Sudah sepuluh menit Gemi duduk tegak dan membisu. Pria yang masih sibuk menandatangani berkas di meja itu pun, masih setia untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sama sekali tidak mengajak Gemi berbicara, meskipun hanya berbasa-basi. Pria itu hanya mempersilahkannya duduk, dan setelah itu tidak lagi berbicara dengannya.
Gemi jadi berpikir, bagaimana kehidupan sang istri di rumah, selama menikah dengan pria seperti itu. Tapi sudahlah, untuk apa Gemi memikirkan rumah tangga orang lain, sedangkan, kehidupan pernikahannya saja sudah tidak berbentuk lagi.
Akhirnya, pria itu berdehem. Gemi melirik, dan mendapati Pras beranjak dari kursi kebesarannya. Dengan wajah datar nan arogan itu, Pras duduk pada arm chair yang berada di samping Gemi, menatap ke arahnya.
“Jadi, apa yang mau kamu sampaikan, Gemini Kamaniya?”
Gemi memutar sedikit tubuhnya untuk menatap Pras. “Tawaran Bapak waktu itu, apa masih berlaku? Apa, Pak Pras sudah dapat penggantinya?&rdqu
“Saya hamil.”Pras kembali mengetuk-ngetuk lengan kursinya untuk beberapa saat. Merangkai beberapa kejadian dan dugaan sementara yang tercipta dalam kepalanya. Gemi hamil, padahal usia pernikahannya baru beberapa hari berjalan. Serta, Gemi tidak ragu untuk pergi jauh ke Surabaya untuk menerima tawaran dari Pras.Itu berarti … Pras tidak ingin memuntahkan praduga tidak bersalahnya. Namun, tebakan kalau Gemi saat ini tengah hamil anak orang lain, sudah tersusun di benak Pras. Kalau tidak, mana mungkin Gemi berani mengambil tawarannya untuk pergi ke Surabaya. Pasti, ada sebuah kesepakatan yang dilakukan oleh Lee dan Gemi.Menarik!“Dan anak itu, bukan anak Lee.”Sungguh, Pras bukan seorang pria yang bisa berbasa basi. Pria itu langsung saja menebaknya di depan Gemi, tanpa mau repot-repot memedulikan perasaan wanita tersebut.Seketika tubuh Gemi menegang pias. Tidak pernah menduga kalau Pras akan menodongnya langsu
Sejak bangun tidur, gadis kecil itu selalu saja menempel pada Gemi, yang tengah sibuk mereview kembali semua penugasan yang masuk ke e-mailnya. Mulai hari ini, Gemi sudah mulai kembali melakukan rutinitasnya sebagai seorang jurnalis. Masa cuti yang lebih banyak dihabiskannya di apartemen, membuat Gemi lebih bersemangat untuk kembali ke lapangan untuk mengais berita. Wanita itu sangat berharap, kalau kehamilannya saat ini tidak akan menghambat semua kegiatannya di lapangan nanti. Gemi juga berharap, kalau sebulan ini akan dilaluinya dengan cepat, hingga ia bisa segera mengajukan surat pengunduran diri kepada perusahaan. “Mama …” panggil Chandie yang sudah merasa bosan. Gadis kecil itu duduk di samping Gemi sambil meletakkan wajah cantiknya itu di meja makan. “Yes, Chantik?” tanya Gemi sembari menahan mual yang tengah mengaduk-aduk perutnya. Gemi bisa, dirinya pasti bisa melewati semua keluhan, di awal semester kehamilannya pertamanya ini. “Kenapa, Mama
“Beeeh, Nyonya Arkatama akhirnya muncul juga,” sindir Lily yang baru saja mematikan seluruh perangkat komputernya. “Kirain mau memperpanjang cuti, lo, Gem.” “Heem, bulan depan deh, mau cuti selamanya dari Radar, biar, elo puaas!” balas Gemi yang memang tidak akan pernah sungkan jika berbicara dengan sang sekred yang bawel itu. Wanita itu terus saja melangkah menuju meja kerjanya yang ada di sudut ruang. “Ciee, yang mau jadi ibu rumah tangga. Full time mommy buat Chan-chan,” kekeh Lily sudah menyampirkan tasnya dan bersiap untuk pulang. “Belajar masak dulu, Gem,” lanjutnya masih saja terkekeh. “Bisaalaah,” jawab Gemi separuh berteriak, lalu duduk di kursi yang sudah sepuluh hari tidak ia tempati. “Masak aer!” Beberapa orang yang berada di ruang redaksi itu hanya terkekeh pelan, sembari terus memandang layar monitor masing-masing. Arca, pria single berusia 32 tahun, yang sama-sama berstatus redaktur madya dengan Gemi itu pun mendekat. Meraih kur
Di hari pertamanya kerja, malamnya Gemi sengaja pulang larut, meskipun ia tidak memiliki piket untuk memegang halaman hari ini. Memasuki pelataran kediaman Lee yang lumayan luas, dan memakirkan motor kesayangannya di carport.Gemi melakukan hal tersebut untuk menghindari Lee, maupun Chandie. Ia berharap, ketika sampai di rumah, Gemi bisa langsung merebahkan diri di kamar tanpa harus menyapa atau menjelaskan hal apapun dengan pemilik rumah.Gemi melihat lampu yang masih saja menyala. Ada kemungkinan, kalau Lee masih terjaga dan belum tertidur.Dengan amat perlahan Gemi membuka pintu dan menutupnya kembali, Berjalan pelan sembari menahan kantuk, dan hanya ingin merebahkan tubuh lelahnya di atas ranjang.“Mamaaa …”Dengan separuh kesadaran yang masih tersisa itu, Gemi mengerjab. Tersadar kalau saat ini ada seorang gadis kecil yang sudah memeluk tubuhnya.“Chan—die belum tidur?” Gemi mengusap wajahnya berulan
Lee tercengung, hanya terdiam ketika Gemi melewatinya menuju kamar mandi. Ada sebuah dilema ketika Gemi mengatakan akan menceraikannya bulan depan. Bukan … bukannya Lee tidak ingin menceraikan Gemi, tapi …“Kamu yakin, Gem?” tanya Lee masih berdiri di posisi yang sama.Tangan Gemi yang sudah terangkat untuk menyentuh gagang pintu kamar mandi itu pun, membatu sejenak. Membuang napas panjang lalu menolehkan kepalanya. Melihat punggung Lee yang bahkan tidak membalik tubuh untuk menatapnya.“Tolong jelaskan, kenapa aku harus ragu?” Gemi memuntahkan pertanyaannya tanpa gentar sedikit pun. Menurunkan tangannya sebentar lalu bersedekap menatap Lee yang masih membelakanginya. “Aku perempuan yang menganut paham feminisme, Mas. Jadi, aku nggak mau kamu hina dan kamu injak terus-terusan. Karena pada dasarnya, kita itu sama.”“Sama?” Lee berbalik menatap Gemi. Berusaha mempertahankan kewarasannya, agar tid
Di tengah-tengah sarapan pagi yang berlangsung seperti biasa. Yakni hanya ada ocehan dua wanita yang mendominasi. Gemi tiba-tiba membisu dan menegang sejenak. Perutnya benar-benar terasa bergejolak hebat. Memundurkan kursi dan berlari cepat menuju wastafel. Wanita itu memuntahkan semua sarapan yang baru beberapa saat lalu bersemayam di perutnya. Sari yang kebetulan berada di dapur, langsung menghampiri Gemi untuk membantu memijat tengkuk wanita itu. Sari juga membuka air kran agar memudahkan Gemi membasuh mulut serta wajahnya setelah selesai. “Nggak enak badan, ya, Bu?” tanya Sari, tapi tersenyum simpul sembari terus memberi pijatan di belakang leher sang majikan. “He’eh, Bik,” jawab Gemi lalu kembali memuntahkan isi perutnya. “Pusing juga, Bu?” Gemi hanya bisa mengangguk, untuk menanggapi ucapan Sari. Setelah dirasa tidak ada lagi yang hendak dimuntahkan, Gemi kemudian membasuh mulut serta wajahnya sekalian. “Mbak Chandie mau
Gemi membuang napas panjang, dengan pipi yang menggembung. Menatap sebuah gedung tiga lantai dengan tulisan Sagara Lexius Law Firm, dengan warna biru laut yang mendominasi.Minggu lalu, Lee sudah menyerahkan buku nikah kepada Gemi. Itu artinya, pria itu memang benar-benar ingin bercerai dari Gemi, tanpa ingin terkait sebuah rasa sama sekali. Meskipun, Gemi masih sering melihat pria itu, mencuri pandang padanya jika tengah berada di rumah.Sepertinya, di sinilah akhirnya. Gemi akan langsung menemui Lex dan hanya ingin semuanya terlaksana dengan singkat. Dari pada Gemi harus mengurus sendiri dan merepotkan diri, lebih baik memanfaatkan bantuan yang pernah ditawarkan Lex, atau lebih tepatnya bantuan dari Pras kala itu.Dengan memantapkan hati, Gemi berjalan tegap memasuki gedung tersebut. Berkali-kali membuang napas, untuk menetralkan degub jantung yang tiba-tiba berdetak cepat. Yah, Gemi gugup karena pada akhirnya keputusannya untuk menggugat cerai Lee sudah bulat
Ruang yang tadinya hanya terisi dengan tangis dan rengekan Chandie, kini berubah heboh dengan para wanita yang bertanya tentang kehamilan Gemi. Siapa lagi kalau bukan sang ibu dan ipar Gemi, yang baru saja datang untuk melihat Chandie.Terlebih-lebih Chandie. Gadis kecil itu sungguh sangat senang ketika mengetahui Gemi benar-benar hamil. Chandie yang selalu merasa kesepian di rumah, akhirnya sudah berkhayal akan memiliki teman yang bisa diajak main nantinya."Sudah berapa minggu? Kenapa nggak ngomong-ngomong sama Ibu?" tuntut Audi seraya mencubit gemas pipi putrinya."Empat minggu," jawab Gemi lalu menatap Lex dan pandangan mereka bersitatap penuh maksud.Lex yang telah paham akan kondisi Gemi, karena sudah diberitahu Pras sebelumnya, hanya membisu. Memilih tidak ikut campur dalam hal yang menurutnya sangat merepotkan.Sementara Lee, yang sedari tadi melihat Gemi dan Lex saling tatap itu, langsung memberi deheman tidak suka. Merasa curiga, kalau ke
"Haaahhhh …" Gemi langsung merebahkan diri pada karpet bulu yang terhampar di ruang tengah. Meregangkan tubuh lelahnya, kemudian melihat Lee, yang juga ikut merebahkan diri di sampingnya. "Aku capeeek," keluh Gemi lalu memiringkan tubuhnya untuk memeluk Lee. “Pijitin.” Lee lantas terkekeh kecil. Lalu mengangkat satu tangannya agar bisa digunakan Gemi sebagai bantal. “Plus-plus?” Tangan Gemi reflek menepuk dada Lee. “Nanti didenger anak-anak!” desisnya dengan manik yang melotot kesal. “Mereka ke mana semua, sih?” “Bentar juga keluar lagi, lihat aj—“ “Papaaa … nggak boleh deket-deket Mama!” Baru saja dibicarakan, gadis kecil berusia empat tahun itu kini berlari ke arah mereka. Tubuh mungil itu, langsung ikut merebahkan diri di tengah-tengah orang tuanya. Dengan sengaja menggeser tubuh sang mama yang menjadikan tangan papanya sebagai bantal. Lee hanya saling melempar tatapan dengan sang is
Lima bulan kemudian …. Chandie berlari secepat kilat, ketika melihat sebuah roda empat yang baru saja terparkir di depan pagar rumahnya. Sedari tadi, gadis kecil itu memang sudah mondar mandir di teras rumah dengan tidak sabar. “Mama … bunda Geeta sudah datang!” seru Chandie dengan kaki yang masih melompat-lompat kecil. “Kak—“ Ucapan Gemi terputus dengan helaan. Putrinya yang aktif itu langsung berbalik cepat, dan kembali berlari ke luar rumah. Sementara Lee, hanya menggeleng dan menyudahi sarapannya. “Barangnya anak-anak di mana?” tanyanya sembari berdiri dan mengusap kepala Arya yang tengah tengah duduk di high chair. “Tasnya Arya masih di kamar, Mas,” kata Gemi sambil masih menyuapi Arya. “Kalau punya Chandie sudah dibawa ke teras dari tadi pagi sama dia. Udah nggak sabar mau ke Batu.” Lee kembali menggeleng sambil berjalan ke kamar mereka, yang kini sudah pindah ke lantai dua. Dari kemarin, yang dibahas Chandie selalu
“Mama, kenapa dari tadi adek digendong sama tante Geeta?”Gemi yang tengah mengepang rambut Chandie di tepi ranjang, menatap Lee dengan mencebikkan bibir. Menahan tawa, karena melihat Chandie yang begitu gelisah ketika adiknya sedari tadi hanya bersama Geeta.Sejak Chandie bangun tidur, mandi, dan hari pun sudah berubah kelam, gadis kecil itu melihat sang adik selalu berada bersama Geeta. Arya hanya berada bersama Gemi ketika Geeta kembali ke kamarnya untuk mandi. Atau, ketika Arya tengah menangis karena lapar dan Gemi harus mengASIhi bayi mungilnya itu.“Karena tante Geeta sayang sama adek Arya,” jawab Gemi.“Tapi adek nggak dibawa pulang sama tante Geeta, kan?” tanya Chandie lagi.Lee dan Gemi kompak terkekeh bersamaan.“Tante Geeta cuma pinjem adek Arya sebentar,” jawab Gemi.“Terus kapan dibalikinnya?” Chandie tidak berhenti protes sampai semua pertanyaan yang
Geeta tertegun kaku, ketika melihat Gemi keluar dengan menggendong seorang bayi. Menghampirinya lalu duduk tepat di samping Geeta. “Namanya Arya Arkatama, umurnya baru satu bulan,” ujar Gemi lalu menyodorkan sang bayi ke arah Geeta. “Bunda Geeta nggak mau gendong?” Tangan Geeta seketika terlihat tremor. Saling menggenggam dan meremas, untuk menghilangkan rasa takjubnya. Ia masih terdiam dan belum menyambut bayi mungil itu dari tangan Gemi. Melihatnya saja, hati Geeta langsung terenyuh, dengan manik yang mulai mengembun haru. “Arya pengen digendong sama Bunda Geeta,” ungkap Gemi, kembali ingin menyentuh sisi keibuan Geeta lebih dalam lagi. Gemi paham, perbuatannya kali ini akan menimbulkan luka. Namun, hanya dengan luka inilah, mungkin Geeta akan berpikir dua kali untuk kembali rujuk dengan Aries. Bukankah mereka berdua sungguh mendambakan adanya seorang anak. Maka, sekarang adalah saat yang tepat bagi Gemi untuk memojokkan Geeta dengan i
Sesuai janji, Geeta kini sudah berada di Surabaya. Duduk berhadapan dengan Lee di lounge sebuah hotel berbintang, untuk berbicara sesuatu mengenai masa depan. “Sudah aku bilang, Mas, kasusnya beda.” Geeta menyesap orange punchnya sebentar lalu kembali bersandar sembari bersedekap. “Mas Aries, selingkuh di belakangku, dan …” Geeta sengaja menjeda kalimatnya untuk menghela sejenak. “Apa Mas nggak curiga? Siapa tahu mereka berdua memang melakukannya atas dasar suka sama suka. Just my two cents, no offense.” Terang saja Lee menggeleng tidak setuju. “Jangan mengalihkan isu,” sanggahnya. “Coba pikirkan lagi, Geet. Bertahun-tahun kalian bersama, apa pernah Aries melakukan hal fatal seperti ini? Di mataku, Aries cuma seorang ambisius yang gila kerja.” Geeta terdiam, karena yang diucapkan Lee semua adalah benar. “We all make mistakes, Geet. Aku sekali pun, pernah melakukan kesalahan dengan Anita, juga Gemi. Tapi, mereka masih ngasih aku kesempatan untuk
“Dia masih nelpon?”Gemi membuang napas panjang dengan menggembungkan pipi, setelah mendengar pertanyaan yang dimuntahkan oleh Lee. Ia lantas mengangguk untuk menjawab pertanyaan itu.“Apa, kita nggak terlalu keras sama dia, Mas?” Gemi bertanya balik tanpa melepaskan tatapannya pada ponsel yang kini bergetar di genggaman.Satu nama itu kembali meneleponnya dan sampai sekarang, Gemi tidak pernah sekali pun mengangkatnya. Namun, Gemi selalu membalas seadanya jika pria itu bertanya mengenai putranya melalui chat.Lee juga ikut menghela ketika mendengar pertanyaan Gemi. Sebenarnya, di lubuk hati Lee yang paling dalam, ia juga tidak tega memperlakukan Aries seperti ini. Namun, di sisi lain, Lee juga merasa khawatir jika ia memberi izin pria itu untuk menemui putranya, karena status Aries yang diambar perceraian. Sebagai seorang suami, wajar jika Lee merasa cemburu dan cemas jika sepasang kekasih itu pada akhirnya kem
“Cobalah dipikirkan dulu,” bujuk Audi tengah membawa Arya yang tertidur dalam gendongannya. Cucu lelakinya itu baru saja menyesap ASI dan kembali terlelap puas setelah perutnya terisi. “Rumah di Jakarta itu besar, sayang kalau nggak ada yang nempatin. Gemi yang tengah tidur bertelentang lelah di karpet itu, belum menjawab. Ia sibuk menghela karena terlalu lelah mengurus Arya. Ternyata, menjadi ibu baru itu tidaklah mudah. Masih untung ada Audi dan asisten rumah tangga yang juga ikut membantunya. Jika tidak, Gemi mungkin akan benar-benar stres menghadapi semuanya. Sejak Abdi dan keluarga Asri kembali ke Jakarta lebih dulu, sang ibu kerap membujuk Gemi agar bisa pindah kembali ke ibukota. Namun, Gemi belum bisa memberi jawaban pasti akan hal tersebut. Banyak pertimbangan dan banyak pula yang harus ia pikirkan. “Sudah dibicarain sama suamimu belum, Gem?” Audi kembali membuka mulutnya ketika melihat sang putri hanya berdiam diri, sembari menatap langit-langit di
Setelah pertemuan yang menegangkan siang tadi dengan Aries, sampai saat ini Gemi masih merasa bersalah kepada pria itu. Gemi bukannya ingin memisahkan Aries dengan putranya, hanya saja, ada sebuah aib masa lalu yang harus ia tutup rapat untuk selamanya. Jika nanti Aries kerap mengunjungi Arya tanpa Geeta, keluarga besar Gemi perlahan akan curiga. Terlebih, jika nantinya wajah Arya ternyata punya kemiripan dengan Aries. Oh, tidak! Gemi saat ini hanya bisa berharap, kalau wajah putranya akan didominasi oleh wajahnya. “Ngapain, Gem?” tanya Lee yang baru saja keluar dari kamar mandi. Setelah pulang dari rumah sakit sehabis persalinan, Lee langsung menginap satu kamar dengan dengan Gemi, untuk menghindari kecurigaan Audi yang sudah berada di rumah terlebih dahulu. Selama itu juga, mereka sudah tidur satu ranjang tapi benar-benar tidak melakukan hal apapun. Hanya saling memberi kecupan selamat tidur, dan tidak berani untuk melangkah lebih jauh l
Aries segera berdiri dari tempatnya, ketika melihat Gemi dan Lee berjalan dengan bergandengan tangan memasuki restoran. Tadinya, ia berharap sangat, kalau Gemi akan membawa buah hati mereka ke restoran. Namun, dengan tidak adanya stroller bersama mereka, pupuslah sudah harapan Aries.“Kenapa jadi seperti ini,” protes Aries pada Lee dengan melayangkan tatapan tajam. Garis bibir yang menipis dan kedua tangan yang mengepal, menunjukkan bahwa Aries tengah kesal sepenuh jiwa. “Aku bahkan nggak dikabari sama sekali kalau anakku sudah lahir. Dan sekarang, kalian dengan seenaknya buat surat perjanjian kalau aku harus tutup mulut?”Lee menarik sebuah kursi untuk Gemi duduki terlebih dahulu. Bersikap tenang dan tidak ingin terbawa emosi. Setelah Gemi dan dirinya telah duduk, barulah Lee membuka suara. Menatap Aries yang masih berdiri dengan rahang mengeras.“Itu karena Geeta sudah mengajukan gugatan cerai dan aku nggak mau ambil resiko, Ar.&r