"Suara apa itu?"Bahkan Reyn di sebrang sana pun mendengar bunyi keras tersebut saking nyaringnya. "Entahlah. Biar aku pastikan dulu," ucap Putra seraya menutup panggilan tersebut. "Shanum, kamu tunggu di sini sebentar. Kakak--""Kak, perutku sakit sekali." Belum sempat Putra merampungkan kalimatnya, Shanum sudah lebih dulu mencengkram lengannya. "Tolong ... selamatkan bayi ...ku." Setelahnya, Shanum tiba-tiba tak sadarkan diri, tak ayal Putra pun makin gusar.Bagaimana ini?Sementara itu di lantai bawah. Ayu yang tengah bermain ponsel tak kalah terkejut dengan suara memekakan telinga barusan. Ia terlonjak kaget sampai hpnya terlempar ke lantai saking terkejutnya. "Sialan! Apa itu?" geramnya kesal.Wanita itu semakin kesal saat menemukan hpnya retak dan tak bisa nyala. Ah, kalau begini kan harus keluar modal lagi. "Awas saja! Pokoknya si Shanum hari ini harus menjual diri sampai mampus biar aku bisa beli HP baru. Kalau perlu, lima unit sekalian!" omelnya kemudian. Ayu lalu mengaba
Arjuna turun dengan tergesa sesampainya di Rumah sakit. Bahkan, sebelum mobil benar-benar berhenti. Padahal, para beberapa petugas medis pun sudah menunggu. Reyn yang mengaturnya. "Cepat tolong putriku! Berikan dia perawatan terbaik yang kalian miliki!" titah Arjuna tegas pada Dokter dan perawat yang akan menangani Shanum. "Baik, Pak!" jawab petugas medis itu kompak. Arjuna dan Kai membantu mendorong brankar yang membawa Shanum sampai ke ruang tindakan. Sementara Putra kini tengah mencari parkiran. Seakan tak cukup dengan tenaga medis di Rumah sakit tersebut. Arjuna pun memanggil dokter-dokter terbaik yang dia kenal. Bahkan Kenneth, kembaran Kairo yang memang berprofesi sebagai Dokter Obygn, juga di suruhnya datang. Saking kacaunya pikiran Arjuna saat ini, ia hampir saja menghubungi istrinya juga dan memintanya datang. Beruntung Kai mengingatkan tepat waktu. "Dad, jangan. Bunda sedang ada operasi pada pasien penting kan hari ini," ucap Kairo.Karina memang belum mengetahui masal
Kandungan Shanum masih bisa diselamatkan meski sempat mengalami pendarahan hebat. Namun, karena kondisinya jadi semakin rentan. Alhasil Shanum pun harus badrest total jika ingin mempertahankan bayinya. Dia tidak boleh beraktivitas sama sekali. Bahkan jika Shanum ingin ke kamar mandi pun, ia harus di gendong. Pokoknya Shanum tak boleh turun dari tempat tidur sama sekali, sebelum dokter menyatakan kondisinya stabil. Setelah tak sadarkan diri hampir dua hari. Hari itu akhirnya Shanum siuman. Hal yang pertama kali ia jumpai adalah sang Daddy yang tertidur di kursi dekat brankarnya, dengan tangan yang terus menggengam tangannya. Gurat lelah nampak jelas pada wajah Daddy yang sudah tak muda lagi. Meski begitu, daddy masih sangatlah tampan. Betapa harunya Shanum melihat hal itu. Padahal mereka tidak punya hubungan darah sama sekali. Tetapi bagi Shanum, Daddy Arjuna tetap menjadi cinta pertama untuknya, selayaknya yang di rasakan anak gadis pada umumnya terhadap sang ayah. Daddy, bukan han
"Mama nggak mau tahu. Pokoknya kita harus laporkan anak Pak Arjuna! Lihat, gara-gara anak buahnya Mama jadi begini!"Rima terus menuntut pada sang suami, agar segera membuat laporan ke polisi terkait kebakaran rumahnya yang menimbulkan kerugian yang tak main-main. Bukan hanya rugi materi, tapi kerugian mental dan lainnya. Lihat saja kondisinya saat ini. Sudah macam mumi saja. Hampir seluruh tubuh dan wajahnya di perban. Karena mengalami luka bakar hampir 80%. Pokoknya, mereka tidak boleh tinggal diam! Mereka harus melawan. "Ma, kita nggak bisa melaporkan orang seenaknya."Hendra memijat keningnya yang rasanya sudah mau pecah. Semingguan ini ia sedang pusing mengurus cabang toko furnitur yang baru akan dibuka di luar kota. Akan tetapi, belum buka saja sudah banyak sekali masalah yang menimpa. Ya, penggelapan modal lah, barang-barang tak sesuai pesanan. Hingga sekumpulan ormas yang tiba-tiba datang meminta upeti atas nama keamanan. Nominal yang diminta tidak masuk akal lagi. Hendra
"Lancang! Ka--"Arjuna mengangkat sebelah tangannya guna menghentikan Frans yang sudah bersiap menyerang Rima, bahkan mungkin membunuh langsung. Arjuna juga ingin melakukanya, kok. Tentu saja, Siapa sih ayah yang akan baik-baik saja mendengar putrinya dihina sedemikian rupa macam tadi? Sakit hati, marah, kecewa, sedih, semua campur aduk dalam hati. Tak terbayang sepahit apa kehidupan yang Shanum jalani selama dua tahun ini. Bukan hanya fisik yang dihajar, tapi juga mentalnya. Tolong ingatkan Arjuna untuk membawa Shanum ke psikiater setelah ini, ya? Arjuna jelas tak akan membiarkan putri yang di rawat sepenuh hati dihancurkan seenaknya."Bos!" Frans tentu saja keberatan dengan larangan tuannya. Dia yang ikut terlibat dalam mengasuh dan membesarkan Shanum tentu tak bisa diam saja melihat gadis itu dihina-hina. Frans menyayangi Shanum seperti anaknya sendiri."Biarkan, Frans. Biarkan dia mengeluarkan semua uneg-unegnya pada Shanum. Aku ingin tahu, sesampah apa mulut wanita yang selalu
Shanum menghela napas berat ketika memperhatikan wajah Reyn, dan mendapatkan beberapa luka memar di sana. Pasti! Itu pasti ulah sang Daddy."Reyn, maafkan aku." Shanum berkata dengan nada syarat rasa bersalah.Duplikat Raid anderson itu diam saja. Tetap fokus mengupas kulit apel dan memotong-motongnya menjadi kecil, guna memudahkan Shanum mengkonsumsi makanan tersebut. Beberapa saat setelah Daddy Arjuna dan Frans pergi, Reyn memang muncul di ruangan tersebut. Langsung memeriksa cairan infusan Shanum dan obat-obatannya. Kemudian duduk di kursi sebelah brankar dan mengupas buah. "Reyn apa kau marah? Aku b--"Reyn menjauhkan wajahnya kala tangan Shanum hendak terulur ke wajahnya. Ingin memeriksa memar-memar yang menghiasi di sana. Akan tetapi, tenang saja. Pria itu masih tetap menawan, kok."Hati-hati. Aku sedang pegang pisau," ucap Reyn akhirnya.Shanum pun cemberut. "Kau tidak berniat menusukku dengan pisau itu hanya karena marah kan, Reyn?" Niat Shanum ingin merajuk, sayang tak dig
"Kenapa kalian diam begitu? Jangan bilang kalau ...." "Ekhem!" Arjuna buru-buru berdehem keras demi menghentikan tuduhan Shanum yang sebenarnya berdasar barusan."Sweety, Daddy kan sudah bilang, jangan pikirkan hal itu, kamu fokus saja pada dirimu sendiri. Semuanya biar jadi urusan kami." Arjuna mencoba menenangkan. "Tapi, Dad. Aku nggak mau kalian bertidak diluar wajar. Bagaimana pun ini negara hukum." Shanum yang sangat mengenal orang-orang di sana jelas tahu ada hal terselubung sedang di rencanakan. "Daddy tahu, Honey. Tapi kalau kita ikuti hukum negara banyak yang akan terseret. Contohnya Putra. Dia yang jadi pancingan untuk menjebak Ayu jelas akan terseret namanya. Dan kamu tahu kan siapa Putra. Dia selebriti, Sayang. Namanya akan tercemar jika netizen tahu Putra terlibat hal begini. Meski niatnya baik yaitu menolongmu, tetap saja itu akan menjadi senjata untuk hattersnya menjatuhkan Putra. Mengertilah, Princess."Shanum terdiam. Memikirkan dengan seksama ucapan sang ayah. Ben
Hari berganti. Seminggu sudah berlalu. Reksa masih belum bisa menemui Shanum. Jangankan bertemu, menghubunginya pun tidak bisa. Menyebalkan sekali.Reksa pernah mencoba menghubungi nomor Shanum dengan nomor lain. Siapa tahu jika itu bukan darinya, Shanum mau mengangkat panggilan tersebut. Tetapi ternyata hasilnya sama. Tidak pernah ada jawaban. Reksa sempat curiga jika nomor itu sudah tak terpakai. Namun, saat dihubungi, nyambung, kok. Bahkan di chat pun centang duanya berubah warna jadi biru beberapa saat kemudian. Itu berarti chatnya sudah dibaca, kan? Lalu kenapa tidak dijawab?!Hal itu jelas membuat Reksa sangat putus asa! Dia benar-benar tak ingin kehilangan Shanum. Apalagi sekarang Reksa juga sudah tak punya pekerjaan karena Arjuna benar-benar memecatnya. "Kamu kenapa nggak tetep ke kantor itu sih, Sa? Bagaimana pun kamu kan masih menjadi menantu keluarga Setiawan!" ucap Mamanya waktu itu. Yang di balas Reksa dengan dengkusan kasar. Dikira Mamanya Reksa sepolos itu apa? Tentu
"Kamu ...." Shanum mengerjap bingung melihat seseorang sudah berdiri dengan cengiran khasnya pagi ini, di depan pintu kamar hotel, tempatnya menginap semalam."Selamat pagi, Bu ..." sapanya riang seperti biasa.Shanum mengerjap lagi, raut bingung dan tak percaya nampak jelas di matanya. Bukan apa-apa, ini masih pagi, loh. Dan ... yang tahu dia menginap di sini hanya pria yang ikut menginap di sebelah kamarnya, Safran. Makanya Shanum kira tadi yang mengetuk pintu kamarnya adalah Safran. Eh, ternyata bukannya Safran yang dia lihat, malah gadis ini. Yuli, asistennya di kantor. Tetapi kini pertanyaannya adalah ...."Kamu kok tahu saya di sini?" Dari pada jerawatan memikirkannya, Shanum memilih menanyakan langsung."Oh ... saya tahu dari pak Safran."Hah?"Safran?" beo Shanum Orang di depannya mengangguk cepat. "Semalam Pak Safran chat saya sekitar jam 2 an. Beliau bilang, Penyakit lambung ibu kumat. Tidak bisa pulang dan terpaksa menginap di hotel tempat pesta di laksanakan. Saya di sur
"Akh!"Shanum memekik kaget ketika rasa dingin tiba-tiba saja menghantam halus dari kepala hingga sekujur tubuhnya. Ia menatap nyalang si pelaku."Apa yang kau lakukan--""Maaf, kak! Bukan aku tak menginginkanmu, tapi aku tak bisa jika keadaannya seperti ini."Seketika Shanum diam, rontaannya pun melemah seiring dengan hatinya yang langsung tertohok pada ucapan si pelaku barusan.Kenapa? Kenapa jadi begini? Bukannya dia harusnya senang dan ...."Aku tak ingin menyentuhmu diluar ikatan halal, Kak."Lagi-lagi Shanum tertohok. Tanpa sadar menggigit bibir dalamnya dengan perasaan yang entah. Ada rasa malu yang hadir menelusup, juga rasa bingung pada sikap pria di hadapannya ini. Safran, siapa lagi?Padahal Shanum sudah pasrah pada apa pun yang akan terjadi malam ini. Shanum juga melihat ada kilatan hasrat dari sorot pria ini. Akan tetapi ... kenapa? Kenapa dia tak melanjutkan pergumulan yang hampir terjadi dan malah melakukan ini. 'Pria yang benar-benar mencintaimu pasti akan menjagamu.
Hari terus berganti menjadi minggu, bulan, lalu tahun. Terhitung sudah satu tahun lebih kedekatan Nata dan Safran. Mereka semakin seperti ayah dan anak. Meski hanya bertemu di hari weekend. Tetapi itu tak menghalangi chemistry antara keduanya. Anehnya, hal itu seolah tak mengganggu Shanum sama sekali. Tetap abai dan biasa saja. Kasarnya, jandanya Reksa itu seperti tak tertarik memperbaharui status antara keduanya.Tidak perduli orang sekitar berkata apa. Tidak perduli alam memberi tanda apa, dan tidak perduli Nata selengket apa pada Safran. Shanum masih dengan kekeraskepalaannya.Memang, Shanum kini tak melarang Safran datang dan dekat dengan Nata. Anaknya diajak pergi keluar hanya berdua saja pun, tidak masalah. Kadang, mereka bahkan menikmati weekend bertiga layaknya keluarga cemara. Akan tetapi, sudah. Hanya begitu saja. Tidak ada lanjutan apa pun. Membuat hubungan Safran dan Nata makin dekat, tapi hubungan dengan ibunya jalan di tempat.Apalagi sekarang mereka sudah tidak terliba
"Ya, karena aku nggak mau dijodohkan dengan kamu Safran. Aku nggak mau nikah sama kamu!" Inginnya Shanum menjawab demikian. Sayangnya, kalimat barusan hanya bisa Shanum gaungkan dalam hati karena takut menyakiti hati Safran.Shanum menghela napas panjang, menahan diri untuk tidak melontarkan kata-kata pedas. "Aku cuma khawatir Nata akan merepotkanmu, Safran. Kamu kan punya pekerjaan penting juga," ujarnya, berusaha terdengar rasional. Safran tersenyum, matanya berbinar penuh kesabaran. "Aku sudah bilang, tidak masalah. Lagipula..." Ia menatap bayi Nata yang sedang asyik memainkan kerah bajunya. "...Tingkah lucu Nata mampu membuatku sedikit melupakan tumpukan pekerjaan yang kadang membuat stress," imbuhnya tulus.Arjuna tersenyum paham. "Anak memang obat stress paling mujarab," ucapnya mengaminkan. Shanum merasa akan percuma saja berargumen saat ini. Maka dari itu, pada akhirnya dia pun membiarkan saja Baby Nata masih menguasai Safran. Menunggu bayi itu bosan sendiri. Hari berlalu
Suasana meja makan sempat meredup sejenak setelah Frans "sengaja" menjatuhkan sendok. Tetapi Arletta, yang paham maksud Frans, segera mengalihkan pembicaraan. "Ah, sudahlah. Yang penting masalah pembobolan apartemen sudah selesai. Sekarang kita bisa makan dengan tenang," ucapnya sambil mengambil nasi dan lauk dengan santai. Sayangnya Shanum, yang penasaran, tidak bisa menahan diri. "Tadi Mama Alle bilang ada gadis yang mirip ... siapa?" Arletta mengunyah perlahan, matanya melirik ke Frans yang memberi tatapan bermakna. "Ah, nggak penting. Mungkin Mama salah lihat." "Tapi—" "Shanum, makan dulu. Nanti nasinya dingin," sela Arjuna dengan nada halus, tampak acuh meski sebenarnya juga penasaran.Shanum menghela napas, tapi akhirnya menuruti. Namun, pikirannya masih penasaran. Siapa gadis yang mirip dengan seseorang hingga Frans sampai bereaksi seperti itu?*** Setelah makan malam, Shanum tidak bisa tidur. Pikirannya terus menerawang tentang obrolan tadi. Gadis yang menelepon Re
Arjuna hanya bisa mendesah panjang. "Kamu mau ke mana lagi, Arletta?"Mama Alle—Arletta—memasang wajah serius. "Ada sedikit urusan. Nggak lama, kok.""Urusan apa?" tanya Karina curiga. "Jangan bilang ada yang perlu kamu 'hajar' lagi.""Aduh, Mbak Rin. Jangan suudzon. Aku ini udah tobat, tahu," jawab Arletta santai, tapi tidak meyakinkan sama sekali."Lah, terus kenapa nggak pakai mobil? Kenapa harus motor?" tanya Arkana."Karena pakai motor lebih fleksibel. Aku nggak mau buang waktu kena macet," balas Arletta cepat.Safran yang masih menggendong Baby Nata hanya menggeleng. "Mama, kalau ada sesuatu yang berbahaya, bilang. Jangan malah pergi sendiri."Arletta menatap putranya dengan senyum tipis. "Saf, kamu kan tahu sendiri. Mama nggak mungkin sembarangan. Lagian, ini bukan urusan besar.""Kalau bukan urusan besar, kenapa buru-buru?" sambar Arkana.Arletta melirik Arkana sekilas, lalu menghela napas. "Oke, baiklah. Tadi ada telepon dari anak buah Reyn. Mereka dapat laporan tentang seseo
Setelah meeting selesai, suasana ruang rapat masih dipenuhi tawa kecil dari para staf. Baby Nata yang sejak tadi nyaman di pangkuan Safran kini mulai menguap lebar. Pipinya menempel di dada pria itu, tampak benar-benar merasa aman dan nyaman.Shanum, yang sejak tadi menunggu di luar, segera menghampiri Safran ketika pria itu keluar ruangan. "Aku pegang Nata, deh. Kamu pasti capek, kan?" tawarnya.Namun, begitu Shanum hendak mengambil Baby Nata, bocah itu langsung menggeliat, mengeratkan pelukannya pada Safran. "Pipi! Mau pipi! Mau pipi aja!"Semua orang yang kebetulan masih berada di sekitar mereka langsung menahan tawa. Shanum, di sisi lain, hanya bisa menghela napas dalam."Nata, ini Mama, Sayang. Sama Mama, ya?" Shanum kembali mencoba.Tapi Baby Nata justru menggeleng cepat. "Mau pipi!""Nata, kamu ini kenapa, sih?" Shanum mulai frustrasi. "Bukan berarti kamu nggak boleh suka sama Om Safran, tapi kan, ini keterlaluan! Masa kamu lebih milih dia daripada Mama sendiri?"Baby Nata tida
Semua setuju dengan ucapan Karina. Arjuna menyuruh Frans gegas menghubungi Shaki dan memintanya datang pagi ini juga ke rumah. Saat ini, Safran sudah duduk di sofa tamu dengan kondisi yang lebih segar dan rapi, siap berangkat kerja. Pria itu sudah mandi tadi, bersama Baby Nata yang masih saja tak mau lepas. Lihatlah itu! Bahkan untuk urusan mandi saja, Baby Nata masih saja posesif. Shanum tidak tahu lagi harus berkata apa pada anaknya itu.Shaki akhirnya datang dengan langkah santai, mengenakan hoodie dan celana jogger. Wajahnya masih sembab karena memang baru bangun tidur. Frans yang memintanya buru-buru datang membuat pria itu melupakan urusan mandi. Hanya cuci muka dan gosok gigi saja."Ini gimana cerita awalnya, Sha? Kenapa Safran pagi-pagi ada di sini dan malah di tahan Baby Nata?" tanya Mama Alle, ketika Shanum menyambutnya di pintu utama.Shaki memang datang tak hanya sendiri. Ada papa Arkana dan Mama Alle turut bersamanya. Katanya, semalam Shaki menginap di apartemen mereka
"Mungkin dia hanya butuh suasana berbeda malam ini." Safran akhirnya buka suara demi menenangkan Shanum.Shanum menghela napas pasrah akhirnya. "Baiklah, kalau begitu … ayo ke kamar tamu sebelum dia bangun dan menangis lagi."Dengan langkah santai, Safran mengikuti Shanum menuju kamar tamu, masih dengan Baby Nata yang tidur nyenyak di dadanya.***Pagi harinya, Shanum bangun lebih awal dari biasanya. Setelah membersihkan diri dengan cara paling cepat yang ia bisa dan sholat subuh, wanita itu pun langsung menuju kamar tamu dengan harapan bisa membawa Baby Nata kembali ke kamarnya sebelum bocah terbangun.Sayangnya, begitu ia membuka pintu, Shanum justru langsung terkesiap ketika melihat Safran tengah menjalankan dua rakaat paginya dengan Baby Nata dalam gendongan sebelah tangannya. Astaga, Anak ini!Shanum sebenarnya ingin segera mengambil alih Baby Nata. Namun, ia takut akan mengganggu ibadah Safran. Terpaksa ia pun hanya bisa menunggu pria itu menyelesaikan ibadahnya. Sambil menung