Di Kansas, Amerika Serikat. Terlihat seorang wanita berumur 50 tahunan sedang duduk berseberangan dengan gadis cantik yang tak lain adalah Lovy, cucu dari Elda yang sedang dicari keberadaannya oleh semua orang karena tak muncul di hari ketiga bekerja. Lovy duduk dengan wajah tertunduk. Menyilangkan kaki sembari menatap keluar jendela. Wanita di depannya juga melakukan hal yang sama, tapi dengan sebatang rokok yang ia hisap sebagai teman menunggu matahari tenggelam. "Firasatku, Elda akan datang kemari menjemputmu, Lovy," ucap wanita itu sembari mengembuskan asap pekat dari rokoknya. "Bisa kau bantu aku?" tanya Lovy sungkan. "Tentu saja. Bagaimanapun Elda adalah kawan karibku. Aku masih bisa hidup sampai sekarang karena jasa-jasanya di masa lalu," jawabnya sembari mengetukkan abu pada ujung rokoknya ke asbak di samping kursi duduk. "Mm, Lea. Bisakah kau ceritakan padaku tentang ayahku, Richard Robinson? Apakah benar dulu dia salah satu pemilik Travel Agent tempat aku bekerja?" tany
Sudah dua hari Lovy tak masuk ke kantor. Ponselnya juga tak bisa dihubungi, Tuan Wilver cemas. Ia jadi teringat akan ucapannya kala itu. Ia takut hal itulah pemicu Lovy memilih pergi dan tak meninggalkan pesan apapun. Tuan Wilver merasa bersalah seketika. "Apa Elda sudah memberikan kabar, Ayah?" tanya Sean dari sambungan telepon. Detektif itu ia masih menyelidiki kasus pembunuhan yang makin menyudut jika itu adalah jenis berantai terencana. "Belum, Sean. Ini salah Ayah yang terlalu memaksakannya. Harusnya Ayah tak berkata seperti itu. Ayah hanya ingin Lovy menjadi bagian dari anggota keluarga kita, terlebih kau juga menyukainya. Kalian serasi dan cocok," ucap Tuan Wilver terdengar penuh harap agar dua insan itu bisa bersama. "Hmm. Sudahlah, Ayah. Aku akan bantu mencarinya. Kau fokus saja pada pekerjaan di kantor," ucap Sean menenangkan. "Terima kasih, Nak. Tolong bawa Lovy kembali. Katakan Ayah minta maaf dan tak akan membicarakan hal itu lagi sampai ia memang bisa menerim
Hari itu, Sean mengunjungi Kansas untuk bertemu dengan kawannya, Marcus. Dulu mereka satu akademi saat akan menjadi polisi dan pada akhirnya berprofesi sebagai detektif. Sean sudah mendapatkan surat tugas dan izin dari chief-nya dan kini ia bisa berkeliling di seluruh kota di Amerika Serikat untuk mengusut kasus yang terjadi selama setahun terakhir di negara Paman Sam. Marcus bersedia membantu sahabatnya. Marcus lelaki berkulit hitam, bertubuh atletis seperti Sean dengan tinggi yang sama. Pria dengan potongan rambut ala tentara itu menunggu di rumahnya, di mana ia juga masih bujangan seperti sahabat kulit putihnya itu. "Jadi pelakunya seorang wanita, ya? Menarik. Apa motif wanita tersebut melakukan eksekusi kematian seperti itu? Semua korbannya lelaki dan jika dilihat dari latar belakang para korban, mereka berbeda-beda," ucap Marcus berguman. Marcus mengira Lovy adalah target sesungguhnya meskipun ia belum melihat sosoknya karena kamera CCTV tak bisa menjangkau hingga ke kursi
Marcus dan Sean gugup seketika saat melihat Elda terlihat begitu marah karena Lovy jadi terlibat dalam kasus yang menewaskan beberapa lelaki di beberapa negara bagian Amerika itu. "Sean. Caramu mencintai Lovy salah. Jika Lovy tahu kau menjadikannya tersangka, dia malah semakin menjauhimu," ucap Elda tegas. "Lalu sekarang bagaimana?" tanya Marcus yang melihat kawannya ini seperti merasa begitu bersalah. "Kau harus bisa membuktikan bahwa Lovy tidak bersalah. Kini datanya sudah masuk dalam database pencarian di seluruh kepolisian Amerika Serikat, aku yakin itu. Bahkan namaku juga ikut terseret. Aku bisa menuntutmu atas pencemaran nama baik," ucap Elda lagi. Sean tertekan seketika. Ia yang begitu mencemaskan Lovy dan ingin segera menemukannya, malah membuatnya dalam situasi terpuruk karena kecerobohannya. "Saranku, kau tetap lakukan penyelidikan tentang kasus tragedi itu dengan cara yang benar, tanpa melibatkan Lovy. Aku akan membawamu kepada Harold untuk mendapatkan keterangan
Lovy melanjutkan hidupnya seorang diri. Ia mengendarai mobil pemberian Lea. Sebuah Chevrolet Camaro warna merah menyala ciri khas dirinya. Lovy yang memutuskan untuk tak kembali lagi ke Portland dan tak bekerja di Travel Agent itupun memilih untuk berkelana. Ia akhirnya memutuskan untuk menjalankan misi-misi yang diberikan oleh Lea nantinya. Meski demikian, Lovy tetap mencemaskan Elda karena ia sampai jauh-jauh datang untuk menemuinya, tapi dirinya malah kabur. Lovy belum siap untuk bertemu neneknya itu karena kali ini, ia yakin jika akan diberikan banyak nasihat olehnya. Lovy pergi berkendara meninggalkan Kansas menuju ke Philadelphia, negara bagian dari Pennsylvania, Amerika Serikat. Perjalanan selama 20 jam lebih, membuat Lovy harus singgah di beberapa kota untuk menginap di hostel dan mengisi bahan bakar. Lovy kini bekerja untuk Lea. Selama ini, wanita itu memiliki pekerjaan sambilan sebagai eksekutor kematian dari orang-orang yang memiliki kepentingan dalam bisnis-bisnis merek
Hari itu, Lovy menginap di rumah Peter. Semenjak kejadian surat ancaman, dua anak Peter diungsikan ke rumah kedua orang tua Vivi di Minnesota, negara bagian Amerika Serikat. Peter terpaksa membohongi mertuanya dengan alasan ia dan isterinya akan pergi keluar kota mengikuti kompetisi panjat tebing yang akan diselenggarakan selama 2 minggu. Lovy meminta rekaman CCTV saat surat ancaman itu datang ke rumah Peter. Namun, Peter mengatakan bahwa tak ada rekaman yang tersimpan pada saat surat itu datang. Surat ancaman itu dimasukkan ke dalam kotak surat. Vivi bahkan menanyakan ke tetangga di sekitar rumahnya tentang orang yang tak dikenal atau mencurigakan yang mendekati kediamannya. Namun, para tetangga Vivi mengatakan jika tak ada satu orang pun yang datang ataupun menanyakan tentang mereka berdua. Di sini, Lovy semakin yakin bahwa orang-orang itu pastilah agent yang dikirim oleh M16. Mereka datang dan pergi tanpa jejak. Namun, Lovy masih curiga. Baginya, sangat aneh jika M16 sampai m
Lovy mengikuti mobil tersebut yang ternyata dugaannya benar jika menuju ke Amerika bagian tengah. Ia mengisi penuh bahan bakar ketika menemukan Gas Station. Mobilnya yang berwarna mencolok tentu saja harus menjaga jarak dengan Van tersebut.Beruntung pelacak tersebut belum diketahui oleh penumpang dalam Van. Lovy segera melaju mobil merah menyalanya membelah aspal di hari yang terik itu. Hingga akhirnya, sinyal dari pelacak berhenti. Jantung Lovy berdebar ketika ia memperbesar tampilan pada peta jika mobil tersebut masuk ke sebuah hunian dengan rumah mewah di tengah halaman luas.Lovy menyembunyikan mobilnya dan menutup dengan sarung anti air yang berwarna seperti dedaunan berwarna hijau. Lovy menyiapkan peralatan mata-matanya untuk bisa mengintai lalu menyelinap ke dalam. Peter membawakannya mobil remote control milik anak lelakinya yang telah dimodifikasi dengan kamera dan dilakban agar tak jatuh saat Lovy mengendalikan mobil remote itu.Kamera yang terkoneksi dengan ponsel yang di
Santiago mengerutkan kening. Ia menatap mata wanita itu tajam dalam redupnya cahaya."Pa-Patricia?" tanyanya menebak.Lovy tertegun. Siapa itu Patricia?"Kaukah wanita yang membunuh Geofani dan Ramirez di Hotel Oregon?" tanya Santiago memastikan.Lovy mengangguk meski ia heran kenapa namanya berubah menjadi Patricia? Lovy mencoba mengingat kejadian waktu itu. Ia akhirnya teringat. Saat itu ia menggunakan nama samaran begitula dandanannya. Lovy diam sejenak mencoba memikirkan alasan yang tepat untuk aksinya kali ini. Ia masih menodongkan senjata di wajah lelaki itu."Yes, I'm Patricia," jawab Lovy mantap.Lelaki itu menelan ludah. Lovy lalu memintanya untuk bangun perlahan dengan kedua tangan masih diangkat ke atas. Santiago menurut dan duduk di atas ranjang dengan Lovy berdiri di sampingnya. Santiago terlihat pucat."Kenapa kau bisa tahu tentang diriku?" tanya Santiago gugup."Kau mencariku dan aku datang padamu. Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Lovy masih bersiaga."Kau menghabi
Lovy bersama keluarga besar Lea terbang ke Ithaca pagi itu. Terlihat Lovy murung sedari tadi karena tak menyangka jika neneknya akan tewas mengenaskan karena orang suruhan Tuan Wilver.Mereka tiba siang itu dan langsung menuju ke tempat pemakaman. Suasana pemakaman tak seramai almarhum Tuan Wilver karena hanya datang segelintir orang termasuk keluarga Lea.Lovy menahan air matanya saat peti jenazah neneknya dimasukkan ke liang lahat dan mulai ditimbun tanah. Matthew tak pernah melihat Lovy sesedih ini karena ia terlihat seperti begitu kehilangan dan terpuruk.Selesai pemakaman, Lovy dan lainnya mendatangi rumah Elda yang kini tak lagi di tempati. Nia, wanita yang pernah diselamatkan oleh Lovy dan dibimbing untuk pergi ke Ithaca untuk tinggal sementara waktu bersama Elda dan pada akhirnya bekerja untuk Lea, sudah ada di kediaman Elda bersama beberapa anak buah Lea.Lovy tertegun saat melihat Nia sudah jauh berbeda tak seperti saat ia bertemu dengannya dulu. Nia menyambutnya dan mengaja
Tak terasa, pagi sudah menjelang. Lovy masih tertidur pulas di kamarnya, tetapi suasana di ruang keluarga sudah terlihat ramai oleh anak buah Harold. Terlihat Lea sedang mengobrol serius dengan suaminya."Ada apa?" tanya Matthew tiba-tiba.Sontak, hal itu mengejutkan semua orang yang ada di sana karena tak menyadari kedatangan putra Lea yang seperti hantu."Matt? Matthew? Kau 'kah itu?" tanya Lea keheranan sampai berkerut kening."Mengerikan. Kau bahkan sampai lupa jika aku adalah anakmu," gerutu Matthew di hari yang masih menunjukkan pukul 7 pagi.Harold dan Lea saling memandang. Harold berbisik di telinga Lea dan wanita itupun mengangguk paham."Kau terlihat tampan, Matt, tak seperti berandalan. Apa yang mengubahmu?" tanya Lea bernada menyindir."Jangan mulai. Sebaiknya, kau katakan apa yang terjadi? Apa yang kalian bicarakan?" tanya Matthew ketus.Lea dan Harold tersenyum menghela napas. Mereka sudah paham dengan sifat dan perilaku pria yang sebenarnya berwajah tampan itu. Harold m
VROOM!!Lovy bahkan menyempatkan melambaikan tangan kepada satpam penjaga di pos yang membukakan portal tempat parkir mobil. Lovy melajukan mobil barunya dengan kecepatan penuh dan pandangan lurus ke depan. Matthew bisa merasakan amarah dan ketegangan dalam diri Lovy."Mm, Lovy ....""Diam. Jangan katakan apapun," ucap Lovy menunjukkan telunjuknya tepat di wajah Matthew."Oke. Hanya saja, kita mau ke mana? Jika kau tak keberatan, bagaimana kalau ke bandara? Pesawat pribadiku ada di sana," jawab Matthew gugup karena Lovy berkendara layaknya pembalap.Lovy diam saja, tapi ia langsung membanting setir. Matthew yang tahu jika Lovy sedang marah itupun diam karena tak mau dilempar dari mobil. Matthew akhirnya menyadari jika Lovy sedang membawanya ke bandara."Tinggalkan saja mobilnya, nanti aku akan meminta anak buahku membawanya ke Kansas," ucap Matthew menyarankan, tetapi Lovy diam saja tanpa ekspresi di wajah.Matthew menghela napas. Ia diam selama perjalanan hingga akhirnya mereka tiba
Lovy segera masuk ke lift dan menuju ke lantai 4. Dengan napas menderu, ia mendatangi ruangan tempatnya bekerja di mana ruangan milik Tuan Wilver juga berada di sana. Sean yang panik karena lift tak kunjung datang, nekat menaiki tangga dengan tergesa karena takut jika ayahnya tewas di tangan istrinya yang sedang gelap mata itu. Sean berlari sekuat tenaga dengan napas tersengal dari lantai satu menuju ke lantai 4 secepat yang ia bisa. TING!Pintu lift terbuka dan Lovy melihat sekitar yang gelap karena kantor libur hari itu. Lovy melangkahkan kakinya dengan tatapan kosong karena pikiran dan hatinya kini berkecamuk. Ia menggenggam senjata milik Matthew di tangan kanannya dengan mantap.Lovy melangkahkan kakinya perlahan memasuki ruangan tempat biasa ia duduk dengan Bob dan Isabel. Ia melihat lampu di ruangannya menyala, tetapi tak ada orang. Pintu juga tak dikunci dan Lovy cukup mendorongnya untuk bisa masuk ke dalam.Namun, ia mendengar ada orang berbincang di dalam ruangan Tuan Wilve
Semua orang di ruangan itu tertegun dengan jantung berdebar dan kepanikan melanda."Jangan diam saja! Kita harus segera ke Ithaca!" pekik Matthew yang membuat Lovy dan Sean tersadar dari keterkejutan mereka.Sean segera membangunkan Lovy yang masih gemeteran dan menangis. Mereka bergegas pergi meninggalkan apartment. Terlihat Matthew berjalan di depan dan menghubungi seseorang untuk mengurus sesuatu.Dua bodyguard Matthew segera menyiapkan mobil saat mereka bertiga kini menunggu di lobi. Namun, saat dua bodyguard Matthew sedang berjalan tergesa mendekati mobil dan salah satu lelaki itu menyalakan kunci pembuka jarak jauh, tiba-tiba ....PIP! PIP!DWUARRRR!!"Oh my God!" pekik Sean terkejut dan langsung memeluk Lovy erat.Dua bodyguard Matthew terpental dan menghantam mobil yang berada di dekat mereka. Matthew terkejut dan langsung menarik senjata dari balik pinggangnya. "Kembali ke dalam cepat!" teriak Matthew yang mengajak Sean dan Lovy masuk ke dalam.Mereka bertiga bergegas kembal
Lovy mengelus punggung Sean lembut dan mengajaknya duduk di kursi meja makan. Mereka berdua duduk bersebelahan di depan Matthew yang terlihat masih menikmati makanan di depannya. "Biar kutebak. Ini masakanmu, ya, Lovy sayang? Kenapa kau tak pernah memasak untukku?" tanya Matthew cemberut. "Sudah kubilang jangan memanggil istriku sayang!" teriak Sean lantang yang mengejutkan semua orang di ruangan itu. Matthew menghentikan makan dan menatap Sean yang memandanginya penuh emosi. "Oke ... baiklah. Jadi begini maksud kedatanganku, Lovy sayang ...." BRAKK!! "Keparat kurang ajar! Kemari kau, biar kuhajar wajahmu dan kulempar dari jendela rumahku!" Lovy terkejut karena Sean sampai menggebrak meja dan langsung berdiri. Namun, saat Sean akan mencengkeram baju Matthew, dua bodyguard lelaki itu langsung memegangi kedua tangan Sean kuat. Matthew tertawa terbahak dan terlihat begitu gembira. "Matthew! Jika kau sungguh menghargai persahabatan kita di masa lalu, jangan membuatku kecewa denga
Pagi itu, mereka bersiap terbang dengan pesawat komersil menuju ke Portland. Lovy dan Sean sudah duduk dengan nyaman di bangku masing-masing. Lovy terlihat gugup karena ia khawatir jika nanti akan bermimpi buruk lagi dan mengejutkan semua penumpang."Kenapa? Kau takut jika mengamuk lagi? Jangan khawatir, Sayang. Kau akan baik-baik saja. Kau sudah menceritakan ketakutanmu padaku. Seharusnya, mimpi buruk itu tak lagi mengusikmu," ucap Sean menenangkan sembari memegang salah satu tangan Lovy erat."Jika datang kembali?" tanyanya gugup."Aku akan mengatakan pada semua orang jika kau habis menonton film horor dan terbawa sampai mimpi," jawab Sean santai dan Lovy spontan tertawa kecil.Sean balas tertawa karena ia sudah yakin jika istrinya pasti memikirkan hal itu kembali. Lovy mengangguk dan tak masalah jika Sean harus membuat skenario seperti yang ia katakan agar tak menimbulkan kepanikan para penumpang.Ternyata, ketakutan Lovy dan Sean tak terjadi. Mereka tiba di Portland dengan selamat
Terlihat Lovy mulai terbiasa dengan gaya ranjang Sean. Lovy juga mulai bisa melakukan gaya lainnya yang membuat sang suami makin mabuk kepayang.nLovy sudah tak terlihat kikuk lagi saat menggoyangkan pinggulnya kuat hingga Sean tak berhenti mengerang. Malah Lovy yang terlihat paling bersemangat ketika Sean mengajaknya bertarung di ranjang penuh peluh dan kenikmatan. Tampak Lovy seperti paling menyukai ketika Sean menyodokkan miliknya dari belakang. Lovy bisa bertahan hingga waktu yang lama dan tak berhenti meremas kuat Junior di dalam sana. Namun, Sean yang malah kuwalahan karena ia merasa daging panjangnya dipijat enak di dalam sana, hingga seluruh tubuhnya menegang dan kakinya terasa lemas. "Sayang, kenapa kau belum keluar juga?" keluh Sean sampai keningnya berkerut karena Lovy tak berhenti menekan miliknya hingga tertelan semua di dalam sana. "Kau lelah?" ledeknya. "Kali ini kuakui, yes ... hah, aku sudah tak sanggup lagi, Sayang," rintih Sean dengan wajah sudah memerah tak bis
Mereka berdua yang kelelahan setelah bertarung panas di ranjang, tertidur lelap dengan semua pintu dan jendela terkunci rapat. Mereka kini menyadari jika berada di sarang MI6. Kejadian buruk bisa menimpa mereka kapan saja dan keduanya pun semakin waspada.Meskipun demikian, Lovy dan Sean tetap harus melanjutkan honeymoon di negara itu meski mata mereka tak berhenti mengawasi sekitar untuk melihat siapapun yang dirasa mencurigakan, bahkan mungkin dianggap ancaman.Mereka mendatangi Istana Kensington yang memiliki taman di dalamnya. Taman ini ditata dengan sangat indah dan rapi. Ada sebuah kolam yang menenangkan dan menyejukkan serta dikelilingi oleh berbagai macam jenis bunga. Lovy dan Sean tak henti-hentinya mengabadikan moment indah ini dalam jepretan kamera hingga keduanya merasa malu sendiri."Aku seperti orang tak tahu diri," ucap Sean terkekeh melihat wajahnya dalam foto yang terlihat begitu gembira dengan senyum lebar dalam tiap foto.Lovy sampai tertawa terbahak karena melihat