"Heh, kamu … sini!"Mutia mendekati mobil yang terparkir di bahu jalan. Seorang wanita cantik memanggilnya untuk datang."Siapa itu, Mut?" tanya Bu Idah pada anaknya."Masa Ibu gak ngenalin? Dia itu Valerie, mantannya Bastian.""Oalah. Lebih cantik aslinya ya ketimbang di TV. Kalah jauh tuh si gadis desa."Mutia dan Bu Idah lantas mendekati Valerie. Mereka tak sengaja bertemu saat Mutia sedang membeli makan di warung tepi jalan. Tempatnya masih dekat dengan toko dan rumah keluarga Embun."Iya, Kak. Ada apa?"Mereka bertiga berbicara di pinggir jalan. Valerie masih anteng duduk di dalam mobil, sedangkan Mutia dan ibunya berdiri di samping mobil mewah itu. Mereka hanya terhalang kaca mobil yang belum sepenuhnya terbuka."Kamu pegawai toko Pak Salim, 'kan? Siapa namamu? Aku lupa." Valerie bertanya dengan nada yang sedikit ketus. Tapi Mutia tak merasa tersinggung sama sekali."Aku sudah gak kerja di sana lagi, Kak. Aku sudah dipecat," ucap Mutia."Permisi, Mbak. Apa gak sebaiknya kita ngo
Dua bulan berlaluBesok adalah hari istimewa bagi Laras dan Bastian. Mereka telah setuju untuk bersatu dan hubungannya akan diresmikan esok hari. Acaranya terbilang sederhana. Tak perlu menyewa gedung untuk pesta pernikahan. Semua ini atas keinginan Laras dan Bastian. Mereka ingin menikah di rumah dengan mengundang kerabat dekat serta para pegawai toko. Para supir angkot serta penghuni kos dekat rumah mereka juga dipersilahkan untuk datang dan memeriahkan acara."Biar aku aja yang belanja, Mbak," usul Laras.Sebenarnya keluarga Embun telah memesan catering untuk acara esok, tapi mereka ingin membuat masakan tambahan untuk lauk pelengkap. Hanya satu macam lauk yaitu ayam betutu khas Bali. Kebetulan Embun dan Laras lagi senang-senangnya memasak makanan itu. "Loh, jangan kamu lah yang belanja. Kamu diam saja di rumah! Calon pengantin gak boleh kemana-mana." Embun menolak tawaran Laras."Nanti biar Mbak sendiri yang belanja. Atau Mbak minta tolong Bi Darmi buat belanja," ucap Embun pada
"Gara-gara kamu nih, kita jadi nyasar sampai sini. Bentar lagi gelap, nih. Yuk pulang! Di sini seram!" Anton menaruh kucingnya di keranjang depan. Dia lantas mengayuh sepedanya meninggalkan komplek perumahan kosong itu.Jalanan di komplek ini terasa mencekam. Hanya ada dua pemulung yang sempat berpapasan dengan Anton. Selebihnya, semuanya terlihat sepi. Senyap. Menyeramkan."Tolong!! Tolong!!!"Di sisi lain, Laras terus berusaha mempertahankan kesuciannya dari manusia kotor seperti Sapto. Pakaiannya telah koyak. Rambutnya berantakan karena terus dijambak oleh Sapto. "Tolong!!! Tolong!!!"Teriakannya mulai melemah. Tenaganya habis terkuras. Sekuat apapun dia mencoba melarikan diri, Sapto masih bisa mengejarnya. Dan kini, Laras sudah berada dalam dekapannya."Ha ha ha. Akhirnya kamu menyerah juga, Sayang. Capek kan dari tadi main lari-larian? Sini! Sekarang tidur bersamaku!""Tolong jangan sakiti aku! Jangan renggut kesucianku!" Laras memohon sambil berlinangan air mata. Hari sudah mul
"Nah … ini Sapto.""Darimana saja kamu, To? Kepalamu kenapa diperban gitu? Trus Laras mana?"Embun terus menembakkan banyak pertanyaan pada sosok Sapto yang kepalanya tengah diperban.Setelah kepergian Laras dan Anton, Sapto ditolong oleh dua orang pemulung yang lewat di komplek sepi itu. Mereka membantu Sapto dan membawa pria itu ke klinik terdekat. Setelah kepalanya mendapat tiga jahitan, tanpa memikirkan rasa sakitnya, Sapto lantas pergi ke rumah Embun. Awalnya dia hanya ingin tahu perkembangan kasusnya. Apakah Laras sudah pulang dan melaporkannya ke polisi? Kenyataannya, Laras justru belum pulang ke rumahnya hingga Embun dan keluarganya panik mencari-cari keberadaan gadis itu."Ma … maaf, Bu. Laras kabur bersama pria lain. Luka di kepalaku ini akibat pukulan pria itu," ucap Sapto, tak sepenuhnya berkata jujur."Apa?" Semua orang terlihat tegang. Mereka tak bisa sepenuhnya percaya akan perkataan Sapto. Tapi mereka mencoba mengulik kesaksian lagi dari mantan pegawainya itu."Memangn
Pesta pernikahan tetap digelar. Namun pengantinnya bukanlah Bastian dan Laras, melainkan Iwan dan kekasihnya. Ini merupakan usulan dari Bastian sendiri."Tetap laksanakan, Mbak," ucap Bastian tadi malam. Pria itu sama sekali tak bersedih apalagi menangis saat dirinya tahu kalau Laras tak ingin menjadi pasangannya. "Lalu, kamu mau menikah dengan siapa, Bas? Pernikahan itu bukan mainan. Kamu gak bisa seenaknya mengambil anak gadis orang lain hanya untuk dijadikan pengganti Laras," ucap Bu Nadine."Bukankah Mama dan Mbak Embun juga seenaknya menjodohkanku dengan Laras tanpa mau mendengar pendapatku?"Embun dan Bu Nadine seketika terdiam. Selama ini mereka begitu kekeuh menjodohkan Laras dengan Bastian. Setiap hari mereka terus mencekoki Bastian dengan pujian tentang Laras.Sebenarnya, Bastian belum siap untuk menikah. Apalagi setelah hubungannya dengan Valerie kandas dengan cara yang tidak baik. Enggan rasanya bagi Bastian untuk memulai hidup baru secepat ini. Dia selalu dibayangi ketak
Embun dan keluarganya mengantar Bastian ke tempat tujuan. Ternyata, pondok pengobatan alternatif itu terletak di sebuah desa yang cukup asri dengan hamparan sawah membentang memanjakan mata."Aku kira tempatnya di perkotaan, soalnya Bastian sempet bilang di kota sebelah," ucap Bumi setelah melihat suasana di desa itu."Bagus suasananya. Bastian pasti betah tinggal di sini," timpal Embun.Desa yang berjarak 102 km dari kota tempat tinggal Embun, nampak indah dan menenangkan jiwa. Mereka memerlukan waktu 3 jam lebih untuk sampai di sana. Akses jalannya tergolong baik jika dibandingkan desa tempat tinggal Laras. Mereka tak perlu berjalan kaki terlalu lama karena sebagian besar jalan di desa itu lebar dan sudah diaspal. "Ini tempatnya, Wan?" Bumi bertanya pada Iwan, si pemandu."Iya, Pak. Masuk saja ke dalam."Rombongan Embun yang terdiri dari dua mobil kini telah sampai ke rumah sederhana namun di sampingnya terdapat bangunan berjajar mirip kos. Halaman depan juga tergolong luas dan ban
"Kamu gila, Lan?"Valerie kaget saat melihat villa untuk bulan madunya bersama Alan, kini dipenuhi oleh teman-teman Alan."Kenapa memangnya? Kamu gak suka kalau teman-temanku ikut berlibur? Lagipula, tiket bulan madu ini kan hadiah dari orang tuaku," ucap Alan enteng."Tapi, Lan. Ini gak hanya sekedar liburan. Kita mau bulan madu. Masa iya harus diganggu juga oleh teman-temanmu?" Valerie masih tak terima.Alan tak peduli dengan protes sang istri. Dia memilih bergabung dengan teman-temannya yang sedari tadi sudah memanggil-manggilnya. Iya. Sebenarnya Alan belum siap untuk menikah. Dia memang menyukai Valerie dan ingin memilikinya, tapi jiwa bebas masih menguasai dirinya. Dia tak ingin hidupnya berubah dan terkekang oleh aturan rumah tangga. Alan masih ingin bersenang-senang seperti biasa. Hari-hari diwarnai dengan pesta dan nongkrong-nongkrong dengan teman-temannya. Di sisi lain, Valerie yang sedang dongkol, memilih pergi ke kamarnya dan membiarkan Alan berkumpul dengan yang lainnya.
"Bangun, bangun! Sudah siang. Kok doyan banget tidur sampai siang. Anak dan Ibu sama saja."Mutia mengerjapkan matanya. Dia kaget saat mendapati ibu pemilik kontrakan telah berada di dalam rumahnya."Loh, kok Ibu bisa masuk?" tanya Mutia."Bisa masuk, bisa masuk. Ini kan rumah saya. Kalian cuma ngontrak di sini. Cepet bangun!" Bu Tami memaksa Mutia dan ibunya bangun dari tidurnya."Lihat jam di dinding. Ini sudah jam 10 Mutia ... Bu Idah. Kalian masih tidur saja?""Terserah kami dong, Bu. Kenapa Ibu ganggu, sih?" Bu Idah tak suka tidurnya diganggu."Apa kamu bilang? Berani bentak saya? Sekarang cepat pergi dari rumah saya!"Mutia dan ibunya terkejut. Kenapa tiba-tiba pemilik kontrakan mengusir mereka?"Loh, apa-apaan ini, Bu? Kenapa Ibu ngusir kami?" tanya Bu Idah."Heh, kalian lupa? Kalian sudah nunggak selama 2 bulan. Sekarang pergi dari rumahku!"Setelah diingat-ingat, ternyata benar kalau Mutia sudah menunggak uang kontrakan selama dua bulan. Sejak dipecat dari toko Pak Salim, dia
“Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia
“Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat
“Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala
Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“
“Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me
(Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus
“Bisa dibawa jalan-jalan di taman klinik, ya, Bu! Biar bukaan-nya cepat bertambah,” ucap Bu Bidan pada Laras.Pasalnya sejak tadi pagi, Laras sudah mengalami kontraksi. Ketika dicek oleh tenaga medis, ternyata Laras sudah mengalami bukaan 2. Tapi hingga sore ini, bukaan-nya tak kunjung bertambah. Oleh karena itu, Bu Bidan menyuruh Laras berjalan-jalan santai di taman klinik.“Baik, Bu.” Anton lantas menggandeng tangan sang istri menuju taman klinik. Mereka melakukan apa yang dianjurkan oleh Bidan.“Gimana, Ras? Apa kata Bidan? Apa kata dokter?"Embun dan Bumi yang baru saja datang ke klinik itu langsung memberi pertanyaan pada sang adik. Tapi Laras hanya menggeleng sedih sembari menahan sakit. Dia menyerahkan semuanya pada sang suami untuk menjelaskan pada kakak-kakaknya.“Ooh begitu. Semoga dilancarkan, ya. Adik bisa lahir dengan selamat dan normal,” ucap Embun yang kemudian diamini oleh yang lainnya.“Kamu gak mau makan dulu, Ras? Mbak udah beliin bubur kacang ijo kesukaan kamu.”L
“Maafin aku, Kak … Aku yang salah.”Laras bersimpuh di kaki sang kakak sulung, Bella. Ia sudah keluar dari rumah sakit dan sudah mengetahui kabar tentang kepergian sang Ibu.“Harusnya aku melarang Ibu untuk ikut pergi, Kak. Kalau Ibu gak ikut, pasti aku yang tiada, bukan Ibu.”Laras menangis sejadi-jadinya sambil memohon ampun. Di sisi lain, Bella juga menangis namun tetap duduk diam. Dia belum mampu menenangkan sang adik, karena hatinya sendiri masih patah.“Sudah lah, Laras! Bangun, Dek! Ini bukan salah kamu.”Bumi memeluk sang adik dan menenangkannya. “Semua orang di sini merasa sedih. Tapi tak ada satupun yang menyalahkanmu, Dek. Ini semua sudah takdir. Yang terpenting sekarang, kita hanya bisa mengirimkan doa untuk Ibu. Agar beliau tenang di sana.”Bumi merangkul Laras sembari terus membelai rambut sang adik bungsu. Namun tiba-tiba, Bella bangun dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan semua orang yang ada di ruang tamu.“Kak … Itu Kak Bella pasti masih marah.” L
“Mbak kok masih di luar? Ayo kita masuk ke dalam! Ini udah malam!” ajak Bumi pada sang kakak.Tadi siang, je-na-zah Bu Retno baru saja disemayamkan. Semua orang kini masih berkumpul di rumah keluarga besar Pak Salim. Terkecuali Laras dan Anton. Ya, mereka berdua masih berada di rumah sakit karena kondisi Laras yang belum memungkinkan untuk diajak pulang. Wanita itu juga belum diberi tahu tentang kabar duka ini. Semua keluarga sepakat menyembunyikan kabar ini sampai kondisi Laras kembali pulih.“Sini duduk dulu, Mi!” Bella menyuruh sang adik duduk di sampingnya. Bumi pun menurut.“Ada apa, Mbak?”Bumi memandang wajah sang kakak yang kini nampak lesu. Bahkan matanya masih terlihat bengkak dan sembab karena terus menangis.“Mbak udah makan?”“Nanti aja, Mi! Gampang itu. Temani Mbak dulu di sini!”“Aku ambil makanan dulu, ya. Nanti aku suapin Mbak di sini.”“Gak usah! Kamu duduk aja di sini!”Bumi pun tak melanjutkan ucapannya dan memilih duduk diam di samping sang kakak. Sejenak, suasana