"Tunggu...!"
Satu bentakan keras membuat laki-laki tinggi tegap berwajah bengis itu
langsung menoleh. Raut wajahnya tampak terkejut melihat kehadiran seorang pemuda berwajah tampan dengan kulit putih halus bagai wanita, yang kini telah berdiri tidak jauh dari tempat itu. Dia mengenakan baju sutra halus yang indah dengan sulaman benang emas. Disampingnya berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih.
"Raden Sangga Alam...," suara laki-laki tegap yang memegang cambuk itu agak tergetar.
Pemuda tampan itu bergegas melangkah menghampiri laki-laki tinggi tegap itu. Langkahnya berhenti tepat setengah depa di depannya. Tatapan matanya tajam. Sedangkan laki-laki yang memegang cambuk itu hanya menundukkan kepala saja.
Plak!
"Akh!" laki-laki tinggi tegap itu memekik tertahan.
Wajahnya memerah dan terasa panas kena gamparan tangan yang halus bagai tangan perempuan itu. Tubuhnya sampai berputar sedikit terdorong kebelakang, namun kembali berdiri te
Belum sempat ada yang menyadari, bayangan hitam itu sudah berkelebat kembali. Kali ini sasarannya adalah delapan orang memegang cambuk yang berdiri berkelompok. Gerakan bayangan hitam itu sangat luar biasa cepatnya, sehingga dua orang yang memegang cambuk langsung ambruk dengan leher hampir terpenggal. Saat itu juga, enam orang bertubuh tinggi tegap serentak berlompatan mengepung. Sedangkan Braga dan Kinca masih tetap berdiri memperhatikan.Trang! Tring!"Aaakh...!"Jerit dan pekik kematian terdengar saling susul. Bayangan hitam itu terus berkelebatan dengan cepat, sehingga sukar untuk diikuti dengan mata biasa. Orang-orang yang bertubuh tinggi tegap itu pun tampak ke repotan. Mereka harus membanting diri atau mencelat kebelakang jika terlihat bayangan hitam itu berkelebat menuju ke arahnya."Setan! Siapa dia...?" geram Braga melihat dua orang temannya menggeletak tak bernyawa. Tanpa berkata apa-apa lagi, Braga segera melompat menerjang bayangan hitam itu
Begitu terdengar derap kaki kuda dipacu, Raden Bantar Gading bergegas melangkah keluar. Tampak debu mengepul di kejauhan. Sebentar putra mahkota itu memandangi dua orang bayarannya yang memacu kuda dengan cepat menuju ke Bukit Batu. Raden Bantar Gading segera menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon kenanga. Dengan satu gerakan yang ringan dan indah, tubuhnya melenting dan hinggap di atas punggung kuda putihnya."Yeah! Hiya...!"Raden Bantar Gading langsung menggebah kudanya, agar berlari cepat. Bagaikan sebatang anak panah lepas dari busurnya, kuda putih itu melesat meninggalkan pondok kecil tempat bernaung sementara Raden Bantar Gading.Debu mengepul ke udara terhantam derap kaki kuda. Raden Bantar Gading terus memacu kudanya dengan cepat menuju kearah Utara.-o0o-Sementara itu di Bukit Batu, puluhan orang tengah mengerang meregang nyawa. Darah berceceran di segala tempat. Bahkan tidak sedikit yang menggelimpang tidak bernyawa lagi. Tak
"Tapi, bagaimanapun juga, Raden harus bisa mencegah pembuatan jalan itu," kata Paman Nampi."Apa lagi yang harus kulakukan, Paman? Pembantaian di Bukit Baru sudah menandakan kalau ada orang lain yang juga tidak senang dengan pembuatan jalan ke Pesanggrahan Keramat itu. Dan sepertinya, Kanda Bantar Gading mencurigaiku. Ditambah kini, Ayahanda Prabu sudah tidak percaya lagi padaku," keluh Raden Sangga Alam."Jangan putus asa dulu, Raden. Masih banyak cara yang bisa ditempuh," kata Paman Nampi memberi semangat."Cara apa lagi, Paman? Semua cara yang kutempuh tidak pernah mengorbankan rakyat. Tapi sekarang...," nada suara Raden Sangga Alam terdengar putus asa."Yah..., aku sendiri juga menyesalkan kejadian di Bukit Batu itu, Raden," desah Paman Nampi pelan."Siapa orang itu, Paman?" tanya Raden Sangga Alam."Menurut keterangan yang kudengar, dia muncul dengan menggunakan baju serba hitam. Orang itu juga telah memberi peringatan sebelumnya," sahu
Paman Nampi memilih tempat di tepi sungai untuk mendirikan tenda-tenda. Para prajurit segera mendirikan tenda setelah mendapat perintah Paman Nampi. Sebuah tenda yang cukup besar terpancang dalam waktu sebentar saja, dan dikelilingi beberapa tenda kecil-kecil. Raden Sangga Alam masuk ke dalam tenda yang paling besar itu. Di dalamnya dua orang prajurit yang tengah merapikan, segera membungkukkan badan, dan segera bergegas keluar setelah pekerjaannya selesai.Saat itu Paman Nampi tengah memberikan beberapa perintah pada para prajurit. Laki-laki tua berjubah putih itu baru melangkah masuk ke tenda tempat beristirahat Raden Sangga Alam, setelah selesai memberi beberapa perintah, dan membagi tugas kepada para prajuritnya. Paman Nampi membungkuk memberi hormat, kemudian duduk di atas permadani yang digelar didalam tenda besar itu. Raden Sangga Alam duduk di atas peraduan yang beralaskan permadani dan bantal-bantal bulat pipih terbungkus kain sutra halus."Raden sebaiknya ist
"Hugh!" Patih Mara Kobra berusaha bangkit, namun darah kental bersemburan keluar dari mulutnya. Patih Mara Kobra menatap tajam pada Paman Nampi yang sudah melangkah menghampirinya. Dalam keadaan tubuh terluka dalam akibat adu tenaga dalam, Patih Mara Kobra tidak berdaya lagi. Dipejamkan matanya ketika tangan Paman Nampi te rangkat dengan mengerahkan jurus pukulan maut andalannya."Hiya ...!""Aaakh...!" Satu teriakan melengking tinggi terdengar memecah ke sunyian Hutan Danaraja ini. Patih Mara Kobra menggelepar sesaat. Dadanya remuk kena pukulan bertenaga dalam tinggi. Hanya sesaat dia mampu bergerak, kemudian diam tidak berkutik lagi. Paman Nampi berbalik memandang para prajuritnya yang berdiri berjajar agak jauh."Buang mayatnya ke sungai!" perintah Paman Nampi.Dua orang prajurit segera menghampiri, dan mengangkat tubuh Patih Mara Kobra yang sudah tidak bernyawa lagi. Mereka menggotongnya menuju sungai yang tidak jauh dari tempat itu. Setelah melempark
Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu langsung memerintahkan para prajuritnya untuk membunuh orang berbaju serba hitam itu.Teriakan-teriakan peperangan kini terdengar memecah kesunyian Bukit Batu itu. Orang berbaju hitam dengan lincah menghalau setiap serangan yang datang dari segala penjuru. Gerakannya sangat cepat dan sukar diduga arahnya. Dalam waktu tidak berapa lama saja, sepuluh prajurit sudah menggeletak tidak bernyawa lagi. Darah kembali menyiram Puncak Bukit Batu itu.Raden Bantar Gading semakin geram menyaksikan para prajuritnya yang tidak mampu menghadang amukan orang itu. Dengan satu teriakan, Raden Bantar Gading melompat menerjang. Pada saat yang bersamaan, dua orang panglima perang juga menyerang orang berbaju serba hitam itu. Terjunnya Raden Bantar Gading dan dua orang panglima perang kerajaan, membuat orang berbaju serba hitam itu sedikit kewalahan. Ketiga lawannya yang baru terjun dalam pertempuran itu rata-rata memiliki tingkat kepandaian yang cuku
"Akh...!" laki-laki tua itu memekik tertahan. Dua kali dia memuntahkan darah kental dari mulutnya, lalu terkulai lemas dengan napas memburu agak tersengal. Pemuda itu masih menekan telapak tangannya, menyalurkan hawa murni ke tubuh laki-laki tua itu. Keringat membanjiri kening dan lehernya. Telapak tangan yang menempel di dada kurus itu sedikit bergetar, pertanda tengah mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam laki-laki tua itu."Hhh...!" pemuda tampan itu mengeluh panjang seraya menghenyakkan tubuhnya di samping laki-laki tua yang terbaring lemah.Pemuda berpakaian kulit ular bersisik hijau itu melakukan semadi sebentar untuk memulihkan hawa murni yang sudah berkurang tadi. Tidak lama melakukan semadi, kemudian mata pemuda itu merayapi tubuh laki-laki tua yang tetap terbaring dengan kedua matanya yang terbuka. Air mukanya sudah kelihatan cerah. Padahal wajahnya semula pucat seperti mayat. Perlahan laki-laki berjubah putih itu bangkit duduk. Tanpa diminta,
Kata-kata Paman Nampi memang jelas dan tegas, sehingga Si Buta dari Sungai Ular bisa memahami semua persoalannya. Kini dia tahu, kenapa laki-laki tua berjubah putih itu sangat berang dan gelap mata. Manggala tidak bisa menyalahkan tindakan Paman Nampi. Kelihatannya, tindakan itu semata-mata hanya pelampiasan rasa amarah dan kekecewaan yang lama terpendam didalam hati. Tapi bagi Manggala, tindakan Paman Nampi tidak bisa dibenarkan. Meskipun dia sendiri selalu bertindak tegas, namun tidak membabi-buta dengan membantai penduduk yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan."Apakah hanya Paman sendiri yang menentang?" tanya Manggala."Tidak. Sebenarnya masih banyak. Hanya saja mereka tidak berani menentang secara terang-terangan. Prabu Abiyasa selalu bertindak tegas, bahkan cenderung kejam pada siapa saja yang mencoba menentangnya," sahut Paman Nampi."Dan Paman juga menganggap mereka manusia kotor?"Paman Nampi tidak segera menjawab. Pertanyaan Si Buta dari Sunga
Roh Dewa Petir segera melayang ke atas dengan membawa batu hitam tadi. Kendati sinar-sinar hitam yang mencelat dari batu itu tak putus, namun bahaya mulai mereda karena semakin lama batu itu semakin tinggi dibawa terbang. Mendapati hal itu, Si Buta dari Sungai Ular menghela napas lega. "Rasanya... sudah berakhir ketegangan ini." Tetapi dia keliru! Rupanya bahaya belum berhenti sampai di Sana. Karena mendadak saja terdengar suara berderak yang sangat keras laksana topan hantam pesisir. Menyusul rengkahnya tanah di beberapa penjuru. Si Buta dari Sungai Ular seketika berseru seraya menyambar tangan Dewi Awan Putih, "Menyingkir!" Hantu Caping Baja yang semula tercengang tak percaya melihat Roh Dewa Petir raksasa yang keluar dari dada Manggala, segera bertindak cepat. Kedua kakinya dijejakkan di atas tanah, saat itu pula tubuhnya mumbul ke angkasa! Tanah yang rengkah itu bergerak sangat cepat, membujur dan memburu disertai suara menggemuruh yang mengerikan. Debu-debu beterbangan disert
Bukan hanya Manusia Angin yang palingkan kepala, Dayang Harum pun segera menoleh. Sepasang mata si gadis mendadak terkesiap, tatkala sinar hitam berkilat-kilat menggebah ke arahnya.Mendapati serangan yang ganas itu, salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka segera surutkan langkah tiga tindak ke belakang. Kejap itu pula dia siap lepaskan pukulan 'Kabut Gurun Es'!Namun sebelum dilakukan, mendadak saja terdengar suara letupan yang sangat keras dan muncratnya sinar hitam yang dilepaskan oleh Iblis Tanpa Jiwa. Menyusul kemudian tubuh lelaki itu mencelat ke belakang disertai seruan tertahan, "Keparat busuk!"Tatkala kedua kakinya hinggap kembali di atas tanah, kepalanya segera dipalingkan ke kanan dan ke kiri. Makiannya terdengar walau pelan, "Setan keparat! Siapa lagi orangnya yang hendak bikin masalah!"Bukan hanya Iblis Tanpa Jiwa yang heran mendapati putusnya serangan yang dilakukannya, Dayang Harum pun terkesiap kaget dengan mulut menganga. Gadis in
Buang Totang Samudero tak mau tinggal diam. Disertai teriakan keras, mendadak saja terdengar deru angin kencang yang disusul dengan berkelebatnya seberkas sinar kuning dan merah mengarah pada Iblis Tanpa Jiwa!Blaaar! Blaaarr!Terdengar letupan sangat dahsyat bersamaan muncratnya sinar hitam, kuning dan merah ke berbagai tempat! Masing-masing orang surut ke belakang. Sosok Iblis Tanpa Jiwa nampak bergetar. Hanya sekejap karena kejap lain kedua kakinya telah tegak berdiri.Di seberang, sosok Buang Totang Samudero bergetar kendati tubuhnya tetap berada sejengkal di atas tanah. Darah mengalir dari sudut-sudut bibirnya."Celaka! Rasanya aku tak akan mampu menghadapi manusia satu ini!" desisnya tegang. Tetapi di lain kejap sepasang matanya terbuka lebih lebar. "Peduli setan! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bertahan!"Habis membatin begitu, mendadak saja membersit sinar kuning dan merah dari tubuh Buang Totang Samudero. Menyusul sosoknya telah meles
Berpikir demikian, mendadak saja Manggala melepaskan diri dari rangkulan Dewi Awan Putih disertai dorongan keras. Gadis berbaju jingga itu terkejut. Seraya keluarkan pekikan tertahan, tubuh gadis itu terguling ke depan.Manggala langsung melompat ke udara, berputar dua kali guna hindari sambaran sinar hitam, lalu berdiri tegak di atas tanah dengan wajah tegang dan kesiagaan tinggi. Begitu berdiri tegak, dengan cepat diputar kedua tangannya ke atas, lalu ke bawah dan kembali ke atas. Menyusul diusapnya kedua tangannya satu sama lain. Lalu diusapkan tangan kanannya pada dadanya yang terdapat rajahan petir. Usai dilakukan semua itu, mendadak saja sebuah bayangan raksasa melesat dari rajahan petir yang terdapat pada kanan kiri lengannya. Melayang-layang tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Rupanya Si Buta dari Sungai Ular telah mengeluarkan ilmu 'Inti Roh Dewa Petir'.Kejap kemudian, sambil dongakkan kepala, pemuda dari Sungai Ular ini berseru, "Dewa Petir! Angkat dan baw
"Ada satu kekuatan yang nampaknya melingkupi batu ini," Manggala membatin tatkala menyadari Dewi Awan Putih belum berhasil menggeser batu itu. Bahkan dilihatnya gadis itu sudah berkeringat.Hantu Caping Baja berkata, "Menyingkir! Biar aku coba untuk menggulingkannya!"Setelah Dewi Awan Putih menyingkir dengan masih tak mempercayai apa yang lelah dilakukannya, si nenek yang sebagian wajahnya ditutupi caping terbuat dari baja yang sangat berat namun si nenek kelihatan biasa-biasa saja, segera mendorong batu besar hitam itu. Yang terjadi kemudian, sama seperti yang dialami oleh Dewi Awan Putih. Batu itu tetap tak bergeser!Menjadi ngotot Hantu Caping Baja. Tetapi sekian lama mencoba mendorongnya dengan lipat gandakan tenaga dalamnya, batu itu tetap tak bergeser.Manggala membatin, "Benar-benar luar biasa. Kekuatan yang ada pada batu ini seperti mengisyaratkan satu bahaya lain." Lalu katanya, "Sebaiknya... kita bersama-sama mendorong batu ini. Dan bersiap bil
Pemuda dari Sungai Ular itu tak segera menjawab pertanyaan si nenek berpakaian putih gombrang. Pandangannya tertuju lekat ke depan."Menurut Dewi Awan Putih, di tempat yang bernama Bulak Batu Bulan akan terdapat sebuah batu yang disebut Batu Bulan. Di bawah batu itulah terdapat petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada. Dan dikatakannya juga, kalau bahaya akan mengancam bila ada yang berhasil menggeser Batu Bulan. Bila memang tak jauh dari dua bukit itu adalah tempat yang disebut Bulak Batu Bulan, apakah Guru sudah berada di sana?" pikir Manggala.Si nenek yang sebagian wajahnya tertutup caping lebar terbuat dari baja namun sedikit pun tak merasa kepayahan mengenakannya, arahkan pandangannya pada Si Buta dari Sungai Ular yang masih terdiam, "Apakah kau memikirkan sesuatu?"Manggala mengangguk."Ya! Aku seperti... ah, sudahlah. Untuk memastikan apakah tempat itu yang disebut Bulak Batu Bulan, kita memang sebaiknya segera ke sana."Habis kata-kata itu
Pemuda berpakaian abu-abu ini terkesiap mendapati serangan perempuan bertopeng perak yang ganas. Segera dia membuang tubuh ke kiri. Bersamaan dengan itu tubuhnya langsung dihempos ke depan seraya mendorong kedua tangannya.Dewi Topeng Perak kertakkan rahangnya. Tubuhnya segera dienjot ke atas menghindari gebrakan Wulung Seta. Masih berada di udara, dia memutar tubuhnya. Kejap lain tubuhnya sudah menderu deras ke arah Wulung Seta.Terburu-buru murid mendiang Ki Alam Gempita ini menghindar dan mengangkat kedua tangannya.Des! Des!Dua pukulan bertenaga dalam tinggi itu berbenturan keras. Sosok Dewi Topeng Perak langsung melenting ke belakang dan tegak kembali di atas tanah dengan kedua kaki dipentangkan. Dari balik topeng perak yang dikenakannya, sepasang mata perempuan berpakaian kuning cemerlang ini menusuk dalam.Sementara itu, Wulung Seta surut tiga tindak ke belakang. Dadanya terasa nyeri dengan kedua tangan yang terasa remuk."Aku tak bo
"Aku juga belum dapat memastikan ke mana arah yang akan kita tempuh, Rayi. Sayangnya Raja Siluman Ular Putih tidak memberitahukan secara pasti. Rayi... apakah kau pikir Manggala sudah tiba di sana?""Aku tidak tahu. Tetapi mengingat waktu yang diberikan oleh Raja Siluman Ular Putih, seharusnya Kang Manggala sudah tiba di Bulak Batu Bulan. Bagaimana menurutmu sendiri?""Aku tidak tahu pasti."Di tempatnya sepasang mata Dewi Topeng Perak membuka cerah. "Hmmm... kedua remaja ini rupanya juga menuju ke Bulak Batu Bulan. Wajah keduanya nampaknya tak asing dalam ingatanku. Mendengar kata-kata keduanya, rupanya Raja Siluman Ular Putih juga melibatkan diri dalam urusan ini. Setahuku, lelaki itu adalah salah seorang dari guru Si Buta dari Sungai Ular. Peduli setan! Bila aku berhasil memiliki Kitab Pamungkas, semua keinginanku termasuk membunuh Si Buta dari Sungai Ular dan Buang Totang Samudero akan terlaksana dengan mudah."Karena terlalu gembira itulah tanpa seng
Berlutut dan menangis tersedu-sedu Dayang Pandan meratapi nasib sialnya. Beberapa saat kemudian terdengar teriakannya kalap, "Kubunuh kau! Kubunuh kau!"Tanpa membetulkan pakaiannya, gadis yang baru saja mengalami nasib sial ini berkelebat ke arah perginya Iblis Tanpa Jiwa dengan teriakan-teriakan keras.-o0o-DUA hari berlalu lagi dalam kehidupan manusia. Sesungguhnya, waktu kerap datang bertubi-tubi. Meluruk dan terkadang menikam dalam, hingga manusia yang lupa, khilaf ataupun mencoba tak perduli akan tergilas oleh waktu. Tetapi yang kerap menghargai waktu, maka dia akan berjalan lurus dan dapat mengendalikan waktu.Dalam hamparan malam yang pekat, tiga sosok tubuh menghentikan kelebatan masing-masing di sebuah jalan setapak yang dipenuhi semak belukar. Bintang gemintang yang biasanya bertaburan malam ini entah pergi ke mana. Sejenak sunyi mengerjap disertai suara binatang-binatang malam."Dua hari sudah kita mencoba melacak di mana