“Waktuku cuma sedikit.” Gemi bangkit dari sofa setelah Harsa keluar dari ruangannya dan menutup pintu. Gemi beranjak menuju meja kerja dan duduk pada kursi kebesarannya. Mengambil ponsel dan menghubungi Lee saat itu juga dalam senyap. Tanpa diketahui Aries sama sekali.
“Rapat redaksi masih setengah jam lagi, Gem.” Aries pun ikut beranjak lalu duduk pada salah satu kursi yang berada tepat bersebrangan dengan Gemi.
Meletakkan ponselnya yang sudah tersambung dengan Lee di balik kalender duduk yang ada di atas meja, Gemi lantas menarik kursi berodanya sedikit lebih maju. Ia menghela sejenak, lalu melirik benda pipih yang menyala di sampingnya sekilas.
“Jadi, ada perlu apa sampai jauh-jauh datang ke sini?” Gemi benar-benar tidak ingin berbasa-basa dengan pria ambisius seperti Aries.
“Aku telpon Rudi kemarin, dan dia bilang kamu sudah jadi pemred Metro sekarang. Selamat, ya!” ujar Aries dengan tulus. “Akhirn
Gemi yang baru selangkah keluar melewati pintu lobi Metro Ibukota, sontak menahan geramannya. Maniknya bersirobok tajam dengan Aries, yang baru saja terlihat menutup pintu mobilnya di parkiran. Pria itu dengan santainya berjalan menghampiri Gemi, yang berdiri mematung tepat di depan pintu lobi. Gemi sedikit menggeser tubuhnya ke pinggir pelataran kantor agar tidak menghalagi orang yang lalu lalang. “Mau apa lagi ke sini? Kamu mau kita jadi bahan gosip?” desis Gemi yang benar-benar memelankan suaranya. Maniknya pun sibuk berlari dan mengawasi tiap orang yang mungkin saja menaruh rasa curiga pada Gemi dan Aries. “Aku belum selesai bicara tadi pagi.” Pandangan Aries turun sejenak untuk memperhatikan perut Gemi yang memang tidak terlihat terlalu besar. “Masih ada hal yang harus kita bicarakan.” “Sudah aku bilang, ini anaknya mas Lee, suamiku,” tegas Gemi lalu melengos meninggalkan Aries begitu saja. Kalau begini terus-terusan, sepertinya Gemi akan
Gemi yang lebih dulu bangun daripada Chandie, langsung pergi ke kamar mandi. Seperti biasa, ia akan mengeluarkan isi perutnya terlebih dahulu, setelah itu barulah tubuhnya bisa merasa lega meskipun merasa sedikit lemas. Setelah mencuci muka dan menyikat gigi, Gemi keluar kamar terlebih dahulu untuk mencari sesuatu guna mengisi perutnya. Membiarkan Chandie yang masih tidur dengan lelapnya di atas ranjang. Gemi terkesiap. Sampai harus mengusap maniknya, karena masih tidak percaya dengan seseorang yang dilihatnya saat ini di ruang tengah. "Mas Lee?" Dengan perlahan dan sedikit ragu, Gemi menghampiri pria yang saat ini tengah sibuk dengan tabletnya. Duduk di sampingnya dan Gemi langsung menyentuh tangan pria itu. Ternyata, ini bukan mimpi. Lee yang duduk di sampingnya kini benar-benar nyata. "Kapan kamu balik, Mas?" tanya Gemi yang keheranan. "Kok ... gak ada ngomong-ngomong kalau mau pulang lagi?" Bukannya Lee kemarin pagi baru bera
"Apalagi sekarang?"Andai saja, Pras tidak membutuhkan Lee untuk membesarkan perusahaan medianya, ia pasti akan melayangkan protes karena seharusnya Lee berada di Surabaya saat ini. Bagi Pras, memiliki seseorang yang jujur dan ahli di dalam bidangnya, adalah sebuah aset yang sangat berharga. Untuk itulah, Pras masih bisa bersikap longgar pada Lee."Aku ada rencana mau bawa Gemi menetap di Surabaya, Pras. Mungkin nggak sampai dua bulan lagi. Setelah anakku lulus TK."Pras yang masih duduk di kursi kerjanya itu langsung beranjak menghampiri Lee. Duduk pada arm chair, lalu mengusap dagunya seraya berpikir.“Kalian berdua ini, merepotkan.”Lee melepaskan satu tawa sinisnya pada Pras. “Dan kamu juga sudah tahu apa alasannya.”“Aries Gautama!” Pras membuang kasar napasnya. Sama sekali tidak ingin mencampuri urusan Lee dan rumah tangga pria itu.“Sejak kapan kamu tahu, Pras?” Entah mengap
“Kenapa nggak tunggu sampai lahir aja, sih, Gem?” Sudah berkali-kali Audi melayangkan protes pada putrinya, tapi, tetap tidak mampu mengubah isi pikiran Gemi. Meskipun, alasan yang dilontarkan Gemi sangatlah masuk akal, yakni bertepatan dengan kelulusan Chandie dari TK. Gemi tersenyum seraya membereskan beberapa surat-surat penting yang ada di kamar Lee. Setelah mengantarkan Chandie ke sekolah, dan kembali ke rumah. Gemi sudah mendapati sang ibu sedang mengobrol santai dengan Sari di dapur. Akhirnya, usaha Lee untuk membawa Gemi pindah ke Surabaya terwujud sudah. Meskipun dengan susah payah, akhirnya Lee bisa mendapatkan pengganti Gemi untuk menjadi Pemimpin Redaksi Metro. Pria yang benar-benar bisa meneruskan rancangan dan visi misi Gemi, dalam mengembangkan perusahaan Media tersebut.
Bibir Gemi mengerucut menahan senyum. Meskipun lelah setelah menempuh perjalanan dengan kereta dengan tujuan Surabaya, tapi hatinya langsung merasa sejuk seketika. Yang Gemi tahu, Lee selama di Surabaya tinggal di apartemen. Namun, di depan Gemi saat ini, sudah ada sebuah rumah mewah yang lingkungannya benar-benar asri. Meskipun tetap saja hawa panas menyengat khas kota Surabaya, tidak akan hilang menusuk pori. Tidak seperti Gemi yang masih berdiri di teras dan mematung menatap kagum. Chandie sudah berlari menyusuri rumah yang pintunya baru saja dibuka oleh Lee. “Mama, jangan panas-panas,” teriak Chandie dari salah satu jendela rumah. “Ayo masuk, di sini dingin.” Pasti karena pendingin ruangan yang baru saja dinyalakan, batin Gemi.
Gemi terpaku di depan lemari pendingin. Menggigit bibir ujung bibir bawahnya dengan erat. Sama seperti lemari pendingin yang ada di rumah Lee di Jakarta, selalu saja tersedia sosis dan nugget di dalam sana. Kemudian, Gemi menoleh ke arah kanan, terlihat tumpukan telur yang ada di samping kompor. Setelah seharian kemarin mereka makan dengan delivery order. Pagi ini Gemi ingin memakan makanan rumah saja. Sempat berada di rumah Lee selama sebulanan, Gemi sering memperhatikan Sari ketika sedang memasak di dapur. Gemi pun tidak segan untuk bertanya mengenai beberapa bahan masakan serta cara memasak yang memang tidak ia mengerti sama sekali. Meskipun, masih belum terlalu ahli seperti Sari, tapi Gemi sudah bisa membuat sarapan sederhana yang berbahan dasar telur. Hanya tinggal mencampur semua bahan menjadi satu, sedikit bumbu, kemudian tinggal dimasukkan ke penggore
Akhirnya, setelah sekian lama jarak itu terbentang, karena sebuah ujian dalam pernikahan mereka. Kali ini Lee bisa benar-benar menatap Gemi secara intim seperti sekarang. Bisa menyentuh wajah cantik yang kerap menghiasi mimpi dan angannya ketika berjauhan. Lee benar-benar merindukan kedekatan mereka seperti dahulu kala. Hanya berdua, bercanda, berdebat dan bermanja. “Mamaaa ….” Namun, keberuntungan sepertinya belum berpihak pada Lee saat ini. Baru saja kepalanya menunduk, untuk menyentuh dan merasakan bibir manis yang sudah lama ia rindukan, suara putrinya langsung menggema mengisi dapur. Seketika itu juga tubuh Lee merosot jatuh. Berjongkok di depan kitchen set, tanpa memiliki alasan yang jelas. Ia hanya reflek melakukan semua itu dan merasa bodoh sendiri.
Hawa sejuk yang menyambutnya ketika membuka pintu, membuat sekujur tubuh Lee merasa segar seketika. Melangkah lebih dalam lagi, dan mendapati Gemi baru saja keluar dari kamarnya dengan memakai daster hamil. Lee menghela sangat frustasi, ketika melihat wanita itu memakai baju hamil seperti sekarang. Hanya bisa memandang, tanpa bisa menyentuh semakin dalam. “Kusut banget mukanya.” Gemi menghampiri Lee yang baru saja menghempaskan tubuh lelahnya pada sofa. Ikut mendudukkan dirinya di samping Lee dengan posisi menghadap pria itu. Gemi menekuk satu kakinya di atas, dan satu tangannya ia naikkan untuk membelai surai tebal milik Lee sembari melakukan sedikit pijatan di sana. Lee yang sudah menyandar lelah pada punggung sofa itu menoleh. Tersenyum ringan lalu meraih tangan Gemi yang satu lagi. “Chandie sudah tidur?
"Haaahhhh …" Gemi langsung merebahkan diri pada karpet bulu yang terhampar di ruang tengah. Meregangkan tubuh lelahnya, kemudian melihat Lee, yang juga ikut merebahkan diri di sampingnya. "Aku capeeek," keluh Gemi lalu memiringkan tubuhnya untuk memeluk Lee. “Pijitin.” Lee lantas terkekeh kecil. Lalu mengangkat satu tangannya agar bisa digunakan Gemi sebagai bantal. “Plus-plus?” Tangan Gemi reflek menepuk dada Lee. “Nanti didenger anak-anak!” desisnya dengan manik yang melotot kesal. “Mereka ke mana semua, sih?” “Bentar juga keluar lagi, lihat aj—“ “Papaaa … nggak boleh deket-deket Mama!” Baru saja dibicarakan, gadis kecil berusia empat tahun itu kini berlari ke arah mereka. Tubuh mungil itu, langsung ikut merebahkan diri di tengah-tengah orang tuanya. Dengan sengaja menggeser tubuh sang mama yang menjadikan tangan papanya sebagai bantal. Lee hanya saling melempar tatapan dengan sang is
Lima bulan kemudian …. Chandie berlari secepat kilat, ketika melihat sebuah roda empat yang baru saja terparkir di depan pagar rumahnya. Sedari tadi, gadis kecil itu memang sudah mondar mandir di teras rumah dengan tidak sabar. “Mama … bunda Geeta sudah datang!” seru Chandie dengan kaki yang masih melompat-lompat kecil. “Kak—“ Ucapan Gemi terputus dengan helaan. Putrinya yang aktif itu langsung berbalik cepat, dan kembali berlari ke luar rumah. Sementara Lee, hanya menggeleng dan menyudahi sarapannya. “Barangnya anak-anak di mana?” tanyanya sembari berdiri dan mengusap kepala Arya yang tengah tengah duduk di high chair. “Tasnya Arya masih di kamar, Mas,” kata Gemi sambil masih menyuapi Arya. “Kalau punya Chandie sudah dibawa ke teras dari tadi pagi sama dia. Udah nggak sabar mau ke Batu.” Lee kembali menggeleng sambil berjalan ke kamar mereka, yang kini sudah pindah ke lantai dua. Dari kemarin, yang dibahas Chandie selalu
“Mama, kenapa dari tadi adek digendong sama tante Geeta?”Gemi yang tengah mengepang rambut Chandie di tepi ranjang, menatap Lee dengan mencebikkan bibir. Menahan tawa, karena melihat Chandie yang begitu gelisah ketika adiknya sedari tadi hanya bersama Geeta.Sejak Chandie bangun tidur, mandi, dan hari pun sudah berubah kelam, gadis kecil itu melihat sang adik selalu berada bersama Geeta. Arya hanya berada bersama Gemi ketika Geeta kembali ke kamarnya untuk mandi. Atau, ketika Arya tengah menangis karena lapar dan Gemi harus mengASIhi bayi mungilnya itu.“Karena tante Geeta sayang sama adek Arya,” jawab Gemi.“Tapi adek nggak dibawa pulang sama tante Geeta, kan?” tanya Chandie lagi.Lee dan Gemi kompak terkekeh bersamaan.“Tante Geeta cuma pinjem adek Arya sebentar,” jawab Gemi.“Terus kapan dibalikinnya?” Chandie tidak berhenti protes sampai semua pertanyaan yang
Geeta tertegun kaku, ketika melihat Gemi keluar dengan menggendong seorang bayi. Menghampirinya lalu duduk tepat di samping Geeta. “Namanya Arya Arkatama, umurnya baru satu bulan,” ujar Gemi lalu menyodorkan sang bayi ke arah Geeta. “Bunda Geeta nggak mau gendong?” Tangan Geeta seketika terlihat tremor. Saling menggenggam dan meremas, untuk menghilangkan rasa takjubnya. Ia masih terdiam dan belum menyambut bayi mungil itu dari tangan Gemi. Melihatnya saja, hati Geeta langsung terenyuh, dengan manik yang mulai mengembun haru. “Arya pengen digendong sama Bunda Geeta,” ungkap Gemi, kembali ingin menyentuh sisi keibuan Geeta lebih dalam lagi. Gemi paham, perbuatannya kali ini akan menimbulkan luka. Namun, hanya dengan luka inilah, mungkin Geeta akan berpikir dua kali untuk kembali rujuk dengan Aries. Bukankah mereka berdua sungguh mendambakan adanya seorang anak. Maka, sekarang adalah saat yang tepat bagi Gemi untuk memojokkan Geeta dengan i
Sesuai janji, Geeta kini sudah berada di Surabaya. Duduk berhadapan dengan Lee di lounge sebuah hotel berbintang, untuk berbicara sesuatu mengenai masa depan. “Sudah aku bilang, Mas, kasusnya beda.” Geeta menyesap orange punchnya sebentar lalu kembali bersandar sembari bersedekap. “Mas Aries, selingkuh di belakangku, dan …” Geeta sengaja menjeda kalimatnya untuk menghela sejenak. “Apa Mas nggak curiga? Siapa tahu mereka berdua memang melakukannya atas dasar suka sama suka. Just my two cents, no offense.” Terang saja Lee menggeleng tidak setuju. “Jangan mengalihkan isu,” sanggahnya. “Coba pikirkan lagi, Geet. Bertahun-tahun kalian bersama, apa pernah Aries melakukan hal fatal seperti ini? Di mataku, Aries cuma seorang ambisius yang gila kerja.” Geeta terdiam, karena yang diucapkan Lee semua adalah benar. “We all make mistakes, Geet. Aku sekali pun, pernah melakukan kesalahan dengan Anita, juga Gemi. Tapi, mereka masih ngasih aku kesempatan untuk
“Dia masih nelpon?”Gemi membuang napas panjang dengan menggembungkan pipi, setelah mendengar pertanyaan yang dimuntahkan oleh Lee. Ia lantas mengangguk untuk menjawab pertanyaan itu.“Apa, kita nggak terlalu keras sama dia, Mas?” Gemi bertanya balik tanpa melepaskan tatapannya pada ponsel yang kini bergetar di genggaman.Satu nama itu kembali meneleponnya dan sampai sekarang, Gemi tidak pernah sekali pun mengangkatnya. Namun, Gemi selalu membalas seadanya jika pria itu bertanya mengenai putranya melalui chat.Lee juga ikut menghela ketika mendengar pertanyaan Gemi. Sebenarnya, di lubuk hati Lee yang paling dalam, ia juga tidak tega memperlakukan Aries seperti ini. Namun, di sisi lain, Lee juga merasa khawatir jika ia memberi izin pria itu untuk menemui putranya, karena status Aries yang diambar perceraian. Sebagai seorang suami, wajar jika Lee merasa cemburu dan cemas jika sepasang kekasih itu pada akhirnya kem
“Cobalah dipikirkan dulu,” bujuk Audi tengah membawa Arya yang tertidur dalam gendongannya. Cucu lelakinya itu baru saja menyesap ASI dan kembali terlelap puas setelah perutnya terisi. “Rumah di Jakarta itu besar, sayang kalau nggak ada yang nempatin. Gemi yang tengah tidur bertelentang lelah di karpet itu, belum menjawab. Ia sibuk menghela karena terlalu lelah mengurus Arya. Ternyata, menjadi ibu baru itu tidaklah mudah. Masih untung ada Audi dan asisten rumah tangga yang juga ikut membantunya. Jika tidak, Gemi mungkin akan benar-benar stres menghadapi semuanya. Sejak Abdi dan keluarga Asri kembali ke Jakarta lebih dulu, sang ibu kerap membujuk Gemi agar bisa pindah kembali ke ibukota. Namun, Gemi belum bisa memberi jawaban pasti akan hal tersebut. Banyak pertimbangan dan banyak pula yang harus ia pikirkan. “Sudah dibicarain sama suamimu belum, Gem?” Audi kembali membuka mulutnya ketika melihat sang putri hanya berdiam diri, sembari menatap langit-langit di
Setelah pertemuan yang menegangkan siang tadi dengan Aries, sampai saat ini Gemi masih merasa bersalah kepada pria itu. Gemi bukannya ingin memisahkan Aries dengan putranya, hanya saja, ada sebuah aib masa lalu yang harus ia tutup rapat untuk selamanya. Jika nanti Aries kerap mengunjungi Arya tanpa Geeta, keluarga besar Gemi perlahan akan curiga. Terlebih, jika nantinya wajah Arya ternyata punya kemiripan dengan Aries. Oh, tidak! Gemi saat ini hanya bisa berharap, kalau wajah putranya akan didominasi oleh wajahnya. “Ngapain, Gem?” tanya Lee yang baru saja keluar dari kamar mandi. Setelah pulang dari rumah sakit sehabis persalinan, Lee langsung menginap satu kamar dengan dengan Gemi, untuk menghindari kecurigaan Audi yang sudah berada di rumah terlebih dahulu. Selama itu juga, mereka sudah tidur satu ranjang tapi benar-benar tidak melakukan hal apapun. Hanya saling memberi kecupan selamat tidur, dan tidak berani untuk melangkah lebih jauh l
Aries segera berdiri dari tempatnya, ketika melihat Gemi dan Lee berjalan dengan bergandengan tangan memasuki restoran. Tadinya, ia berharap sangat, kalau Gemi akan membawa buah hati mereka ke restoran. Namun, dengan tidak adanya stroller bersama mereka, pupuslah sudah harapan Aries.“Kenapa jadi seperti ini,” protes Aries pada Lee dengan melayangkan tatapan tajam. Garis bibir yang menipis dan kedua tangan yang mengepal, menunjukkan bahwa Aries tengah kesal sepenuh jiwa. “Aku bahkan nggak dikabari sama sekali kalau anakku sudah lahir. Dan sekarang, kalian dengan seenaknya buat surat perjanjian kalau aku harus tutup mulut?”Lee menarik sebuah kursi untuk Gemi duduki terlebih dahulu. Bersikap tenang dan tidak ingin terbawa emosi. Setelah Gemi dan dirinya telah duduk, barulah Lee membuka suara. Menatap Aries yang masih berdiri dengan rahang mengeras.“Itu karena Geeta sudah mengajukan gugatan cerai dan aku nggak mau ambil resiko, Ar.&r