Terkejut, itulah kesan yang pertama kali ditunjukkan Mas Elang begitu melihatku. Lalu, dengan gerakan cepat ia segera menarik tangannya dari perempuan itu.Aku meringis melihat adegan saling berpegangan tangan tersebut. Seperti sepasang remaja yang tengah jatuh cinta. Tapi, untuk seusia mereka, bukankah terlalu norak? Ah, aku lupa jika sepasang manusia saling jatuh cinta dunia terasa milik berdua, sementara yang lain ngontrak."H--anin? Sedang apa kamu disini?" tanya Mas Elang gugup."Aku baru saja bertemu temanku-Vania. Bukankah semalam sudah kubilang, Mas?""Ah, i--ya. Mas lupa. Kamu mau pulang sekarang? Mas antar ya, atau Mas pesankan taksi?" Mas Elang benar-benar terlihat gugup, seperti maling yang ketangkap basah."Tidak usah, aku sudah pesan taksinya. Mas sendiri ngapain disini?" Aku balik bertanya."Eum ... Tadi, Mas ... Habis ketemu client. Iya Mas habis ketemu client," ucapnya meyakinkan. Sementara perempuan tadi hanya diam."Oh gitu. Tadi, aku pikir sengaja jalan-jalan buat
"Mas, aku mau kita ngontrak aja!" Mas Elang yang tengah sibuk memasangkan dasi langsung menoleh ke arahku."Kenapa? Kamu ada masalah sama Mama dan Iza?"Aku menggeleng. "Terus kenapa tiba-tiba kamu mau kita ngontrak?""Gak apa-apa, aku cuma mau kita lebih mandiri saja.""Terus kalau kita ngontrak, yang ngurus Mama dan Iza siapa? Aku ini anak laki-laki satu-satunya. Jadi, sudah sewajarnya aku mengurus Mama," terang Mas Elang dengan wajah keberatan."Meski tinggal terpisah, kalau Mama ada apa-apa, aku gak keberatan kok ngerawat Mama. Mau ya, Mas! Kita ngontraknya gak usah jauh-jauh biar dekat ke Mama. Lagian, ada Iza anak itu sudah besar dia pasti bisa diandalkan."Mas Elang nampak menghela napas. Meski terlihat keberatan akhirnya ia mengiyakan permintaanku.***"Apa mau ngontrak?" ucap Mama kaget saat aku mengutarakan keingian untuk pindah rumah. "Iya, Ma. Mas Elang juga udah setuju." jawabku sambil tersenyum dan melihat ke Mas Elang."Benar begitu, Lang?" tanya Mama tak percaya."Ka
Aku : Cari tahu tentang Alsava, seketaris dari Elang Dirgantara jangan sampai ada info yang terlewatkan satupun.Pesan terkirim. Aku sengaja minta tolong ke Vania untuk mencari tahu tentang Alsava. Perempuan itu tidak biasa dibiarkan begitu saja.Vania: Ah, siap.Aku tersenyum begitu mendapatkan balasan dari Vania. Lalu kembali memasukkan ponsel ke saku."Mbak Hanin ngapain di situ?" Tiba-tiba, Iza keluar menganggetkanku."Eh, eum ... Mbak cuma nganter ini," ucapku. Lalu, memperlihat semangkuk bubur ayam yang tadi kupegang."Telat," jawab Iza singkat. Lalu, pergi begitu saja."Eh, Za itu teman kantornya Mas Elang ada perlu apa kesini?" tanyaku pura-pura belum tahu.Iza hanya mengendikkan bahu. "Caper kali," jawabnya kemudian. Lalu, kembali melangkah pergi.Setelah semuanya pergi, aku menghela napas. Kemudian melangkah masuk. Menemui Mama yang masih betah duduk di atas sofa."Siapa yang bikinin Mama bubur, Mama beli?" tanyaku pura-pura, begitu melihat mangkuk bekas pakai yang terletak
"Siapa, Mas?" tanyaku penasaran begitu melihat perubahan air mukanya."Eum ... I--bu-nya Sava," ucap Mas Elang.Dahiku langsung berkerut. "Ibunya Sava?" tanyaku heran."Iya.""Ada apa?""Mas gak tahu.""Coba angkat!"Mas Elang pun mengangguk, dan mengangkat telponnya. Tidak lama kemudian, Mas Elang pun menyudahi pembicaraan."Ibunya Sava bilang apa?" tanyaku begitu melihat Mas Elang mematikan ponselnya. Lalu, dengan santai menyendokkan makan ke mulut. Sementara Ara sibuk dengan ayam goreng yang tadi kukasih."Katanya, Sava belum pulang sampai sekarang.""Terus apa hubungan sama, Mas. Memangnya Sava gak punya keluarga?" tanyaku mengintimidasi."Eum ... M--as juga gak tahu," jawab Mas Elang gugup."Terus sekarang, Mas mau pergi mencarinya?" "Eum ....""Aku gak ngizinin," potongku cepat.Mas Elang hanya diam, meski bisa kulihat aura wajahnya menggambarkan ke khawatiran. Entah khawatir sebagai atasan dan bawahan atau ada sesuatu yang lain.Setelahnya kami melanjutkan makan dengan diam, ha
[Aku tahu saat ini kalian pasti tengah bertengkar hebat. Sudahlah, buat apa mempertahan orang yang jelas-jelas di hatinya menyimpan perasaan pada orang lain. Lebih baik sudahi saja, bukankah jika dilanjutkan hanya akan menjadi toxic?Dan, bukankah, Mbak lihat sendiri bagaimana laki-laki yang kamu sebut suami itu begitu mengkhawatirkanku?]Sebuah pesan dengan nomor tak dikenal masuk ke ponselku. Tak ada foto profil atau nama lainnya. Tapi, dari caranya mengirim pesan aku tahu itu adalah Sava.Aku tak berniat membalasnya, dan kembali meletakkan ponsel di atas meja begitu saja. Sebagai perempuan tadinya aku berniat bicara baik-baik. Terlebih kami sama-sama memiliki seorang puteri. Tapi, keadaan tak sesuai rencana.Sejak kejadian kemarin aku dan Mas Elang bahkan belum bicara sama sekali. Lebih tepatnya aku yang memilih tak ingin bicara."Hanin, sampai kapan kamu akan mendiamkan, Mas! Tolong bicaralah, jangan seperti ini. Bukankah Mas sudah bilang kalau Mas dan Sava tidak ada hubungan apa-
Begitu tiba di pintu depan, tiba-tiba aku bertemu dengan seseorang yang langsung membuatku terpana."Astaga, Mbak Rena?" Aku berkata pelan, menyebut sosok yang kini tengah berada di depanku, dan saat ini jarak kami hanya tersekat pintu kaca yang tebal.Memalukan sekali bertemu dalam keadaan begini. Belum mandi plus masih paket baju tidur. Tapi, apa dia mengenaliku?Sementara Mbak Rena terlihat begitu cantik, dan elegan. Kemeja putih yang dipasangakan vest berwarna marun dan celana panjang hitam polos. Sementara rambutnya ia biarkan tergerai. Aku pun langsung bergerak ke samping, memberi jalan untuk Mbak Rena masuk terlebih dulu."Kamu bukannya yang waktu itu?" tanya Mbak Rena begitu masuk, dan melihatku berdiri di samping pintu. Rasanya ingin sekali aku mengakui kalau kami tidak saling kenal, sangking malunya. Tapi, rasanya aku seperti orang yang tak tahu balas budi jika sampai melakukan itu."Eum ... I--ya Mbak. Mbak apa kabar?" Aku bertanya dengan kaku.Ia tersenyum, menyambut deng
"Ingat ya, Mas jangan sampai hanya kamu kasian karena dia janda. Lalu, kamu menjandakan istrimu!" tekanku.Mas Elang menghembuskan napas kasar, wajahnya langsung memerah, rahangnya mengeras, dan matanya membulat begitu mendengar perkataanku."Ngomong apasih kamu ini? Sudahlah kalau kamu memang tidak percaya!" Mas Elang menjawab dengan nada tegas. Detik berikutnya laki-laki itu keluar kamar dengan wajah gusar. Tak lama setelahnya terdengar suara mobil pergi menjauh. Entah mau kemana dia?Selama pernikahan aku tak pernah melihat Mas Elang semarah ini, demi membela perempuan itu. Rasa kecewa seketika merajai hati, juga marah kesal menjadi satu.***Malam kian larut. Aku terbangun, dan menatap jam yang menggantung di dinding. Waktu menunjukan pada angka 11 lebih 30 malam. Tapi, belum ada tanda-tanda Mas Elang akan pulang, sebenarnya sedikit menyesal. Tapi, mau bagaimana lagi? Karena, rumah tangga kami tengah terancam, dengan kehadiran seseorang, dan aku tentunya tidak bisa diam begitu saj
Dari jarak yang lumayan jauh, aku menatap awas ke arah Mas Elang berdiri. Memperhatikan setiap gerak-geriknya, apa kiranya yang membuat lelaki itu ada di sini. Sekedar healingkah atau ada urusan lain?Bukankah setelah menikah, ia selalu beralasan tak begitu menyukai tempat ramai seperti ini, jika aku mengajaknya untuk pergi. Lalu, apa yang menjadi alasannya saat ini, seseorangkah atau selama ini ia memang tak ingin jalan denganku karena, merasa bosan atau memang ada alasan lain?Ah, entahlah! Pertanyaan dan pradugaku tak akan pernah terjawab sebelum aku melihat dengan mata kepala sendiri, sedang apa dan bersama siapa Mas Elang ada di sini.Perlahan aku melangkah ke arah Mas Elang. Kemudian langkahku terhenti begitu melihat sosok anak kecil berlari ke arah Mas Elang, dan memeluk lututnya sambil mengadah ke atas sambil tersenyum."Ayo, Om kita main!" ajak anak perempuan yang belum kuketahui namanya itu dengan mata berbinar. Dari sini aku bisa melihat keakraban yang terjalin diantara ked
Reflek aku pun melangkah ke arah keributan. Begitu sudah dekat, dan melihat yang terjadi seketika mataku terbelalak tak percaya."Makanya kalau gak punya duit, mainnya jangan disini. Udah salah gak mau ngaku lagi," teriak perempuan paru baya itu memaki ke arah Iza.Iza menggeleng. "Tapi, saya gak mencuri, Bu!""Halah, maling mana ada yang mau ngaku?" ucap Ibu itu terlihat begitu emosi."Ada apa ini?" tanyaku kemudian. Tadinya aku tak ingin peduli. Karena, aku tak ada lagi urusan dengan keluarganya Mas Elang. Tapi, entah mengapa tiba-tiba saja hatiku tergerak.Iza yang melihat kedatanganku langsung berlari. "Eh mau kemana kamu?" teriak perempuan itu."Tenang, Bu. Semuanya bisa dibicarakan baik-baik," ucapku berusaha menenangkan."Kamu siapa? Jangan ikut campur ya!" sergahnya."Saya Kakaknya!" Tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku."Oh jadi kamu kakaknya? Tolong ya diajarin adiknya jangan jadi pencuri!" ucap perempuan itu masih terlihat emosi."Bukan saya ingin membel
"Apa maumu?" Aku kembali bertanya dengan perasaan yang sudah tak karu-karuan. Takut, marah, emosi seketika bercampur jadi satu.Bukannya menjawab ia malah tertawa, entah apa yang lucu."Jangan main-main! Kalau tidak aku akan berteriak!" ancamku."Teriak saja sekeras yang kau mau, tidak akan ada yang mendengarmu."Ia melangkah semakin dekat, sementara aku semakin melangkah mundur, hingga tubuhku tersandar ke mobil."Kenapa kau tidak jadi berteriak?" tanyanya.Badanku mulai gemetar kala jarak kami semakin dekat, bahkan untuk berlari rasanya tidak mungkin."Apa maumu?" tanyaku dengan suara bergetar, dengan keringat dingin.Dengan segenap keberanian, aku langsung menarik kain yang menutupi sebagian wajahnya. Tapi, aku tak mengenalinya. Setelah kain yang menutupi wajahnya terbuka, dengan cepat ia langsung mengayunkan pisau itu ke wajahku. Aku yang menyadari bahaya langsung menangkisnya dengan tangan, dan hingga akhirnya tanganku yang terluka hingga mengeluarkan cairan segar. Melihatku ter
Aku tengah berdiri di depan gedung pengadilan agama kota Bandung. Hari ini sidang perceraianku, dan Mas Elang.Lelaki itu tidak lagi berniat membujukku setelah kemarin betengkar hebat dengan Fahri di rumah makan depan kantor."Kenapa, Kak Elang mau balikan sama Mbak Hanin karena tahu Mbak Hanin kerja sebagai model, 'kan?" tanya Fahri kala itu.Mama dan Mas Elang yang mendengar pertanyaan Fahri langsung ke intinya terlihat kikuk."B--ukan begitu, kami melakukan semua ini demi Ara," terang Mama melakukan pembelaan.Tapi, Fahri tidak percaya begitu saja, dan akhirnya membuat Mama dan Mas Elang menyerah."Ibu yakin kamu kuat, Nduk!" Ibu yang saat ini tengah berdiri disamping kananku tiba-tiba membuyarkan lamunanku."Iya, Bu," jawabku.Kami pun akhirnya masuk ke dalam gedung. Aku tak pernah membayangkan jika pernikahanku akan berakhir disini, impian pernikahan sekali seumur hidup berakhir di pengadilan.Kulihat Mas Elang tertunduk lesu. Sementara Sava menatapku penuh kemenangan.Sidang pun
"Iya, Ibu mau," jawab Ibu yang akhirnya membuatku lega."Kalau begitu aku akan bicara sama Bude Maryam."Ibu mengangguk, akupun langsung memeluk tubuh Ibu dengan perasaan senang, dan berjanji pada diri sendiri disisa umurnya yang semakin tua aku akan berusaha untuk membuatnya bahagia."Yang bener kamu, Nin?" tanya Bude Maryam tak percaya saat kusuruh menempati rumah Ibu saja."Iya, Bude. Tadinya Ibu gak mau ikut denganku. Karena, khawatir rumah dan hewan ternaknya gak ada yang rawat," terangku."Ya begitulah, Ibumu," ucap Bude Maryam. "Keukeh dengan pendirian. Tapi, baik, dan mudah berempati. Sebenarnya, Ibumu juga ingin terus bersama sama kalian. Waktu pamit ke Bandung aja Ibumu bilang karena, khawatir sama kamu," lanjut Bude menjelaskan.Aku terdiam mendengar penjelasan Bude, merasa haru dengan apa yang Ibu lakukan untuk kami. Meski anaknya jauh, Ibu selalu tahu kalau anaknya tak baik-baik saja. Ah, Ibu sungguh pengorbananmu tidak akan bisa kubalas dengan apapun walaupun dunia dan s
"Mas Elang? Kamu ngapain disini?" Aku bertanya dengan ekpresi gugup. Karena terkejut melihatnya yang tiba-tiba ada di depanku."Eum ... Mas sengaja nungguin kamu.""Mau apa lagi, diantara kita sudah tak ada urusan. Aku sudah mengurus surat perceraian kita di pengadilan. Jadi, Mas tunggu saja!"Mas Elang menggeleng. "Tapi, Mas tidak ingin pisah dari kamu!"Entah apa maksudnya, setelah membuangku begitu saja sekarang ia ingin kembali. Setelah kemarin mengetahui kalau ternyata aku bekerja sebagai seorang model."Kenapa, Mas?" tanyaku. Ingin tahu alasannya."Kasian Ara kalau sampai kita pisah," ucapnya memberi alasan. Lalu, kemarin-kemarin saat aku sudah memberi waktu sekian lama kemana dia?"Kenapa baru sekarang kamu memikirkan Ara, Mas? Kemarin kemana saja?""Eum ... Maaf! Mas tahu salah makanya Mas kesini mau minta maaf, kamu mau, 'kan maafin Mas?""Mas apa-apaan kamu?" teriak seseorang yang sontak membuat aku dan Mas Elang menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Sava."Aku pikir dianta
Kulihat Mas Elang hendak berangkat dari tempat duduknya. Tapi, dengan cepat Sava segera menahannya."Mau kemana kamu, Mas?" tanya Sava yang jaraknya hanya tersekat meja denganku. Meski pelan aku masih bisa mendengarnya. Bahkan, di kantor pun ia sudah memanggil Mas Elang dengan sebutan, Mas."Ingat sebentar lagi meeting dimulai!" ucap Sava memperingati. Sementara aku yang mendengar hanya berpura-pura sibuk dengan berkas di tanganku. Setelahnya tak lama kemudian meeting pun dilaksanakan, clien yang datang dari negara tetangga hanya berjumlah dua orang, dan sudah berada di ruangan.Seperti yang diperintahkan Ezra, aku mulai menjelaskan isi meeting kali ini, untungnya aku bisa berbahasa Inggris.Mas Elang, dan Sava hanya bisa tercengang setelah mengetahui posisiku di kantornya Ezra.Pihak clien terlihat puas mendengar penjelasanku, dan mereka setuju untuk bekerja sama. Selain, menampilkan produk busana muslimah pihak kantor juga memproduksi kain secara langsung, dan itu menjadi salah sat
"Elang!" Tiba-tiba suara seorang perempuan yang kuhapal suaranya memanggil nama Mas Elang. Kami pun sontak menoleh ke arah sumber suara. Mataku membulat saat melihat perempuan itu bergerak maju ke arah kami."Ibu?" ucapku dan Mas Elang hampir berbarengan."I--bu kok bisa ada di sini?" tanyaku tergagap. Lalu, menyambut tangannya begitupun Mas Elang."Ibu baru saja dari rumah mertuamu. Ibu juga sudah tahu semuanya.""Eum ... Sebenarnya ini hanya salah paham, Bu. Aku bisa jelasin," ucap Mas Elang."Apa lagi yang ingin kamu jelaskan, Mas?" tanyaku."Bu!" Tiba-tiba Fahri datang, menghampiri kami. Aku yang tak tahu kalau Ibu datang bersama Fahri begitu kaget."Heh! Laki-laki bre ng sek kamu apakan kakakku?" tanya Fahri tiba-tiba wajahnya terlihat emosi. Aku tidak tahu apa yang dikatakan Mama pada Ibu dan Fahri hingga mereka tahu semuanya."Sudahlah, Bu, Fahri sebaiknya kita pergi! Ini kantor tidak enak kalau ada yang lihat!" tegurku. Malu, tentu saja. Kami pun memilih pergi masuk ke dalam k
"Jadi kamu sudah dapat tempat tinggal?" tanya Tante Sandra, saat aku datang ke rumah untuk berpamitan, dan mengambil beberapa barangku."Alhamdulillah iya, Tan." Tante Sandra tersenyum. "Tante hanya bisa mendoakan yang terbaik. Kapanpun kamu mau pintu rumah ini selalu terbuka untukmu.""Terima kasih banyak, Tan. Aku gak tau harus bilang apa? Sekali lagi terima kasih sudah merepotkan.""Tante sama Om tidak merasa direpotkan sama sekali," ucap Om Farhan yang tiba-tiba muncul dari arah dapur, dan membuat kami seketika menoleh."Om Farhan gak kerja?" tanyaku. Lalu, menyambut tangannya."Kerja, Om pulang makan siang. Soalnya gak ada masakan seenak masakan Tantemu," godanya sembari melirik Tante Sandra, membuat keduanya tersenyum.Aku senang melihat keromantisan yang tercipta diantara mereka. Usia bukan jadi penghalang untuk selalu menciptakan kehangatan. Ah, rasanya aku iri melihat keharmonisan diantara mereka, sementara aku? Pernikahan yang kuimpikan sekali seumur hidup nyata tengah bera
"Ini!" Ezra menyerahkan dua buah kunci ke arahku. "Apa ini?" tanyaku tak mengerti."Itu kunci mobil, dan apartemen untukmu. Fasilitas dari kantor," ucap Ezra. Aku yang baru datang, dan duduk tentu saja dibuat bingung dengan sikapnya itu."Untuk apa, bukankah masa kontrak kerja kita sudah berakhir?""Diperpanjang 5 tahun?" balasnya santai. "Jika kamu setuju, kamu bisa pakai mobil, dan apartemenya!" Mataku membulat, dengan mulut sedikit menganga mendengar penjelasan Ezra. Kaget, tentu saja. Ini seperti mimpi disiang bolong."Itu mulut tutup, nanti kemasukan lalat lagi," ucapnya Ezra sembari melipatkan tangan di dada.Dengan ekpresi kikuk aku langsung menutup mulutku. Ah, sial kenpa dari dulu sikapnya tidak berubah. Menyebalkan. Akukan jadi malu."Gimana apa kamu setuju?" Tuhan seperti menjawab doaku yang saat ini tengah bingung mencari tempat tinggal. Tapi, mobil aku tidak bisa menyetir.Aku mengangguk cepat. Kesempatan ini tidak boleh kusia-siakan. "Dan ini bayaran untuk bulan kema