Malam semakin larut, Peter sudah siap membaringkan badan di atas ranjang untuk mengukir mimpi. Naik ke atas ranjang, Peter menata bantal dan menggelar selimut lalu berbaring. Baru saja memasang badan miring, di luar sana terdengar seseorang mengetuk pintu.Peter yang memang sudah merasa ngantuk, menendang selimutnya dengan kesal. "Siapa sih!"Ketukan pintu terdengar kembali."Peter, kau belum tidur kan?" teriak Chloe dari balik pintu.Peter berdecak. Kakak perempuannya itu sudah membuat hati merasa kesal karena dengan santainya bercerita tentang hubungannya dengan Stela di saat waktu yang menurut Peter belum tepat."Ada apa?" tanya Peter sinis saat pintu sudah terbuka.Chloe menyerobot masuk begitu saja tanpa peduli ekspresi wajah Peter. "Jangan marah padaku. Harusnya kau berterimakasih karena aku sudah memberi tahu ayah dan ibu.""Berterimakasih kau kata!" salak Peter sambil menutup puntu cukup keras. Peter melangkah menyusul Chloe yang kini sudah duduk di tepi ranjang. "Untu
Pagi harinya, Stela enggan beranjak pergi dari kamarnya. Dia malas jika harus bertemu muka dengan Alex. Namun, karena Stela tidak mungkin terus berada di dalam kamar, akhirnya keluar juga.Baru saja membuka pintu, perasaan Stela sudah tidak enak. Seperti ada sesuatu yang akan membuatnya kesal. Dan ketika kaki melangkah keluar, Stela menjerit kecil tatkala melihat Alex sudah bersandar pada dinding dekat pintu."Se-sedang apa kau di sini?" sungut Stela yang kaget.Alex berdiri tegak dan beralih ke hadapan Stela. "Tentu saja menunggumu."Stela melihat ke sekitar, tidak ada siapapun. Stela yakin, Alex bisa berada di sini tampa diketahui ayah dan ibu."Tidak perlu," jawab Stela acuh. "Sebaiknya kau pulang."Alex meraih tangan Stela. "Aku akan pulang jika kau ikut pulang."Stela berdecak tidak suka kemudian menarik tangan. "Di sana ada Emma, kau tidak boleh ada di sini. Dia pasti mencarimu."Alex terdiam untuk sesaat."Aku tidak mau mendapat masalah karena Emma lagi, jadi tolong k
Sebelum berangkat, Stela lebih dulu menghampiri sang ibu."Bu, pesananku semalam apa sudah ibu beli?" tanya Stela usai mengecup punggung telapak tangan ibunya."Oh, maaf sayang." Janete mendaratkan satu tangan di dada. "Semalam ibu lupa, ibu baru teringat sesampainya di rumah. Maafkan ibu."Stela tersenyum. "Tidak apa-apa, Ibu. Nanti aku beli sendiri saja." Stela beralih mencium punggung telapak tangan ayah."Kau begitu aku pamit dulu," kata Stela."Kau hati-hati."Stela melambaikan tangan sambil berlari kecil meninggalkan rumah."Pesanan apa yang tadi kalian maksud?" tanya David."Oh itu, Stela semalam minta dibelikan coklat?""Coklat?" David membelalak.Tahu kalau suaminya terkejut, Stela hanya menghela napas."Dia baik-baik saja kan?" tanya David."Iya, kau tenang saja suamiku."Di perjalanan, Stela berhenti dulu di sebuah minimarket. Karena cokelat pesanannya tidak ia dapatkan, terpaksa Stela membelinya sendiri. Hatinya begitu gundah, mungkin akan sedikit merasa tenan
Karena sudah ingin sekali bertemu dengan Stela, Peter melajukan mobilnya menuju sebuah apartemen yang juga ditinggali teman bisnisnya. Peter ingat betul saat Stela mengatakan bertemu dengan sang kakek di sana.Sesampainya di halaman apartemen, Peter tidak memasukkan mobilnya ke parkiran. Ia hanya menepi tak jauh sebelum jalan masuk. Ia tidak keluar melainkan tetap duduk di dalam mobilnya."Apa sebaiknya aku telpon dia lagi?" gumam Peter. "Tapi sepertinya akan mengganggu. Dia sedang bicara penting dengan kakeknya."Peter urung menelpon dan memilih duduk berdiam diri menunggu Stela keluar sambil mendengarkan musik."Kakek hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu saat ini pada Alex." Bill duduk di sofa sambil bersandar memandang ke arah Stela yang duduk menyilang.Wajah Stela terlihat sendu. Menyangkut soal perasaan, Stela yakin sudah tidak ada rasa cinta untuk Alex. Hanya saja, Stela masih merasa kecewa dan sakit hati. Rasa itu yang masih menempel erat pada diri Stela."Aku ingin men
Peter dan Stela sudah berada di sebuah restoran untuk makan siang sesuai rencana. Mereka mulai menikmati hidangan yang ada sebelum membuka obrolan di menit berikutnya."Apa kau begitu lapar?" cibir Peter sambil tertawa kecil."Kenapa memangnya?" Stela mendongak.Peter tersenyum sambil diikuti dengusan lirih lalu mengambil tisu yang berada di tengah meja."Bibirmu belepotan.""Eh!" Stela terpekik saat tib-tiba Peter mengusap ujung bibirnya."Ada saus di bibirmu. Kau makan seperti anak kecil."Wajah Stela terlihat memerah menahan malu dan gugup. Rasa lapar ternyata bisa membuat orang lupa situasi, termasuk tidak sadar kalau sedang makan bersama seorang pria."Aku memang sangat lapar," kata Stela kemudian sambil memasukkan daging steak terakhir.Jika punya Stela sudah habis, punya Peter masih tinggal setengah. Menunggu Peter yang masih menikmati makan siangnya, diam-diam Stela curi-curi pandang menatap wajah Peter yang begitu menikmati makanannya."Dia tampan," batin Stela. "Wa
Peter terpaksa berhenti di pertengahan jalan. Ia tidak akan fokus menyetir kalau sedari tadi Stela terus menangis."Berhentilah menangis," kata Peter lirih. "Aku minta maaf karena sudah mengacaukan semuanya."Stela menggeleng. "Dia yang sudah mengacaukan semuanya.""Aku antar kau pulang saja.""Tidak. Aku tidak mau pulang!" tolak Stela dengan kuat.Peter meraup wajahnya lalu menyugar rambut ke belakang. Ia beberapa kali mendesah karena bingung dan juga khawatir melihat keadaan Stela."Aku khawatir padamu," kata Peter kemudian saat Stela masih menutup wajah dan menangis."Bawa aku ke rumah lamamu." kata Stela. "Aku ingin di sana."Peter kemudian mengiyakan permintaan Stela. Namun sebelum melajukan mobilnya, Peter lebih dulu meminta Stela berjanji untuk berhenti menangis."Aaargh, sial!"Sesampainya di kantor dan masuk ke ruang kerjanya, Alex langsung berteriak kencang dan menggebrak meja. Ia kini mengepalkan kedua tangannya sambil mengeraskan rahang dan sederetan gigi putihny
Alex pulang masih dengan perasaan dongkol. Wajahnya masam dan terlihat kacau. Sampai di dalam kamar, ia bahkan terlihat melempar tas kerjanya dengan cukup keras di atas ranjang. Ia bertambah dongkol tatkala teringat Emma yang selalu menghilang di saat jam makan siang. Sekarang pun Alex tidak tahu keberadaan Emma, coba ditelpon tapi tak kunjung ada jawaban.Sekitar pukul delapan barulah Emma muncul, ketika Alex baru saja berganti pakaian."Halo, Sayang." Emma meletakkan tasnya lalu menghampiri sang suami yang sedang menutup lemari.Bukannya senang, Alex langsung menyingkirkan tangan Emma yang mencoba melingkarkan di pinggangnya. Emma yang kaget sampai mundur satu langkah."Dari mana saja kau?" tanya Alex bernada membentak."Aku, tentu saja dari kantor," jawab Emma sedikit gugup."Kenapa aku tidak menemukanmu saat aku mau pulang?"Emma berpikir sejenak untuk mencari jawaban yang pas. "Perutku mules, sepertinya aku terlalu banyak makan pedas tadi siang. Saat jam pulang, aku pergi
Pagi sudah datang, para penghuni kamar mulai membuka mata bergantian. May, Angela, mereka justru sudah terlihat rapi di kamar mereka masing-masing. May pagi ini harus mengecek beberapa barang yang baru datang, sementara Angela ada jadwal bertemu seseorang yang hendak menyewa keahliannya dalam bermake up.Sampai di ruang makan, tepatnya pukul setengah tuju, Angela terdengar mendengkus tatkala melihat meja kosong--tiada makanan yang tersaji. Sudah sejak Stela pergi dari rumah ini, rumah nampak terlihat berdebu, tidak pernah ada sarapan maupun makan malam."Setiap pagi selalu saja begini," keluh Angela sambil menuang air putih dari poci ke dalam gelas. "Coba kalau ada Stela, semua pasti beres. Shit! Bisa dikataka aku merindukan wanita itu.""Siapa yang kau rindukan?" tanya May yang baru muncul. Ia ikut mendesah berat seperti Angela sebelumnya saat melihat tidak ada apapun di atas meja."Tidak ada," jawab Angela usai meneguk habis air putih.Angela mengamati raut wajah ibunya yang t
Hari pernikahan pun datang. Stela dan Peter sudah siap dibimbing sang Pendeta untuk mengucapkan ikrar janji suci. Acara digelar dengan sederhana yang hanya menghadirkan pihak keluarga dan tamu bisnis saja.Dari balik kain putih berbahan tutu, Peter bisa melihat wajah Stela yang dirias begitu cantik. Sederhana dan terlihat elegan di padukan dengan gaun putih yang menutupi kedua kaki."Kau sangat cantik," kata Peter. Di balik kain tersebut, Stela hanya tersenyum.Detik berikutnya, pengucapan ikrar janji pun terlontar. Pemasangan cincin bergantian dan riuh tepuk tangan mulai terdengar. Mereka berdua kini sudah sah menjadi sepasang suami istri.Rasa bahagia dan haru, dirasakan semua orang yang hadir. Kedua orang tua Stela dan Peter mereka bahkan sampai tidak sadar menitikkan air mata."Selamat untuk kalian berdua." Kata Jane serasa memeluk mereka berdua.Mereka yang lain pun bergantian memberi ucapan selamat.Pagi berlalu meninggalkan acara sakral yang kini sudah beralih ke rumah s
Bill tidak pernah main-main dengan perkataannya. Menyangkut pelecehan pada Stela, semua bukti sudah ada dan Alex harus berakhir hidup di jeruji besi sesuai dengan ketentuan dari pengadilan. Asal keluarga aman, Bill rela melakukan apa saja.Satu tahun Bill diam tanpa berkomunikasi dengan putri dan cucunya, tak lain karena hanya sekedar ingin membuktikan bahwa keluarga Alex memang buruk. Belum lagi keburukan masa lalunya dengan Muchtar. Semua ada jalan cerita masing-masing."Kau sudah merasa tenang sekarang, bukan?" tanya Peter sambil menunduk menyusuri wajah Stela yang kini sedang bersandar di pundaknya. "Aku akan terus menjagamu sampai kapanpun."Stela mendongak dan tersenyum. "Terima kasih kau sudah datang dalam kehidupanku."Sesaat keduanya terdiam menikmati pemandangan air danau yang jernih nan tenang. Hanya sedikit bergelombang saat beberapa daun kering berjatuhan tertiup angin.Sudah lama Stela tidak berkunjung ke tempat ini. Tiada yang berubah selain bertambah terasa nyaman
"Kau baik-baik saja?" tanya Louis dengan napas masih memburu usai menghajar Alex.Berdiri di samping mobilnya, Stela masih sesenggukan sambil mencengkeram kerah bajunya dengan kuat. Sementara Alex sudah melesat pergi dalam keadaan babak belur."Sebaiknya aku antar kau pulang."Stela terpaksa meninggalkan mobilnya di jalan, ia ikut mobil Louis. Setidaknya bersama Louis lebih aman saat ini. "Di mana rumahmu?" tanya Louis sebelum melajukan mobilnya."Putar balik, rumahku ada di jalan sana," jawab Stela lemas.Louis sesekali melirik Stela yang tengah bersandar sambil memandangi ke luar jendela. Wajahnya masih masam dan ada raut kecemasan.Mobil Louis sudah masuk ke pekarangam rumah Stela sekitar pukul tuju malam. Stela yang masih tertegun, bahkan tidak sandar kalau mobil sudah berhenti di halaman rumah. Pikiran Stela masih melayang-layang teringat akan perbuatan Alex yang begitu keji.Louis turun lebih dulu. Ia memutari mobil lalu berpindah ke pintu samping di mana ada Stela yang
Stela tentunya sangat penasaran dengan apa yang kakek dan keluarga Peter bicarakan, Setela obrolan terakhir dirumah saat makan siang. Saat beberapa menit hampir masuk ke kompleks perumahan, Stela berhenti dulu di pom bensin. Baru saja hendak turun dari mobil, ponsel di dalam tas berdering. Pintu yang sudah terbuka sebagian pun Stela tutup kembali."Nomor siapa ini?" Wajah Stela berkerut heran. Seseorang menelpon tapi nomor tersebut tidak terdaftar di kontaknya."Halo, siapa ini?" sapa Stela kemudian."Temui aku di restoran cepat saji.""A-Angela?" pekik Stela."Tidak usah kaget begitu, aku hanya ingin bicara denganmu."Sambungan terputus, Stela urungkan niat pergi ke toilet dan segera putar balik."Untuk apa dia bertemu denganku?" batin Stela.Tidak mau berpikiran yang macam-macam, Stela terus melajukan mobilnya hingga akhirnya sampai di tempat yang dituju.Setelah mencangklong tasnya, Stela pun bergegas turun dari mobil. Di depan sana, di tempat restoran cepat saji, sepertin
Sepulangnya dari tempat Peter, Stela menceritakan semuanya pada ibu dan kakeknya. Tepat jam makan siang, mereka mengobrolkannya di meja makan, tapi tanpa ada Bowen karena dia sedang sibuk mengurusi panen perkebunannya . Untuk Bill, tentu merasa senang dan langsung setuju jika Stela menikah dengan Peter. Namun, sebagai Ibu yang sempat membuat Stela menderita, Janete tidak langsung mengatakan setuju."Apa kau yakin, Sayang?" tanya Janete khawatir."Belum tahu, ibu," sahut Stela usai meneguk air putih. "Aku hanya merasa nyaman saat bersama Peter.""Kalau kau minta pendapat kakek, tentu saja Kakek setuju," timbruk Bill yang lebih dulu selesai menghabiskan makan siangnya. "Kakek sudah lama mengenal keluarga Peter."Janete kembali ikut bicara. "Bukan ibu tidak merestui, ibu hanya tidak ingin kau sakit hati lagi."Kalimat Janete membuat Stela merasa ragu. Meski selama ini Stela tahu Peter usil, tapi dia sangat baik. Hanya saja, tiada yang tahu bagaimana tentang isi hatinya. Bisakah Pete
Emma kembali dengan tangan hampa. Percuma saja berdebat dengan Louis kalau memang Emma juga bersalah dalam ini. Mulanya Emma pikir Louis mencintainya, tapi saat melihat murka dan penjelasan Louis, ya, menang semua hanya permainan belaka. Tidak jauh berbeda seperti saat pertama Emma kembali pada Alex.Sudah sampai di rumah, ruangan nampak sepi. Lampu-lampu juga sudah dimatikan. Ketika masuk ke dalam kamar, Alex masih belum ada di sana. Emma yakin Alex masih berada di kamar lantai dua.Hati rasanya dongkol, tapi Emma tidak berani berbuat apa-apa saat ini. Jika mendekat, Alex mungkin saja akan kembali mengamuk.Di tempat Louis, Chloe sudah keluar dari persembunyiannya. Wajahnya masih terlihat masam seperti saat pertama tadi baru ke sini."Kau sudah tahu alasan kenapa aku bersama Emma kan?" kata Louis coba menjelaskan.Chloe tersenyum kecut. "Jika semua atas nama dendam, apa harus sampai kau bercinta dengannya?""A,aku …" Louis mendadak diam."Katakan saja kau menikmati saat itu,"
Alex menjauh dari Emma untuk sesaat. Di kamarnya yang dulu saat masih beristrikan Stela, Alex tengah merenungi semuanya. Hidupnya sudah hancur, ia kehilangan Stela, perusahaan, ia juga sudah dikhianati istri barunya yaitu Emma. Meski Emma berkata sebuah penyesalan, tapi Alex sudah terlanjur sakit hati."Mungkin ini yang kau pernah rasakan dulu," gumam Stela. "Kau pasti marah, kecewa padaku saat itu. Dan bodohnya, aku baru menyadarinya saat ini."Seperti bukan seorang pria perkasa, Alex jatuh tersungkur di bawah ranjang sambil menangkup kepala. Ia tidak tahan lagi jika terus menahan air matanya. Air mata itu kini mengalir dengan derasnya sampai berjatuhan membasahi kedua lututnya yang menekuk."Aku sungguh bodoh!" sesal Alex. "Andai saja kita masih bersama, aku tidak akan sekacau ini."Cekleeek!Terdengar suara pintu terbuka secara perlahan. Alex sungguh tidak peduli, ia masih tertunduk memeluk kedua lututnya sambil menangis.Perlahan, May melangkah mendekat dengan tatapan iba da
Peter pergi dengan mengendarai mobil Stela, tadi mobilnya sudah ia titipkan pada Glen sebelum pergi. Karena Peter tengah emosi dengan wajah cukup babak belur, tentunya Stela tidak mengizinkan Stela menyetir.Sampai di rumah Peter, Stela turun lebih dulu dari mobil. Ia berlari memutari mobil lalu membukakan pintu untuk Peter."Ayo turun," kata Stela begitu pintu sudah terbuka."Terima kasih," sahut Peter sambil meringis menyentuh ujung bibirnya.Stela yang melihat Peter merasa kesakitan ikut mengerutkan wajah hingga mendesis kecil."Apa sakit sekali?" tanya Stela sambil menuntun lengan Peter.Peter menggeleng.Sampai di dalam, Stela memanggil Nora untuk mengambilkan air es dan handuk kecil. Sementara itu, Stela menuntun Peter membawa ke kamar di atas."Kenapa harus bertengkar?" tanya Stela sambil membantu Peter duduk di tepi ranjang.Peter masih terlihat nyengir menahan perih di ujung bibirnya dan bagian perut yang sempat kena pukul juga."Dia yang memulai," ujar Peter. "Aku
Sementara di tempat lain, Stela kini sudah sampai di rumah sang mantan suami lagi. Ia terpaksa datang kembali hanya untuk mengambil barang pribadinya yang tertinggal. Jika bukan karena itu, Stela sudah enggan menginjakkan kaki di rumah ini lagi.Karena pintu luar tidak tertutup, Stela masuk begitu saja hanya dengan mengucap kata "Permisi". Biar bagaimanapun juga, Stela sudah tidak ada hak lagi di rumah ini, jadi mau mengambil apa pun harus lebih dulu menunggu penghuni rumah muncul.Dan sesuai dugaan Stela, pastilah yang muncul wanita gila itu alias si Emma. Tidak mau bertengkar, Emma langsung mengatakan apa tujuannya datang ke sini."Kau sengaja kan!" seloroh Emma sambil mendorong dada Stela."Aku datang hanya ingin mengambil ponselku saja. Kau tidak usah khawatir, setelah ini aku langsung pergi.""Enak saja!" sungut Emma. "Kau sudah sengaja meninggalkan ponselmu supaya Alex tahu kan?"Stela mengerutkan dahi karena tidak paham. "Apa maksudmu?""Jangan pura-pura tidak tahu kau!"