Lovy melanjutkan hidupnya seorang diri. Ia mengendarai mobil pemberian Lea. Sebuah Chevrolet Camaro warna merah menyala ciri khas dirinya. Lovy yang memutuskan untuk tak kembali lagi ke Portland dan tak bekerja di Travel Agent itupun memilih untuk berkelana. Ia akhirnya memutuskan untuk menjalankan misi-misi yang diberikan oleh Lea nantinya. Meski demikian, Lovy tetap mencemaskan Elda karena ia sampai jauh-jauh datang untuk menemuinya, tapi dirinya malah kabur. Lovy belum siap untuk bertemu neneknya itu karena kali ini, ia yakin jika akan diberikan banyak nasihat olehnya. Lovy pergi berkendara meninggalkan Kansas menuju ke Philadelphia, negara bagian dari Pennsylvania, Amerika Serikat. Perjalanan selama 20 jam lebih, membuat Lovy harus singgah di beberapa kota untuk menginap di hostel dan mengisi bahan bakar. Lovy kini bekerja untuk Lea. Selama ini, wanita itu memiliki pekerjaan sambilan sebagai eksekutor kematian dari orang-orang yang memiliki kepentingan dalam bisnis-bisnis merek
Hari itu, Lovy menginap di rumah Peter. Semenjak kejadian surat ancaman, dua anak Peter diungsikan ke rumah kedua orang tua Vivi di Minnesota, negara bagian Amerika Serikat. Peter terpaksa membohongi mertuanya dengan alasan ia dan isterinya akan pergi keluar kota mengikuti kompetisi panjat tebing yang akan diselenggarakan selama 2 minggu. Lovy meminta rekaman CCTV saat surat ancaman itu datang ke rumah Peter. Namun, Peter mengatakan bahwa tak ada rekaman yang tersimpan pada saat surat itu datang. Surat ancaman itu dimasukkan ke dalam kotak surat. Vivi bahkan menanyakan ke tetangga di sekitar rumahnya tentang orang yang tak dikenal atau mencurigakan yang mendekati kediamannya. Namun, para tetangga Vivi mengatakan jika tak ada satu orang pun yang datang ataupun menanyakan tentang mereka berdua. Di sini, Lovy semakin yakin bahwa orang-orang itu pastilah agent yang dikirim oleh M16. Mereka datang dan pergi tanpa jejak. Namun, Lovy masih curiga. Baginya, sangat aneh jika M16 sampai m
Lovy mengikuti mobil tersebut yang ternyata dugaannya benar jika menuju ke Amerika bagian tengah. Ia mengisi penuh bahan bakar ketika menemukan Gas Station. Mobilnya yang berwarna mencolok tentu saja harus menjaga jarak dengan Van tersebut.Beruntung pelacak tersebut belum diketahui oleh penumpang dalam Van. Lovy segera melaju mobil merah menyalanya membelah aspal di hari yang terik itu. Hingga akhirnya, sinyal dari pelacak berhenti. Jantung Lovy berdebar ketika ia memperbesar tampilan pada peta jika mobil tersebut masuk ke sebuah hunian dengan rumah mewah di tengah halaman luas.Lovy menyembunyikan mobilnya dan menutup dengan sarung anti air yang berwarna seperti dedaunan berwarna hijau. Lovy menyiapkan peralatan mata-matanya untuk bisa mengintai lalu menyelinap ke dalam. Peter membawakannya mobil remote control milik anak lelakinya yang telah dimodifikasi dengan kamera dan dilakban agar tak jatuh saat Lovy mengendalikan mobil remote itu.Kamera yang terkoneksi dengan ponsel yang di
Santiago mengerutkan kening. Ia menatap mata wanita itu tajam dalam redupnya cahaya."Pa-Patricia?" tanyanya menebak.Lovy tertegun. Siapa itu Patricia?"Kaukah wanita yang membunuh Geofani dan Ramirez di Hotel Oregon?" tanya Santiago memastikan.Lovy mengangguk meski ia heran kenapa namanya berubah menjadi Patricia? Lovy mencoba mengingat kejadian waktu itu. Ia akhirnya teringat. Saat itu ia menggunakan nama samaran begitula dandanannya. Lovy diam sejenak mencoba memikirkan alasan yang tepat untuk aksinya kali ini. Ia masih menodongkan senjata di wajah lelaki itu."Yes, I'm Patricia," jawab Lovy mantap.Lelaki itu menelan ludah. Lovy lalu memintanya untuk bangun perlahan dengan kedua tangan masih diangkat ke atas. Santiago menurut dan duduk di atas ranjang dengan Lovy berdiri di sampingnya. Santiago terlihat pucat."Kenapa kau bisa tahu tentang diriku?" tanya Santiago gugup."Kau mencariku dan aku datang padamu. Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Lovy masih bersiaga."Kau menghabi
Lovy segera bersiap untuk melanjutkan perjalanannya yang akan sangat panjang menuju ke Meksiko. Targetnya kali ini adalah Fernando, ayah dari Ramirez. Lovy tak ingin gegabah mengingat penjagaan di rumah Santiago cukup ketat, pastilah di tempat Fernando juga demikian. Hari itu, Lovy singgah ke sebuah hotel untuk menginap. Ia yang terpikirkan nama Patricia kembali menghubungi Peter ke nomor ponsel baru yang ia berikan. "Hmm Patricia, ya? Nama yang bagus. Baiklah, hanya saja, ini butuh sedikit waktu. Aku baru saja tiba ke rumah mertuaku. Kami berbohong dengan mengatakan gagal dalam lomba jadi langsung dipulangkan. Perlengkapanku ada di rumah. Jika kau tak keberatan, kau cetak sendiri saja ID yang nanti akan aku design untukmu. Akan aku arahkan pengoperasiannya dari sini. Bagaimana?" tanya Peter menawarkan. "Ya, tentu saja. Oia, kau dapat uang kompensasi dari surat ancaman Santiago. Akan aku tinggal di rumahmu," ucap Lovy menyampaikan. "Benarkah? Apakah banyak?" tanya Peter antusias.
Sean terkejut. Ia tak menyangka jika Lovy bersedia menikah dengannya. "Sungguh? Kau serius ingin menikah denganku?" tanya Sean menatap Lovy saksama sampai matanya melebar. "Yeah. Sepertinya seru," jawabnya enteng dengan senyuman tipis. Sean yang begitu senang langsung memeluk Lovy lagi dengan semakin erat. Matanya sampai terpejam karena begitu bahagia bisa menikahi gadis impiannya. Lovy yang masih kaget itu balas memeluk Sean dengan ragu-ragu. Namun, ia bisa menghirup aroma maskulin dari tubuh Sean yang membuatnya nyaman. Jantungnya ikut berdebar karena pernyataan Sean tadi. "Baiklah. Aku tunggu di luar. Kau berpakaianlah lalu kita membeli obat untuk kakimu. Aku takut melepuh karena airnya tadi sangat panas. Aku minta maaf, Sayang," ucap Sean tiba-tiba yang kini malah memanggilnya dengan kata-kata sayang. Lovy menelan ludah. Entah kenapa di depan Sean ia tak bisa berkata-kata. Beda saat berbicara dengan Bob dan lainnya. Apa sungguh ia mencintainya? Lovy juga ingin memastikan hal
Hari itu, Lovy menghabiskan waktu bersama Sean dari pagi hingga malam menjelang seperti sedang kencan. Mereka selalu bergandengan tangan sepanjang jalan. Senyum merekah di antara keduanya membuat orang-orang iri karena Sean dan Lovy terlihat sangat serasi. Hingga tiba-tiba, ponsel Sean berdering ketika ia dan Lovy sedang duduk berdua di teras balkon hotel, memandangi hiruk-pikuk kota Nebraska di malam berbintang. Sean segera menerima panggilan itu, yang ternyata dari Markus. Lelaki itu menunggunya di kantor kepolisian Wichita, Kansas. "Kau di mana? Ini sudah malam. Kau masih ingin melanjutkan penyelidikan tidak? Apa gadismu sudah ketemu?" tanya Marcus terdengar jengkel. Sean menoleh ke arah Lovy. Terlihat kekasihnya itu sedang menikmati milkshake vanilla yang mereka beli saat di pusat perbelanjaan. "Ya, sudah ketemu. Aku akan tiba esok pagi. Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan malam ini," jawab Sean terlihat enggan untuk pergi. "Kalian berkencan, ya?" ledek Marcus d
Lovy bersiap untuk mengendarai mobilnya lagi menuju ke Meksiko yang menempuh perjalanan selama 35 jam. Ia yang memilih untuk tetap berkendara tak menggunakan pesawat, segera melaju kendaraannya saat waktu menunjukkan pukul 2 dini hari. Lovy tak takut kegelapan, jalan sepi ataupun saat sendirian. Mobil Camaro milik Lea membelah jalanan aspal Amerika dengan kecepatan sedang karena sepi. Lovy menjaga kecepatannya ketika melewati jalan-jalan tertentu karena ada polisi pengawas yang mengecek kecepatan kendaraan. Lovy yang menghindari masalah tertangkap itupun tetap mematuhi peraturan agar misinya bisa dikerjakan sesuai jadwal. Ia sudah menandai titik-titik mana saja saat dirinya bisa singgah untuk beristirahat, isi bahan bakar ataupun melengkapi perlengkapannya. Lovy bahkan terpikirkan untuk membeli senjata ilegal di black market saat di Meksiko. Dulu Lovy pernah memata-matai mafia asal Italia yang melakukan kerjasama perdagangan senjata ilegal dengan para mafia di Amerika Utara. Lo
Lovy bersama keluarga besar Lea terbang ke Ithaca pagi itu. Terlihat Lovy murung sedari tadi karena tak menyangka jika neneknya akan tewas mengenaskan karena orang suruhan Tuan Wilver.Mereka tiba siang itu dan langsung menuju ke tempat pemakaman. Suasana pemakaman tak seramai almarhum Tuan Wilver karena hanya datang segelintir orang termasuk keluarga Lea.Lovy menahan air matanya saat peti jenazah neneknya dimasukkan ke liang lahat dan mulai ditimbun tanah. Matthew tak pernah melihat Lovy sesedih ini karena ia terlihat seperti begitu kehilangan dan terpuruk.Selesai pemakaman, Lovy dan lainnya mendatangi rumah Elda yang kini tak lagi di tempati. Nia, wanita yang pernah diselamatkan oleh Lovy dan dibimbing untuk pergi ke Ithaca untuk tinggal sementara waktu bersama Elda dan pada akhirnya bekerja untuk Lea, sudah ada di kediaman Elda bersama beberapa anak buah Lea.Lovy tertegun saat melihat Nia sudah jauh berbeda tak seperti saat ia bertemu dengannya dulu. Nia menyambutnya dan mengaja
Tak terasa, pagi sudah menjelang. Lovy masih tertidur pulas di kamarnya, tetapi suasana di ruang keluarga sudah terlihat ramai oleh anak buah Harold. Terlihat Lea sedang mengobrol serius dengan suaminya."Ada apa?" tanya Matthew tiba-tiba.Sontak, hal itu mengejutkan semua orang yang ada di sana karena tak menyadari kedatangan putra Lea yang seperti hantu."Matt? Matthew? Kau 'kah itu?" tanya Lea keheranan sampai berkerut kening."Mengerikan. Kau bahkan sampai lupa jika aku adalah anakmu," gerutu Matthew di hari yang masih menunjukkan pukul 7 pagi.Harold dan Lea saling memandang. Harold berbisik di telinga Lea dan wanita itupun mengangguk paham."Kau terlihat tampan, Matt, tak seperti berandalan. Apa yang mengubahmu?" tanya Lea bernada menyindir."Jangan mulai. Sebaiknya, kau katakan apa yang terjadi? Apa yang kalian bicarakan?" tanya Matthew ketus.Lea dan Harold tersenyum menghela napas. Mereka sudah paham dengan sifat dan perilaku pria yang sebenarnya berwajah tampan itu. Harold m
VROOM!!Lovy bahkan menyempatkan melambaikan tangan kepada satpam penjaga di pos yang membukakan portal tempat parkir mobil. Lovy melajukan mobil barunya dengan kecepatan penuh dan pandangan lurus ke depan. Matthew bisa merasakan amarah dan ketegangan dalam diri Lovy."Mm, Lovy ....""Diam. Jangan katakan apapun," ucap Lovy menunjukkan telunjuknya tepat di wajah Matthew."Oke. Hanya saja, kita mau ke mana? Jika kau tak keberatan, bagaimana kalau ke bandara? Pesawat pribadiku ada di sana," jawab Matthew gugup karena Lovy berkendara layaknya pembalap.Lovy diam saja, tapi ia langsung membanting setir. Matthew yang tahu jika Lovy sedang marah itupun diam karena tak mau dilempar dari mobil. Matthew akhirnya menyadari jika Lovy sedang membawanya ke bandara."Tinggalkan saja mobilnya, nanti aku akan meminta anak buahku membawanya ke Kansas," ucap Matthew menyarankan, tetapi Lovy diam saja tanpa ekspresi di wajah.Matthew menghela napas. Ia diam selama perjalanan hingga akhirnya mereka tiba
Lovy segera masuk ke lift dan menuju ke lantai 4. Dengan napas menderu, ia mendatangi ruangan tempatnya bekerja di mana ruangan milik Tuan Wilver juga berada di sana. Sean yang panik karena lift tak kunjung datang, nekat menaiki tangga dengan tergesa karena takut jika ayahnya tewas di tangan istrinya yang sedang gelap mata itu. Sean berlari sekuat tenaga dengan napas tersengal dari lantai satu menuju ke lantai 4 secepat yang ia bisa. TING!Pintu lift terbuka dan Lovy melihat sekitar yang gelap karena kantor libur hari itu. Lovy melangkahkan kakinya dengan tatapan kosong karena pikiran dan hatinya kini berkecamuk. Ia menggenggam senjata milik Matthew di tangan kanannya dengan mantap.Lovy melangkahkan kakinya perlahan memasuki ruangan tempat biasa ia duduk dengan Bob dan Isabel. Ia melihat lampu di ruangannya menyala, tetapi tak ada orang. Pintu juga tak dikunci dan Lovy cukup mendorongnya untuk bisa masuk ke dalam.Namun, ia mendengar ada orang berbincang di dalam ruangan Tuan Wilve
Semua orang di ruangan itu tertegun dengan jantung berdebar dan kepanikan melanda."Jangan diam saja! Kita harus segera ke Ithaca!" pekik Matthew yang membuat Lovy dan Sean tersadar dari keterkejutan mereka.Sean segera membangunkan Lovy yang masih gemeteran dan menangis. Mereka bergegas pergi meninggalkan apartment. Terlihat Matthew berjalan di depan dan menghubungi seseorang untuk mengurus sesuatu.Dua bodyguard Matthew segera menyiapkan mobil saat mereka bertiga kini menunggu di lobi. Namun, saat dua bodyguard Matthew sedang berjalan tergesa mendekati mobil dan salah satu lelaki itu menyalakan kunci pembuka jarak jauh, tiba-tiba ....PIP! PIP!DWUARRRR!!"Oh my God!" pekik Sean terkejut dan langsung memeluk Lovy erat.Dua bodyguard Matthew terpental dan menghantam mobil yang berada di dekat mereka. Matthew terkejut dan langsung menarik senjata dari balik pinggangnya. "Kembali ke dalam cepat!" teriak Matthew yang mengajak Sean dan Lovy masuk ke dalam.Mereka bertiga bergegas kembal
Lovy mengelus punggung Sean lembut dan mengajaknya duduk di kursi meja makan. Mereka berdua duduk bersebelahan di depan Matthew yang terlihat masih menikmati makanan di depannya. "Biar kutebak. Ini masakanmu, ya, Lovy sayang? Kenapa kau tak pernah memasak untukku?" tanya Matthew cemberut. "Sudah kubilang jangan memanggil istriku sayang!" teriak Sean lantang yang mengejutkan semua orang di ruangan itu. Matthew menghentikan makan dan menatap Sean yang memandanginya penuh emosi. "Oke ... baiklah. Jadi begini maksud kedatanganku, Lovy sayang ...." BRAKK!! "Keparat kurang ajar! Kemari kau, biar kuhajar wajahmu dan kulempar dari jendela rumahku!" Lovy terkejut karena Sean sampai menggebrak meja dan langsung berdiri. Namun, saat Sean akan mencengkeram baju Matthew, dua bodyguard lelaki itu langsung memegangi kedua tangan Sean kuat. Matthew tertawa terbahak dan terlihat begitu gembira. "Matthew! Jika kau sungguh menghargai persahabatan kita di masa lalu, jangan membuatku kecewa denga
Pagi itu, mereka bersiap terbang dengan pesawat komersil menuju ke Portland. Lovy dan Sean sudah duduk dengan nyaman di bangku masing-masing. Lovy terlihat gugup karena ia khawatir jika nanti akan bermimpi buruk lagi dan mengejutkan semua penumpang."Kenapa? Kau takut jika mengamuk lagi? Jangan khawatir, Sayang. Kau akan baik-baik saja. Kau sudah menceritakan ketakutanmu padaku. Seharusnya, mimpi buruk itu tak lagi mengusikmu," ucap Sean menenangkan sembari memegang salah satu tangan Lovy erat."Jika datang kembali?" tanyanya gugup."Aku akan mengatakan pada semua orang jika kau habis menonton film horor dan terbawa sampai mimpi," jawab Sean santai dan Lovy spontan tertawa kecil.Sean balas tertawa karena ia sudah yakin jika istrinya pasti memikirkan hal itu kembali. Lovy mengangguk dan tak masalah jika Sean harus membuat skenario seperti yang ia katakan agar tak menimbulkan kepanikan para penumpang.Ternyata, ketakutan Lovy dan Sean tak terjadi. Mereka tiba di Portland dengan selamat
Terlihat Lovy mulai terbiasa dengan gaya ranjang Sean. Lovy juga mulai bisa melakukan gaya lainnya yang membuat sang suami makin mabuk kepayang.nLovy sudah tak terlihat kikuk lagi saat menggoyangkan pinggulnya kuat hingga Sean tak berhenti mengerang. Malah Lovy yang terlihat paling bersemangat ketika Sean mengajaknya bertarung di ranjang penuh peluh dan kenikmatan. Tampak Lovy seperti paling menyukai ketika Sean menyodokkan miliknya dari belakang. Lovy bisa bertahan hingga waktu yang lama dan tak berhenti meremas kuat Junior di dalam sana. Namun, Sean yang malah kuwalahan karena ia merasa daging panjangnya dipijat enak di dalam sana, hingga seluruh tubuhnya menegang dan kakinya terasa lemas. "Sayang, kenapa kau belum keluar juga?" keluh Sean sampai keningnya berkerut karena Lovy tak berhenti menekan miliknya hingga tertelan semua di dalam sana. "Kau lelah?" ledeknya. "Kali ini kuakui, yes ... hah, aku sudah tak sanggup lagi, Sayang," rintih Sean dengan wajah sudah memerah tak bis
Mereka berdua yang kelelahan setelah bertarung panas di ranjang, tertidur lelap dengan semua pintu dan jendela terkunci rapat. Mereka kini menyadari jika berada di sarang MI6. Kejadian buruk bisa menimpa mereka kapan saja dan keduanya pun semakin waspada.Meskipun demikian, Lovy dan Sean tetap harus melanjutkan honeymoon di negara itu meski mata mereka tak berhenti mengawasi sekitar untuk melihat siapapun yang dirasa mencurigakan, bahkan mungkin dianggap ancaman.Mereka mendatangi Istana Kensington yang memiliki taman di dalamnya. Taman ini ditata dengan sangat indah dan rapi. Ada sebuah kolam yang menenangkan dan menyejukkan serta dikelilingi oleh berbagai macam jenis bunga. Lovy dan Sean tak henti-hentinya mengabadikan moment indah ini dalam jepretan kamera hingga keduanya merasa malu sendiri."Aku seperti orang tak tahu diri," ucap Sean terkekeh melihat wajahnya dalam foto yang terlihat begitu gembira dengan senyum lebar dalam tiap foto.Lovy sampai tertawa terbahak karena melihat