"He! Siapa kau? Minggir...!" bentak Pendeta Aji saka.
"Kalian menuju arah yang salah. Orang yang kalian buru tidak ada lagi di sini," berat terdengar suara orang itu sambil tetap berdiri tegak tanpa bergeming sedikit pun.
"Aku peringatkan sekali lagi padamu, keparat Minggir...!" bentak Pendeta Ajisaka menggeram.
"Hmmm….Pakaianmu seperti seorang pendeta, tapi bicaramu tidak lebih dari bajingan!" gumam orang itu dingin.
"Setan alas! Hiyaaat...!"
Pendeta Ajisaka tidak dapat lagi menahan amarahnya. Secepat kilat dia melompat dari punggung kudanya, langsung menerjang orang bercaping besar itu. Namun hanya sedikit mengegoskan tubuhnya, terjangan Pendeta Ajisaka luput dari sasaran. Bahkan tanpa diduga.sama sekali, orang bercaping itu mengibaskan tangannya. Akibatnya, kibasan itu telak menghantam punggung laki-laki tua gundul itu.
"Ughk..!" Pendeta Ajisaka mengeluh tertahan.
Seketika itu juga Pendeta Ajisaka tersuruk jatuh mencium tana
"Kau terkejut, Pendeta Ajisaka?" pemuda yang kini sudah berubah wajahnya itu tersenyum menyeringai."Siapa kau sebenarnya?" dengus Pendeta Ajisaka."Kau kenali ini, Pendeta murtad?" pemuda yang sudah berganti wajah yang dikenal bernama Gagak Codet, mengeluarkan seuntai kalung dari balik sabuk yang melilit pinggangnya.Kedua mata Pendeta Ajisaka membeliak lebar begitu melihat seuntai kalung berbentuk kepala naga dengan mata dari batu merah bercahaya. Kalung itu dibuat dari emas murni berhiaskan butiran intan berlian. Sambil tersenyum menyeringai, Gagak Codet menyimpan kembali kalung itu ke dalam sabuknya."Ha ha ha ha...." pemuda itu tertawa terbahak-bahak, lalu melangkah pergi dengan tenangnya.Sedangkan Pendeta Ajisaka jadi terbengong memandangi punggung pemuda itu. Sebentar wajahnya berubah memerah dan pucat pasi. Tentu saja dia kenal betul dengan untaian kalung berbentuk kepala naga mata merah itu. Bahkan tidak akan dilupakan seumur hidupnya. Da
Dewi Mustika hanya tertunduk saja. Kegelisahan menyelimuti hatinya. Kepalanya masih tertunduk saat ayahnya melangkah menghampiri pintu. Laki-laki setengah baya itu menoleh sebelum melangkah keluar."Tutup jendelanya, Mustika. Aku tidak suka kau menyembunyikan orang di kamarmu," kata Sura Antaka."Baik, Ayah."Sura Antaka melangkah keluar. Dewi Mustika bergegas menutup pintunya, lalu menarik napas panjang seraya memejamkan matanya. Kemudian kakinya melangkah menuju jendela, lalu menutupnya. Gadis itu berbalik, melangkah menghampiri pembaringan. Sambil mendesah panjang, dibanting tubuhnya ke pembaringan. Sejak peristiwa di tepi danau, Sura Antaka melarang gadis itu keluar dari kamarnya kalau tidak disertai pengawalan ketat. Terlebih lagi kalau keluar dari bangunan bagai istana ini. Tidak kurang dari lima puluh orang ketat mengawalnya.Dewi Mustika semakin merasakan dirinya bagai hidup dalam sangkar emas berlumpur. Ke mana pun pergi, selalu ada pengawal memb
"Sudah kuduga, Adi Sura. Bocah itu pasti bisa lolos," tegas Pendeta Ajisaka."Tidak mungkin! Pasti ada yang menolongnya. Lima belas tahun terkurung di sini, mustahil kalau dia masih hidup!" dengus Sura Antaka menggeram.Laki-laki setengah baya itu menatap Pendeta Ajisaka dalam-dalam, sedangkan yang ditatap malah membalas dengan tajam pula. Kemudian mereka mendongak ke atas, lalu hampir bersamaan melesat naik ke atas lubang itu. Sebentar saja mereka sudah berada di luar, tepat di luar pagar tembok yang membentengi bangunan besar bagai istana itu."Emban Bulem...!" desis Sura Antaka. "Hanya dia yang kuijinkan masuk ke sini.""Di mana dia?" tanya Pendeta Ajisaka."Di... Mustika..!"Sura Antaka langsung melompat melewati pagar tembok. Pendeta Ajisaka mengikuti dengan gerakan tangkas dan ringan. Sekejap saja kedua laki-laki itu sudah lenyap di balik dinding tembok yang mengelilingi rumah besar bagai istana itu."Mustika....' Mustika...!" t
"Dengar, Mustika. Sebenarnya aku ini adalah adik kandung ibumu. Waktu Padepokan Naga Merah yang kini menjadi Partai Naga Merah hancur, aku menyamar jadi seorang pembantu. Untungnya Sura Antaka tidak kenal jati diriku, sehingga mengijinkan aku untuk mengasuhmu. Waktu itu usiamu baru satu tahun, Mustika. Dan kau punya kakak yang berusia lima tahun pada waktu itu. Laki-laki.... Ibumu dan kakakmu berhasil meloloskan diri, sedangkan ayahmu yang sebenarnya telah tewas di tangan Sura Antaka...," Emban Bulem mencoba menjelaskan."Sungguhkah itu, Bi?" tanya Dewi Mustika kurang percaya."Kau akan tahu nanti, Mustika. Aku hanya bisa menceritakan sedikit. Kau tahu, daerah ini masih termasuk wilayah Kerajaan Gelang Wesi. Gusti Prabu Nayadarma adalah pamanmu, kakak ayahmu. Mereka masing-masing punya pilihan sendiri. Gusti Nayadarma lebih senang pada hal-hal pemerintahan. Sedangkan ayahmu lebih suka menjadi pertapa, dan memimpin sebuah padepokan yang didirikan atas usahanya sendiri.
Emban Bulem tersentak kaget begitu tiba tiba saja golok Singo Barong merobek selendangnya tepat pada bagian tengah hingga terpotong jadi dua bagian. Dan belum lagi hilang keterkejutan perempuan gemuk itu, Singo Barong sudah melompat bagaikan kilat. Goloknya dikibaskan cepat mengarah ke leher."Uts! Haiiit...!"Emban Bulem melompat mundur menghindari tebasan golok itu. Tapi belum juga kakinya menjejak tanah, tiba-tiba dari arah belakang, meluncur sebatang tombak panjang berwarna merah darah. Dan tombak itu langsung menembus punggung wanita gemuk itu hingga tembus ke dada."Aaaaa...!" Emban Bulem menjerit melengking tinggi."Mampus kau! Hiyaaat...!" Seketika itu juga Singo Barong mengebutkan goloknya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, langsung menebas leher Bibi Emban Bulem hingga buntung."Bibi...!" jerit Dewi Mustika.Tubuh gemuk itu jatuh berdebum ke tanah. Darah mengucur deras dari leher yang buntung, sedangkan kepala perempuan gemuk
Gadis itu teringat akan semua cerita perempuan gemuk yang selama ini dikenalnya hanya sebagai emban pengasuh saja. Dan ternyata Bibi Bulem memang adalah bibinya sendiri, adik kandung ibunya. Sedangkan ibunya sendiri katanya sekarang berada di istana Kerajaan Gelang Wesi. Dewi Mustika masih belum percaya sepenuhnya. Tapi saat Manggala berkata tadi..., entah kenapa tiba-tiba saja dadanya jadi bergemuruh, dan jantungnya serasa lebih cepat berdetak. Dewi Mustika menatap bola mata putih pemuda itu dalam-dalam, seolah-olah ada yang dicarinya di sana."Jika Bibi Bulem sudah mengatakan semuanya padamu, rasanya tidak perlu lagi kukatakan padamu, Mustika. Semua yang dikatakannya adalah benar. Dan aku berada di sini untuk membantunya mengeluarkanmu, agar kau bisa berkumpul lagi bersama ibu dan kakakmu. Oh, ya. Kakakmu juga ada di sini, tapi sudah dua hari ini terpisah dariku. Entah berada di mana sekarang. Yang jelas dia bersama empat orang panglima," lanjut Manggala.Dewi Mustik
MANGGALA tersentak kaget saat mendapati pondoknya sudah hangus menjadi abu. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba di sekelilingnya bermunculan sekitar lima belas orang berseragam merah bergambar naga pada bagian dadanya. Tampak Singo Barong berdiri tegak. Matanya merah membara, bagai api yang menghanguskan pondok kecil itu.Manggala memutar tubuhnya, memandangi orang-orang yang sudah mengepungnya sambil membawa tombak terhunus. Tatapan matanya langsung terpaku pada Singo Barong. Laki-laki inilah yang memenggal kepala Emban Bulem, dan yang juga berusaha membawa paksa Dewi Mustika kembali ke dalam sangkar emasnya yang penuh bergelimang noda lumpur."Ha ha ha ha...! Tidak semudah itu kau bisa membawa Dewi Mustika!" Singo Barong tertawa terbahak-bahak."Di mana Mustika?" dengus Manggala."Bersama ayahnya," sahut Singo Barong dingin. Singo Barong menjentikkan ujung jarinya. Dan seketika itu juga lima belas orang berseragam dengan tombak terhunus, l
"Hua ha ha ha...!" Singo Barong tertawa terbahak-bahak. Dia bertolak pinggang dengan pongahnya. Sementara Si Buta dari Sungai Ular hanya memandangi tanpa berkedip. Di tangan kanannya masih tergenggam sebatang pedang yang buntung. Manggala melempar pedang itu, lalu dipungutnya pedang lain yang tergeletak dekat ujung kakinya. Sambil berteriak keras, Si Buta dari Sungai Ular itu mengibaskan pedangnya, tepat mengarah ke leher."Hiyaaat..!"Trak!"Ha ha ha ha...!"Buru-buru Manggala melompat mundur begitu mata pedang yang dipungutnya dari tanah telah patah jadi dua. Sedangkan kulit leher Singo Barong tidak tergores sedikit pun juga. Malah orang berewokan itu tertawa terbahak-bahak berkacak pinggang.“Gila! Ilmu apa yang digunakan?" dengus Manggala keheranan."Keluarkan semua kepandaianmu, bocah!" tantang Singo Barong pongah."Hmmm...," Manggala menggumam pelan. Dengan ujung jari kakinya, dijentik sebilah pedang, dan langsung ditangka
Roh Dewa Petir segera melayang ke atas dengan membawa batu hitam tadi. Kendati sinar-sinar hitam yang mencelat dari batu itu tak putus, namun bahaya mulai mereda karena semakin lama batu itu semakin tinggi dibawa terbang. Mendapati hal itu, Si Buta dari Sungai Ular menghela napas lega. "Rasanya... sudah berakhir ketegangan ini." Tetapi dia keliru! Rupanya bahaya belum berhenti sampai di Sana. Karena mendadak saja terdengar suara berderak yang sangat keras laksana topan hantam pesisir. Menyusul rengkahnya tanah di beberapa penjuru. Si Buta dari Sungai Ular seketika berseru seraya menyambar tangan Dewi Awan Putih, "Menyingkir!" Hantu Caping Baja yang semula tercengang tak percaya melihat Roh Dewa Petir raksasa yang keluar dari dada Manggala, segera bertindak cepat. Kedua kakinya dijejakkan di atas tanah, saat itu pula tubuhnya mumbul ke angkasa! Tanah yang rengkah itu bergerak sangat cepat, membujur dan memburu disertai suara menggemuruh yang mengerikan. Debu-debu beterbangan disert
Bukan hanya Manusia Angin yang palingkan kepala, Dayang Harum pun segera menoleh. Sepasang mata si gadis mendadak terkesiap, tatkala sinar hitam berkilat-kilat menggebah ke arahnya.Mendapati serangan yang ganas itu, salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka segera surutkan langkah tiga tindak ke belakang. Kejap itu pula dia siap lepaskan pukulan 'Kabut Gurun Es'!Namun sebelum dilakukan, mendadak saja terdengar suara letupan yang sangat keras dan muncratnya sinar hitam yang dilepaskan oleh Iblis Tanpa Jiwa. Menyusul kemudian tubuh lelaki itu mencelat ke belakang disertai seruan tertahan, "Keparat busuk!"Tatkala kedua kakinya hinggap kembali di atas tanah, kepalanya segera dipalingkan ke kanan dan ke kiri. Makiannya terdengar walau pelan, "Setan keparat! Siapa lagi orangnya yang hendak bikin masalah!"Bukan hanya Iblis Tanpa Jiwa yang heran mendapati putusnya serangan yang dilakukannya, Dayang Harum pun terkesiap kaget dengan mulut menganga. Gadis in
Buang Totang Samudero tak mau tinggal diam. Disertai teriakan keras, mendadak saja terdengar deru angin kencang yang disusul dengan berkelebatnya seberkas sinar kuning dan merah mengarah pada Iblis Tanpa Jiwa!Blaaar! Blaaarr!Terdengar letupan sangat dahsyat bersamaan muncratnya sinar hitam, kuning dan merah ke berbagai tempat! Masing-masing orang surut ke belakang. Sosok Iblis Tanpa Jiwa nampak bergetar. Hanya sekejap karena kejap lain kedua kakinya telah tegak berdiri.Di seberang, sosok Buang Totang Samudero bergetar kendati tubuhnya tetap berada sejengkal di atas tanah. Darah mengalir dari sudut-sudut bibirnya."Celaka! Rasanya aku tak akan mampu menghadapi manusia satu ini!" desisnya tegang. Tetapi di lain kejap sepasang matanya terbuka lebih lebar. "Peduli setan! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bertahan!"Habis membatin begitu, mendadak saja membersit sinar kuning dan merah dari tubuh Buang Totang Samudero. Menyusul sosoknya telah meles
Berpikir demikian, mendadak saja Manggala melepaskan diri dari rangkulan Dewi Awan Putih disertai dorongan keras. Gadis berbaju jingga itu terkejut. Seraya keluarkan pekikan tertahan, tubuh gadis itu terguling ke depan.Manggala langsung melompat ke udara, berputar dua kali guna hindari sambaran sinar hitam, lalu berdiri tegak di atas tanah dengan wajah tegang dan kesiagaan tinggi. Begitu berdiri tegak, dengan cepat diputar kedua tangannya ke atas, lalu ke bawah dan kembali ke atas. Menyusul diusapnya kedua tangannya satu sama lain. Lalu diusapkan tangan kanannya pada dadanya yang terdapat rajahan petir. Usai dilakukan semua itu, mendadak saja sebuah bayangan raksasa melesat dari rajahan petir yang terdapat pada kanan kiri lengannya. Melayang-layang tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Rupanya Si Buta dari Sungai Ular telah mengeluarkan ilmu 'Inti Roh Dewa Petir'.Kejap kemudian, sambil dongakkan kepala, pemuda dari Sungai Ular ini berseru, "Dewa Petir! Angkat dan baw
"Ada satu kekuatan yang nampaknya melingkupi batu ini," Manggala membatin tatkala menyadari Dewi Awan Putih belum berhasil menggeser batu itu. Bahkan dilihatnya gadis itu sudah berkeringat.Hantu Caping Baja berkata, "Menyingkir! Biar aku coba untuk menggulingkannya!"Setelah Dewi Awan Putih menyingkir dengan masih tak mempercayai apa yang lelah dilakukannya, si nenek yang sebagian wajahnya ditutupi caping terbuat dari baja yang sangat berat namun si nenek kelihatan biasa-biasa saja, segera mendorong batu besar hitam itu. Yang terjadi kemudian, sama seperti yang dialami oleh Dewi Awan Putih. Batu itu tetap tak bergeser!Menjadi ngotot Hantu Caping Baja. Tetapi sekian lama mencoba mendorongnya dengan lipat gandakan tenaga dalamnya, batu itu tetap tak bergeser.Manggala membatin, "Benar-benar luar biasa. Kekuatan yang ada pada batu ini seperti mengisyaratkan satu bahaya lain." Lalu katanya, "Sebaiknya... kita bersama-sama mendorong batu ini. Dan bersiap bil
Pemuda dari Sungai Ular itu tak segera menjawab pertanyaan si nenek berpakaian putih gombrang. Pandangannya tertuju lekat ke depan."Menurut Dewi Awan Putih, di tempat yang bernama Bulak Batu Bulan akan terdapat sebuah batu yang disebut Batu Bulan. Di bawah batu itulah terdapat petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada. Dan dikatakannya juga, kalau bahaya akan mengancam bila ada yang berhasil menggeser Batu Bulan. Bila memang tak jauh dari dua bukit itu adalah tempat yang disebut Bulak Batu Bulan, apakah Guru sudah berada di sana?" pikir Manggala.Si nenek yang sebagian wajahnya tertutup caping lebar terbuat dari baja namun sedikit pun tak merasa kepayahan mengenakannya, arahkan pandangannya pada Si Buta dari Sungai Ular yang masih terdiam, "Apakah kau memikirkan sesuatu?"Manggala mengangguk."Ya! Aku seperti... ah, sudahlah. Untuk memastikan apakah tempat itu yang disebut Bulak Batu Bulan, kita memang sebaiknya segera ke sana."Habis kata-kata itu
Pemuda berpakaian abu-abu ini terkesiap mendapati serangan perempuan bertopeng perak yang ganas. Segera dia membuang tubuh ke kiri. Bersamaan dengan itu tubuhnya langsung dihempos ke depan seraya mendorong kedua tangannya.Dewi Topeng Perak kertakkan rahangnya. Tubuhnya segera dienjot ke atas menghindari gebrakan Wulung Seta. Masih berada di udara, dia memutar tubuhnya. Kejap lain tubuhnya sudah menderu deras ke arah Wulung Seta.Terburu-buru murid mendiang Ki Alam Gempita ini menghindar dan mengangkat kedua tangannya.Des! Des!Dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan keras. Sosok Dewi Topeng Perak langsung melenting ke belakang dan tegak kembali di atas tanah dengan kedua kaki dipentangkan. Dari balik topeng perak yang dikenakannya, sepasang mata perempuan berpakaian kuning cemerlang ini menusuk dalam.Sementara itu, Wulung Seta surut tiga tindak ke belakang. Dadanya terasa nyeri dengan kedua tangan yang terasa remuk."Aku tak bo
"Aku juga belum dapat memastikan ke mana arah yang akan kita tempuh, Rayi. Sayangnya Raja Siluman Ular Putih tidak memberitahukan secara pasti. Rayi... apakah kau pikir Manggala sudah tiba di sana?""Aku tidak tahu. Tetapi mengingat waktu yang diberikan oleh Raja Siluman Ular Putih, seharusnya Kang Manggala sudah tiba di Bulak Batu Bulan. Bagaimana menurutmu sendiri?""Aku tidak tahu pasti."Di tempatnya sepasang mata Dewi Topeng Perak membuka cerah. "Hmmm... kedua remaja ini rupanya juga menuju ke Bulak Batu Bulan. Wajah keduanya nampaknya tak asing dalam ingatanku. Mendengar kata-kata keduanya, rupanya Raja Siluman Ular Putih juga melibatkan diri dalam urusan ini. Setahuku, lelaki itu adalah salah seorang dari guru Si Buta dari Sungai Ular. Peduli setan! Bila aku berhasil memiliki Kitab Pamungkas, semua keinginanku termasuk membunuh Si Buta dari Sungai Ular dan Buang Totang Samudero akan terlaksana dengan mudah."Karena terlalu gembira itulah tanpa seng
Berlutut dan menangis tersedu-sedu Dayang Pandan meratapi nasib sialnya. Beberapa saat kemudian terdengar teriakannya kalap, "Kubunuh kau! Kubunuh kau!"Tanpa membetulkan pakaiannya, gadis yang baru saja mengalami nasib sial ini berkelebat ke arah perginya Iblis Tanpa Jiwa dengan teriakan-teriakan keras.-o0o-DUA hari berlalu lagi dalam kehidupan manusia. Sesungguhnya, waktu kerap datang bertubi-tubi. Meluruk dan terkadang menikam dalam, hingga manusia yang lupa, khilaf ataupun mencoba tak perduli akan tergilas oleh waktu. Tetapi yang kerap menghargai waktu, maka dia akan berjalan lurus dan dapat mengendalikan waktu.Dalam hamparan malam yang pekat, tiga sosok tubuh menghentikan kelebatan masing-masing di sebuah jalan setapak yang dipenuhi semak belukar. Bintang gemintang yang biasanya bertaburan malam ini entah pergi ke mana. Sejenak sunyi mengerjap disertai suara binatang-binatang malam."Dua hari sudah kita mencoba melacak di mana