Tubuhnya tinggi kekar. Pakaiannya dari kulit ular bersisik warna kehijauan. Di punggungnya tampak terselip senjata berupa tongkat berbentuk tulan
"Tak usah. Aku bisa menyuruh beberapa orang ahli ukir di kadipaten ini untuk membuatnya yang sama persis.""Nah...! Begitu juga boleh....""Ah...! Kau ini...," ujar Kanjeng Adipati. Lalu perhatiannya dialihkan pada Pendekar Bintang Emas."Paman Jayaraka! Seperti yang telah kita bicarakan tadi, apakah para pendekar sudi membantu kami guna menumpas kaum pemberontak pimpinan Kangmas Sembodo?""Hamba datang kemari justru diutus teman-teman pendekar, Kanjeng. Dan sekarang terserah, Kanjeng Adipati. Kami hanya tinggal menunggu perintah," jelas Pendekar Bintang Emas."Baik. Kalau begitu sampaikan salamku pada Ki Rombeng, dan juga para pendekar lain. Nanti kalau ada kabar baik, aku pasti akan mengutus seorang prajuritku untuk memberi tahu kalau kalian di puncak Gunung Kelud," ujar Adipati Pleret akhirnya."Baik," sahut Pendekar Bintang Emas singkat.Adipati Pleret mengangguk-angguk penuh kepuasan.-o0o-Pangeran Pemimpin gusar b
Bajing Sura tersenyum dingin. Tampak sekali kalau uneg-unegnya sebenarnya ingin sekali dikeluarkan. Namun entah kenapa, ia tidak berani."Tidak ada pilihan lain, Pangeran. Sebelum kekuatan menyusut, terpaksa kita harus secepatnya menyerbu kadipaten! Itulah jalan satu-satunya yang terbaik!" tutur Bajing Sura akhirnya dengan hati kecut.Pangeran Pemimpin terdiam, seperti mempertimbangkan usul Bajing Sura. Sejurus kemudian kepalanya manggut-manggut dengan kening berkernyit."Kali ini kita tidak ada pilihan lain. Kukira memang itulah jalan satu-satunya yang terbaik, Pangeran," timpal Raja Racun, menyetujui usul Bajing Sura.Tiba-tiba semangat Pangeran Pemimpin yang mengendur kembali menggebu-gebu. Namun sampai di sini lelaki setengah baya itu belum membuka suara. Garis-garis keningnya tampak makin berlipat-lipat."Kenapa harus bingung, Pangeran? Kalau itu memang satu-satunya jalan terbaik, kenapa tidak lekas-lekas dilakukan?" kali ini yang angkat bicar
Eyang Pamekasan melipat gandakan tawanya. Wajahnya yang tirus tampak demikian mengerikannya."Ketahuilah, Cucuku! Sebenarnya kau adalah anak dari Prabangkoro, yakni anakku sendiri. Dan berhubung juga mencintai Sundari, mendiang ibumu, maka Cokro Ningrat pun memfitnah Prabangkoro hingga dihukum gantung! Akhirnya ia berhasil memperistri mendiang ibumu, Cucuku!" tutur Eyang Pamekasan dengan kemarahan meluap."Keparat! Jadi Cokro Ningrat yang telah membunuh ayahku, Eyang" Kenapa Eyang baru menceritakannya sekarang?" sentak Pangeran Pemimpin, tak kalah gusar."Kusengaja, Cucuku. Karena waktu itu kau masih kecil. Tak mungkin aku menceritakan rahasia besar ini. Namun ketika aku hendak bertapa di Sendang Kenjeran ini, bukankah aku telah memerintahkanmu untuk bersiap-siap memberontak?" tukas Eyang Pamekasan tajam."Benar, Eyang. Tapi, terus terang aku menyayangkan kenapa baru sekarang rahasia besar ini diceritakan," keluh Pangeran Pemimpin sedih."Sudahlah!
PUNCAK GUNUNG KELUD masih berselimut awan. Padahal matahari telah menapak jauh. Namun, sinarnya tak kuasa menembus tebalnya kabut, hingga udara dingin masih terus bergelayut. Di hadapan para pendekar yang masih berkumpul di puncak Gunung Kelud, seorang lelaki berusia enam puluh tahun tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Meski berusia senja, namun tubuh tinggi besarnya tampak masih kekar dengan otot-otot lengan bertonjolan. Rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai sampai ke bahu. Pakaiannya putih bersih. Dua gelang akar bahar besar di pergelangan tangan menambah angker penampilannyaSementara orang yang diajak bercakap-cakap adalah lelaki tua renta berusia delapan puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus. Pakaiannya tambal-tambalan mirip pengemis. Wajahnya tirus dengan sepasang bibir hitam. Dari tadi tongkat di tangan kanannya terus diketuk-ketukkan dengan sikap gelisah."Raja Penyihir! Aku maklum kalau kau tampak gelisah. Semua yang berada di puncak Gunung Kelud ini jug
Roh Dewa Petir segera melayang ke atas dengan membawa batu hitam tadi. Kendati sinar-sinar hitam yang mencelat dari batu itu tak putus, namun bahaya mulai mereda karena semakin lama batu itu semakin tinggi dibawa terbang. Mendapati hal itu, Si Buta dari Sungai Ular menghela napas lega. "Rasanya... sudah berakhir ketegangan ini." Tetapi dia keliru! Rupanya bahaya belum berhenti sampai di Sana. Karena mendadak saja terdengar suara berderak yang sangat keras laksana topan hantam pesisir. Menyusul rengkahnya tanah di beberapa penjuru. Si Buta dari Sungai Ular seketika berseru seraya menyambar tangan Dewi Awan Putih, "Menyingkir!" Hantu Caping Baja yang semula tercengang tak percaya melihat Roh Dewa Petir raksasa yang keluar dari dada Manggala, segera bertindak cepat. Kedua kakinya dijejakkan di atas tanah, saat itu pula tubuhnya mumbul ke angkasa! Tanah yang rengkah itu bergerak sangat cepat, membujur dan memburu disertai suara menggemuruh yang mengerikan. Debu-debu beterbangan disert
Bukan hanya Manusia Angin yang palingkan kepala, Dayang Harum pun segera menoleh. Sepasang mata si gadis mendadak terkesiap, tatkala sinar hitam berkilat-kilat menggebah ke arahnya.Mendapati serangan yang ganas itu, salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka segera surutkan langkah tiga tindak ke belakang. Kejap itu pula dia siap lepaskan pukulan 'Kabut Gurun Es'!Namun sebelum dilakukan, mendadak saja terdengar suara letupan yang sangat keras dan muncratnya sinar hitam yang dilepaskan oleh Iblis Tanpa Jiwa. Menyusul kemudian tubuh lelaki itu mencelat ke belakang disertai seruan tertahan, "Keparat busuk!"Tatkala kedua kakinya hinggap kembali di atas tanah, kepalanya segera dipalingkan ke kanan dan ke kiri. Makiannya terdengar walau pelan, "Setan keparat! Siapa lagi orangnya yang hendak bikin masalah!"Bukan hanya Iblis Tanpa Jiwa yang heran mendapati putusnya serangan yang dilakukannya, Dayang Harum pun terkesiap kaget dengan mulut menganga. Gadis in
Buang Totang Samudero tak mau tinggal diam. Disertai teriakan keras, mendadak saja terdengar deru angin kencang yang disusul dengan berkelebatnya seberkas sinar kuning dan merah mengarah pada Iblis Tanpa Jiwa!Blaaar! Blaaarr!Terdengar letupan sangat dahsyat bersamaan muncratnya sinar hitam, kuning dan merah ke berbagai tempat! Masing-masing orang surut ke belakang. Sosok Iblis Tanpa Jiwa nampak bergetar. Hanya sekejap karena kejap lain kedua kakinya telah tegak berdiri.Di seberang, sosok Buang Totang Samudero bergetar kendati tubuhnya tetap berada sejengkal di atas tanah. Darah mengalir dari sudut-sudut bibirnya."Celaka! Rasanya aku tak akan mampu menghadapi manusia satu ini!" desisnya tegang. Tetapi di lain kejap sepasang matanya terbuka lebih lebar. "Peduli setan! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bertahan!"Habis membatin begitu, mendadak saja membersit sinar kuning dan merah dari tubuh Buang Totang Samudero. Menyusul sosoknya telah meles
Berpikir demikian, mendadak saja Manggala melepaskan diri dari rangkulan Dewi Awan Putih disertai dorongan keras. Gadis berbaju jingga itu terkejut. Seraya keluarkan pekikan tertahan, tubuh gadis itu terguling ke depan.Manggala langsung melompat ke udara, berputar dua kali guna hindari sambaran sinar hitam, lalu berdiri tegak di atas tanah dengan wajah tegang dan kesiagaan tinggi. Begitu berdiri tegak, dengan cepat diputar kedua tangannya ke atas, lalu ke bawah dan kembali ke atas. Menyusul diusapnya kedua tangannya satu sama lain. Lalu diusapkan tangan kanannya pada dadanya yang terdapat rajahan petir. Usai dilakukan semua itu, mendadak saja sebuah bayangan raksasa melesat dari rajahan petir yang terdapat pada kanan kiri lengannya. Melayang-layang tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Rupanya Si Buta dari Sungai Ular telah mengeluarkan ilmu 'Inti Roh Dewa Petir'.Kejap kemudian, sambil dongakkan kepala, pemuda dari Sungai Ular ini berseru, "Dewa Petir! Angkat dan baw
"Ada satu kekuatan yang nampaknya melingkupi batu ini," Manggala membatin tatkala menyadari Dewi Awan Putih belum berhasil menggeser batu itu. Bahkan dilihatnya gadis itu sudah berkeringat.Hantu Caping Baja berkata, "Menyingkir! Biar aku coba untuk menggulingkannya!"Setelah Dewi Awan Putih menyingkir dengan masih tak mempercayai apa yang lelah dilakukannya, si nenek yang sebagian wajahnya ditutupi caping terbuat dari baja yang sangat berat namun si nenek kelihatan biasa-biasa saja, segera mendorong batu besar hitam itu. Yang terjadi kemudian, sama seperti yang dialami oleh Dewi Awan Putih. Batu itu tetap tak bergeser!Menjadi ngotot Hantu Caping Baja. Tetapi sekian lama mencoba mendorongnya dengan lipat gandakan tenaga dalamnya, batu itu tetap tak bergeser.Manggala membatin, "Benar-benar luar biasa. Kekuatan yang ada pada batu ini seperti mengisyaratkan satu bahaya lain." Lalu katanya, "Sebaiknya... kita bersama-sama mendorong batu ini. Dan bersiap bil
Pemuda dari Sungai Ular itu tak segera menjawab pertanyaan si nenek berpakaian putih gombrang. Pandangannya tertuju lekat ke depan."Menurut Dewi Awan Putih, di tempat yang bernama Bulak Batu Bulan akan terdapat sebuah batu yang disebut Batu Bulan. Di bawah batu itulah terdapat petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada. Dan dikatakannya juga, kalau bahaya akan mengancam bila ada yang berhasil menggeser Batu Bulan. Bila memang tak jauh dari dua bukit itu adalah tempat yang disebut Bulak Batu Bulan, apakah Guru sudah berada di sana?" pikir Manggala.Si nenek yang sebagian wajahnya tertutup caping lebar terbuat dari baja namun sedikit pun tak merasa kepayahan mengenakannya, arahkan pandangannya pada Si Buta dari Sungai Ular yang masih terdiam, "Apakah kau memikirkan sesuatu?"Manggala mengangguk."Ya! Aku seperti... ah, sudahlah. Untuk memastikan apakah tempat itu yang disebut Bulak Batu Bulan, kita memang sebaiknya segera ke sana."Habis kata-kata itu
Pemuda berpakaian abu-abu ini terkesiap mendapati serangan perempuan bertopeng perak yang ganas. Segera dia membuang tubuh ke kiri. Bersamaan dengan itu tubuhnya langsung dihempos ke depan seraya mendorong kedua tangannya.Dewi Topeng Perak kertakkan rahangnya. Tubuhnya segera dienjot ke atas menghindari gebrakan Wulung Seta. Masih berada di udara, dia memutar tubuhnya. Kejap lain tubuhnya sudah menderu deras ke arah Wulung Seta.Terburu-buru murid mendiang Ki Alam Gempita ini menghindar dan mengangkat kedua tangannya.Des! Des!Dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan keras. Sosok Dewi Topeng Perak langsung melenting ke belakang dan tegak kembali di atas tanah dengan kedua kaki dipentangkan. Dari balik topeng perak yang dikenakannya, sepasang mata perempuan berpakaian kuning cemerlang ini menusuk dalam.Sementara itu, Wulung Seta surut tiga tindak ke belakang. Dadanya terasa nyeri dengan kedua tangan yang terasa remuk."Aku tak bo
"Aku juga belum dapat memastikan ke mana arah yang akan kita tempuh, Rayi. Sayangnya Raja Siluman Ular Putih tidak memberitahukan secara pasti. Rayi... apakah kau pikir Manggala sudah tiba di sana?""Aku tidak tahu. Tetapi mengingat waktu yang diberikan oleh Raja Siluman Ular Putih, seharusnya Kang Manggala sudah tiba di Bulak Batu Bulan. Bagaimana menurutmu sendiri?""Aku tidak tahu pasti."Di tempatnya sepasang mata Dewi Topeng Perak membuka cerah. "Hmmm... kedua remaja ini rupanya juga menuju ke Bulak Batu Bulan. Wajah keduanya nampaknya tak asing dalam ingatanku. Mendengar kata-kata keduanya, rupanya Raja Siluman Ular Putih juga melibatkan diri dalam urusan ini. Setahuku, lelaki itu adalah salah seorang dari guru Si Buta dari Sungai Ular. Peduli setan! Bila aku berhasil memiliki Kitab Pamungkas, semua keinginanku termasuk membunuh Si Buta dari Sungai Ular dan Buang Totang Samudero akan terlaksana dengan mudah."Karena terlalu gembira itulah tanpa seng
Berlutut dan menangis tersedu-sedu Dayang Pandan meratapi nasib sialnya. Beberapa saat kemudian terdengar teriakannya kalap, "Kubunuh kau! Kubunuh kau!"Tanpa membetulkan pakaiannya, gadis yang baru saja mengalami nasib sial ini berkelebat ke arah perginya Iblis Tanpa Jiwa dengan teriakan-teriakan keras.-o0o-DUA hari berlalu lagi dalam kehidupan manusia. Sesungguhnya, waktu kerap datang bertubi-tubi. Meluruk dan terkadang menikam dalam, hingga manusia yang lupa, khilaf ataupun mencoba tak perduli akan tergilas oleh waktu. Tetapi yang kerap menghargai waktu, maka dia akan berjalan lurus dan dapat mengendalikan waktu.Dalam hamparan malam yang pekat, tiga sosok tubuh menghentikan kelebatan masing-masing di sebuah jalan setapak yang dipenuhi semak belukar. Bintang gemintang yang biasanya bertaburan malam ini entah pergi ke mana. Sejenak sunyi mengerjap disertai suara binatang-binatang malam."Dua hari sudah kita mencoba melacak di mana