“SUDAH KUKIRIMKAN PADAMU,” ungkap Airi dengan sebuah ponsel dalam genggaman. Dia mendongak, menatap sang lelaki yang tengah duduk di atas nakas. “Apakah kau masih khawatir kalau aku mengingkarinya?” tanya Airi pelan, mulai merasakan serangan lelah.
Sama sekali tak memperhatikan layar ponsel Airi yang sengaja diperlihatkan untuk dapat meyakinkannya, Kei masih menatap sang perempuan lekat.
“Tidak,” balasnya ringkas. Pandangan mengedar ke area sekitar. Dia menarik napas pelan dan menegakkan diri, bersiap-siap untuk beranjak pergi. “Kunci kamar ini sebelum kau tidur,” ungkapnya sambil lalu.
Saat itu, Airi hanya menatapnya kosong. Dia baru mengerti setelah melihat mata sang pria. Senyuman masam tersemat pada bibir. Dia ikut berdiri, beranjak menuju pintu kamar.
“Kau benar-benar membuat dirimu sendiri sulit untuk kembali kupercaya,” ujar Airi begitu mereka mencapai ambang pintu.
Kei menoleh, cukup terganggu pada komentar yang dilontarkan Airi.
AIRI DAN KAZUKI TELAH pulang tanpa gangguan. Sejauh ini, orang-orang suruhan Rodo juga belum kembali bergerak. Kei mendapatkan informasi tersebut begitu dia kembali ke hotel setelah menyelesaikan agenda perusahaan. Guyuran air dingin masih terasa di kulit. Kei menyampirkan handuk ke pundak selagi dia membaca pesan singkat yang disampaikan oleh Kurata dan Akaba. Penerbangannya pagi tadi memakan waktu hampir tiga belas jam. Dengan perbedaan waktu yang besar antara Tokyo dan New York, dia tiba di tempat tujuan pada waktu yang sama seperti keberangkatannya dari Tokyo. Artinya, dia sampai di New York di waktu pagi dan langsung bergegas menghadiri agenda di hari tersebut tanpa waktu istirahat yang berarti. Waktu luang baru kembali Kei dapatkan ketika malam tiba. Informasi baru yang datang cukup memuaskan—mengingat dia yang tak begitu yakin bahwa Airi akan menyetujui pengawasan lain dari anak-anak Estella. Percakapan mereka kemarin malam cukup untuk memperl
PAGI TADI, ETHAN marah—sangat marah. Kemarahannya tak hanya disebabkan oleh Airi yang menghilangkan satu-satunya mobil yang dia punya. Tapi juga karena Kei yang dengan seenak hati melibatkan Airi dan Kazuki ke dalam bahaya. Airi ingat, Ethan teramat marah sampai hampir menghubungi Kei secara langsung. Dia bahkan tampak lebih berang dari Airi yang terlibat langsung dalam insiden malam tadi. “Aku akan mengganti mobilmu,” ungkap Airi saat itu, mencoba menenangkannya. Dia menggenggam ponsel dengan erat, menjauhkannya dari jangkauan Ethan. “Dan tak perlu menghubungi Kei. Urusan kami sudah selesai. Aku tak ingin kembali mengungkitnya. Lagi pula, apa yang mau kau bicarakan?” “Aku ingin memberinya satu dua pukulan,” tandas Ethan dengan kaku. “Satu dua pukulan?” beo Airi, terheran-heran. “Kau bahkan tak bisa mengalahkanku ketika dulu kita latihan. Tapi, kau yakin bisa memukulnya? Apakah tadi kau benar-benar mendengar ceritaku?” Detik i
BEGITU KEMBALI KE Tokyo, Kei langsung mengurus keperluan administrasi untuk melaporkan afiliasi antara dia dan Kazuki. Melalui laporan afiliasi, secara otomatis Kazuki akan berstatus sebagai putra biologisnya. Kei akan mendapatkan tanggung jawab sebagai orang tua meskipun hak asuh sang anak masih ada di tangan ibunya. Melalui afiliasi ini pula, Kei tak hanya diharuskan untuk menanggung biaya hidup Kazuki, tetapi Kazuki juga ditambahkan dalam daftar pewaris sah dari aset yang Kei miliki. Keputusan ini sering dianggap memberatkan seorang ayah. Namun, hal tersebut tampak tak berlaku untuk Kei. Dia sama sekali tak menunjukkan sedikit pun keraguan ketika menyuruh Kurata untuk mengurus keperluan administrasi itu. Caranya menyampaikan perintah juga sangat lugas, seolah dia meminta Kurata mengurus keperluan bisnis yang biasa, bukan mengurus laporan afiliasi tentang seorang anak yang merupakan putra biologisnya. Keterkejutan sang asisten sama sekali tidak diindahkan. “E-eh, s
PERTEMUANNYA DENGAN KAZUKI di tengah jalan cukup tidak disangka. Rute menuju apartemen Airi memang mengharuskannya melewati sekolah lama mereka. Dia tidak mengira akan melihat pemuda yang kentara sekali adalah Kazuki Ishihara, anak lelaki yang baru-baru ini diketahui sebagai putranya. Kazuki baru saja keluar dari minimarket di dekat gedung sekolah. Kakinya masih sedikit pincang ketika berjalan menuju gerbang. Kei menepikan mobil ke sisi jalan dan menurunkan kaca mobilnya. “Kazuki,” panggil Kei dari dalam, menyetarakan laju mobil dengan langkah sang anak. Kazuki menoleh pada sumber suara. Matanya tampak melebar. “Hasegawa-san?” tanyanya bingung. Mobil dihentikan. Kei menoleh ke sekitar, melihat suasana yang sudah sangat sepi. Dia tak menemukan kehadiran anak-anak Estella sama sekali. “Masuklah,” ujarnya langsung. Kazuki mengernyit. “Eh? Aku belum bisa pulang. Masih perlu membereskan lapangan.” Se
“KAMI SUNGGUH BAIK-BAIK saja,” timpal Airi pada sambungan telepon. “Kazuki masih belum sembuh sepenuhnya. Tapi, hari ini dia nekat masuk sekolah meski sudah kularang. Aku tak bisa melakukan apa pun, Shizune-san. Kau tahu sendiri bagaimana tabiat anak itu.” “Kalian seharusnya jangan berkeliaran dulu, masih terlalu berbahaya.” Shizune terdengar resah. “Kalau memang bisa absen selama beberapa hari, lebih baik kau melakukannya.” Airi tertawa pelan. “Mungkin bisa kalau aku bukan pimpinan Hiraishin,” timpal Airi, sedikit bercanda. “Pengajuan cuti harus disertai alasan yang jelas, Kak. Aku tak berniat membagikan insiden itu pada pihak lain. Shigaki-san akan menginterogasiku macam-macam kalau aku menceritakan alasan cutiku.” Sebelum Shizune memberi ide lain, Airi menambahkan, “Aku juga sedang terlalu malas untuk membuat alasan palsu. Lagi pula, dia begitu pelit untuk urusan perizinan cuti.” Saat ini, Shizune sedang tidak berada di Tokyo sehi
ACARA MAKAN MALAM keluarga Hisaya benar-benar mendadak. Airi perlu memastikan indra pendengarnya ketika mendapat berita dari Hiroki pagi tadi. “Shou sebentar lagi bertunangan. Ayah ingin mengundang calon tunangannya sekaligus kekasihku,” ungkap Hiroki melalui sambungan telepon. “Apakah malam ini kau ada kepentingan lain?” Kebetulan sekali, Airi memang tak memiliki agenda khusus malam nanti. Dia pun menerima tawaran Hiroki meski masih cukup terkejut. Selama seminggu ini, ada banyak peristiwa tak terduga yang datang. Airi jadi tak kepikiran kalau cepat atau lambat dia perlu kembali bertemu dengan keluarga Hisaya agar bisa lebih mengenal mereka. Bagaimanapun juga dia serius dengan hubungan ini. Dia ingin menjalin hubungan baik dengan orang tua Hiroki. “Aku punya cukup banyak waktu luang,” balas Airi. Dia tersenyum jenaka ketika bertanya, “Apakah kau ingin request baju yang akan kupakai nanti malam?” Hiroki tertawa, kemudian menyerahkan masalah p
BEGITU KEMBALI KE apartemen, Airi langsung mencoba menghubungi Kei. Panggilan telepon itu tak terhubung akibat nomor ponsel yang berada di luar jaringan. Kei seolah memutus kontak dengan semua orang, seperti yang tadi dikatakan oleh Shou. Perhatian Airi teralihkan ketika Kazuki menghampiri. Dia memberi tahu tentang sisa makanan yang disimpan di dalam lemari pendingin. “Paman Nishida berpesan agar Ibu tak langsung membuang makanannya. Besok siang dia akan mengambilnya,” terang Kazuki sambil lalu, terlalu sibuk melihat ponsel pintar dalam genggaman. Fokus Airi belum sepenuhnya terkumpul. Dia hanya mengangguk. Ketika Kazuki berjalan menjauh, dia bertanya, “Apakah Ethan sudah jadi membeli mobil baru?” “Ya, Mom. Katanya dia hanya perlu mengurus persyaratan administrasi yang merepotkan.” Kazuki kemudian menghilang ke dalam kamar. Airi menarik napas pelan, mencoba mengenyahkan pening yang menerpa kepala. Dia mengganti pakaian
SISA HARINYA DI kantor tak begitu berjalan mulus. Masalah yang seolah tak memiliki jalan keluar benar-benar menyulitkan Airi untuk berkonsentrasi. Sejak menyelesaikan rapat, dia sudah berusaha fokus menggarap pekerjaan kantornya. Akan tetapi, tiap kali mencoba beristirahat, pikirannya akan kembali pada masalah yang menjerat. Ketika menjelang sore, Airi memutuskan untuk beranjak. Dia membuat kopi untuk dirinya sendiri, bergabung dengan beberapa karyawan yang juga tengah beristirahat. Mereka sempat menyapanya sebelum kembali berkutat dengan aktivitas masing-masing. Setelah bekerja bersama selama dua bulan, anak buah Airi sudah tak lagi segan ataupun kaku padanya. Mereka seolah sudah nyaman menjadi kolega. Kenyamanan itu terbukti dari kebebasan mereka untuk tetap lanjut mengobrol meski Airi berada di ruangan yang sama. Airi tak berniat untuk ikut mendengarkan obrolan mereka. Dia masih sibuk memilih serbuk kopi yang akan diseduh. Namun, pembicaraan tentang keluarga Haseg