Lee yang tengah menikmati udara pagi di balkon seketika berbalik. Tergesa masuk karena mendengar panggilan dari Chandie. Gadis kecilnya itu terlihat baru saja keluar dari kamar mandi dan masih menggunakan pakaian yang dikenakannya tadi malam.
Semalaman, Lee tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia hanya sibuk membolak balikkan tubuhnya, dan akhirnya memutuskan untuk pindah di atas sofa. Lee khawatir, kalau pergerakannya akan membangunkan salah satu dari kedua wanita, yang tengah terlelap lelah di atas tempat tidur
“Kenapa Chan?” Manik Lee memendar untuk mencari sosok Gemi, dan langsung menebak kalau wanita itu, kini tengah berada di kamar mandi.
“Mama muntah,” jawab Chandie menghampiri Lee dan langsung menarik tangan sang papa agar mengikutinya ke dalam kamar mandi.
Di dalam sana, sudah terlihat Gemi tengah sibuk memuntahkan seluruh isi perutnya ke dalam wastafel. Satu tangannya sibuk menyingkap surai yang tergerai panjang, hingga Lee d
Dengan berlinang air mata, Chandie tidak ingin melepaskan satu tangannya yang mengalung pada leher Gemi. Gadis kecil itu menggeleng berkali-kali, ketika Lee membujuknya untuk masuk ke dalam ruang check in counter.“Mama ikut pulang juga,” isak Chandie yang sudah sesegukan sedari tadi. “Ayo, balik ke Jakarta.”Gemi yang sedari tadi berlutut, untuk menyamakan tingginya dengan Chandie pun mendongak menatap Lee. Menatap harap agar ikut memberikan penjelasan pada Chandie, kalau Gemi tidak bisa kembali ke Jakarta. Paling tidak, bukan saat ini.“Chandie …” Lee menghela berat dan ikut berjongkok di belakang Chandie, lalu mengusap punggung putrinya itu dengan lembut. “Mama masih kerja di sini, nanti kalau sudah selesai, baru Mama bisa pulang.”“Mama kapan selesainya?” lirih Chandie merebahkan kepalanya pada lengan yang mengalung pada leher Gemi. Masih terisak pilu dengan kunciran rambut yang
“Kalau orang lain yang datang, pasti sudah aku tolak karena ini sudah jam istirahatku dan kamu nggak buat janji sebelumnya.”Pras berujar datar sembari memasuki ruang perpustakaan di kediamannya. Tidak hanya nada bicaranya yang terdengar datar, tapi wajahnya pun tidak menampilkan ekspresi apapun. Ia menjatuhkan diri dengan helaan kecil, pada arm chair yang bersebelahan sisi dengan Lee.“Tarik Gemi dari Surabaya, pindahkan dia ke Jakarta,” pinta Lee ketika Pras sudah duduk santai di kursinya. Bagaimanapun juga, negosiasinya dengan Pras malam ini harus berhasil.Lee hari ini memang terlampau sibuk, karena baru menyelesaikan semua pekerjaannya sekitar pukul tujuh malam. Setelah sampai di Jakarta siang harinya dan mengantarkan Chandie pulang ke rumah, Lee langsung pergi untuk mengurus semua pekerjaan yang tertunda.Setelah semua rampung, Lee tidak ingin menunggu waktu hingga esok hari untuk bertemu Pras, guna membicarakan perihal
“Dan tolong jelaskan kenapa saya harus pindah? Kenapa saya harus kembali ke Jakarta, sedangkan rancangan kerja yang saya buat sudah disetujui?” Gemi menahan geramannya setengah mati, ketika tengah melakukan meeting on-line bersama Pras dan Harsa. Berkali-kali ia menarik napas dan membuangnya perlahan, sembari terus mengusap perutnya yang memang tidak terlihat terlalu besar, meski sudah memasuki usia lima bulan. “Pak Pras, perjanjian kita enam bulan sampai sampai oplah Metro Surabaya naik.” Gemi kembali mengatur napasnya agar tidak terlihat emosi di depan kedua atasannya itu. “Dan ini masih dua bulan berjalan, Pak. Kalau memang Bapak nggak cocok dengan kinerja saya, harusnya tegur saya dulu. Bicarakan dulu empat mata dengan saya, apa yang harus dikoreksi dan diperbaiki. jangan main tarik seperti ini.” “Gemi … Gem, bisa saya cut sebentar,” ucap dengan mengangkat tangan kanannya. Sedangkan Pras, terlihat hanya diam saja untuk mengamati. Bersandar santai
Senin pagi itu, Gemi sudah terlihat sibuk berpamitan pada ibu-ibu komplek, yang bergerombol mengerubungi tukang sayur yang berhenti tidak jauh dari rumahnya. Seluruh pakaian dan perlengkapan lainnya pun sudah tersusun rapi di dalam koper. Gemi hanya tinggal berangkat ke kantor, mengadakan rapat pagi sekaligus serah terima jabatan hari ini. Kabarnya, Lex lagilah yang akan hadir dalam serah jabatan dirinya pagi ini. Setelah itu, siang harinya Lex akan kembali ke Jakarta bersama Gemi. Setelah berpamitan, Gemi berdiri sebentar sembari memandangi rumah yang harus ditinggalkannya. Sepulang dari Surabaya, Gemi akan kembali ke apartemen kecilnya dan menjalani hidup seperti dahulu kala. Setelah puas memandangi rumah, sebuah klakson mobil yang berhenti di depan rumahnya, kontan saja mengagetkan Gemi. Ia berbalik dan mendapati Amir baru keluar dari mobil dan berdiri di balik pagarnya. “Sudah siap, Bu Gemi?” tanya Amir dengan sopan. Ia lalu menggeser pagar ketika
Tidak ada yang istimewa dalam serah terima jabatan CEO, sekaligus Pemimpin Redaksi Metro pagi. Hanya dihadiri oleh dewan direksi, manajer, serta beberapa pihak terkait sebagai perwakilan divisi. Sejauh mata memandang, yang berkumpul di ruang meeting saat ini hanyalah para karyawan Metro Surabaya yang sudah dikenalnya. Lantas, Gemi menyimpulkan kalau CEO baru nantinya juga berasal dari salah satu pihak dewan direksi. “Luri,” panggil Lex pada sekretaris direksi yang duduk tidak jauh darinya. “Kamu sudah pastikan kalau pak Aksan datang pagi ini?” “Sudah, Pak,” jawab Luri dengan anggukan, tapi wajahnya melukiskan keraguan. “Pak … Aksan cuma bilang, oke, waktu saya telpon tadi pagi.” Lex hanya membalas Luri dengan helaan panjang, karena sudah tahu bagaimana tabiat Aksan sedari dulu. Melihat gelagat Lex yang sedari tadi hanya menanyakan Aksan, Gemi pun menarik kursinya agar semakin mendekat pada Lex. Ia hanya tidak ingin orang lain mendengarkan apa
Gemi bergegas mencekal lengan Lee ketika acara serah terima jabatan pagi ini telah usai. Ada beberapa hal, yang harus segera ia jernihkan, hingga tidak ada rasa penasaran lagi di hati Gemi. “Mas, kita perlu bicara,” pinta Gemi nyaris berbisik dan ia melirik Lex sebentar seolah meminta persetujuan terlebih dahulu. Ketika Lex mengangguk samar, maka dari itu, berarti Gemi diberi waktu untuk membicarakan semuanya dengan Lee. Lee pun mengangguk. Tidak melanjutkan langkahnya untuk keluar dari ruang meeting seperti karyawan yang lain. Bertahan, hingga semua orang keluar dan hanya menyisakan mereka berdua saja di dalamnya. “Apa-apaan ini, Mas?” tanya Gemi seraya melangkah untuk menutup pintu ruang meeting. Ia tidak ingin pembicaraan mereka berdua sampai terdengar ke luar sana. Sampai detik ini, masih belum ada yang tahu kalau mereka adalah suami istri. “Kenapa aku curiga, kalau kepindahanku ke Jakarta, ada hubungannya dengan kamu ke Surabaya?” Lee menarik kur
Chandie mengangguk patuh, ketika mendengar semua nasehat yang katakan oleh Lee melalui video call. Sesekali bibir mungil yang sedari tadi hanya melempar senyum itu, terbuka untuk menjawab dengan kata, ‘iya’. Sementara itu, di belakang Chandie yang tengah duduk bersila, sudah ada Gemi yang sibuk mengepang rambut gadis kecil yang sudah terbagi dua. “Jadi, papa pulang sabtu paginya?” Chandie memastikan lagi kepulangan sang papa dari Surabaya. “Nggak jadi jumat malamnya?” “Iya,” jawab Lee dengan sabar dan terus memerhatikan kedua wanita yang kini sudah memenuhi hatinya dari seberang sana. “Maaf, ya. Kerjaan Papa banyak banget di sini. Jadi, harus diselesaikan dulu.” “Iya,” jawab Chandie sembari mengangguk paham. Paling tidak, setiap minggunya keluarga kecil yang dimiliki Chandie bisa berkumpul lagi. “Yang patuh sama Mama, ya,” pesan Lee sekali lagi pada putrinya. Setelah itu, manik Lee fokus memandang Gemi dengan wajah polos, tanpa riasan
Setelah membayar ongkos taksinya, Lee buru-buru keluar dan memasuki rumah sakit dengan tergesa. Sesekali ia melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan, berharap dirinya belum terlambat sama sekali. Napas Lee pun terbuang lega, ketika melihat Chandie yang berdiri sembari menggoyang-goyangkan tubuhnya dari jauh. Kedua tangan putrinya itu, terlihat tengah berpegangan pada seorang wanita yang sedang duduk di ruang tunggu. “Untung belum terlambat.” Napas Lee sedikit tersengal ketika berhenti di samping Gemi, yang tengah menunggu giliran untuk memeriksakan kehamilannya. Seperti ucapan Lee kala itu, ia benar-benar menemani Gemi untuk memeriksakan kandungannya. Kali ini pun Chandie merengek untuk ikut, meskipun sudah dilarang karena khawatir akan pulang terlalu malam. Ini pertama kalinya Chandie punya kesempatan untuk ikut memeriksa kehamilan Gemi, karena itulah gadis kecil itu bersikeras untuk ikut ke rumah sakit. Dari jauh hari, Lee sudah menyusun
"Haaahhhh …" Gemi langsung merebahkan diri pada karpet bulu yang terhampar di ruang tengah. Meregangkan tubuh lelahnya, kemudian melihat Lee, yang juga ikut merebahkan diri di sampingnya. "Aku capeeek," keluh Gemi lalu memiringkan tubuhnya untuk memeluk Lee. “Pijitin.” Lee lantas terkekeh kecil. Lalu mengangkat satu tangannya agar bisa digunakan Gemi sebagai bantal. “Plus-plus?” Tangan Gemi reflek menepuk dada Lee. “Nanti didenger anak-anak!” desisnya dengan manik yang melotot kesal. “Mereka ke mana semua, sih?” “Bentar juga keluar lagi, lihat aj—“ “Papaaa … nggak boleh deket-deket Mama!” Baru saja dibicarakan, gadis kecil berusia empat tahun itu kini berlari ke arah mereka. Tubuh mungil itu, langsung ikut merebahkan diri di tengah-tengah orang tuanya. Dengan sengaja menggeser tubuh sang mama yang menjadikan tangan papanya sebagai bantal. Lee hanya saling melempar tatapan dengan sang is
Lima bulan kemudian …. Chandie berlari secepat kilat, ketika melihat sebuah roda empat yang baru saja terparkir di depan pagar rumahnya. Sedari tadi, gadis kecil itu memang sudah mondar mandir di teras rumah dengan tidak sabar. “Mama … bunda Geeta sudah datang!” seru Chandie dengan kaki yang masih melompat-lompat kecil. “Kak—“ Ucapan Gemi terputus dengan helaan. Putrinya yang aktif itu langsung berbalik cepat, dan kembali berlari ke luar rumah. Sementara Lee, hanya menggeleng dan menyudahi sarapannya. “Barangnya anak-anak di mana?” tanyanya sembari berdiri dan mengusap kepala Arya yang tengah tengah duduk di high chair. “Tasnya Arya masih di kamar, Mas,” kata Gemi sambil masih menyuapi Arya. “Kalau punya Chandie sudah dibawa ke teras dari tadi pagi sama dia. Udah nggak sabar mau ke Batu.” Lee kembali menggeleng sambil berjalan ke kamar mereka, yang kini sudah pindah ke lantai dua. Dari kemarin, yang dibahas Chandie selalu
“Mama, kenapa dari tadi adek digendong sama tante Geeta?”Gemi yang tengah mengepang rambut Chandie di tepi ranjang, menatap Lee dengan mencebikkan bibir. Menahan tawa, karena melihat Chandie yang begitu gelisah ketika adiknya sedari tadi hanya bersama Geeta.Sejak Chandie bangun tidur, mandi, dan hari pun sudah berubah kelam, gadis kecil itu melihat sang adik selalu berada bersama Geeta. Arya hanya berada bersama Gemi ketika Geeta kembali ke kamarnya untuk mandi. Atau, ketika Arya tengah menangis karena lapar dan Gemi harus mengASIhi bayi mungilnya itu.“Karena tante Geeta sayang sama adek Arya,” jawab Gemi.“Tapi adek nggak dibawa pulang sama tante Geeta, kan?” tanya Chandie lagi.Lee dan Gemi kompak terkekeh bersamaan.“Tante Geeta cuma pinjem adek Arya sebentar,” jawab Gemi.“Terus kapan dibalikinnya?” Chandie tidak berhenti protes sampai semua pertanyaan yang
Geeta tertegun kaku, ketika melihat Gemi keluar dengan menggendong seorang bayi. Menghampirinya lalu duduk tepat di samping Geeta. “Namanya Arya Arkatama, umurnya baru satu bulan,” ujar Gemi lalu menyodorkan sang bayi ke arah Geeta. “Bunda Geeta nggak mau gendong?” Tangan Geeta seketika terlihat tremor. Saling menggenggam dan meremas, untuk menghilangkan rasa takjubnya. Ia masih terdiam dan belum menyambut bayi mungil itu dari tangan Gemi. Melihatnya saja, hati Geeta langsung terenyuh, dengan manik yang mulai mengembun haru. “Arya pengen digendong sama Bunda Geeta,” ungkap Gemi, kembali ingin menyentuh sisi keibuan Geeta lebih dalam lagi. Gemi paham, perbuatannya kali ini akan menimbulkan luka. Namun, hanya dengan luka inilah, mungkin Geeta akan berpikir dua kali untuk kembali rujuk dengan Aries. Bukankah mereka berdua sungguh mendambakan adanya seorang anak. Maka, sekarang adalah saat yang tepat bagi Gemi untuk memojokkan Geeta dengan i
Sesuai janji, Geeta kini sudah berada di Surabaya. Duduk berhadapan dengan Lee di lounge sebuah hotel berbintang, untuk berbicara sesuatu mengenai masa depan. “Sudah aku bilang, Mas, kasusnya beda.” Geeta menyesap orange punchnya sebentar lalu kembali bersandar sembari bersedekap. “Mas Aries, selingkuh di belakangku, dan …” Geeta sengaja menjeda kalimatnya untuk menghela sejenak. “Apa Mas nggak curiga? Siapa tahu mereka berdua memang melakukannya atas dasar suka sama suka. Just my two cents, no offense.” Terang saja Lee menggeleng tidak setuju. “Jangan mengalihkan isu,” sanggahnya. “Coba pikirkan lagi, Geet. Bertahun-tahun kalian bersama, apa pernah Aries melakukan hal fatal seperti ini? Di mataku, Aries cuma seorang ambisius yang gila kerja.” Geeta terdiam, karena yang diucapkan Lee semua adalah benar. “We all make mistakes, Geet. Aku sekali pun, pernah melakukan kesalahan dengan Anita, juga Gemi. Tapi, mereka masih ngasih aku kesempatan untuk
“Dia masih nelpon?”Gemi membuang napas panjang dengan menggembungkan pipi, setelah mendengar pertanyaan yang dimuntahkan oleh Lee. Ia lantas mengangguk untuk menjawab pertanyaan itu.“Apa, kita nggak terlalu keras sama dia, Mas?” Gemi bertanya balik tanpa melepaskan tatapannya pada ponsel yang kini bergetar di genggaman.Satu nama itu kembali meneleponnya dan sampai sekarang, Gemi tidak pernah sekali pun mengangkatnya. Namun, Gemi selalu membalas seadanya jika pria itu bertanya mengenai putranya melalui chat.Lee juga ikut menghela ketika mendengar pertanyaan Gemi. Sebenarnya, di lubuk hati Lee yang paling dalam, ia juga tidak tega memperlakukan Aries seperti ini. Namun, di sisi lain, Lee juga merasa khawatir jika ia memberi izin pria itu untuk menemui putranya, karena status Aries yang diambar perceraian. Sebagai seorang suami, wajar jika Lee merasa cemburu dan cemas jika sepasang kekasih itu pada akhirnya kem
“Cobalah dipikirkan dulu,” bujuk Audi tengah membawa Arya yang tertidur dalam gendongannya. Cucu lelakinya itu baru saja menyesap ASI dan kembali terlelap puas setelah perutnya terisi. “Rumah di Jakarta itu besar, sayang kalau nggak ada yang nempatin. Gemi yang tengah tidur bertelentang lelah di karpet itu, belum menjawab. Ia sibuk menghela karena terlalu lelah mengurus Arya. Ternyata, menjadi ibu baru itu tidaklah mudah. Masih untung ada Audi dan asisten rumah tangga yang juga ikut membantunya. Jika tidak, Gemi mungkin akan benar-benar stres menghadapi semuanya. Sejak Abdi dan keluarga Asri kembali ke Jakarta lebih dulu, sang ibu kerap membujuk Gemi agar bisa pindah kembali ke ibukota. Namun, Gemi belum bisa memberi jawaban pasti akan hal tersebut. Banyak pertimbangan dan banyak pula yang harus ia pikirkan. “Sudah dibicarain sama suamimu belum, Gem?” Audi kembali membuka mulutnya ketika melihat sang putri hanya berdiam diri, sembari menatap langit-langit di
Setelah pertemuan yang menegangkan siang tadi dengan Aries, sampai saat ini Gemi masih merasa bersalah kepada pria itu. Gemi bukannya ingin memisahkan Aries dengan putranya, hanya saja, ada sebuah aib masa lalu yang harus ia tutup rapat untuk selamanya. Jika nanti Aries kerap mengunjungi Arya tanpa Geeta, keluarga besar Gemi perlahan akan curiga. Terlebih, jika nantinya wajah Arya ternyata punya kemiripan dengan Aries. Oh, tidak! Gemi saat ini hanya bisa berharap, kalau wajah putranya akan didominasi oleh wajahnya. “Ngapain, Gem?” tanya Lee yang baru saja keluar dari kamar mandi. Setelah pulang dari rumah sakit sehabis persalinan, Lee langsung menginap satu kamar dengan dengan Gemi, untuk menghindari kecurigaan Audi yang sudah berada di rumah terlebih dahulu. Selama itu juga, mereka sudah tidur satu ranjang tapi benar-benar tidak melakukan hal apapun. Hanya saling memberi kecupan selamat tidur, dan tidak berani untuk melangkah lebih jauh l
Aries segera berdiri dari tempatnya, ketika melihat Gemi dan Lee berjalan dengan bergandengan tangan memasuki restoran. Tadinya, ia berharap sangat, kalau Gemi akan membawa buah hati mereka ke restoran. Namun, dengan tidak adanya stroller bersama mereka, pupuslah sudah harapan Aries.“Kenapa jadi seperti ini,” protes Aries pada Lee dengan melayangkan tatapan tajam. Garis bibir yang menipis dan kedua tangan yang mengepal, menunjukkan bahwa Aries tengah kesal sepenuh jiwa. “Aku bahkan nggak dikabari sama sekali kalau anakku sudah lahir. Dan sekarang, kalian dengan seenaknya buat surat perjanjian kalau aku harus tutup mulut?”Lee menarik sebuah kursi untuk Gemi duduki terlebih dahulu. Bersikap tenang dan tidak ingin terbawa emosi. Setelah Gemi dan dirinya telah duduk, barulah Lee membuka suara. Menatap Aries yang masih berdiri dengan rahang mengeras.“Itu karena Geeta sudah mengajukan gugatan cerai dan aku nggak mau ambil resiko, Ar.&r