“Kirana.” Gavin memanggil, ketika wanita itu sudah berada di luar toko. Sementara Jono, sedang menutup pintu harmonika yang berada di belakang Kirana.Gavin sengaja datang menemui Kirana di jam-jam toko akan tutup, agar pembicaraan mereka nantinya tidak terjeda dengan kedatangan pembeli.“Mau apa lagi?” Kirana memutar malas bola matanya dan bertolak pinggang di teras toko. Memandang Gavin yang berdiri lebih rendah dari posisinya. “Bukannya aku sudah—”“Aku mau bicara tentang anak kita.”Jono dan Yani sontak saling melempar pandangan penuh tanda tanya. Mereka terdiam dengan posisi masing-masing. Jono berhenti mendorong pintu, sementara Yani hanya bengong di belakang Kirana.“Papanya neng Nila hidup lagi, Bu?” celetuk Yani pelan, tanpa berpikir panjang.Kirana menghela dan menggeleng saat menatap Yani. “Udah pulang sana, keburu hujan,” ujarnya tanpa mau membahas celetukan karyawan wanitanya.“Aku sudah izinin kamu datang sabtu sore,” ucap Kirana sambil menuruni dua tangga teras ruko unt
“Ini baru jam tiga,” protes Kirana saat baru membuka pintu dan melihat Gavin tersenyum di luar sana. “Mereka datang jam empat.”“Siapa tahu kamu butuh bantuan,” ucap Gavin lalu sedikit bergeser ke samping. “Aku juga bawa ... kue apa namanya, Us?”“Kue nampan, Pak,” jawab Darius yang sedang membawa beberapa boks makanan di tangannya. “Bapak juga beli cupcakes, roll cakes, sama dessert box. Jadi, bisa ditaruh di mana, Bu?”“Yan,” panggil Kirana buru-buru membantu Darius yang tampak kesusahan membawa beberapa boks sekaligus. Bahkan, tumpukan boks yang dibawanya hampir menutupi separuh dari wajahnya. “Tolong saya sebentar.”Sambil mengambil dua boks teratas yang dibawa Darius, Kirana menatap tajam pada Gavin. “Kenapa diam aja? Nggak bantu bawa?”Gavin menunjuk Darius tanpa rasa bersalah. “Dia bilang bisa bawa sendiri dan nggak butuh bantuan.”“Iya, Bu,” sambar Darius terburu. “Boksnya ringan-ringan semua. Nggak ada yang berat.”Yani yang sejak pagi sudah datang dan membantu Kirana, dengan
“Ini buat Mila,” ucap Kirana setelah mengikat sebuah kantung plastik hitam di meja makan.Kunyahan Gavin sontak memelan. Tampaknya, Kirana sudah mengetahui identitas asli Mila. Namun, Gavin yakin jika Kirana mengetahuinya bukan dari putrinya, karena Mila belum bertemu kembali dengan wanita itu.“Kamu ... sudah tahu Mila?”“Hm,” jawab Kirana dengan gumaman malas. “Dah pulang sana.”“Aku pulang ikut Djiwa,” ujar Gavin sambil menunjuk pria yang tengah duduk melantai dengan Nila, dengan meja tamu sebagai pembatasnya. “Karena dia masih di sini, jadi aku juga masih di sini.”Kirana memutar malas bola matanya. “Terserah.”“Kirana.” Gavin segera memanggil untuk mencegah Kirana pergi dari dapur. Semua orang sudah pergi dan hanya menyisakan mereka berempat di unit tersebut. “Aku mau minta maaf kalau Mila sempat merepotkan. Dia cuma ... butuh sosok seorang ibu.”Kirana enggan mendengar cerita Gavin yang mungkin hanya ingin mencari belas kasihannya. “Aku mau ke kamar dan—”“Lima menit,” pinta Gav
“Kita sudah sampai, Pak,” ucap Djiwa memberitahu untuk yang kedua kali, setelah mobilnya berhenti di depan rumah Gavin.“Saya tahu,” ujar Gavin masih diam bersedekap dan berpikir.Sejak mengetahui sebuah rahasia tentang Kirana, benaknya terus dipenuhi dengan banyak hal. Banyak emosi yang menumpuk di hatinya, tetapi Gavin tidak bisa menjabarkannya.“Menurutmu, Dji, kenapa bu Kirana memilih untuk nggak pernah menikah sama sekali.”Djiwa menatap pagar rumah Gavin yang masih tertutup, sambil memijat tengkuknya. Sepertinya, perjalanannya ke rumah akan semakin lama. “Mungkin—”“Mungkin dia trauma dengan laki-laki?” sela Gavin menatap tanya dengan tegas pada Djiwa.“Bisa—”“Atau mungkin dia sebenarnya masih cinta sama saya?” potong Gavin lagi.“Kalau i—”“Atau, dia nggak mau nikah karena khawatir suaminya nanti nggak bisa nerima Nila?” Gavin kembali memotong karena ada beberapa hal yang tidak bisa ia pastikan.“Kenapa tadi nggak langsung Bapak tanyakan ke bu Kirana?” Djiwa melepas sabuk penga
“Untuk venue sudah dapat,” ujar Gavin mengambil stabilo yang tergeletak di meja makan, lalu mencoret nama tersebut dari daftar yang dibuat Nila. “Saya sudah hubungi dirut hotelnya langsung. Kita tinggal konfirmasi jumlah tamu dan kalian mau nginap berapa hari di sana?”“Dua malam,” kata Djiwa dengan yakin. “Biar nggak terlalu capek kalau langsung berangkat ke Lombok.”“Bulan madu di sana?” tanya Gavin memastikan. “Berapa hari?”“Lima hari empat malam,” jawab Djiwa sambil menerima segelas kopi dari Nila. “Terima kasih,” ucapnya lalu segera menyeruput kopi buatan Nila.“Bapak beneran, nggak mau dibuatin kopi?” tanya Nila masih berdiri di sisi meja makan.“Nggak usah,” tolak Gavin melirik pada Kirana dan Mila yang sedang bicara di depan televisi. Keduanya terlihat akrab dan Gavin iri melihatnya. “Saya sudah minum kopi tadi pagi,” ujarnya pelan sembari menunjuk ke Kirana. “Ibumu ... apa selama ini nggak ada yang dekatin?”Nila melihat Kirana sekilas dan duduk, sembari menahan tawanya untu
“Aku nggak tahu kalau kamu, ya, Mbak.” Mila mengintip interaksi Kirana dan Gavin dari sisi ruangan yang berbeda. Tidak hanya dirinya, tetapi Nila pun melakukan hal yang sama. “Tapi, aku pengen nyatuin mereka, terlepas apa pun yang pernah terjadi di masa lalu. Tapinya lagi, tante Kirana kayaknya udah mati rasa sama papa. Coba lihat!”“Hm, aku lihat,” ucap Nila sambil mengangguk. Dengan wajah masamnya, Kirana terlihat pindah duduk dengan cepat di tempat duduk Nila. “Tapi, mamaku itu emang suka galak kalau dideketin cowok. Jadi nggak cuma pak Gavin aja. Makanya, kayaknya papamu butuh effort lebih kalau balikan sama mamaku.”“Jadi ...” Mila menatap Nila sambil menggigit bibirnya sesaat. “Kamu setuju kalau papaku sama mamamu jadian?”“Setuju-setuju aja,” jawab Nila dengan anggukan. “Aku orangnya nggak bisa nyimpan marah dan dendam lama-lama. Jadi, walau aku pernah semarah itu sama papamu, tapi ... ya, udahlah. Semua orang pasti pernah berbuat salah dan berhak dapat kesempatan kedua.Mila m
“Kirana, maaf. Aku kira Nila sudah cerita semuanya.”Sambil mengusap air mata dengan tisu yang diberi Gavin, Kirana menggeleng dan tersenyum miris. “Nggak papa. Bukan salahmu.”Jika berada di posisi Nila, sepertinya Kirana juga akan melakukan hal yang sama. Ia tidak ingin orang tuanya tahu, jika ibu dari kekasihnya telah menolaknya dengan ucapan yang tidak semestinya. Sebagaimana Nila yang menjaga perasaannya, maka Kirana juga akan menjaga perasaan orang tuanya agar tidak terluka.“Aku cuma ... maaf, aku bikin sampah,” ujar Kirana kembali mengambil tisu di pangkuan. Hatinya benar-benar sakit, mengingat putrinya direndahkan sedemikian rupa oleh orang tua Arif. Kirana tidak menyalahkan Arif, karena ia melihat bagaimana tulusnya pria itu pada Nila. Namun, sikap keluarganyalah yang membuat Kirana terluka. “Jangan pikirkan itu.” Gavin berbalik dan mengambil tempat sampah kecil yang berada di belakang kotak konsol, lalu memberikan pada Kirana. Ia sampai menepikan mobil, ketika melihat Kira
“Mbak, maaf. Kalau Mbak nggak diet, bisa-bisa minggu depan kebayanya nggak muat.”Atika yang mendengar celetukan tersebut, langsung keluar dari ruang ganti sambil mengancing kebayanya.“Betul, kan, saya bilang tadi,” ujarnya menghampiri Nila lalu mencubit-cubit pipi yang memang mulai terlihat bulat. “Kamu itu agak bulet dari terakhir kita ketemu.”“Mama juga sudah bilang, kan? Jangan ngemil terus,” timpal Kirana yang hanya duduk di sofa tunggu ruang ganti, karena gilirannya mencoba pakaian sudah selesai. “Pulang kantor mesti bawa kue.”Nila tidak menyahut. Ia melihat wajah dan lekuk tubuhnya dari pantulan kaca yang ternyata memang sedikit membesar. “Tapi kata mas Djiwa nggak gendut.”“Djiwa ditanya.” Atika geleng-geleng. “Mentok, Mbak?” tanyanya pada pegawai yang melayani Nila.“Mentok, Bu. Kalau dipaksa jahitan resletingnya bisa lepas.”Atika menepuk bahu Nila. “Dua hari sebelum hari H, fitting lagi. Tapi harus diet. Nggak usah makan malam dulu selama seminggu ke depan.”“Jangan ngem
Arif terpaku ketika melihat wanita yang duduk tenang di lobi. Tatapan mereka bersirobok dan Arif tahu ia tidak lagi bisa menghindar. Pagi ini juga, ia akan bicara empat mata dengan Deswita.“Mas Arif!”Langkah Arif semakin tertahan, ketika mendengar seseorang memanggilnya. Terlebih, ketika pemilik suara tersebut sudah berada di hadapannya.“Aku mau tanya, cowok yang kemarin di depan lift itu siapa?” Mila bertanya dengan terburu, penuh rasa penasaran.Mila memang sudah tahu nama dan identitas pria itu, tetapi yang belum terjawab adalah hubungannya dengan Arif.“Itu juga yang mau aku tanyakan,” kata Arif pada Mila yang tampak sedikit ngos-ngosan. “Tapi nanti. Karena aku ada urusan yang lebih penting.”“Sekarang.” Mila langsung mencekal lengan Arif sebelum pria itu sempat melangkah pergi. Tatapannya tajam dan menuntut. “Aku cuma mau tahu, dia ada hubungan apa sama kamu?”“Firman.” Arif menghela napas, menatap wanita yang masih duduk di tempatnya sejenak, lalu kembali mengalihkan pandanga
Pada akhirnya, Mila harus menjalankan perusahaan barunya tanpa kehadiran Nila. Ia pun terpaksa mencari seorang karyawan baru, yang ditugaskan sebagai admin yang serba bisa. Selain itu, Mila juga merekrut satu staf tambahan, untuk menjaga kebersihan kantor dan bisa melakukan berbagai hal lainnya.Intinya, Mila tidak mau rugi. Setiap karyawan yang ia rekrut, harus bisa melakuan beberapa hal sekaligus.Untuk sementara, perusahaan kecilnya hanya berjalan dengan dua karyawan. Mila memilih untuk mengikuti saran Gavin, fokus pada perkembangan bisnisnya terlebih dahulu sebelum merekrut lebih banyak tenaga kerja.“Konten buat tiga hari ke depan sudah siap, Bu,” lapor Janice sambil menyembulkan kepala di ruangan Mila. “Bisa dicek dulu. Kalau oke, tinggal atur jadwal seperti biasa.”“Oke!” Mila mengacungkan ibu jarinya. “Aku kabari besok pagi. Dan berapa total sementara yang ikut kelas online raising money for kids kita besok malam?”“Total 97 orang.”“Cut di 100, ya,” pinta Mila. “Dan selebihny
“Yaaa, nggak papa juga, sih.” Mila menggaruk kepala setelah mendengar perkataan Gavin.Papanya dan Djiwa kompak keberatan, jika Nila meneruskan pekerjaannya bersama Mila. Bukan apa-apa, Gavin hanya tidak ingin terjadi fitnah atau kesalahpahaman di kemudian hari, karena Arif bekerja di gedung dan lantai yang sama dengan Nila.Lebih baik mencegah, daripada terlanjur mengobati.“Itu artinya, aku harus cari orang buat gantiin mbak Nila,” sambung Mila sambil memikirkan beberapa hal.“Betul,” jawab Gavin. “Karena perusahaanmu itu masih baru, cari aja satu atau dua admin yang bisa handle semua sekaligus. Jangan maruk harus punya staff ini, staff itu, karena kamu belum tahu bagaimana perputaran uang di perusahaan. Pintar-pintar kamu, bagi jobdesk.”“Aku cari satu dulu,” kata Mila sudah memahami perkataan Gavin. “Nanti aku minta tolong sama tante Atika, buat cari orang sama mau konsul sekalian.”“Tapi, jangan bilang kalau Nila nggak jadi kerja karena Arif,” pinta Gavin yang hanya bisa duduk di
Begitu melihat mobil yang biasa digunakan Mila berhenti di area drop-off lobi. Djiwa bergegas menghampiri dan membuka pintu penumpang belakang. Segera menunduk dan tersenyum lebar ketika melihat putrinya berada di pangkuan Nila.“Sama Papi dulu,” kata Djiwa mengambil alih Emma dari istrinya. “Ke ruanganku atau mau ke kafe?”“Ruangan Papi aja,” jawab Nila sembari keluar dan menutup pintu. Kemudian, ia menoleh pada Mila yang juga baru keluar dari pintu di seberangnya. “Kamu jadi datangin papa?”“Aku ke keuangan aja,” ujar Mila lalu melambai dan melewati keluarga kecil tersebut. Ia tidak ingin menyela kebahagiaan yang ada, karena itu Mila masuk ke dalam lobi dengan segera. “Kabari kalau sudah selesai.”“Pak Budiman baru aja pergi,” ujar Djiwa segera mengajak Nila masuk ke gedung. “Dia bawa cucunya ke sini. Anaknya almarhum.”“Berdua aja?” tanya Nila. “Pak Wahyu sama Anggun nggak ikut?”“Berdua aja.” Djiwa mengangguk. “Cuma berkunjung, ngajak Putra lihat-lihat. Dan kamu tahu, Putra itu mi
“Aduw, aduw, incess-nya Ibuk tambah cantik.” Mila mencium gemas pipi gembil Emma berkali-kali, hingga bayi cantik itu tertawa geli di gendongannya.Mila memang sangat menyayangi satu-satunya keponakan yang dimilikinya saat ini. Setiap melihat baju atau aksesoris yang lucu, tanpa ragu ia akan membelinya untuk Emma.Bahkan, hampir semua baju yang dimiliki bayi itu, berasal dari Mila. Saking sayangnya, Mila tiba-tiba mengubah panggilannya menjadi ibu, tidak mau lagi dipanggil tante.“Nanti habis lihat kantor Ibuk sama mami, kita mampir ke toko oma, ya!” lanjut Mila segera berbalik pergi meninggalkan Nila yang baru keluar kamar mandi. “Aku tunggu di luar, Mbak. Buruan, tante Atika sudah otewe.”Nila tidak menjawab. Ia mematut diri di cermin lalu menghela kecil. Beberapa pakaiannya sebelum hamil sudah tidak muat, karena berat tubuhnya yang belum kunjung turun setelah melahirkan.Namun, apa mau dikata. Setelah melahirkan, porsi makan Nila juga bertambah karena menyusui. Ia jadi cepat lapar d
“Pokoknya, nanti kalau anak kedua laki-laki, harus ada nama Papa nyelip di sana.” Gavin masih saja protes, karena ada gabungan nama Kirana dan Atika pada cucu pertamanya.Ternyata, Arana adalah gabungan dari nama Atika dan Kirana.Nila sudah malas membalas Gavin. Ia sudah bilang hanya akan memiliki satu anak saja, tetapi papanya tetap saja menyinggung perihal anak kedua. Lebih baik ia menghabiskan sarapannya dengan segera, setelah itu kembali ke kamar untuk mengASIhi Emma yang sedang berada di gendongan Gavin.Djiwa saja sampai harus bersabar menunggu giliran menggendong putrinya, ketika Gavin berada di rumah.Untuk sementara, Nila diminta tinggal di kediaman Gavin. Kirana tidak tega jika harus melepas putrinya yang baru melahirkan dan tiba-tiba harus mengurus bayi seorang diri.“Papa! Ayok ke belakang!” ajak Mila yang baru memasuki ruang makan. “Kita berjemur sama Emma.”Nila memangku wajah dengan satu tangan. Terus memakan sarapannya dan membiarkan kedua orang itu membawa Emma untuk
Sambil menahan nyeri yang semakin kuat, Nila bersandar di dada Djiwa, meremas lengan suaminya seakan itu satu-satunya cara untuk menyalurkan rasa sakit yang mendera. Djiwa berdiri di samping ranjang rumah sakit, membiarkan istrinya berpegangan erat. sementara Kirana, duduk di belakang Nila untuk mengusap punggungnya.“Kalau sakitnya gini, anaknya satu aja,” lirih Nila masih sempat-sempatnya protes seraya menahan nyerinya kontraksi.Tatapan Djiwa bertemu dengan Kirana. Ketika wanita itu memberi anggukan, Djiwa segera merespons ucapan istrinya barusan.“Iya, satu aja,” ucap Djiwa dengan terpaksa. Saat ini, Djiwa tidak akan membantah, karena memahami bagaimana kondisi Nila.Mana tahu beberapa tahun lagi pemikiran istrinya bisa berubah dan ingin menambah anak lagi.“Sabar, ya,” ucap Kirana dengan telaten mengusap punggung putrinya untuk menenangkan. “Mama tahu, kamu pasti kuat.”“Apa Mama dulu juga kesakitan gini, waktu mau lahirin aku?” tanya Nila setelah merasa sakitnya mulai berangsur
“Mas, aku gendut banget, ya?” tanya Nila saat berdiri di depan meja riasnya. Berbalik ke kiri dan ke kanan, melihat bentuk tubuhnya yang jauh berbeda seperti sebelum hamil. “Dari pipi sampai ke jempol kaki, bulet semua.”Djiwa baru membuka mulut, tetapi mengatupkannya kembali. Pertanyaan tersebut seperti bumerang. Apa pun jawaban yang nantinya Djiwa beri, akibatnya pasti akan kembali pada dirinya sendiri.“Mas, aku tanya loh,” ujar Nila berbalik dan melihat Djiwa menutup laptop lalu meletakkannya di nakas.“Ini sudah malam dan besok kita diminta datang ke wisuda Nila,” ujar Djiwa berusaha mengalihkan obrolan.“Justru karena mau datang ke wisuda, aku ngerasa—”“Yang terpenting itu, anak kita sehat,” sela Djiwa menyingkap selimut di sampingnya dan meminta sang istri berbaring di sebelahnya. “Masalah badan, nanti setelah lahiran kamu bisa ... yoga atau pilates.”“Anakku siapa yang jaga kalau aku pergi olahraga?” Nila berjalan perlahan menuju tempat tidur, tetapi hanya duduk bersandar pad
“Kamu itu lebay, La,” ujar Nila geleng-geleng setelah mendengar pernyataan Kirana barusan. “Yang ada itu, wisuda baru ditemenin mama sama papa, bukan pas sidang. Kasihan tauk, Mama disuruh nunggu kamu sidang.”“Mama yang mau, kok.” Mila memeletkan lidah pada saudaranya. “Lagian nanti Mama aku bawain laptop, biar bisa nunggu sambil nonton sama ngemil.”“Harusnya jangan mau, Ma,” Nila beralih pada mamanya yang duduk santai di sofa panjang bersama Mila.Sejak pagi, Nila sudah berada di kediaman Gavin karena minta di antar ke rumah tersebut. Ada yang harus dibahas bersama Mila mengenai perusahaan, yang rencananya akan launching awal tahun depan.“Ihh, Mama aja nggak papa. Kok, kamu yang repot, sih, Mbak?” Mila mulai sewot, karena Nila terlalu banyak protes. Padahal, Kirana terlihat santai-santai saja.Nila menyeruput es susu vanilanya, sambil asyik menikmati rujak buah sendirian. Tidak ada yang menemani, karena mangga yang dibeli Kirana rasanya masam. Namun, Nila justru menikmatinya dengan